Baik-baikin Pak Alif

2170 Kata
Ada dua jenis muslimat. Satu, bunga di taman yang mudah dipetik lalu dibuang begitu layu. Dua, mutiara di bawah laut yang susah diambil dan tidak akan dibuang karena berharga.   ***   Aisya ingin menjedotkan kepalanya ke pintu. Di sofa ruang keluarga, ia membiarkan televisi menonton dirinya yang tengah membodohi diri sendiri karena teringat kejadian saat ia meninju Alif dan membalas perkataan lelaki itu dengan kasar ketika di dekat lapangan basket. Dia tidak boleh kalah dari Dara. "Kakak kenapa, sih?" tanya Hafis yang tengah mengerjakan tugas menggambar sambil menonton televisi. "Kepo lo!" ketus Aisya. "Daripada Kakak kayak orang nggak bener gitu, lebih baik Kakak manfaatkan waktu sebaik-baiknya. Kalau katanya guruku, jangan pernah menyia-nyiakan waktu walau hanya sedetik, karena ia akan menghunus layaknya pedang menghunus pemakainya yang tidak pandai mengunakan." Aisya melotot saat mendengar kalimat aneh dari mulut adiknya. "Sekata-kata! Kayak ustaz aja lu," protes Aisya yang segera membuang remote TV dengan kesal ke meja dekat sofa berwarna cokelat tua. "Amin. Hafis doakan juga supaya Kakak jadi ustazah." Aisya bangkit. "Nunggu matahari terbit dari barat!" Hafis masih merecoki Aisya. "Kalau matahari terbit dari barat itu tandanya kiamat, Kak. Emang Kakak sudah siap menghadapinya? Terjemahan surat Al Waqi'ah ayat satu sampai sembilan. Apabila terjadi hari kiamat, satu. Tidak seorang pun dapat berdusta tentang kejadiannya, dua. (Kejadian itu) merendahkan (satu golongan) dan meninggikan (golongan yang lain), tiga. Apabila bumi digoncangkan sedahsyat-dahsyatnya, empat. Dan gunung-gunung dihancurluluhkan seluluh-luluhnya, lima. Maka, jadilah ia debu yang beterbangan, ayat enam. “Dan kamu menjadi tiga golongan, tujuh. Yaitu golongan kanan. Alangkah mulianya golongan kanan itu, delapan. Dan golongan kiri. Alangkah sengsaranya golongan kiri itu, sembilan," jelas Hafis panjang lebar sambil mengembalikan pensil warna ke tempatnya. Aisya memutar bola mata malas. Suara Hafis masih saja terdengar hingga dapur. Ia membuka lemari es, mengambil jus jeruk, kemudian menuangkannya ke gelas. "Dengerin kalau adiknya ngomong, Kak!" Itu suara Alysa yang sedang membuat teh hangat untuk Haris—papa Aisya dan Hafis. "Dari tadi, kan, Aisya dengerin, Ma. Aisya nggak tutup mulut, eh telinga, kok." Aisya membela diri. Alysa mengaduk teh yang sudah dicampur dengan gula. "Iya, nggak ditutup. Dibuka lebar-lebar telinga kanan, lalu dibuang lewat telinga kiri." "Ish, Mama," keluh Aisya sambil minum jus jeruk dengan berdiri. "Kak, katanya guru IPA, kalau kita minum sambil duduk, air yang masuk akan disaring oleh sfringer[1] yang berada di ginjal. Tapi jika kita minum sambil berdiri, air itu tidak bisa disaring oleh sfringer karena langsung menuju kandung kemih. Jika diteruskan, kotoran yang tidak tersaring tersebut akan mengendap di saluran ureter dan bisa mengakibatkan penyakit batu ginjal," jelas Alysa kemudian berlalu menuju suaminya yang tengah membaca buku. Aisya menarik napas panjang, lalu membuangnya kasar. Ia kesal dengan ceramah semua orang yang ada di rumah. Selesai mencuci gelas kotor, gadis itu masuk ke kamar. Di dalam kamar, dia berpikir keras cara untuk mendekati Alif. Sebenarnya wanita seperti apa yang menjadi tipe guru galak itu? Dari bayangan cermin, Aisya menatap wajahnya. "Aku cantik, seksi, dan tinggi," pujinya pada diri sendiri. Ia lupa kalau memuji diri sendiri dapat membatalkan pahala, menyebabkan murka Allah, dan terjerumus ke dalam sikap terperdaya serta takabur. Sebelum Radit, banyak cowok yang mendekatinya. Bahkan setelah ia berpacaran dengan Radit pun masih menjadi incaran cowok-cowok sekolah. Pernah juga dokter muda yang magang di rumah sakit papanya berniat ingin melamar, namun Aisya tolak mentah-mentah. Dia tipe anti nikah muda-nikah muda klub. "Aha!" Gadis berparas cantik itu menemukan ide brilian. Baru membayangkan rencana untuk esok hari, sang Mama memanggilnya. Dengan gerakan cepat, Aisya keluar dari kamar. Di depan kamar, Alysa sudah berdiri dengan wajah galak. Tangannya sudah membawa amplop cokelat berisi surat pelanggaran dari BK untuk orang tua. Aisya membuat huruf V dengan telunjuk dan jari tengah, pertanda minta damai.   ***   Tepat jam enam pagi, Aisya sampai di sekolah. Berkali-kali ia menguap karena masih mengantuk. Hari ini adalah hari piket Alif, oleh karenanya Aisya datang pagi untuk menemui guru killer itu. Sebelum meletakkan tas di kelas, gadis itu berjalan menuju ruang guru. Ia mengintip dari celah jendela tapi tak juga ia temui sosok lelaki bertumbuh jangkung itu. Tidak putus asa, Aisya berjalan menuju parkir mobil khusus guru. Hanya ada satu mobil guru terparkir dan itu mobil Bu Linda, guru mata pelajaran Kimia yang mengampu kelas sepuluh dan sebelas. Aisya mengerucutkan mulut sambil duduk di kursi sisi area parkir. "Bu," sapa Aisya saat Bu Linda melewatinya. "Ya." Guru berambut sebahu itu tersenyum. "Nungguin siapa?" Aisya gugup. Tidak mungkin ia jujur menunggu guru pengganti itu. "Em, anu, teman. Iya, nungguin teman, Bu." "Pak Alif?" tanyanya dengan nada tidak suka. Sudahlah, tidak perlu dijelaskan. Memang hampir semua guru begitu dengan Aisya, selalu memvonis gadis itu buruk. Mau Aisya mengerjakan tugas tepat waktu pun tetap buruk. Yang katanya menyalin tugas teman, copy paste dari internet, dan lain-lain. "Idih, ngapain gue nunggu kayak gitu!" Aisya keceplosan mengunakan bahasa gaul sehari-hari. Bu Linda menaikkan satu alisnya sementara tangan kanannya sudah berkacak pinggang. "Bu, saya ke kantin dulu. Belum sarapan." Aisya lantas berjalan cepat menuju kantin. Belum sampai kantin, gadis itu berbalik lagi karena mobil putih Alif masuk halaman parkir. Setelah berhenti, Aisya berlari menuju pintu mobil. "Pagi, Pak!" sapa Aisya setelah merapikan jilbab agar terlihat memesona di depan Alif. Melihat senyuman Aisya, Alif menatap ke penjuru lain. Wajahnya masih datar tanpa ekspresi. Setelah memastikan mobilnya terkunci, lelaki itu berjalan meninggalkan Aisya yang masih berdiri di dekat mobil. Aisya tidak mau putus asa. Demi harkat dan martabatnya di depan Dara, ia mengeluarkan kotak bekal berwarna biru tua kemudian mengejar langkah Alif yang sama dengan kecepatan berlarinya. "Pak, tunggu!" Alif tidak menggubris. Aisya memblokir jalan Alif dan membuat lelaki itu berhenti. "Ada dua jenis muslimat. Satu, bunga di taman yang mudah dipetik lalu dibuang begitu layu. Dua, mutiara di bawah laut yang susah diambil dan tak akan dibuang karena berharga," kata Alif. Aiysa tidak mengerti perkataan Alif. Dia justru tetap di posisinya. "Mau apa?" tanya Alif. "Ini sarapan untuk Bapak. Sebagai permintaan terima kasih karena Bapak menolong saya waktu itu." Yang Aisya maksud adalah saat Alif menyelamatkannya dari Bu Lina, tempo hari. Ya, walaupun akhirnya Aisya tetap mendapat surat peringatan dari BK. Alif tetap berjalan melalui Aisya. Aisya mengejar pria itu. "Yang namanya rezeki itu nggak boleh ditolak, lho, Pak!" Perkataan Aisya berhasil membuat lelaki itu mengambil kotak makan dari Aisya. "Terima kasih, Pak. Happy breakfast." Alif tidak menjawab. Dia bertanya kepada diri sendiri. Sebenarnya apa permainan yang tengah dimainkan gadis itu?   ***   Bel istirahat kedua berbunyi nyaring. Guru mata pelajaran Bahasa Indonesia pun mengucap salam untuk mengakhiri pembelajaran. Aisya menyenggol bahu kiri Fira yang masih asyik berkirim pesan dengan seseorang. "Ssst, ikut gue ke kantin, nggak?" Fira tidak langsung merespon. Ia senyum-senyum tak menentu sambil mengetik di layar ponsel. "Woi, ikut kagak?" tanya Aisya naik satu oktaf. Fira menatap Aisya sekilas lalu fokus lagi ke layar smartphone. "Hah? Ke mana?" "Ke kantin." Sahabat Aisya itu mengunci ponsel kemudian menyugar rambutnya. "Ya udah, ayo." "Pinjem HP, dong?" Baru Aisya menyentuh ponsel itu, Fira langsung menariknya dan memasukkan ke saku baju. "Pelit banget, sih, lo sekarang?" Fira menyengir kuda. Kantin Mbak Pipit ramai oleh siswa kelas sebelas. Hal itu membuat Fira ogah-ogahan, apalagi kalau harus berdesak-desakan dengan lelaki kucel yang habis olahraga. Pasti keringatnya bau! "Gue nggak jadi, deh." "Kenapa?" "Tuh!" Pandangan Fira menuju pada anak kelas sebelas yang masih mengenakan seragam olahraga. Aisya menekuk lengan tangan dengan gaya sok-sokan. "Ah, itu, mah, keciiil!" Kemudian ia maju ke depan. "Woi, minggir!" serunya pada gerombolan lelaki yang berjejalan mengambil soto. Semua mata yang ada di kantin menatap Aisya illfeel, cewek kok kayak gitu! "Minggir nggak lo?" tegur Aisya galak. "Santai, dong, Cantik." Namanya Burhan, dia pimpinan geng vespa kelas sebelas dulunya. Di sekolah Aisya, geng cowok terbagi dalam tiga golongan. Pertama, geng yang punya mobil sport. Kedua, geng yang punya moge alias motor gede. Dan yang ketiga, geng pemilik vespa. Aisya semakin menaikkan lekukan lengan baju. "Apa lo berani sama gue!" Mata Aisya menatap Burhan setajam silet. Gerombolan Burhan menyaksikan adu mulut keduanya. Mereka yakin ini akan menjadi tontonan bernilai tinggi. Sementara dari kejauhan, Fira terus meneriaki Aisya agar mundur saja. Ya, Fira memang paling takut dengan perkelahian. Bisa dibilang dia itu sangat feminin, sementara Aisya cewek jadi-jadian. "Ih, cantik-cantik, kok, galak? Sini, dong, sama Abang aja. Mau pesen soto, kan?" Burhan menarik kursi, menepuk pelan agar Aisya mau duduk di sana. Aisya meludah di depan Burhan dan membuat lelaki itu berdiri dengan mata memerah. Rupanya, Aisya sudah membuat darahnya mendidih. Tiba-tiba saja, tangan Burhan menampar pipi Aisya keras. Tidak tinggal diam, Aisya pun mengeluarkan jurus bela diri yang dulu pernah ia tekuni. Perkelahian pun tak dapat terelakkan. Teman-teman Burhan berusaha memisahkan keduanya, sedangkan Fira berteriak meminta tolong. Radit datang dari ruang OSIS dan segera memanggil satpam. Hanya dalam hitungan menit, satpam sekolah datang untuk memisahkan Burhan dan Aisya. Sisi kanan bibir Burhan mengeluarkan darah akibat pukulan Aisya. Setelah mereka berhasil dipisahkan, Bu Lina membawa Aisya ke ruang Bimbingan Konseling. Ruangan yang sudah seperti kelas kedua baginya karena saking seringnya ia ke sana. "Sebenarnya ada apa antara kamu dan Burhan?" tanya Bu Lina dengan bahasa yang lebih bersahabat, karena BK bukan polisi sekolah, melainkan sahabat siswa. "Nggak ada apa-apa, Bu," jawab Aisya singkat. Bu Lina menggeleng lemah seraya menatap Radit yang tertunduk malu. "Nggak akan ada asap kalau nggak ada api, Sya." "Apinya Burhan, bukan saya." "Iya. Tapi kenapa kalian bisa berkelahi?" "Burhan ngerendahin saya, Bu. Wajar kalau saya marah." Bu Lina membenarkan duduknya. "Muslimat itu memiliki kehormatan tinggi jika mampu menjaganya dengan baik." "Duh, masih lama nggak, sih, Bu?" Aisya gatal dengan ceramah Bu Lina. “Saya belum jajan ke kantin.” "Aisya!" tegur Radit. Dia ingin sekali saja Aisya menurut. Lelaki itu tidak ingin namanya jatuh di depan guru karena kekasihnya. Dia bosan dikatai, ‘Kok mau, sih, pacaran sama cewek jadi-jadian?’ Gadis itu memandang Radit sekilas sambil mengusap pipinya yang masih terasa perih. Bu Lina beranjak dari duduk dan mengambil map dari meja kerja. "Ini surat peringatan dan panggilan untuk orang tua. Kamu bisa belajar di rumah selama tiga hari. Ibu harap dalam waktu tiga hari itu kamu bisa merenungkan kesalahanmu sepenuh hati dan pikirkan apa yang harus kamu lakukan ke depannya supaya menjadi pribadi yang lebih baik lagi." "Terima kasih, Bu." Bukan Aisya yang mengucapkannya, tetapi Radit. Gadis itu justru pergi tanpa pamit setelah menerima map cokelat berisi surat peringatan. Radit mengejar Aisya yang sudah hilang di balik koridor. Saat berada di belokan, ternyata gadis itu duduk di kursi koridor. Dia tersenyum kepada Radit dan menyuruh laki-laki itu duduk. Radit membuang napas kasar. "Mau sampai kapan?" "Apanya?" "Mau kayak gini, tuh, sampai kapan?" "Gini gimana, sih, Sayang?" "Aku capek, Sya. Aku mau kita putus." Kalimat Radit seperti petir di siang bolong yang menyambar kesadaran Aisya dengan hebat. Ia masih tak menyangka jika lelaki yang sudah menjadi pacarnya hampir tiga tahun itu memutuskan hubungan secara sepihak. "Aku nggak mau!" tegas Aisya. "Nggak ada yang bisa kita pertahanin, Sya." "Tapi kenapa?" Radit menyentuh tangan Aisya, namun Aisya menolak karena sudah terlanjur kecewa dengannya. "Kamu akan mendapatkan yang lebih baik lagi dari aku." Kemudian ia berlalu pergi. Sedih, kecewa, gundah, penuh tanya. Itulah yang kini dirasakan oleh Aisya dan tak dapat ia deskripsikan. Gadis itu menangis di kursi koridor dekat kelasnya. Satu tangannya mengusap air mata dan yang satunya meremas surat peringatan. Dari balik koridor, seseorang tengah memandangi gadis itu dengan pandangan yang sulit diartikan.   ***   Aisya pulang dengan mata sembab. Dengan malas, ia melepas sepatu dari teras kemudian masuk ke rumah. Di ruang tengah tampak Hafis yang bersiap ke sekolah untuk ekstrakulikuler dan di belakangnya Alysa membawa pakaian kotor untuk dicuci. "Assalamualaikum," salam Aisya malas. Hafis dan Alysa menjawab kompak. "Waalaikumussalam." "Lho, kenapa, Kak?" Hafis sebenarnya pendiam, tapi sediam-diamnya Hafis ia tidak bisa mengabaikan sang Kakak. Apalagi keadaan Aisya sepertinya sedang tidak baik. "Nggak apa-apa," jawabnya singkat. "Aisya!" Suara lantang Haris muncul dari lantai dua. Gadis berhidung mancung itu menatap kehadiran sang Papa. "Kenapa, Pa?" tanya Aisya to the point, malas basa-basi. Dia ingin segera mengunci pintu kamar dan berdiam di kamar sambil menangis atau membuang barang-barang pemberian Radit. Karena rasanya, kini hidup tak berwarna lagi. "Kamu berkelahi?" Aisya mengangguk lemah. "Kamu pacaran?" Kali ini kalimat Haris sampai menggema ke seluruh ruang tengah. Kepala Aisya refleks menatap sang Papa dan matanya membulat sempurna. Alysa berlari ke samping Haris, mengusap lembut punggung suaminya agar tidak emosi. "Jawab Papa, Aisya!" Peraturan di rumah ini adalah dilarang pacaran dan jika Aisya dan Hafis sampai melanggarnya, mereka akan segera ‘dipenjara’. Aisya tidak bisa menjawab. "Habis lulus SMA, kamu masuk pesantren." Keputusan Haris itu membuat Aisya tertohok untuk ke sekian kalinya. "Ayo, Pa, masuk," bujuk Alysa daripada emosi Haris semakin membeludak. Di ruang tengah, Aisya masih mematung. Ia ingin dunia berhenti berputar saja karena banyak hal mengesalkan yang terjadi hari ini. Sementara Hafis berlari pada kakak satu-satunya. Tangannya memeluk tubuh Aisya yang masih membeku. "Kakak." Walau hanya dengan satu panggilan, Aiysa paham maksud Hafis. Dia berlutut lalu memeluk Hafis seraya menangis untuk melepas segala kesedihan yang semakin menyesakkan rongga dadanya. [1] Sfringer ialah kumpulan serabut otot berbentuk seperti cincin yang berfungsi untuk membuka dan menutup jalur alamiah pada tubuh. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN