Keluarga Satya

1756 Kata
Saat itu, Pak Hanif baru saja datang dari luar kota, setelah melakukan perjalanan bisnis bersama adik kandungnya, Pak Hamid. Mereka berdua terlihat begitu akur dan kompak, itupun jika mengenai urusan dalam dunia perbisnisan. Namun, terkadang mereka juga sering berdebat jika urusannya mengenai hal-hal pribadi, termasuk debat dalam suatu hobi. "Bang, aku mau tidur di sini dulu lah, capek banget, badanku sudah pegal-pegal sedari tadi rasanya ingin secepatnya rebahan!" kata Pak Hamid sembari melepaskan jas kesayangannya ke atas sofa. "Terserah kamu saja yang penting istrimu tahu kalau kamu sedang ada di rumahku. Jangan membuat dia khawatir," kata Pak Hanif sembari duduk di sofa. "Bodo amatlah, aku pusing! Aku mau tidur saja!" kata Pak Hamid sembari melangkahkan kakinya menuju kamar. Ya, di rumah pak Hanif ada beberapa kamar kosong yang sudah siap di pakai jika ada tamu ataupun keluarga yang hendak numpang tidur di rumah nya. Sebab, rumah pak Hanif sangat besar sekali. Begitu pun para asisten rumah tangga nya yang tidak bisa ia sebutkan satu-persatu. "Kenapa pusing? Kamu sedang marahan lagi sama istrimu itu? Hah!" kata Pak Hanif sembari membelalakkan matanya. Pak Hamid pun memberhentikan langkahnya sembari berkata, "Yah begitu lah, makanya aku malas pulang!" "Kalau begitu, kamu pulang saja. Jangan nginap di rumah aku!" tegas Pak Hanif. "Loh, kenapa?" "Karena, masalah dengan istrimu itu belum selesai! Sekarang kamu pulang, dan selesaikan secara baik-baik, habis itu baru boleh nginap di sini lagi!" kata Pak Hanif dengan serius. "Yang benar saja, Bang. Ini sudah malam! Lagian aku sudah bicara baik-baik sama dia sedari kemarin. Tapi sepertinya tidak akan ada akhir yang baik, dia sulit dimengerti," kata Pak Hamid pelan. "Itu karena kamu tidak bisa meyakinkan istrimu itu, Hamid! Kamu juga tidak mampu untuk menyelesaikan masalahmu sendiri, sehingga masalah yang dulu malah terjadi lagi," kata Pak Hanif. "Itu sudah aku lakukan, Bang! Dan aku sudah menyelesaikan urusan rumah tanggaku secara baik-baik! Tapi mau bagaimana lagi, dianya sudah tidak percaya sama aku, ya aku bisa apa?" kata Pak Hamid yang tidak mau kalah. "Baik lah, kalau urusannya begitu, biar aku yang urus soal ini. Dan kamu diam di sini jangan kemana-mana. Aku mau menghubungi Nila sebentar!" kata Pak Hanif sembari mengambil ponsel dari sakunya. "Ya ampun, Bang! Ini sudah malam, buat apa kamu menghubungi dia? Seperti tak ada waktu lain saja!" kata Pak Hamid menyunggingkan bibirnya. Pak Hanif tidak peduli, ia langsung menghubungi Bu Nila agar segera datang ke rumahnya. Ia ingin meluruskan masalah rumah tangga adiknya, agar tidak menjadi semakin rumit. Pak Hanif yakin, masalah adiknya tak kunjung selesai gara-gara menipisnya rasa kepercayaan dan tidak adanya pikiran yang positif. Memang rasanya sulit untuk berpikir positif ketika sedang tertimpa masalah. Namun, Pak Hamid ingin mengingatkan kepada adiknya bahwa dengan berpikir positif, ia akan mampu mengambil hikmah dan pelajaran dari masalah yang sedang dialaminya itu. Bahkan dengan bersikap positif, pasti semua orang bisa tetap tenang dalam menghadapi masalah yang muncul dan mencari solusi yang terbaik dalam menyelesaikannya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya Bu Nila pun datang ke tempat kakak iparnya. Ia diantar oleh supir pribadinya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dan Bu Nila juga tidak menyangka jika suaminya sudah berada di tempat kakaknya itu. Sebagai orang paling tua di keluarga Satya, Pak Hanif akan berusaha untuk memperbaiki keutuhan keluarga adik-adiknya. Ia tidak mau ada celah yang tidak ia ketahui, sehingga akan membuat kebersamaan dan keutuhan keluarganya menjadi kacau dan berantakan. "Ada apa, Bang?" tanya Bu Nila dengan muka masam dan tidak bersemangat lagi. "Sini duduk dulu, aku ingin bicara sesuatu sama kalian berdua!" jawab Pak Hanif memulai pembicaraannya. Bu Nila pun menuruti perkataan Pak Hanif. Ia hanya bisa terdiam begitu juga dengan Pak Hamid, mereka saling tertunduk sambil menunggu apa yang akan diucapkan oleh kakaknya itu. Perlahan-lahan Pak Hanif memberi pencerahan kepada mereka berdua, agar apa yang telah ia ucapkan dapat masuk ke akal sehatnya. Biar bagaimanapun juga, Pak Hanif melakukan semua itu demi mereka berdua dan anak semata wayangnya, agar keluarganya tetap utuh sampai kapanpun. Dan jika masalah ini dibiarkan, sudah pasti akan berdampak pada anak, dan itu akan membuat semuanya menjadi kacau. Setelah apa yang telah di berikan pencerahan oleh Pak Hanif, mereka mulai menyadari apa yang telah dilakukannya begitu salah. Dan mereka saling membuka pintu hati satu sama lainnya. Mereka berdua juga berjanji akan mengatasi masalahnya bersama-sama. Dan tidak akan mengulangi nya lagi. "Jadi sampai sini, kalian sudah paham kan? Apa itu artinya sebuah pernikahan dalam rumah tangga?" tanya Pak Hanif kepada mereka berdua. "Sudah Bang!" jawab keduanya dengan serempak. "Ya harus dong! Kalian sudah pada tua! Sudah setengah abad juga, kelakuannya masih saja kayak anak kecil, malu tahu!" kata Pak Hanif menyunggingkan bibirnya. "Apalagi udah punya anak bujang, malu sama calon mantu!" "Kata siapa Bang? Aku masih muda!" kata Bu Nila sembari menyeka air matanya karena sedari tadi ia terus-menerus mengeluarkan buliran bening yang membasahi kedua pipinya. "Bukan kamu, tapi dia!" kata Pak Hanif sembari menunjuk ke arah adiknya. Seketika Bu Nila mendadak tersenyum dan terkekeh-kekeh mendengar ucapan dari kakak iparnya itu. Dan Pak Hamid hanya bisa garuk-garuk kepalanya meski tidak gatal sekalipun. "Ya sudah sana istirahat! Aku juga—" Seketika perkataan Pak Hanif terhentikan karena adik bungsunya datang menghampirinya. "Kamu sejak kapan ada di sini?" tanya Pak Hanif yang sedikit kaget dengan kehadiran mereka. "Sejak tadi pagi!" jawab Bu Dina ketus. Ia langsung melangkah menghampiri mereka. Dan suaminya mengikuti dari belakang. "Ish, istrimu kenapa sih? Datang-datang bibirnya monyong begitu? Habis diapain dia sama kamu?" gerutu Pak Hanif kepada Pak Haris yang tengah hendak duduk di dekatnya. "Halah, Abang kayak gak tahu sikapnya aja," kata Pak Haris dengan santainya. "Ya mana aku tahu! Emangnya kalian habis berantem? Atau bagaimana? Aku tidak paham!" kata Pak Hanif penasaran. "Ini semua gara-gara, Abang!" kata Bu Dina sembari menyunggingkan bibirnya. "Loh-loh, kok gara-gara aku? Aku salah apa coba? Baru juga datang, udah disalahin aja!" ucap Pak Hanif mengernyitkan keningnya. "Ya jelas salah! Kenapa Abang nyuruh Lian bekerja? Anak perempuan disuruh bekerja? Yang benar saja! Memangnya Abang sudah tidak percaya lagi sama kita, sehingga Lian juga ikutan mengurus perusahaannya, Abang?" bentak Bu Dina kepada Pak Hanif. "Menyebalkan sekali!" Sementara, yang lainnya hanya bisa terdiam karena Bu Dina berkata sembari mengeluarkan buliran bening yang membasahi kedua pipinya. Mereka tidak enak hati karena memang mereka juga tidak setuju kalau anak perempuan harus bekerja. "Oh, itu! Aku memang menyuruh Lian untuk bekerja. Tapi bukan berarti, aku tidak mempercayai kalian. Kan semakin kesini, perusahaan kita semakin berkembang dan beranak pinak. Jadi apa salahnya dia belajar memegang perusahaan. Zaman sekarang kan setiap perempuan harus serba bisa, macam kalian berdua ini kan? Kalian ini sudah oke, sudah cantik, pintar dan serba bisa. Ya, meski kadang menjengkelkan, tapi aku bersyukur punya adik-adik seperti kalian ini yang bisa aku andalkan!"" kata Pak Hanif dengan santainya. "Iya, untuk soal itu aku paham, tapi bukan itu yang aku maksud, Bang. Dia itu perempuan! Aku sebagai orang yang mengasuhnya dari kecil, dari bayi merasa khawatir kalau dia di tempatkan di perusahaan yang jauh. Dan—" Belum