4
“Bukankah dia terlalu muda untukmu, Nick?”
Nicholas menyesap kopinya, menatap Sean yang duduk di bagian lain meja lewat bulu mata tebalnya.
“Cinta tak pandang umur, bukan?” cih! Cinta! Sejak kapan ada cinta antara dirinya dan Sherine? Tapi tentu saja Sean tidak boleh tahu sedikit pun tentang hal itu.
Sean terkekeh membuat Nicholas sebal. Ia menatap adik kembarnya itu dengan tatapan tajam. Apakah Sean bisa melihat sesuatu yang tidak beres antara dirinya dan Sherine?
Nicholas melirik arloji di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Ia sudah kesiangan untuk ke kantor dan hal itu karena ia tidak mau membiarkan Sherine dan Sean berduaan saja di rumah.
“Aku harus ke kantor. Kau ikut denganku,” kata Nicholas sambil bangkit.
Tepat saat itu sesosok yang tampak segar dan mengenakan jubah mandi, masuk ke ruang makan.
Darah Nicholas berdesir panas. Marah.
Jubah mandi itu memang sopan, hanya saja, puncak p******a mungil itu tampak membayang menggoda.
Apa Sherine memang berniat menggoda Sean? Dasar wanita jalang!
Raut terkejut Sherine saat melihat keberadaan mereka berdua di ruang makan sama sekali tidak meredakan amarah Nicholas. Ia berjalan maju menghampiri Sherine, menarik istrinya itu ke dalam pelukannya, lalu dengan buas melumat bibirnya.
“Selamat pagi, Sayang. Kau bangun cepat pagi ini,” ujar Nicholas dengan nada mesra dibuat-buat. Sean harus melihat bahwa hubungannya dan Sherine baik-baik saja, bahwa mereka berdua saling mencintai, tidak akan ada kesempatan pihak ketiga merusaknya.
Tubuh Sherine kaku dalam pelukannya. Nicholas mencengkeram lebih kuat pinggul Sherine. “Apa yang coba kau lakukan, Manis? Kau berusaha menggoda adikku?” bisik Nicholas sepelan mungkin.
“Aku tidak—”
“Segeralah ke kamar dan ganti pakaianmu. Atau aku tak segan-segan bercinta denganmu di depan Sean jika kau memang sangat ingin memamerkan tubuhmu itu padanya.” Nicholas menjilat sekilas telinga Sherine lalu melepas pelukannya.
Tanpa melihat reaksi Sherine, Nicholas berbalik. “Ayo, Sean. Kita ke kantorku!”
Sean menyeringai malas, “sebenarnya aku lebih suka di rumah. Mungkin kakak ipar ingin mengobrol denganku,” ia menatap Sherine yang masih berdiri kaku.
Nicholas mengatupkan rahang rapat-rapat. “Jangan main-main dengan milikku, Sean!”
Sean terkekeh kecil. Dengan enggan bangkit dari kursi.
“Sampai bertemu nanti, Sherine,” kata Sean manis.
Nicholas menatap tajam Sherine yang masih berdiri kaku. Sherine balas menatap, tatapan mereka beradu.
Kemudian Sherine mengalihkan tatapan, mengangguk sekilas pada Sean dan berlalu.
Nicholas puas melihat istrinya itu cukup menurut pagi ini. Ia tentu saja tidak ingin Sean terpikat pada Sherine atau tergoda pada tubuh indahnya.
Meski tidak mencintai Sherine, tapi tentu saja Nicholas muak jika sejarah harus berulang sekali lagi. Sejarah menyakitkan yang sudah merusak hubungannya dengan saudara kembarnya, yang menimbulkan banyak kerusakan di hatinya.
Nicholas tidak tahu siapa yang mesti ia salahkan dalam kubangan nista masa lalu itu?
Dirinya, Sean, atau Rihanna?
***
Sherine bersandar di pintu kamar yang baru saja tertutup. Ia memejamkan mata. Bayangan betapa tajam tatapan Nicholas memenuhi kepalanya.
Nicholas marah, dan Sherine menebak hal itu disebabkan ia memakai jubah mandi, yang tentu saja dalam pikiran kotor sebagian pria, ia terlihat seksi dan menggoda.
Sherine tidak berniat menggoda. Ia tidak tahu kalau Nicholas dan Sean masih di rumah. Biasanya setiap pagi, ia terbangun dan mendapati rumah hanya berisi sekumpulan pelayan dan pengawal. Atau mungkin hari ini ia bangun terlalu pagi?
Menurut Sherine Nicholas terlalu gila kerja. Meski pria itu sangat menikmati hubungan panas dengannya, tapi semingguan ini mereka hanya bertemu pada malam hari saja.
Sherine membuka mata dan berjalan malas ke lemari, mengganti pakaian dengan celana denim sepaha dan kaus pas tubuh. Beberapa hari lalu koleksi pakaiannya bertambah. Dua lemari besar memenuhi bagian lain kamar yang luas, berisi gaun-gaun elegan, pakaian kasual, gaun tidur seksi, tas beserta sepatu.
Nicholas benar-benar memanjakannya secara materi. Tapi untuk apa? Ia sama sekali tidak bisa menikmati kemewahan yang Nicholas sediakan untuknya.
Ia menginginkan kebebasan.
Dengan pikiran berkelana, Sherine berjalan ke balkon kamar. Berdiri di sana dan mengedarkan pandangan ke seluruh halaman rumah, berharap menemukan sedikit sela untuk kabur.
Tapi nihil.
Yang ada justru pengawal-pengawal bertubuh raksasa bertampang dingin yang menyebalkan.
Satu-satunya cara, ia harus mendekati Sean. Saudara kembar suami paksaannya itu akan membawanya keluar dari sangkar emas ini.
***
Nicholas menatap laptopnya uring-uringan. Waktu baru menunjukkan pukul sebelas siang, saat di mana biasanya ia sedang bersemangat bekerja, meski ia akui seminggu belakangan ini tidak demikian. Konsentrasinya terpecah. Setiap saat ia lewatkan di kantor dengan perasaan tak sabar ingin bertemu Sherine dan bercinta dengannya. Pekerjaan yang menumpuklah menahannya melakukan hal itu.
Tapi hari ini pikirannya bukan hanya diisi bayangan betapa nikmatnya menyatu dengan tubuh Sherine yang rapat, tapi juga ketakutan tak masuk akal.
Sean pergi tiga puluh menit lalu, dan Nicholas tidak tahu ke mana tujuan saudara kembarnya itu. Pergi menikmati keindahan kota Batam, atau justru pulang ke rumah dan menemui Sherine.
Sean memiliki cukup banyak teman di Batam.
Ibu mereka asli Indonesia dan sang ayah berasal dari Inggris. Sejak kecil mereka tinggal di Indonesia, dan saat beranjak remajalah baru pindah ke London.
Saat ia dan Sean berumur dua puluh tahun, kedua orangtua mereka memilih menetap di Indonesia, sementara Nicholas dan Sean tetap di London, karena sedang kuliah di sana.
Bahkan setelah selesai kuliah pun mereka masih menetap di London, mencari pengalaman dengan bekerja pada perusahaan-perusahaan terkenal yang tertarik pada kecerdasan mereka.
Sampai kejadian tidak menyenangkan itu terjadi… Nicholas tak sanggup lagi tinggal berdekatan dengan Sean. Di usianya yang ke-21 waktu itu, ia memilih kembali ke Indonesia, menetap di Batam bersama orangtuanya, membawa hatinya yang luka. Berharap jauh dari masa lalunya akan mengobati lukanya yang menganga.
Tapi hal tersebut ternyata tidak cukup membantu. Ia masih merasa marah, kecewa dan sakit hati akan kejadian itu… kehadiran kedua orangtuanya di sisinya sedikit membuatnya terhibur.
Tapi lima tahun kemudian ia harus menelan kepahitan. Kedua orangtuanya meninggal dalam suatu musibah kecelakaan pesawat terbang.
Nicholas merana. Ia kesepian. Hari demi hari ia lewati seperti robot. Ia bekerja keras, melanjutkan memimpin perusahaan ayahnya, berkencan dengan wanita-wanita cantik bertubuh indah.
Tapi hatinya tetap kosong. Hampa. Sampai akhirnya sebuah pikiran gila melintas di benaknya tepat di ulang tahunnya yang ke-31.
Ia ingin memiliki anak agar kesepiannya berkurang. Ia ingin memiliki seseorang dengan darah dagingnya sendiri, yang pastinya akan mencintainya dengan tulus—bukan seperti Rihanna dan Sean!
***
Love,
Evathink
Instagram: evathink