Curhatan Naima

1007 Kata
Gara-gara Nikah di KUA Bab 2 : Curhatan Naima “Dek, kamu kenapa?” tanya Bang Yusril saat kami datang bersamaan di depan rumah. Segera kusapu air mata yang sedari tadi sudah menggenangi wajah. Dengan tergesa-gesa, Bang Yusril memarkirkan motor bututnya yang ia gunakan untuk mencari rumput juga mengangkutnya ke kandang sapi milik Juragan Burhan, majikan suamiku. Ya, suamiku ini bekerja sebagai gembala sapinya Sang Juragan sapi terkaya di kampungku. “Nggak apa-apa. Abang udah pulang?” tanyaku dengan sambil melangkah menuju pintu lalu membukanya, aku berusaha tersenyum walau hati sedang mendung saat ini. “Iya, hari ini pekerjaan Abang lebih awal selesainya. Ternak Juragan sudah masuk kandang semuanya, rumput untuk makan mereka juga sudah ada,” jawab Bang Yusril sambil melangkah masuk ke dalam rumah gubuk milik kami. Aku masuk ke dalam kamar, berganti pakaian lalu menuju dapur untuk menyiapkan kopi untuk suamiku walau hati masih terasa sakit karena kejadian tadi. Sedangkan suamiku, ia mengambil handuk kemudian menuju dapur untuk mandi dan membersihkan diri. “Dek, kok melamun?” Suara Bang Yusril membuyarkan lamunanku yang sedang mengaduk kopinya. “Jangan lama-lama ngaduk kopinya, sini!” sambungnya dengan meraih kopi di hadapanku. Aku menghela napas panjang, lalu menghembuskannya dengan perlahan. Kejadian di rumah Nenek begitu membekas di hati ini. Mereka keluarga, tapi sungguh tega memberikan hinaan seperti itu kepadaku, hanya karena keputusanku menikah di KUA. “Ada apa, Dek? Kamu kenapa? Coba cerita ama Abang! Tadi kamu dari mana dan kenapa pulang dalam keadaan menangis begitu?” tanyanya lembut sembari meletakkan gelas kopinya setelah ia seruput sedikit. Bukannya menjawab pertanyaan Bang Yusril, air mata ini malah kembali berjatuhan. Apalagi kata-kata sengit dari Nenek, Bude dan Mira kini sedang berputar di kepala dengan berulang-ulang. “Sayang, kok malam nangis?” Bang Yursil mengusap pipiku. Aku langsung menceritakan semuanya kepada suamiku itu, agar perasaan ini menjadi lega sebab kini dialah tempatku menumpahkan segala keluh kesah dan unek-unek. Bang Yusril menghela napas panjang lalu tersenyum tipis. Pria sederhana itu begitu membuat hatiku terpaut sejak lama, walau tanpa rangkaian kata, sejak dahulu ia sudah menghuni hati ini. Walau hanya lewat isyarat juga bahasa hati, kini kami telah menyatu dalam ikatan yang sah. Beginilah kalau hati yang berbicara, aku tak menyangka kalau ia akan langsung melamar waktu itu. Kutatap lekat pria berkulit sawo matang yang pekerjaannya sehari-hari terkena terik sinar matahari. Mungkin dia terlihat biasa saja di mata orang lain, tapi dia bagaikan Pangeran di mataku. Aku sangat mencintainya. “Maafkan Abang, Dek, karena Abang ... kamu jadi dihina terus dalam keluargamu. Maafkan Abang yang tak bisa merayakan pernikahan kita dengan sangat megah seperti orang-orang, hingga kini ... menjadi bahan cibiran.“ Bang Yusril terlihat sedih, berkali-kali ia mengusap wajahnya. “Bukan salah Abang, ini juga sudah kesepakatan kita berdua. Hanya saja, Adek sakit hati dan tak habis pikir dengan mulut para tetangga juga Nenek dan Bude. Padahal, kita tak mengganggu mereka dan merepotkan siapa pun, tapi malah selalu digunjingkan.” Aku mengelap air mata kekesalan. “Kalau nanti Abang punya rezeki lebih, kita akan adakan pesta biar tak ada lagi yang menggunjingkan pernikahan kita. Adek yang sabar, ya, maafkan kemiskinan Abang yang kini membuatmu menderita.” Bang Yusril meraih tanganku. “Bang, Adek tak menginginkan pesta kok. Dulu, uang antaran Abang yang sepuluh juta itu, kalau mau dipestakan juga bisa kok walau tak megah seperti pesta pernikahannya Mira. Hanya saja, waktu itu ... Adek mengusulkan untuk membeli gubuk ini saja yang kebetulan ada yang mau menjualnya dengan harga murah. Sebab pernikahan tak harus digelar dengan mewah, lantas menghalalkan segalanya sebab akan ada fase kehidupan setelah nikah, itu yang kita pikirkan. Yang terpenting dalam rumah tangga itu kelanggengan juga keberkahan dunia akhirat, bukan pesta pernikahan glamor. Apalah artinya kemewahan pesta, jika setelahnya akan kesusahan terlilit hutang, Adek tak mau seperti itu. Adek juga tak mau merepotkan orangtua dengan segala macam acara, yang penting sah dan sakral.” Aku mencoba tersenyum. “Iya, Dek, Abang selalu dukung keputusan kamu. Biar saja orang-orang berkata apa pun, yang penting hidup kita bahagia dan tak merepotkan siapa pun. Masalah gosip Adek hamil duluan, semoga Allan segera menjabah doa kehamilan itu sebab Abang juga udah nggak sabar melihat kamu hamil dan kita punya anak.” Bang Yusril meraihku ke dalam pelukannya sembari mengusap perut ini. “Iya, Bang, semoga Adek langsung isi, ya,” jawabku dengan mengulas senyum bahagia. “Amin. Terima kasih, ya, sudah mau menjadi istri Abang yang miskin ini, yang hanya bekerja sebagai gembala. Tak seperti suami Mira yang kerja kantoran. Terima kasih sudah mau menerima lamaran Abang waktu itu.” Bang Yusril melepaskan pelukannya, sembari memegang pundakku. “Bang, Adek tak memandang kekayaan, tapi kesungguhan dan keseriusan Abang. Kita akan buktikan kepada Nenek juga para warga, walau pun kita cuma nikah di KUA tapi kita bisa bahagia dan langgeng selamanya. Walaupun kita hidup apa adanya, tapi kita takkan merepotkan siapa pun.” Aku berkata dengan mantap. “Amin, semoga semuanya dijabah oleh Allah. Adek jangan sedih lagi jika ada yang menggunjingkan pernikahan kita yang hanya digelar di KUA!” Aku tersenyum, rasanya lega saja sudah menceritakan segalanya kepada suamiku. Walau kami menikah tanpa pacaran terlebih dahulu, tapi kami sudah saling kenal lama. Setiap bertemu hanya berani saling lirik dan melempar senyum, tapi hati kami malah saling terpaut. *** Beberapa hari berlalu. Sambil menunggu suamiku pulang bekerja, kuraih sapu lalu mulai menyapu halaman rumah yang terdapat sampah daun-daunan dari pohon mangga di depan rumah. Dari arah jalan, terlihat sebuah mobil melenggang di jalanan. Semua mata terlihat memandang ke sana, sebab sangat jarang penduduk yang bisa punya mobil sebab perekonomian di desaku ini kelas ke bawah, pencarian penduduk hanya bertani dan berternak. Mobil merah itu malah berhenti tepat di depan rumahku. Hhmm ... siapa itu? Aku menghentikan aktifitas menyapu lalu menatap pintu mobil yang terbuka. Nenek, Bude, Mira dan suaminya keluar dari mobil dengan wajah semringah. Oh, Mira pasti mau pamer mobil baru ini. Eh, Ibuku juga keluar dari mobil itu. Aku sangat terkejut, ada apa ini? Kok Ibu bisa bareng mereka, aku tak terkejut dengan semuanya tapi tumben mereka mengajak Ibu juga? Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN