ENAM

1042 Kata
Rian membawa Dinda pergi untuk menonton konser yang diinginkan oleh gadis itu. Nampak sekali jika ada seorang pria yang diidolakan oleh Dinda di salah satu anggota band itu. Matanya yang sedari tadi tidak berpaling yang kadang sesekali Dinda ikut bernyanyi melantunkan lirik lagu dari band tersebut. Dia merasa asing di sini sekarang karena tidak tahu sama sekali tentang band yang ditonton oleh Dinda. Usai acara konser, Dinda malah pergi ke belakang panggung untuk mengajak Rian berfoto dengan sang idola. Namun ketika Dinda menarik tangannya, Rian berhenti dan menegur Dinda. “Kamu saja yang pergi fotoan! Aku nggak ikut,” Dinda kesal dengan jawaban dari pria itu. Kalau dia terpisah dari Rian atau bahkan pria itu nanti meninggalkan dia pulang. Maka orang tuanya tidak akan mengizinkan dia untuk menonton acara band ini. Dengan sabar dia menarik tangan Rian sampai pria itu hanya menuruti apa yang dilakukan oleh Dinda. Di jarak beberapa meter terlihat para personil band yang sedang berfoto dengan para fans. Termasuk Dinda yang akan ikut bergabung bersama dengan para gadis yang berebut foto dengan orang-orang tampan yang memegangi gitar dan juga stick drum yang dipegang oleh drummernya. “Aku nggak mau ketinggalan momen ini, Rian,” kata Dinda lalu dibiarkan oleh Rian. Tidak lupa juga dia meminta tanda tangan kepada band tersebut dengan cara mengeluarkan kaset album yang dibelinya beberapa waktu lalu. Dia bahkan sampai hafal satu album itu karena setiap hari dia nyanyikan. Dia mendapatkan tanda tangan namun ketika diberikan kaset yang sudah ditanda tangani itu, dia melihat ada nomor telepon yang juga dicantumkan. Sang vokalis band itu memberikan kode kepada Dinda untuk meneleponnya nanti. Dengan raut yang sangat bahagia, di mobil Dinda tidak bisa untuk tidak bahagia ketika mendapatkan nomor telepon sang idola. “Nggak bisa tidur nanti, aku yakin nggak bakalan bisa tidur,” kata Dinda dengan sangat bahagia. Rian mendengar ucapan itu hanya terdiam. Dia tidak akan berkomentar apa pun untuk merusak kesenangan Dinda. “Makan malam di mana?” Dinda menoleh dan memasukkan kasetnya ke dalam tas. “Terserah kakak,” “Steak mau?” “Hmmm, boleh. Kakak traktir?” Rian tersenyum karena mendengar ucapan Dinda. Tentu saja dia yang akan membayar apa pun yang diinginkan oleh Dinda. Sebagai penghibur gadis itu yang mungkin nanti akan ditinggal oleh orang tuanya. “Tentu aku yang bayarin,” “Kakak nggak cuman traktir steak aja kan?” Tiba di depan restoran Rian membukakan pintu mobil untuk Dinda. “Memangnya mau makan apalagi?” “Hmm, aku sih nggak mau makan. Tapi pengin beli buku, semoga aja toko buku buka ya,” Rian mengajak Dinda masuk. Dia membuka jaketnya lalu menutupi bahu Dinda. “Kalau keluar sama aku jangan pakai pakaian yang begitu lagi. Kamu jangan pakai celana pendek. Nggak tahu apa diluar sana banyak banget yang ngincar kamu?” Dengan sopan dia memberitahu Dinda dan menutupi tubuh gadis itu dengan jaketnya. Dia tidak ingin jika bahu Dinda menjadi tontontan gratis para pria yang melihatnya. “Kenapa memangnya kak?” “Kamu nggak pernah merasa berada dalam bahaya, Dinda? Kamu nggak pernah merasa kalau kamu sedang diincar oleh orang banyak? Maksudku aku nggak suka kalau orang lain lihat bahu kamu kayak gini karena kamu itu nggak pantas pamerin ke yang bukan pasangan kamu,” Dinda mendongakan kepalanya kepada Rian yang menutup bahunya barusan. “Kakak kenapa peduli banget ya?” Rian yang merangkul bahu Dinda itu hanya tersenyum. “Masa iya aku biarin kamu digoda laki-laki buaya darat sih Dinda. Kita itu teman masa kecil, jadi kan dari dulu aku selalu ngelindungin kamu. Ya udah sewajarnya aja kan kalau sekarang aku lakukan lagi?” Rian memalingkan wajahnya dengan gaya khasnya yang cool. Dinda tersenyum mendengar jawaban itu. “Kenapa kita baru bisa dekat lagi ya? Padahal awalnya Kak Rian itu nyebelin,” “Hah, aku nyebelin juga karena memang bawaannya, Dinda,” kata Rian dengan santai. Mereka pun memilih tempat duduk. Rian memesankan makanan yang dikatakannya tadi. “Steak terus minumannya apa?” “Jus berry aja kak. Kalau kakak wine?” Rian menggeleng setelah dia memesankan minuman jus untuk Dinda. “Aku nggak minum alkohol Dinda. Aku lebih suka minum air putih atau jus. Kalau alkohol aku sama sekali enggak,” “Rokok?” Rian tersenyum manis, “Sama sekali enggak juga. Aku nggak mau buang waktu untuk hisap asap yang nggak ada untungnya buat aku. Uangnya bisa aku tabung untuk kebutuhan aku yang suatu saat nanti bisa aku ambil hasilnya,” jelasnya. Dia memang bukan pria yang perokok, apalagi doyan dengan minuman beralkohol. Sama sekali tidak dia lakukan untuk hal itu. “Kakak keren ih, jarang-jarang lho nemu cowok yang nggak ngerokok kak. Kebanyakan kan ngerokok gitu,” “Nggak kalau aku, Dinda. Aku nggak pengin aja,” Pesanan mereka pun akhirnya datang. Dinda melihat ada steak, minuman pesanannya dan juga ada puding mangga. “Kakak pesan puding juga?” Rian yang baru saja mengangkat sendok garpu dan pisaunya mengangguk pelan. “Itu memang buat kamu. Aku masih ingat kok kalau kamu suka puding,” jawabnya sambil memotong steak itu. Merasa Rian sangat mengerti dengan dirinya dia pun akhirnya hanya menikmati apa yang diberikan oleh Rian untuk dirinya. “Terima kasih lho ini kak, aku nggak nyangka aja kakak masih ingat kalau aku suka banget sama puding mangga,” “Sebagai teman masa kecil masa aku lupa,” Dinda hendak memotong dagingnya tapi diambil oleh Rian. Pria itu menukarnya dengan steak miliknya yang sudah dipotong-potong. “Buat kamu, biar kamu nggak capek motong!” Dia senang melihat ada pria yang mau melakukan hal spele itu untuknya tapi bagi Dinda itu hal yang luar biasa. Tidak pernah mendapatkan perlakuan spesial seperti itu kepadanya. “Makasih banyak lho ya kak,” “Udah kamu makan aja Dinda. Makan yang cepat, terus kan kita mau ke toko buku. Jangan sampai kamu nanti pulang telat juga. Aku nggak tahu mau ngomong apa sama Mami dan Papi kalau kita pulang telat,” Dinda menghabiskan makan malamnya. Ketika mereka sedang diperjalanan pulang usai membeli buku yang diinginkan oleh Dinda. Gadis itu bersandar pada bahu Rian yang sedang sibuk menyetir. “Kamu kalau ngantuk tidur aja!” “Kakak, kenapa aku nggak punya kakak cowok ya? Enak banget deh kayaknya,” ujar Dinda sambil tertawa kecil mengatakan hal tersebut. Pria itu langsung mengelus kepala Dinda dengan tangan kanannya. “Kamu mau punya kakak cowok ya udah anggap aku jadi kakak kamu aja nggak apa-apa,” “Pada awalnya kakak paling nyebelin. Dikit-dikit jemput aku. Sekarang aku malah pengin punya kakak cowok,” Rian hanya mengulum senyumannya dibalik wajah tampannya itu. Dia tahu kalau Dinda tidak akan pernah bisa dia dapatkan karena orang tuanya Dinda pasti akan mencarikan pasangan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan Rian. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN