Jatuh Cinta Sendirian

1233 Kata
Sejak awal memang hanya aku yang jatuh cinta sendirian. • • • Derasnya hujan sore itu membuat angin bertiup cukup kencang, sehingga tubuh Nara sedikit menggigil kedinginan karenanya. Pukul 4, Niko berjanji akan menjemputnya. Akan tetapi sekarang sudah hampir pukul lima, kekasihnya itu belum terlihat juga batang hidungnya. Entah ini sudah kali yang ke berapa Niko membuatnya menunggu tiap kali berjanji ingin menjemput, Nara benar-benar sudah kebal, hingga saat ini tidak ada secuil pun amarah atau kekesalan yang ia rasa pada cowok itu. Nara tetap menunggu. Sampai tiba-tiba saja dari arah belakang, seseorang memberinya sebuah payung yang sudah terbuka. Yang baru menyentuh tangannya saja seketika sudah membuat d**a Nara berdebar-debar tidak keruan. Senyum Nara mengembang. Niko. Pasti Niko! Yakin Nara. Karena siapa lagi yang bisa membuat dirinya seberdebar ini selain Niko? Cowok tampan yang disukainya sejak SMP, dan kini terhitung selama enam bulan terakhir telah menjadi kekasihnya. Namun saat kepalanya menengadah, dalam sedetik senyumnya pudar. Lantaran ternyata tebakannya salah. Bukan Niko seperti yang diharapkannya, melainkan orang lain yang tidak ia kenal. Yang kalau dilihat dari wajah dan perawakan jangkungnya yang mirip-mirip dengan Niko, agaknya usia cowok itu tidak terpaut jauh dengannya. "Makasih," ucap Nara dengan senyuman, menggenggam erat gagang payung biru itu. Cowok itu mengangguk. "Lagi nunggu apa?" "Jemputan." Nara menjawab singkat, lantaran diam-diam ia harus berusaha untuk mengatur degupan jantungnya supaya stabil. "Oh." Cowok itu memanggut. "Lo?" tanya Nara, balik. "Hmm... Nunggu hujan reda. Mungkin." "Kok, mungkin? Kalau lo butuh payung ini pakai aja. Sebentar lagi paling cowok gue dateng." Belum sempat tangan Nara terjulur mengembalikan payung itu, cowok itu buru-buru menahannya. "Nggak usah, nggak usah. Lo pake aja, rumah gue deket dari sini." "Gunting-batu-kertas, yang menang harus pake payung ini. Gimana?" tawar Nara, yang tidak tahu kenapa malah membuat cowok itu tertegun melihatnya. "Setuju?" "Ekhem." Dehaman berat milik seseorang seketika menginterupsi. Saat Nara menoleh. Yang ditunggu sejak tadi akhirnya datang juga. Didapatinya Niko sudah berdiri di sebelahnya, dengan gagang payung terbuka di genggamannya. "Ayo, balik," ajak Niko yang nada suaranya tidak kalah dingin dengan cuaca saat ini. Nara mengangguk. "Ini payung lo. Thanks, ya." Sesaat ia sempatkan diri terlebih dahulu untuk memberikan kembali payung yang dipakainya pada pemiliknya, sebelum kemudian mengikuti Niko yang menggiring bahunya untuk masuk ke dalam mobil. Membuat percakapan mereka langsung benar-benar berhenti di saat itu juga. Satu minggu berlalu semenjak pertemuannya dengan cowok asing itu, setibanya Nara di sekolah, pagi itu heboh sekali banyak desas-desus mengatakan akan adanya anak baru di SMA Turflies. Hampir di setiap area ada saja sekumpulan ciwi-ciwi yang bergosip ria mengenai hal itu, yang samar-samar tertangkap oleh pendengarannya. Dan beberapa pula Nara mengenal masing-masing dari mereka. Karena memang, mereka cukup dikenal. "Taruhan, yuk, By. Kata lo anak barunya cogan atau cecan?" "Cogan ajalah. Kalau cecan, bisa punya saingan baru gue di sini. Nggak asik!" Di dekat kantin sana, ada Raina dan Gabby. Gabby si primadona sekolah, dan Raina yang Nara tahu adalah satu-satunya cewek paling usil di sepanjang sejarah SMA Turflies. Sedangkan di koridor depan kelas XII - IPA sana, ada juga cowok yang tidak kalah heboh dibanding cewek-cewek. Namanya Abdul Leonard. Tidak suka dipanggil Abdul, karena maunya dipanggil Leo. Bersama dua cewek terdekatnya, Dara dan Lita, Leo heboh menggosipkan bakal calon anak baru, dengan terus mewanti-wanti akan menjadi targetnya kalau memang anak baru itu cowok, dan setampan Ketos pujaannya. Andra Geovano. Ketos SMA Tulip, yang terkenal cerdas dengan IQ 200. Wajahnya tampan seperti pangeran. Maka dari itu banyak sekali yang tergila-gila padanya termasuk Leo, si cowok berbadan kekar itu. Tanpa peduli walau sifatnya ketus, kejam dan dingin. "Pokoknya kalau anak baru itu sampai bisa bikin gue oleng dari Kak Andra, berarti gantengnya udah ngalahin Pangeran!" ujar Leo. "Yauda, suka-suka lo aja, Yo," pasrah Dara. Lita mendecak. "Kita mending ke kelas aja, yuk, Ra." Mendengar percakapan absurd itu, Nara hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Entah kenapa anak-anak di sekolahnya aneh-aneh. Dari kelas 10 sampai 12, dari segala jurusan yang ada, semuanya aneh. Tidak terkecuali sekumpulan yang ada di dekat tangga sana. Yang Nara tahu salah satu dari nama mereka ada yang mirip dengan namanya. Naya. Renara, Renaya. Sangat mirip, bukan? Walau kelihatan agak culun dengan mata empatnya, jangan disangka Naya tidak memiliki teman seperti Nara yang tidak dekat dengan siapa-siapa lagi selain Niko, kekasihnya. Naya memiliki dua sahabat yang satu hobi makan tapi susah gemuk-Hellen, dan satunya lagi hobi diet tapi mudah gemuk-Sera. Dan dengar-dengar juga gadis itu disukai banyak orang karena kecerdasan dan kepolosannya. Bahkan bule si mata cokelat di sekolah ini saja mengejar dirinya. Damar Naelandra, Nael. Dan ada juga anggota OSIS yang dekat dengannya karena rumah mereka yang bertetangga. Gema Radinata, Nata. "Kalau sampai anak baru kali ini cogan, kita liat aja. Paling-paling langsung disikat sama si Sera." Hellen menuding. "Nggak-lah. Gue nggak minat sama yang lebih muda," elak Sera cuek. "Iya, jangan, Ser. Cewek itu emang lebih baik sama yang lebih tua atau sepantaran. Karena cewek bisa lebih cepat dewasa ketimbang cowok. Jadi mending kita jangan sama yang lebih muda. Apalagi adik kelas sendiri," saran Naya, yang tahu-tahu menceletuk panjang. Sehingga dengan berbarengan pun Sera dan Hellen menyahut. "Iya, Nay, Iya." "Kamu ngapain di sini? Ayo, masuk kelas." Suara Niko yang tiba-tiba muncul dan menarik tangannya untuk naik, seketika membuat Nara tersentak dan tidak bisa menolak lagi ajakannya. Memang tidak akan menolak juga, sih. Walaupun ia tahu tangan Niko yang menggandengnya akan berujung malapetaka. Tepat di tangga lantai dua, sebelum Nara melanjut naik ke lantai berikutnya, Niko menahan pergelangan tangannya. "Kamu selalu dibully tiap kali abis istirahat bareng aku. Jadi mulai sekarang lebih baik kamu istirahat sendiri aja." Nara mengangguk, mengiyakan. Meski jauh di benaknya yang terdalam, hatinya enggan sekali mengiyakan keputusan Niko yang satu itu. Selama ini Nara pikir tidak masalah tidak mengetahui apa yang membuat Niko tiba-tiba memintanya untuk menjadi pacar. Akan tetapi sepertinya Nara salah besar. Tidak mengetahui apa yang berada di balik permintaan Niko saat itu nyatanya semakin ke sini malah semakin menjadi tanda tanya besar untuknya, yang tidak pernah ia tahu kapan dirinya akan menemukan jawaban. Nara memiliki Niko sebagai kekasih. Seseorang yang dikaguminya sudah sejak lama. Namun tampak jelas dari sikap Niko yang masih dingin terhadapnya, menandakan ia belum berhasil memiliki hati Niko sampai detik ini. Lalu yang membuat Nara tidak habis pikir, untuk apa Niko menjadikannya kekasih, kalau keberadaannya saja masih belum diterima di hati cowok itu. Sepagi ini, tiba-tiba d**a Nara terasa sesak. Sehingga alih-alih masuk kelas, Nara memilih berlari menuju belakang sekolah sambil mengelapi air matanya yang mulai berjatuhan agar tidak terlihat oleh siapapun. Si dingin itu memang kejam. Selalu saja berlaku semaunya tanpa lagi memikirkan perasaan orang lain. Dengan wajah tenggelam dalam tunduk, Nara duduk di sebuah kursi besi panjang yang tersedia di sana. Melanjutkan tangisnya yang kini juga disertai dengan sebuah isakan kecil. Niko jahat. Nara tidak tahu kenapa dirinya bisa menyukai Niko yang jahat itu bahkan sampai sejauh ini. Nara tidak tahu sejak kapan perasaan ini muncul terhadap Niko. Tapi yang Nara tahu pasti sejak awal memang hanya dirinya yang terlalu cinta pada Niko. Yang Nara tahu hanya dirinya yang menginginkan Niko. Hanya dirinya yang memiliki perasaan itu. Ingin Niko menganggapnya sebagai seseorang yang berharga setidaknya sekali saja. "Siapa yang udah buat lo nangis kayak gini?" Suara seseorang yang terdengar familier, seketika membuat Nara menoleh. "Elo?" Cowok itu tampak terkejut saat mendapati Nara mengenalinya. "Lo kenal gue?" "Lo yang waktu itu pinjemin gue payung di depan toko buku, kan?" Entah mengapa tiba-tiba Nara melihat ekspresi kecewa yang menggurat wajahnya. "Ada apa? Apa kita pernah saling kenal sebelum itu?" Cowok berlesung pipi itu menggeleng sambil tersenyum tipis. Omong-omong, Nara juga baru menyadari lesung pipinya itu sekarang. Saat dia tersenyum walau hanya tipis. "Gue belum pernah liat lo sebelumnya. Jangan bilang lo anak baru itu?" "Hm," dehamnya, mengiyakan. "Nama gue Cakra Geronimo. Nimo." Gue harap lo bisa inget gue, Ra. pemirsah bisa liat dimple-nya kan? komen yg banyak yaaa
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN