Kamu bisa melupakan semua kenangan yang kamu miliki. Tetapi kamu tidak akan pernah bisa menghapuskannya dari ingatanmu, karena apa yang telah terlupa, akan dapat diingat kembali sewaktu-waktu.
~
"Bunda, Nara mau ke mana? Kok, bawa bajunya semua? Bunda, Nara nggak bakal ke mana-mana, kan?" Nimo bertanya terus-menerus, sambil mengikuti ke mana pun bundanya melangkah. "Bunda, jawab Nimo dong, Bun."
Diserang pertanyaan oleh Nimo dengan dibuntuti ke mana pun, Marina akhirnya menyerah. Ia berbalik dan mengambil posisi jongkok, memegang kedua bahu mungil putranya. "Sekarang Nara udah punya keluarga baru. Jadi Nara akan tinggal sama keluarga barunya."
"Maksud Bunda, mulai sekarang Nara udah nggak akan tinggal di sini lagi?"
Dengan senyuman tipis, Marina mengangguk. "Kamu senang, kan? Karena akhirnya, Nara nggak sendirian lagi."
"Tapi Nara nggak pernah sendirian, Bun. Nara punya Nimo. Punya Bunda. Punya temen-temen yang lain!" bantah bocah cilik itu. Air matanya sudah mulai mengembang.
"Iya, Bunda mengerti. Tapi panti asuhan bukan tempat yang tepat untuk Nara, karena Nara berhak memiliki hidup yang lebih baik. Gimana pun juga, Nara pasti mau punya keluarga lengkap seperti yang lain, Nimo," jelas Marina dengan intonasi begitu lembut. "Sekarang Nara sudah tinggal di tempat yang lebih baik. Memiliki keluarga yang baik. Mama-Papa yang sayang sama dia. Kamu nggak boleh sedih, oke?"
"Tapi Bunda..." Nimo mulai terisak. "Nimo masih tetap bisa main sama Nara kan?"
"Iya, kalau Nara berkunjung ke sini, kalian bisa bermain bareng."
Hari demi hari berlalu. Nimo menunggu dan terus menunggu Nara berkunjung seperti yang dikatakan sang bunda. Minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, Nimo masih menunggu. Namun yang ditunggu tak datang-datang. Bertanya pada Bunda, Bunda hanya menjawab 'tunggu saja'. Sehingga Nimo merasa tidak ada lagi yang dapat ia lakukan selain menunggu.
Nimo menunggu, sampai ia lupa bahwa dirinya sedang menunggu. Sampai ia lupa, bahwa menunggu adalah hal yang melelahkan. Namun saat dirinya mulai beranjak remaja, ia memutuskan untuk berhenti menunggu dan mulai mencari.
Nara, Nimo rindu Nara!
"Nara!"
Nimo terbangun dan mendapati dirinya terduduk di tengah ranjang. Selepas mengatur napas sejenak, Nimo meraih ponselnya di atas nakas. Membuka ruang obrolan yanda dan bundanya.
To: Bunda, Yanda
Bunda, Yanda, Nimo nggak bisa pulang ke Bandung hari ini. Ada hal yang perlu Nimo caritahu.
Dengan membawa buku yang ia temukan tergeletak di depan toko buku kemarin, hari ini Nimo datangi lagi toko buku tersebut di waktu yang sama seperti kemarin saat ia bertemu Nara. Berharap takdir akan mempertemukannya lagi dengan gadis itu.
Dan harapannya terwujud.
Belum benar-benar dirinya tiba di toko buku tersebut, terlihat dari kejauhan Nara keluar dari dalamnya. Nimo berjalan cepat untuk menghampiri gadis itu. Namun tak lama sebuah mobil yang kemarin menjemputnya, hari ini menjemput lagi. Gadis itu masuk ke dalamnya setelah dibukakan pintu oleh laki-laki kemarin, yang Nimo masih belum tahu namanya. Nimo berlari sesegera mungkin, sebelum mobil itu membawa Nara-nya berlalu.
"Nara!" Nimo memanggil, namun tak terdengar oleh siapapun.
Roda mobil itu telah berputar. Nimo berlari secepat yang ia bisa dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Berusaha keras untuk mengejar, sampai kedua kakinya seakan mati rasa. Sampai peluh membanjiri sekujur tubuhnya. Sampai napasnya tersengal seperti orang yang akan mati besok. Akan tetapi tetap saja mobil itu tak terkejar olehnya. Karena mau bagaimana pun juga, tetap saja kecepatan kakinya sangat tidak sebanding dengan kecepatan mobil sport itu.
"NARA!!!" teriak Nimo kencang sekali, saking tidak sanggupnya ia untuk kembali mengejar.
Tentu saja Nara tidak mendengar. Hal itu hanya sia-sia ia lakukan.
Hari-hari setelah itu, Nimo terus kembali ke toko buku tersebut tanpa bosan. Di sana dari pagi sampai sore, menunggu kedatangan Nara. Jika hari ini tidak datang, besoknya Nimo akan datang lagi. Menunggu lagi selama beberapa jam. Namun sayang, tetap saja ia tidak bertemu dengan gadis itu seperti yang diharapkannya. Hingga hari ini, menjadi hari pertama Nimo menunggu Nara di toko buku itu sejak pagi tadi sampai waktu menunjukkan pukul 7 malam.
Nimo membuang napas berat. Mengambil langkah keluar dari toko buku, dan berdiri sejenak di tempat ia bicara dengan Nara kala itu. Sebelum akhirnya ia duduk dan hanya memerhatikan orang-orang yang berlalu-lalang di sana.
Nimo memijat keningnya, dengan sebelah siku yang berpangku di atas lutut. Pikirannya kacau. Ada banyak penyesalan yang menjelimat. Kenapa saat itu dirinya tidak menyadari bahwa gadis itu adalah Nara? Kenapa baru menyadari setelah sosoknya sudah tak terlihat lagi?
Kalau saja saat itu Nimo tahu kalau firasatnya sedang mencoba menyampaikan sesuatu bahwa gadis itu adalah Nara, andaikan saat itu ia bisa mempercayai firasatnya sedikit lebih cepat, kejadiannya pasti tidak akan seperti ini sekarang. Ia tidak perlu mencari-cari gadis itu lagi. Tidak perlu membuat penantiannya yang panjang itu semakin panjang, dan bahkan rasanya seperti penantian yang tak berujung.
Sekali lagi, Nimo sangat menyesali kebodohan yang telah dilakukan oleh dirinya sendiri saat itu.
Nara di mana? Kasih tahu, Nimo. Nimo mohon.
Drt drt drt
Tak lama Nimo rasakan ponsel dalam saku celananya bergetar.
Bunda is calling...
"Iya, Bun?"
"Nimo, kamu kapan pulang ke Bandung?"
"Nara, Bun... Nimo ketemu Nara..." ucapnya dengan suara bergetar. "Tapi Nimo nggak berhasil nemuin dia lagi sampai sekarang."
"Terus kamu mau sampai kapan di Jakarta, Nak?"
Dengan suara lirih Nimo menyahut, "Belum tahu, Bun. Nimo mau cari Nara dulu sebelum balik ke Bandung. Boleh kan, Bun?" izinnya.
"Iya, nggak apa-apa. Nanti Bunda bilang, deh, ke Tante kamu, kalau kamu akan di Jakarta selama beberapa hari ke depan. Pokoknya yang terpenting selama di sana kamu jangan lupa makan dan istirahat yang benar. Bunda nggak mau terima kabar kamu kenapa-napa nantinya. Janji untuk jaga kesehatan. Oke?"
"Iya, Bun."
Nimo menutup, kemudian mengantungi ponselnya. Bersiap untuk beranjak pergi. Namun baru beberapa langkah ia berjalan, ia mendengar suara seseorang yang tidak asing dari arah belakang.
"Kamu tumben jemputnya nggak telat?"
Kepala Nimo menoleh. Langkahnya terhenti. Saat berbalik, dirinya melihat keberadaan Nara di dalam sebuah mobil lamborghini yang baru saja melaju melawatinya.
"NARA!" teriak Nimo menyerukan nama Nara sekencang-kencangnya.
Cowok itu berlari mengejar, mengikuti ke mana mobil itu melaju.
"RENARA!!!" panggilnya lagi masih sambil terus berlari, mengerahkan seluruh tenaga pada kakinya. Sampai ketika mobil itu tak terkejar lagi, barulah ia berhenti mengistirahatkan diri dengan deru napas yang memburu dan keringat yang mengalir deras.
Inginnya berteriak lebih keras lagi. Akan tetapi sepertinya percuma saja. Mau sekeras apapun ia berteriak, Nara tidak akan bisa mendengarnya.
Di pinggir jalan dengan napas yang terengah-engah yang hampir membuatnya merasa seperti sedang sekarat, Nimo merunduk dengan posisi berdiri yang menumpukan kedua tangannya di lutut. Lalu tiba-tiba sepasang kaki tampak berhenti tepat di hadapannya.
"Nara?" ucap Nimo penuh harap seraya menegapkan tubuhnya.
Walau memang nyatanya itu cuma harapannya saja Nara. Yang berdiri itu bukanlah Nara. Seragamnya saja yang sama dengan yang Nara kenakan.
"Barusan lo ngejar mobilnya Niko? Terus lo panggil gue apa tadi? Nara?" Gadis yang Nimo tidak kenali namanya itu tampak mengernyitkan dahi.
Mendapati Nimo yang keheranan, gadis itu seketika menjulurkan tangan. "Oh, kenalin, gue Kejora."
"Nimo." Walau sempat menaruh curiga, Nimo tetap menyambut uluran tangan gadis bermata bulat itu.
"Seragam lo sama kayak Nara."
Kejora mengernyit. "Nara? Renara Anthella maksud lo?"
Nimo mengangguk mantap. "Iya. Lo kenal?"
"Ceweknya Niko, siapa yang nggak kenal," sahut Kejora sambil memutar bola matanya.
"Niko?"
"Iya. Lamborghini hitam yang lo kejar tadi itu punyanya Niko. Fakboi most wanted di SMA Tulip, Elniko Darwangsa."
Bonus foto, fakboi most wanted SMA Tulip!