juga bu Dina selesai bicara, Pak Hanif langsung menyelangnya dan memanggil asisten pribadinya lewat ponsel dengan sedikit berteriak, "Halo, Asisten! Tolong bawakan kalung berlian yang terbaru, buat kedua adik iparku! Be—sok!" Seketika Bu Dina dan Bu Nila tercengang dan matanya berbinar-binar mendengar ucapan dari kakak iparnya itu. Saking kegirangannya dengan serempak mereka berkata, "Hore!" Sementara, Pak Haris dan Pak Hamid, hanya bisa menggelengkan kepalanya saja, melihat tingkah laku istrinya masing-masing. "Kalian pulang sana! Aku mau istirahat!" kata Pak Hanif sembari melangkahkan kaki nya menuju ke dalam kamar. "Gak ah, kita nginap aja di sini!" kata pak Hamid. "Ya, nginap aja, udah malam juga!" kata pak Haris. Dan hal itu disetujui oleh Bu Nila dan Bu Dina. "Tapi ... bagaimana dengan Liyan, Bang?" celetuk bu Dina lagi kepada Pak Hanif. "Ya, gak gimana-gimana, biarkan dia bekerja bareng Adit. Nanti juga kalau waktu nya pulang, mereka pulang ke sini!" kata pak Hanif dengan santai nya. "Kok Abang malah membiarkan mereka bersatu sih, Bang!" kata Bu Dina sembari membelalakkan matanya. Dan tentu saja hal ini membuat semua orang keheranan. Sebab, apa yang dikatakan Bu Dina seolah tidak terima kalau Lian bersama Adit. "Apa maksudmu berbicara seperti itu? Mereka ini bersaudara, pasti Adit bisa menjaga Lian kok, kamu gak usah khawatir, Dina! Lian pasti bisa jaga diri dengan baik, toh disana juga ada beberapa pengawal, Lian pasti aman. Apalagi ada Adit, dia pasti akan baik-baik saja," kata Bu Nila seakan tidak senang dengan ucapan nya bu Dina. "Kebersamaan nya itu yang tidak aku suka! Aku tahu mereka, karena aku yang mengasuh nya sedari kecil. Kedekatan mereka membuatku curiga kalau mereka mempunyai hubungan yang sepesial layaknya sepasang kekasih," kata Bu Dina dalam hati nya. "Ya, tapi aku kurang setuju, Mba! Soalnya kan—" "Apa maksudmu kurang setuju? Kamu tidak setuju anaku bersama Liyan? Begitu?" sela Bu Nila sembari membelalakkan matanya. "Sudah-sudah, jangan ribut di sini! Aku mau istirahat!" sela pak Hanif kepada kedua adik iparnya. "Kalian juga istirahat sana! Besok berliannya datang!" "Bang, kenapa sih kalau segala sesuatu nya itu, kamu tidak pernah berdiskusi denganku? Kamu tahu sendiri, selama ini Liyan selalu bersamaku. Aku jaga seperti anak kandung ku sendiri, tapi kenapa kamu tega menjauhkan aku dengan Liyan. Kamu tidak suka ya kalau aku terus berada di dekat Liyan?" kata Bu Dina kepada pak Hanif dengan kesal. "Dina, Liyan itu sudah besar. Bukan anak kecil yang selalu berada di bawah ketiak kamu! Dia butuh pengalaman di masa remaja nya! Jangan di kekang terus!" kata Bu Nila. "Siapa yang ngekang dia? Aku ingin Liyan bersamaku, bukan berarti aku mengekang nya!" kata Bu Dina sedikit emosi. "Lalu apa masalah nya? Kamu tidak suka kalau anakku bersama Liyan, begitu?" kata Bu Nila yang ikutan emosi. "Sudah cukup!" bentak pak Hanif. "Kalau kalian terus seperti ini, aku tarik lagi berlian nya!" "Tahu nih, ayo lah kita istirahat. Besok kerjaan kita menumpuk. Jangan sampai dalam dua hari ini belum beres, karena sebentar lagi mau tutup buku!" kata pak Haris. "Aku belum ngantuk! Lagi pula, itu kerjaan kalian bertiga, bukan aku!" cetus Bu Dina. "Tapi kan kamu juga pasti ikut, Sayang. Ayo kita pulang saja!" kata Pak Haris. "Tidak mau! Aku mau tidur di kamar Liyan!" kata Bu Dina. Ia pun segera melangkah menuju ke kamar nya Liyan. Sementara, mereka hanya saling pandang dan menggelengkan kepalanya saat melihat tingkah laku Bu Dina. Mereka tidak habis pikir karena apa yang diucapkan Bu Dina seakan tidak setuju jika Liyan memegang perusahaan bersama Adit. "Ucapan mu sangat menyinggung perasaan ku, Dina. Apa salahnya jika anakku yang menjaga Liyan? Toh anakku tidak mungkin membuat Liyan sengsara!" kata bu Nila dalam hati nya. bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN