DUA

1154 Kata
Pergi bersama dengan Rian seperti mimpi buruk bagi Dinda. Dia tidak pernah diperbolehkan pergi bersama dengan laki-laki orang tuanya. Sekarang, justru diantar langsung oleh Rian—duda keren yang usianya masih terbilang sangat muda itu. Dinda tidak menyangka kalau Rian ini sebenarnya adalah seorang duda yang ditinggal oleh istrinya. Namun, bagaimanapun juga dia harus hati-hati. Mengingat pesan dari maminya bahwa seorang pria yang sudah terbiasa melakukan hubungan suami istri. Dan ketika dia tidak mendapati kebutuhan biologisnya, dia bisa mencari pelampiasan lain. Apalagi Rian yang masih tampan, masih muda dan juga sangat kaya raya. Siapa yang tidak terpikat dengan pria ini? Namun, bagi seorang dinda. Jangankan mendapatkan pacar, dekat dengan pria saja sudah dimarahi oleh papi yang sangat keras kepala tidak memperbolehkan dia untuk dekat dengan siapa pun. Rasanya dia begitu canggung sekarang. "Kamu mau lanjut kuilah?" Dia menoleh. Pria itu tersenyum ke arahnya. "Kakak tanya aku?" "Nggak, lagi ngomong sama dashboard," "Oh, kirain sama aku," Rian menelan ludahnya. Bisa-bisanya gadis cantik ini isi kepalanya sangat dangkal. Manusia mana yang gila bisa bicara dengan benda mati? Dinda membuatnya kesal di hari pertama mereka pergi jalan-jalan. Ia menghela napas panjang ketika sedang menyetir. Rasanya dia tidak ingin lagi bicara dengan Dinda ketika membicarakan hal serius tapi dibalas dengan candaan oleh gadis ini. Dinda merasa isi kepalanya sudah benar-benar kosong, bagaimana mungkin orang bisa bicara dengan dasboard? Pasti pria itu menanyakan dirinya. Karena hanya ada mereka bedua di sini. "Kakak aku ralat yang tadi," "Kenapa?" "Kakak pasti ngomong sama aku, kan?" "Enggak, ngomong sama dasboard, beneran deh sumpah," ucapnya kesal. Dinda memanyunkan bibirnya. "Kakak kok ngeselin," "Ngeselin itu kamu. Bukan aku," "Aku kan udah ralat. Kakak ngomong sama aku barusan," "Terserah kamu," jawabnya singkat. Dia tidak ingin membahas ini lagi. "Kak, kita jadi makan nggak sih? Dari tadi muter terus di jalan," "Jadi, jadi kok," "Di mana? Nanti Papi marah lho," "Nggak, Papi kamu bilang kalau aku boleh ajak kamu ke mana aja. Kamu dititipin," "Hah?" ucapnya kaget. Mana ada orang tua yang mau menitipkan anaknya pada pria asing yang belum dikenali oleh Dinda. "Yang benar aja sih? Kita kan belum kenal?" "Belum kenal gimana? Kita ini teman masa kecil, kamu lupa? Kamu cengeng banget waktu dulu pengin ditangkapin capung, terus udah aku tangkapin kamu malah lepas. Udah gitu kamu nangis lagi," Dinda mencoba mengingat apa yang dikatakan oleh Rian. Dia ingin mengingat semua tentang dirinya di masa lalu yang penuh dengan kebahagiaan. "Aku lupa kak. Beneran nggak ingat sama itu semua," "Ya nggak apa-apa kok," kata Rian dengan tenang. Mereka berhenti di restoran yang cukup terkenal. Rian mengajaknya untuk turun. Mereka seperti sepasang kekasih ketika sedang berada di luar seperti sekarang ini. Melihat penampilan Rian juga yang masih sangat muda. Tapi siapa sangka kalau pria ini adalah seorang duda yang diceraikan oleh istrinya. Dicampakkan begitu saja, belum punya anak dan masih betah untuk sendiri untuk saat ini. Begitulah berita yang dia tahu dari mami. "Kamu pesan apa?" tanya Rian ketika dia sibuk melihat buku menu yang diberkan oleh pelayan. "Kamu nggak diet kan?" "Nggak kok," "Ya udah pesan aja. Biar pulangnya agak cepetan dikit. Takut Papi kamu ngamuk nanti," ucap Rian dengan santainya terhadap Dinda. Gadis itu segera memesan makanan seadanya. Dia memang tidak pernah keluar dengan seorang pria. "Kakak kenapa ngelihatinnya gitu?" kata Rian ketika pelayannya sudah pergi dan juga dia yang merasa canggung ditatapi begitu. Rian tersenyum dan menolehkan pandangannya ke arah lain. "Dulu, kita pernah dijodohkan Dinda," Gadis itu mengangkat sebelah alisnya. "Kapan?" "Sebelum aku nikah. Tapi sekarang udah nggak lagi. Papi kamu nggak mau jodohin kamu sama pria duda seperti aku," "Papi nggak suka sama kakak yang pernah gagal?" Pria itu menarik napas lalu mengembuskannya kasar. "Sepertinya begitu, yang kami bicarakan tadi itu memang mengenai kamu. Tapi Papi kamu bilang kalau kamu masih terlalu kecil, takut kamu menjanda," "Selama suaminya nggak bertingkah kayaknya nggak bakalan," "Kalau nggak suami yang bertingkah, ya pastinya istri yang bertingkah, Dinda," "Emang mantan istri kakak bertingkah?" "Aku nggak mau jelekin dia, Dinda. Biar itu jadi cerita aku sama dia. Yang jelas kamu sudah tahu kalau pria yang ada di depan kamu ini pernah gagal. Pasti ada yang buat aku sama dia nggak cocok satu sama lain. Baik aku yang nggak ngerti, atau kadang dia. Karena jalan pikiran berbeda," "Tapi beneran nggak punya anak kan kak?" "Nggak ada. Belum sempat. Masih proses pendekatan, tapi dia bilang kalau dia nggak tahan punya suami yang terlalu sibuk. Padahal aku sudah belajar luangin waktu. Ya memang kita nggak cocok, aku nggak pernah larang dia lakukan apa pun. Mau belanja, ya aku persilakan. Tapi sekarang dia sudah bahagia dan sudah punya anak kok," "Kakak nggak kecewa?" "Siapa yang nggak kecewa sih, Dinda? Mencintai itu nggak pernah mudah. Ketidakcocokan kita belajar bisa saling mengerti, cuman saat kami berjuang. Nggak ada hasilnya, ya udah pisah aja gitu," Dinda mengangguk. "Yang gugat siapa?" "Dia, tapi nggak apa-apalah, Dinda. Yang penting sekarang aku sudah bebas. Dia juga sudah bahagia. Aku senang sih bisa lihat dia bahagia. Walaupun bukan sama aku, lebih baik melepas orang yang kita sayang jika dia bahagia sama yang lain. Dibandingkan sama kita dia nggak bahagia, walaupun kita ikat dengan sebuah pernikahan. Nggak buat orang itu betah, buat apa? Aku nggak mau kalau orang yang nggak bahagia itu aku ikat," Kenapa pernyataan pria ini jauh dari kata buruk. Karena statusnya yang duda menjadikan papi Dinda tidak merestui lagi hubungan mereka berdua. Dinda yang memang sangat cantik dan juga tidak dibebaskan dalam mengenal pria. "Kakak bagus sih dalam hal berpikir mengenai kebahagiaan wanita," "Ya memang harus begitu, Dinda. Kamu juga kalau cari pasangan harus cari yang bisa ngerti sama kebahagiaan kamu. Ngerti sama kebutuhan kamu dan juga dia harus jadi pria bertanggungjawab," "Iya, Kak. Untuk saat ini kakak tahu sendiri Papi itu kayak gimana. Dia nggak mau aku kenal sama cowok. Dia mau milih sendiri," "Untuk saat ini saran aku sih kamu bisa terima nggak? Kalau kamu terima orang yang dijodohin sama papi kamu sih nggak masalah. Cuman nanti jangan sampai kamu ngeluh, Dinda. Kamu harus tahu karakter dia, seseorang itu kadang begitu apik dalam menyembunyikan perilakunya. Diawal pacaran baik, pas udah nikah berbeda. Jadi harus kamu tahu tentang itu, jangan cuman enaknya aja yang dipikirin. Apalagi modal sayang doang, jauh banget perbedaannya kalau udah nikah. Bisa jadi dia kasar, yang awalnya kasar bisa berbuat baik kalau udah nikah. Dan sifat yang kelihatan waktu masih pacaran itu benar-benar berbeda dari kenyataan setelah menikah," "Wah pengalaman baru nih. Jadi biar bisa hati-hati cari pasangan," "Memang harus begitu, Dinda. Apalagi kamu itu bukan anak sembarangan. Papi kamu keras kepala, papi kamu bisa berbuat apa aja ke kamu. Kamu itu anak perempuan yang paling disayang," "Iya kak. Aku juga berusahayakinkan papi kalau aku pasti bisa mendapatkan yang terbaik tanpa dijodohkan," "Nggak masalah juga kalau kamu dijodohkan. Asal kamu klop sama pasangan yang dijodohkan sama kamu itu. Nggak ada salahnya kok," ucap Rian. Dinda tidak mau dijodohkan untuk saat ini. Dia ingin mencari pasangannya sendiri tanpa dijodohkan. Apalagi karakter yang disukai oleh papinya itu adalah anak dari seorang pengusaha dan tentunya sangat terpandang. Sebenarnya Rian juga termasuk. Akan tetapi pria ini duda, tidak akan mudah mendapatkan restu dari papinya jika status Rian menduda seperti sekarang ini. Setelah baca ini, jangan lupa follow author untuk mendukung author ya. Dijamin bakalan lebih seru lagi. Hehehe,  update giliran sama di akun sebelah. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN