Part 2

2182 Kata
Tidak ada yang bisa dikatakan Salma. Sebagai gantinya, dia hanya duduk menatap ke depan, sambil berpikir apakah ini halusinasi. Nada bicara Raga cukup tajam dan dingin, Salma akhirnya merasa penasaran dan melirik spion yang ada di depannya; anak itu terlihat sudah besar mungkin berusia 9 tahun. Salma terkesiap. Sudah sepantasnya itu adalah umur yang sama dengan saat dia kehilangan kontak Raga dan mendengar rumor bahwa Raga sudah menghamili seorang cewek. Duh, kalau memang Raga sudah punya istri apakah reuni ini akan baik-baik saja? Salma belum membalas jawaban Raga terakhir, jadi dia mendesah. "Ya, bagus kalau lo udah nikah. Tapi ... apa ini nggak masalah kita berdua ketemu?" Kalimat Salma agak kacau, maksudnya adalah apa tidak akan ada kecemburuan jika Raga bertemu dengan cewek lain sedangkan dia punya istri? Raga ternyata tidak menjawab. Salma mengubah topik. "Kalau gue tahu lo bawa anak, gue pasti siapin hadiah kecil buat dia." Senyum Salma tidaklah palsu, dia menengok ke belakang dan melihat sepertinya Reksi tidak terlalu peduli karena anak kecil itu sibuk dengan gadget di tangannya. "Reksi kelas berapa?" tanya Salma. Anak gadis kecil itu melirik Raga pada awalnya, seolah-olah meminta izinnya untuk menjawab, Raga tak acuh. Jadi dengan suaranya yang khas anak kecil, dia menjawab, "Kelas empat, Tante." Oh, tante? Salma memang menginginkan ada yang memanggilnya seperti itu. Di keluarganya, Salma itu paling tua, dia tidak punya kakak; kandung maupun sepupu jadi dia kadang ingin tahu bagaimana rasanya punya keponakan. Apalagi punya anak. Mengingat itu Salma jadi sedih. Melihat Reksi kembali sibuk dengan gadget, Sama mendengus. "Anak kecil jangan dibiasin main HP, Ga!" tegurnya. "Kasihan matanya masih rentan." "Biarin aja." Salma tertegun. Bukan halusinasi. Nada Raga memang berubah tajam. Apakah Salma menyinggung sesuatu? Atau Salma tak masuk ekspektasi Raga dan Raga menyesal bertemu dengannya? Dulu Raga memang menyukai Salma, fakta ini tidaklah bohong, Salma tahu ketika dia memutuskan untuk pacaran bohongan dengan Raga dan tiba-tiba memutuskannya secara sepihak. Dalam keadaan emosi, Raga melontarkan kalimat bahwa saat itu dia serius dengannya, tapi ternyata Salma cuma main-main. Salma merasa sangat bodoh dan kekanakkan saat itu. Kembali lagi pada pemikiran awalnya, Salma mengira bahwa Raga mungkin terlalu muda untuk mengurus anak gadis, jadi dia belum terlalu mahir. Salma tidak tahu pengalaman apa yang Raga alami selama mereka lost contact. Apa Raga bahagia? Mereka tiba di sebuah Mal pusat kota. Turun pada basemen bawah tanah yang agak redup penerangannya. Salma keluar dan menunggu Reksi secara naluriah, lalu menggandeng tangannya. Reksi tak keberatan, dia anak yang mudah akrab. Saat Reksi masih memegang erat gadget di tangan, Salma merebutnya pelan-pelan. "Tinggal ini di mobil, ya?" Raga sudah berjalan terlebih dahulu. Salma yang terlanjur menyita gadget itu kebingungan, jadi dia memasukkannya ke dalam tasnya. Mengejar Raga dengan perasaan tidak mengerti. Bioskop tempat tujuan mereka cukup ramai malam hari. Raga memberikan kewenangan penuh pada Salma memilih film untuk mereka tonton. Dan karena kali ini ada anak kecil di antara mereka, Salma memilih film yang cocok dan juga tidak terlalu membosankan untuk orang dewasa, lalu dia memesan tiga tiket film; Jurassic. Raga otomatis membayar semuanya. Film akan tayang setengah jam lagi, Raga membawa mereka keluar dari bioskop. "Mau makan dulu?" Dia tetap berjalan di depan, sama sekali tidak terlihat mau beriringan dengan Salma dan Reksi. Ini cukup aneh. Pegangan Salma pada pergelangan tangan Reksi menguat, dan tangan anak itu benar-benar lembut dan rapuh. "Boleh." Salma mengintip ekspresi Reksi, dia seperti anak kecil tersesat. Sebenarnya ini situasi macam apa? Kenapa Salma merasa ada perbedaan jarak yang cukup jauh antara kedua anak dan ayah itu? Salma merasa seperti orang asing yang berada di tengah-tengah mereka. Ini sangat tidak nyaman. Pada awalnya Salma berharap bahwa Raga akan bisa menjadi jodohnya. Ketika dia tahu Raga sudah menikah, Salma rela melepas keinginan itu, tapi dia merasa tidak puas dengan sikap Raga pada anaknya sendiri. Mereka seperti bermusuhan. Salma tanpa sadar berhenti, Reksi otomatis mengikutinya, mata bulat anak itu menatapnya dalam-dalam. Rambutnya yang hitam sepinggang ternyata terlihat sedikit berantakan, dia baru menyadarinya. Jadi dia berjongkok. Mengeluarkan sisirnya dan merapikan rambut Reksi sedikit. Ternyata Raga sudah berhenti juga di depan, dia hanya menatap dan kembali berjalan di depan. Salma tak tahan. Dia memanggil, "Raga!" Kakinya mengentak lantai marmer dan menghampirinya. Awalnya dia ingin memarahi cowok itu, tapi kemudian tidak ada yang bisa dikatakannya, dia menghela napas. "Ke sini aja." Itu adalah sebuah kedai minuman yang juga menyajikan makanan ringan. Keduanya memilih tempat duduk busa yang dekat dengan tembok. Raga mengeluarkan uang. "Mau pesen apa? Ini uangnya, lo bisa pesen." "Lo aja yang pesen." Raga tampak seolah-olah kesal. Lalu bangkit menuju counter dan memesan. Dia kembali duduk di tempat, mengeluarkan rokok dan menyalakan api. Salma terkejut, sadar bahwa mereka duduk di smoking area. Sungguh sial, dia tidak suka bau asap. "Jangan ngerokok sih, nggak baik." Salma menghela napas. "Ga, berhenti. Matiin." Raga menyesap ujung rokok. "Kenapa?" "Gue nggak suka bau asap." Alasan lain karena Reksi ada di sini, dia cuma anak kecil, sangat rentan terlalu menghirup asap. Namun Raga tampaknya lebih tidak peduli tentang itu, dia akhirnya memperlihatkan sifatnya yang berbeda dengan dulu. Salma tak mau memaksa, dia pasrah. Pesanan mereka sampai. Salma mendapatkan vanilla cheese seperti kesukaannya dulu. Reksi mendapat rasa yang sama. Dengan satu piring kecil donat masing-masing untuk mereka. Akhirnya keadaan mulai tenang dan mereka mengobrol. "Jadi, sekarang lo udah kerja tetap di Bandung?" tanya Salma. "Iya." "Gosip yang dulu itu ternyata bener." Raga mengangkat alis, ekspresinya serius. "Gosip apa yang nyebar waktu gue nggak ada?" "Apalagi?" Salma angkat bahu, agak sungkan. "Lo ngehamilin anak orang. Beritanya nyebar cepet sekomplek." "Serius?" Raut mukanya tampak tak senang. "Iya, tapi dalam beberapa minggu udah reda." Asap menguap dari mulut Raga, dia tak peduli bahkan ketika Salma harus membantu Reksi untuk menjauh dari asap itu. Raga terus memasang wajah rumit. Salma tidak mengerti apa yang ada di pikirannya. Raga telah berubah. Mungkin Raga menyesal bertemu dengannya. "Dulu itu sempat heboh." "Lo percaya, Sal?" "Kenapa gue harus nggak percaya?" Memang benar, pikir Raga. Setelah itu dia memasang wajah kecewa. "Sampe sekarang gue takut pulang. Gue udah buat keluarga malu." Sepertinya Salma memang salah membahas ini, dia menatap Raga lamat-lamat untuk melihat matanya. "Maaf, Ga. Gue bermaksud .... Tapi nggak usah peduliin kata orang. Lo hidup atas diri lo sendiri, orang nggak berhak ngehakimin apa pun." Raga tersenyum miring. "Lo percaya kalau pulang kampung, gue nggak pernah keluar rumah." Salma akhirnya mengerti kenapa dia tidak pernah melihat Raga jika lewat depan rumahnya. "Gue ngerti perasaan itu. Tapi jangan dipeduliin, oke? Nggak semua orang seburuk itu," katanya dengan nada yang lembut. Jeda terjadi setelah Salma mengatakan itu. Perhatiannya beralih pada Reksi yang tengah melahap donatnya tanpa bereaksi pada obrolan mereka, dia berinisiatif memberikan juga miliknya pada gadis kecil itu. "Ayah lo nggak marah?" Raga bertanya tiba-tiba. Salma tak mengerti. "Apa dia nggak marah soalnya lo jalan sama b******n kayak gue?" "Ga—" "Itu fakta, 'kan?" "Ga, jangan berburuk sangka sama bokap gue, itu nggak ada gunanya. Dia nggak pernah berpikir kayak gitu ke lo." Raga menggeleng, ekspresinya berubah-ubah sehingga Salma tidak tahu mana perasaan Raga yang sebenarnya. Raga seperti tidak dikenalinya lagi. Salma mengerti keadaan Raga, cowok itu pasti punya beban berat setelah rumor jelek yang tersebar tentang dirinya. Reputasinya yang bagus, lenyap hanya dengan satu berita panas. Pada saat itu Salma juga tidak mengira, tapi dia tidak mencoba menghakiminya. Semua orang pernah berbuat salah. Raga bukan Tuhan. Ini pastilah kemungkinan yang membuat Raga berubah. Salma akhirnya mengerti. Sebisa mungkin dia mencoba untuk paham. "Gue mau nanya sesuatu. Entah ini nyinggung lo atau nggak." Salma mendesah. "Lo udah nikah sama dia?" Tidak perlu dijelaskan siapa yang dimaksud oleh Salma, Raga tahu dan segera menjawab, "Iya." Pertanyaan itu memang sudah terjawab sebelumnya, kali ini Salma benar-benar yakin jawaban ini benar dan harapannya pupus. "Dia nggak marah kita jalan?" "Kami udah cerai." Salma membatu. "Kami nikah cuma untuk status supaya dia nggak nanggung malu. Kami ngadain pernikahan besar cuma untuk statusnya, sebenernya keluarga dia nggak setuju sama hubungan ini. Mereka cuma ... peduli sama reputasi." Raga tampak tak goyah dengan ceritanya. "Dia tinggal di rumah gue cuma sampe ngelahirin Reksi." Raga tak melanjutkan cukup lama. Rokok di apitan bibirnya begitu memiliki candu. Bibir cowok itu masih merah ranum yang ternoda dengan hitam, mungkin dia sudah lama merokok. "Abis itu keluarganya minta kita cerai." Salma terbelalak. Cerai? "Jadi ..." "Gue memang udah nikah, tapi juga udah cerai. Reksi jadi tanggung jawab gue setelah itu." "..." "Gue sayang sama Reksi kayak ayah sayang ke anak pada umumnya." Salma tanpa sadar menggenggam tangan Reksi di bawah meja dan membuat Reksi menoleh kebingungan tanpa bertanya. Anak sekecil ini sudah harus menanggung beban besar tanpa kasih sayang seorang ibu. Artinya Reksi membutuhkan ibu baru. Kalau Salma berharap banyak apakah dia berdosa? Pada awalnya dia berharap Raga untuk menjadi suaminya sebagai status, sekarang keinginannya berubah menjadi rasa kasihan pada Reksi. Apa dia bersalah? "Gue ngerti, Ga." Rokok pertama ternyata sudah habis. Raga mengambil satu lagi, Salma menahannya, tapi dia tidak peduli. Sepertinya posisi Salma memang tidak cukup kuat untuk mengontrol apa yang harus dilakukan Raga. Cowok itu bukan dia yang dulu Salma kenal. Salma merasa kecewa. Raga tidak menaruh perasaan yang sama. "Lo udah punya pacar?" Pertanyaan itu membuat harapan muncul sedikit dibenak Salma. "Jomblo," jawabnya, "disuruh nikah terus sama nyokap." Raga akhirnya terkekeh. "Waktu itu gue lihat lo udah punya pacar." "Eh? Kapan?" By the way, Salma jomblo akut setelah mereka lulus SMA. Kemungkinan Raga salah lihat. "Udah lama sih. Gue liat foto lo sama cowok." "Salah orang kali." Raga tak melanjutkan topik itu, mengaduk kopi susunya dan diminum sampai hampir tandas. "Cinta itu bikin orang tolol." Omongan Raga pasti merujuk pada masa lalunya. Ada banyak cowok baik di dunia ini, tapi kebanyakan dari mereka belum tentu bisa menahan hasrat mudanya. Raga mungkin salah satunya. Dia dulu terkenal alim dan sopan. Siapa yang menyangka hal seperti ini bisa terjadi. "Dulu gue frustasi karena seorang cewek. Trus ngelampiasin semuanya dengan cara tolol." "..." "Mungkin ini karma." "Lo ngelakuin itu karena sama-sama suka, 'kan?" Raga memberinya tatapan negatif. "Gimana mungkin nggak sama-sama suka? Kalau gitu namanya perkosaan." Tawa renyah Raga terdengar, tapi sebenarnya itu tidak lucu sama sekali. "Sekarang lo masih suka sama dia?" "Hm." Raga mengangguk tanpa ragu. Hati Salma cukup untuk hancur. Kenapa dia merasa kalau ini merupakan kecemburuan? Dia mulai suka dengan Raga? "Lo mau balikan sama dia?." Raga memandang Salma dengan lurus. "Siapa yang mau sama b******n?" Dada Salma linu. Dia tak sadar ketika memuntahkan jawaban, "Gue mau." *** Film sudah berjalan. Mereka duduk mengapit Reksi di tengah. Sepanjang film yang menegangkan tentang dinosaurus tersebut, Reksi sudah jatuh tertidur. Sejak jawaban terakhir yang Salma lontarkan, dia merasa salah besar. Raga tidak pernah menjawab dan memaksa mereka kembali dalam keadaan yang canggung. Reksi nampaknya tak begitu dekat dengan Raga pada saat dia meminta untuk menuju ke toilet, dia memanggil Salma terlebih dulu alih-alih Raga. Sebelum masuk bioskop mereka ke toilet berdua. Di sana, Reksi tetap jadi anak yang pemurung. Tidak banyak bicara tapi terus memberikan kesan bahwa dia tidak mau ditinggal siapa pun. Jadi, Salma bertanya padanya tentang segala hal. Baru diketahui bahwa selama ini dia tinggal dengan neneknya berdua saja. Sedangkan Raga di luar kota dan akan pulang beberapa bulan sekali. Sesuka hatinya saja. Saat film habis, Reksi sudah ada di punggung Raga. Adegan film dalam durasi 3 jam tidak.ada yang bisa Salma ingat sebab dia memikirkan hal lain saat itu. "Mau makan dulu di luar?" tanya Raga saat di basemen. "Nggak usah, udah malem." Mobil menyala rendah. Salma memilih duduk di belakang untuk menjaga Reksi agar tidak jatuh. Dia melakukan itu tanpa bermaksud apa pun. Dia hanya suka anak kecil dan ingin merasakan merawat anak kecil. Apalagi perempuan. Raga juga tidak keberatan. "Ayah lo marah nggak kalau pulang malem gini?" Jam sudah menunjukkan pukul sebelas. "Nggak kok." "Ayah lo nggak nanya apa-apa pas lo jalan sama gue?" Ternyata Raga lebih paranoid dari yang Salma kira. Masalah seperti itu tidak membuat Salma jengkel sama sekali. Raga pasti pernah terguncang di masa lalu karena gosipnya sendiri. "Nggak kok. Gue udah izin." Raga tak menjawab. Perjalanan itu benar-benar sunyi. Reksi menempel di pahanya dengan nyaman menganggapnya sebuah bantal. Secara naluriah Salma mengusap rambutnya yang panjang dan Reksi makin bergelung nyaman. Dia tak menyadari bahwa Raga mengintipnya dari spion. Mereka sudah sampai saat Salma tak sengaja menutup mata. Dia bangun kaget. Raga tak mengatakan apa-apa. Jadi dia berinisiatif berkata, "Sampe ketemu lagi, Ga." "Besok gue balik ke Bandung." Kalimat itu membuat Salma agak terkejut. Ini terlalu singkat baginya, yang berarti liburan Raga sudah habis dan dia bakal kembali sibuk kerja di kota orang. Rasanya Salma menyesal baru mencari Raga sekarang. Dia membuka pintu mobil. "Hati-hati buat besok." Salma merasa saat dia keluar, tidak akan ada lagi kesempatan untuknya memiliki Raga. Bahkan tak terdengar suara Raga saat kakinya sudah menyentuh tanah. Mobil melaju pelan setelah itu, pergi meninggalkannya. "Salah nggak kalau gue berharap sama lo, Ga?" Dia bergumam pada angin. "Bukan untuk status aja, tapi untuk yang serius?" Akan tetapi Salma tahu bahwa sikap Raga telah menunjukkan dia tak akan membalasnya. Salma akan bertahan lagi dengan perjuangannya mendapatkan Raga. tbc.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN