Dia buru-buru meletakkan kembali gelasnya dan mengelap bibirnya dengan tisu. Rachel tidak tahu kenapa dia bisa jadi sebodoh ini, yang tiba-tiba langsung gelagepan ketika teman-temannya bertanya soal Alvin padanya. Seharusnya, dia biasa saja, dan tidak perlu sampai tersedak begini.
Hal ini malah membuat Rachel bertanya-tanya sendiri dengan perasaannya pada Alvin. Kenapa hanya dalam waktu sesingkat ini laki-laki itu berhasil membuatnya kalang kabut begini sih?
“Gue nggak ngerti sih. Nggak ada pengalaman kayak gitu. Adanya, pengalaman ditikung sahabat sendiri.” Rachel menyengir, berharap agar teman-temannya tidak menyadari kalau dia sedang gugup. Dia berusaha mencari cara untuk mengalihkan pembicaraan, agar tidak melulu membahas Alvin.
Sepertinya teman-temannya tidak menyadari kalau tadi Rachel agak gugup ketika ditanyai soal Alvin, karena sekarang mereka malah tertawa geli, melihat ekspresi santai Rachel ketika mengatakan itu. Padahal, sebenarnya Rachel masih sesak juga, kalau mengingat betapa menyedihkannya jalan hidup yang sudah ia lalui. Tapi sejak dulu, Rachel memang sudah mahir memakai topeng untuk menutupi kesedihannya ini. Jadi teman-temannya tidak perlu tahu bagaimana perasaannya saat ini.
“Lo ditikung kok malah cengar-cengir sih, Chel?!” Selin menggeleng-gelengkan kepalanya tidak habis pikir.
“Santai, udah lama juga sih. Lagian kehidupan gue emang penuh dengan tikungan.” Rachel mengambil jeda sejenak. Beberapa kali dia menarik nafas panjang sambil menimbang kembali ingin menceritakannya, atau tidak.
Namun akhirnya, mulut Rachel bersuara juga. “Mami gue ditikung sama sahabatnya sendiri. Gue juga ditikung sama sahabat gue. Ya gitu deh.”
Kelima orang dihadapannya ini memberikan respon dengan melayangkan tatapan yang bermacam-macam. Mulut Selin sudah terbuka ingin mengomentari ucapan Rachel, tapi mendadak dia menyadari kalau raut muka Rachel seperti enggan membahas topik ini, jadi sebagai jalan amannya, Selin kembali mengatupkan bibirnya, dan berpikir keras untuk merubah topik pembicaraan. Lagipula, menurut Selin ini masih terlalu dini untuk menanyakan masalah pribadi pada Rachel. Hubungan pertemanan mereka juga masih terbilang sangat baru.
Rachel bersyukur melihat reaksi teman-temannya ini yang tidak langsung bertanya soal masa lalunya dengan penuh penasaran. Karena sampai saat ini, ia masih belum siap untuk menceritakan dengan detail bagaimana masa lalunya yang menyedihkan itu.
“Jadi, kita liat aja gimana kelanjutan kisah cinta Laura sama Alvin.” seloroh Tasyi.
“Tapi saran gue nih, ya, Lau. Sambil lo nunggu Alvin nembak lo, lo cari tau juga perasaan lo ke dia itu sebatas obsesi, nyaman, atau emang cinta beneran.” Ujar Keara.
Selin mengangguk setuju. “Sorry-sorry nih ya, Lau. Gue ngomong kenyataannya aja, ya. Menurut pandangan gue selama ini, Alvin kalo sama lo tuh kayak biasa aja gitu. Kayak kakak ke adeknya. Gue takut aja ujung-ujungnya lo sakit sendiri karna terlalu ngarep ke dia.”
“Iya, Lau. Mending lo cari backup-nya Alvin gitu. Jadi pas Alvin punya cewek baru, lo langsung punya a shoulder to cry on. Biar lo nggak ngenes-ngenes amat gitu jadi jomblo.” Tambah Tasyi. “Gue yakin lo tahu mana yang baik buat lo sendiri.”
Laura mendengus. “Ngaco banget sih, pake backup-an segala! Lo kata main bola apa, pake pemain cadangan segala!”
“Ya, kita kan cuma ngasih saran aja. Yang penting lo tetep harus inget, kalo kita bakal selalu siaga nemenin lo karaokean, kalo tiba-tiba lo patah hati.”
“Mobil gue juga selalu siap nganter lo ke tempat hiburan manapun kalo lo butuh melampiaskan patah hati lo.” Tambah Keara.
Tasyi tidak mau kalah, dan ikut menambahi, “Kontrakan gue juga siap menampung kalian semua tuh, kalo lo galau, kita movie marathon bareng, sambil delivery pizza sepuas lo.”
“Iya, gue juga siap patungan buat bayarin pizza-nya!” Alisa ikut-ikut mengangguk.
“Beruntung lo, punya temen care abis kayak gue begini!” Keara tersenyum penuh kebanggaan untuk dirinya sendiri.
Tanpa sengaja, ucapan Keara barusan berhasil menampar Rachel cukup keras. Membuat Rachel tersadar, kalau sebenarnya masih banyak orang-orang diluar sana yang tulus dan berteman dengan baik begini. Perlahan, pikirannya soal teman sedikit demi sedikit terbuka. Harapan untuk mempunyai teman yang mau menerimanya apa adanya mulai tumbuh lagi. Juga, sedikit harapan Rachel untuk bisa menemukan laki-laki yang mencintainya dengan tulus.
Tiba-tiba Selin mengambil ponselnya yang sejak tadi dia letakkan diatas meja. “Gila, nggak nyadar banget udah jam delapan. Pantes aja, Ry udah ngeabsenin, gue udah di kosan belum.”
Seruan Selin membuat teman-temannya ikut melihat ponsel masing-masing. Saking asyiknya obrolan mereka, semuanya jadi tidak sempat memegang ponsel, dan tidak sadar kalau sudah tiga jam lebih mereka duduk di kafe tersebut. Dari langit masih terang, sampai sekarang sudah gelap.
Alisa menoleh kearah luar. “Kafe-nya tuh terang banget, jadinya kita nggak nyadar kalo diluar udah gelap banget!”
“Makanannya enak sih, makanya betah aja gue dari tadi nyemilin ini!” tambah Tasyi sambil mengambil sebuah macaron terakhir yang masih tersisa.
“Yaudah yuk, balik sekarang! Ternyata kakak gue udah chat dari tadi!” ajak Keara yang langsung diangguki setuju oleh teman-temannya. Lagipula ini sudah jam delapan lebih. Setelah mereka berdiri dari kursi, barulah mereka merasakan pinggangnya pegal karena sudah kelamaan duduk.
Saat berangkat tadi, mereka memang naik mobil Keara. Diantara mereka berlima, hanya Keara yang punya mobil. Itupun, sebenarnya mobil pinjaman dari kakaknya. Tadi, sebelum berangkat ke salon, mereka memang berkumpul di kontrakan Tasyi terlebih dahulu. Kemudian motor Alisa dan Selin dititipkan di kontrakan Tasyi.
Karena Rachel tadi ke kontrakan Tasyi diantar Budi, jadi saat ke kafe tadi dia minta diantar Budi juga. Saat tahu kalau Nona-nya minta diantar ke salon, yang Budi yakin pasti akan menghabiskan waktu lama, Budi berpamitan untuk mencari warung kopi disekitar sini, sambil menunggu.
“Eh, gue mau dijemput Alvin!” pekik Laura dengan tatapan yang tidak lepas dari ponselnya. “Tumben nih anak, baik sama gue! Padahal gue cuma iseng nge-chat, ternyata mau juga dia!”
“Lo sama supir kan, Chel?” tanya Selin beralih pada Rachel.
“Oh, iya.” Bola mata Rachel mengerjap, kemudian langsung mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Budi. Saat Laura menyebutkan nama Alvin tadi, otak Rachel seolah berjalan agak lamban. Entah kenapa, ada sesuatu yang berdesir di dadanya ketika mengetahui kalau laki-laki itu akan kesini.
“Yaudah, kita duluan aja ya?” Kata Alisa.
“Iya, hati-hati ya kalian.” Sahut Rachel seadanya.
“Kita duluan, gengs!” Keara, Selin, Tasyi, dan Alisa ikut berpamitan dan berjalan kembali menuju salon disebelah, karena mobil Keara masih disana. Tadi, mereka memang ke kafe sebelah jalan kaki.
Sekarang, hanya tersisa Rachel dan Laura yang tengah berdiri di depan kafe dengan ponsel masing-masing. Laura yang sibuk memantau lokasi Alvin terkini yang tadi dikirim padanya, sementara Rachel sibuk dengan ponselnya untuk menghubungi Budi.
Rachel ingin misuh-misuh ketika Budi tidak bisa dihubungi juga. Padahal tadi ia sudah mewanti-wanti agar Budi tidak jauh-jauh saat bilang mau ke warung kopi. Dia tidak mau kejadian tempo hari kembali terjadi, dimana dia harus menunggu Budi lama, dan terjebak dengan Alvin.
“Supir lo gimana, Chel?” tanya Laura yang menyadari raut kesal Rachel.
“Tau, nih! Nggak aktif nomernya! Tadi sih, bilangnya Cuma mau ke warung kopi deket sini. Tapi kenapa dihubungin malah nggak bisa sih?!” Rachel ngomel-ngomel sendiri, dengan tangan yang sibuk men-dial nomor Budi, dan lagi-lagi hanya terdengar suara operator.
“Alvin udah deket katanya. Lo bareng gue sama Alvin aja. Sekalian gue kenalin lagi. Kemaren kalian belum sempet ngobrol kan?” ajak Laura.
Rachel langsung menggeleng. “Nggak perlu. Tadi supir gue kan Cuma pamit pergi bentar. Gue tunggu supir gue aja. Paling bentar lagi juga nongol.”
Laura tersenyum lebar. “Nggak usah takut jadi nyamuk. Alvin anaknya seru kok. Lo nggak bakal bosen ngobrol lama-lama sama dia!”
Rachel mendengus. Sebenarnya ia menolak bukan karena takut jadi nyamuk dan sejenisnya. Sejak awal bertemu dengan laki-laki itu, ia sudah merasa harus menjaga jarak aman. Agar tidak jatuh semakin dalam pada pesonanya itu.
Sambil menunggu, Rachel tidak henti-hentinya untuk menghubungi Budi, tapi tidak membuahkan hasil. Rachel malah khawatir dengan Budi. Selama ini, ponsel Budi tidak pernah mati. Karena tugas Budi adalah menjaga Rachel 24 jam. Sehingga kapan pun Rachel menghubunginya, Budi harus siap siaga. Dan sejauh ini, Budi selalu menjalankan tugasnya dengan baik.
“Itu mobil Alvin!” pekik Laura ketika sebuah sedan silver memasuki lobi. “Lo gimana, Chel? Udah ayo, bareng gue aja!”
Perempuan itu masih tetap pada pendiriannya. Menggeleng kuat. “Gue naik taksi aja deh! Lagian diperempatan sana banyak taksi kan?”
Gantian Laura yang menggeleng. “Bahaya, Chel! Udah malem gini!”
“Ngapain sih? Lama lo!” Alvin yang turun dari mobilnya sambil mengomel. Laki-laki itu tampak terkejut ketika menyadari kalau perempuan yang bersama Laura itu adalah Rachel.
“Ini nih, Rachel gue ajakin bareng lo sekalian nggak mau. Supirnya dihubungin dari tadi nggak bisa-bisa!” kata Laura, menunjuk Rachel dengan dagunya.
Rachel masih bersikeras menelepon Budi untuk yang kesekian kalinya, dan lagi-lagi hanya suara operator yang terdengar. Berusaha mengabaikan keberadaan Alvin didepannya yang saat ini sedang memandangi Rachel dengan tatapan intens. Tuh kan, kenapa sangat sulit bagi Rachel untuk mengabaikan cowok itu. Ekor matanya terus saja usil, dan tidak bisa dihentikan untuk tidak melirik kearah cowok itu.
“Eh, Rachel.” Raut muka kesal Alvin langsung lenyap, berganti dengan senyum lebarnya semanis mungkin, ketika dia mendapati Rachel terngah berdiri tidak jauh darinya. Dia menatap Rachel dengan intens, berusaha mencaru tahu kenapa mala mini Rachel terlihat lebih cantik, dan mencari perbedaan penampilan Rachel dengan yang sebelumnya.
“Bukannya lo satu apartemen sama gue ya? Di Branz kan?”
Pertanyaan Alvin barusan membuat Rachel refleks menoleh kearahnya. Melihat gelagat menyebalkan Alvin yang sejak tadi senyam-senyum sambil memandangnya, Rachel hanya mendengus kecil, kemudian secepat mungkin menjauhkan pandangannya dari Alvin. Dia tidak mau kedua mata mereka saling bertubrukan yang nantinya malah membuat suasana menjadi canggung dan tidak nyaman.
“Lah, iya! Kalian kan satu apartemen! Jadi nggak ada alasan lo nolak dong, Chel! Kan nggak ngerepotin Alvin, sekalian dia balik juga!” seru Laura yang langsung menyeret Rachel menuju mobil Alvin. “Udah deh, nggak usah sungkan sama kita mah. Keburu malem juga nih, lo nggak kepengen cepet tidur apa?”
Dengan berat hati akhirnya Rachel membuka pintu belakang mobil, tanpa berani menatap sang pemilik mobil. Aroma maskulin khas laki-laki itu langsung menguar. Mendadak Rachel jadi bertanya-tanya dalam hati, selama ini aroma tubuh Alvin itu berasal dari parfum mobilnya—karena Alvin kelamaan di mobil, atau ia yang terlalu banyak memakai parfum—sehingga mobilnya jadi ikut bau parfumnya?
Sepanjang perjalanan, Laura dan Alvin asyik mengobrol dengan berbagai macam topik yang sama sekali tidak Rachel pahami. Beberapa kali, keduanya sempat melibatkan Rachel dalam obrolan tersebut, tapi Rachel hanya menjawab singkat seadanya. Ia lebih memilih tidak dianggap sama sekali, dari pada harus ikut terlibat dalam obrolan receh kedua sahabat yang sangat dekat itu.
Entah mendapat dorongan dari mana, perlahan Rachel mulai mengantuk. Ocehan Laura bagaikan dongeng ditelinganya. Ia menyandarkan kepalanya pada jendela, dan memejamkan mata. Mungkin tidur bisa menjadi salah satu pilihan yang tepat untuk menghindari obrolan dengan Alvin.
Tbc~