Tiga

2946 Kata
            Kulangkahkan kaki dengan lesu menuju ruang 101, ruangan tempat Putri dirawat secara intensif. Dengan hati-hati kubuka kenop pintu itu setelah sempat menguatkan hati sendiri. Sebenarnya, aku menguatkan hati hampir sejam lamanya di ruangan mama. Aku tak sanggup masuk sendiri pada awalnya, tapi kuputuskan untuk kuat. Aku tak boleh membuat Putri makin down. Apalagi kata ibuku, harapan untuk sembuh itu selalu ada jika kita mau berusaha.             Pintu terbuka, mataku menangkap sebuah pemandangan menyakitkan. Hidung mancung Putri sudah terpasang masker oksigen. Ranjangnya juga dilapisi dengan plastik pembatas. Ia sedang diisolasi agar tak mudah kena infeksi. Kini, kami terhalang oleh plastik tebal itu setelah tadi bisa dekat sekali. Miris sekali waktu ini, berubah begitu cepat seperti poros lepas kendali.             Aku mendekatinya, selangkah demi selangkah. Sambil menahan tangis yang ingin tumpah. Inikah mingguku yang membosankan tadi pagi itu? Rasanya sekarang tak membosankan lagi, justru mendebarkan sepanjang waktu. Rasanya aku mulai menghitung kemungkinan Putri sembuh dari detik ke detik. Ibuku berkata bahwa Putri akan segera menjalani kemoterapi dan pengobatan menyakitkan lainnya. Ngeri sendiri dengan membayangkannya. Putriku sayang, Putriku malang. “Hai, maafin Putri ya Mas?” ucapnya pelan sekali karena terhalang oleh masker oksigen dan lapisan plastik tebal. Aku menggeleng pelan dan duduk di kursi yang sudah disediakan, “kamu gak apa, Dek? Gimana perasaanmu?” “Lemas dan haus,” ucapnya jenaka. Aku tersenyum pahit. “Salahmu sendiri kena flu,” vonisku berpura-pura marah. Dia tersenyum simpul, masih sempatnya. “Mas tahu kalau Putri sakit lebih dari itu, kan?” dia mulai mengajakku membahas penyakit menakutkan itu. “Kamu kenal penyakit menakutkan itu darimana sih, Dek?” pertanyaanku yang aneh ini meluncur begitu saja. “Gak tahu, mungkin gak sengaja ketemu di jalan,” dia malah mengajakku bercanda. Mungkin untuk menghilangkan sakit di hati masing-masing. Kami tertawa pahit bersama, “kamu ini!” celetukku. “Kamu jahat sekali Dek!” vonisku lagi, “bukannya mau jadi pengantin Mas sebentar lagi?” “Karena itulah Putri minta maaf, Mas Aksa. Aku tahu, semua ini menyakitkan. Bukan ini yang kumau,” ucapnya lemah. Aku menatapnya lekat. “Maaf kalau Putri gak bisa buat Mas bahagia,” sambungnya lagi yang membuat mataku berkaca-kaca. “Kamu pasti sembuh, Dek. Kemungkinan itu selalu ada!” aku sangat optimis menyemangatinya. “Tentu saja. Aku kan ingin merasakan jajar pedang pora. Mana bisa kalau aku gak sembuh,” balasnya bersemangat. “Itu baru Putriku,” ucapku senang. Dia tersenyum simpul. “Sejak kapan kamu tahu sakit itu?” aku menyambung pertanyaan menyakitkan itu. “Sejak lama sudah curiga. Tapi pastinya baru hari ini,” aku menatapnya lurus. “Jadi kamu sudah pernah periksa?” tegasku emosi. “Hanya periksa biasa. Dokter bilang mimisanku karena pembekuan darah biasa,” jelasnya santai walau dengan wajah lemas. Kutahu ia sedang berbohong, tapi aku pura-pura tak tahu demi menutupi kesakitan kami. Aku mengacak rambutku gemas, “bagaimana kamu bisa sembunyikan itu dari mas selama ini, Dek? Bagaimana bisa kamu gampangkan itu semua?” “Mas, aku cuma gak mau nambahi beban pikiranmu,” selanya yang membuatku tak habis pikir. “Kamu anggap apa aku ini, Dek?” aku mulai marah. Dia mengangkat tangannya memintaku bersabar. “Mas, aku tahu mas marah. Tapi, aku hanya ingin membuatmu selalu bahagia. Persiapan pernikahan kita sudah berat dan ribet Mas,” kilahnya pelan. “Tapi kita udah janji untuk saling terbuka Dek! Kamu gak jujur selama ini!” aku membuang tatapan ke arah lain. Putri berusaha bangkit dari posisi tidurnya. Memaksa wajah pucat itu untuk menahan emosiku. “Maafkan Putri, Mas. Putri hanya ingin dikenang dengan senyum dan bahagia,” bicara apa dia barusan! “Kamu bicara apa, Dek! Mas gak suka kamu bicara seperti itu!” tolakku dengan nada tinggi. “Duh, semua kata-kataku terasa tak berguna,” ia mulai menangis, “maafkan aku Mas Aksa.” “Entahlah Dek. Aku marah karena ketidakjujuranmu ataukah karena kenyataan ini terlalu menyakitkan!” aku mengangkat kaki dari ruangan sesak penuh aroma obat dan alkohol itu.             Kulangkahkan kakiku cepat menuju ruang terbuka. Rasanya dadaku hendak meledak. Aku tak tahan lagi dengan himpitan kenyataan yang berat ini. Semua berubah hanya dalam waktu singkat. Perasaan baru tadi kami tertawa bersama, kini tak lagi sama. Keadaan jadi menyeramkan dan menyedihkan. Aku tak lagi sanggup menerima kenyataan ini. Berulangkali kulihat kertas hasil pemeriksaan Putri yang sudah lusuh. Frasa menakutkan itu tak kunjung berubah. Ini sangat menakutkan. “Aaarrrgggg, kenapa harus seperti ini Tuhan! Tak bisakah Engkau biarkan kami bahagia!” teriakku bebas ke udara. Lepas ke langit Malang yang mulai suram karena hujan yang mulai merintik. Di tengah hujan air mataku meleleh, “Putri, kenapa harus kamu Dek? Kenapa harus begini nasib kita Sayang?” --- “Aaaaauuuwww sakit! Sakiiitttt! Sudah dokter! Ampun!”             Suara menyayat hati itu terdengar di lorong rumah sakit yang panjang. Suara itu berasal dari kamar 101, kamar Putri dirawat secara intesif. Ini adalah jadwalnya melakukan kemoterapi untuk yang pertama kalinya. Sudah sepekan ia dirawat di rumah sakit ini. Sepekan sudah aku sering wara-wiri ke sini. Takkan kulewatkan barang sekali saja hariku tanpa menemui Putri. Kupikir, kehadiranku bisa menyembuhkan dan menguatkannya.             Putri terlihat kesakitan setelah zat-zat kimia itu disuntikkan ke tubuhnya. Semua demi membunuh sel kanker yang berkembang cepat di tubuh calon istriku itu. Dengan sabar, kudekati ia yang sedang kesakitan. Katanya tubuhnya terasa terbakar, panas sekali. Lalu dia merasakan kesakitan di sekujur tubuh bak habis dipukuli. Sesekali ia meronta kesakitan sambil menangis. Sungguh, hatiku teriris melihat perjuangan dan derita Putri. Andai saja penyakit itu bisa dibuang sejauh mungkin.             Penderitaan belum berakhir, beberapa jam setelah dikemo, Putri mengalami mual hebat. Ia juga memuntahkan semua isi lambungnya hingga kesakitan. Aku hanya bisa memijat tengkuknya dengan lembut. Membisikkan kekuatan dan semangat di sela kesakitannya. Walau ia merasa tak enak, tapi aku memaksa. Aku akan selalu hadir untukmu, Putriku. Takkan pernah kutinggalkan kamu walau sedetik.             Putri telah jadi penghuni hati dan pikiranku akhir-akhir ini. Aku selalu memikirkannya di setiap waktu dan suasana apapun. Aku bisa memikirkannya ketika sedang membersihkan senjata, mengambil apel untuk para anggota, memimpin upacara, berlatih senjata, berlatih yongmoodo dan lain sebagainya. Kalau jam pulang dinas sudah tiba, aku langsung bergegas menuju rumah sakit yang sudah seperti tempat rekreasiku sekarang. Menengok Putri sambil membawa bubur ayam kuah soto kesukaannya. Dia mau memakannya walau kadang dimuntahkan semua.             Tak terasa dua pekan, Putri menghuni rumah sakit ini. Kondisinya mulai membaik dan memberiku semangat baru. Tak hanya aku tapi juga seluruh anggota keluarga. Kedua keluarga yang sempat sedih mendengar kabar itu kembali bersemangat karena melihat semangat hidup Putri. Semangat juang Putri sangat besar dan aku sangat bangga padanya.             Dia tetap semangat kendati kulitnya kini kusam dan kusut. Kendati berat badannya mulai susut kilo perkilo. Kendati rambutnya mulai rontok helai perhelai. Semua karena kemoterapi dan beberapa terapi menakutkan yang ia jalani. Tapi Putri tetap cantik dan berusaha tersenyum bahagia. Setidaknya, ia menyimpan air matanya dan lebih suka menampakkan senyum manis. Entah karena apa anak itu sama sekali tak ingin mengeluh lagi. “Izin Komandan, saya ingin menikahi Dek Putri secepatnya. Mohon petunjuk, Pak dan Ibu?”             Ucapanku barusan bak petasan yang baru meletus dan mengagetkan semua orang. Semua orang itu yakni kedua orang tua Putri dan kedua orang tuaku. Bukan tanpa alasan, aku mengajak papa dan mama datang ke rumah Putri sore ini. Aku hendak menyampaikan keinginan terbesarku itu. Aku tak lagi ingin berlama jauh dengan Putri. Setidaknya biarkan aku mendampinginya dalam satu ranjang ketika ia dikemo. Setidaknya aku bisa leluasa memeluknya ketika ia kesakitan. “Tapi itu terasa aneh, Mas,” tolak Putri. Kedua orang tuanya saling berpandangan. “Kenapa harus aneh? Toh kita sudah resmi sebagai suami dan istri di militer. Berkas di KUA juga sudah selesai. Tak apalah kita majukan saja jadi akhir bulan ini,” jawabku pelan. “Apa kamu yakin dengan rencana itu, Sa?” bisik papa. Aku mengangguk tegas. “Sudah kamu pikirkan matang-matang rencana itu, Sa?” ulang Danrem atau Pak Satya, ayah Putri. “Siap Komandan! Saya siap menikahi Dek Putri agar bisa leluasa merawat dan mendampinginya,” jelasku tegas. “Usul itu tidaklah buruk, Nak,” sambung Bu Mita, ibu Putri. Putri menatapku tajam, “aku tak suka pernikahan yang terburu-buru Mas! Memangnya Putri mau kemana sampai semuanya dikebut! Putri bukannya mau mati, Mas!” “Putri!” panggil Bu Mita ketika Putri berlari kecil keluar dari ruangan. Pasti dia salah paham lagi. “Putri jangan lari!” cegah ayahnya yang tak digubris lagi. --- “Dek, kamu marah ya?” ia membuang tatapannya ke arah lain ketika aku berusaha memburu mata indahnya. “Mungkin semua itu benar, Mas.” Jawabannya terasa gantung. “Maksudmu?” kusentuh pundak kurusnya, “kamu salah paham, Dek. Mas ingin segera menikahimu agar bisa leluasa menjagamu.” “Semua itu memang benar. Tak ada yang menjamin apa bulan depan Putri masih hidup atau tidak. Bisa saja kan kemungkinan buruk itu terjadi. Mungkin sebelum aku pergi, aku bisa merasakan pernikahan itu.” Ia kembali berucap hal buruk itu lagi. Tanpa pikir panjang, kubenamkan ia dalam pelukanku. “Jangan bicara seperti itu, Sayang! Mas gak suka! Tidak ada yang bisa menjamin hidup manusia sekalipun itu dokter paling hebat sekalipun!” simpulku tegas. Ia tersedu pelan, punggungnya terguncang kecil. “Aku takut, Mas. Takut waktu terlalu cepat menjemputku. Takut Mas…aku masih ingin bersama Mas,” ulangnya dalam tangisan. Air mataku leleh. “Jangan bicara seperti itu, Dek. Mas ingin segera menikah karena ingin bersama denganmu. Bukankah itu yang kamu inginkan? Tidur berdua, terbangun di pagi hari dan menatapku di sampingmu dengan mata terpejam, hidung kembang kempis, dan mulut setengah terbuka?” aku mulai mengingatkannya pada kenangan manis kami. Dia tersenyum manis, “aku sangat ingin itu Mas.” “Makanya, menikahlah denganku! Kamu mau kan?” tanyaku manis. Dia menunduk tanpa mau menatapku. “Putri, Aksa, bagaimana keputusan kalian? Papa dan mama sudah menyerahkan semua pada keputusan kalian,” potong ibuku sambil menatap lekat pada kami. “Putri Purnamaria Kirana, will you marry me?” tanyaku manis. Putri menghapus air matanya, “yes, I do!”             Aku kembali memeluknya erat. Tanpa ada yang memisahkan karena tampaknya kedua orang tua kami telah pasrah. Entah kenapa hati terdalamku berkata, pelukan Putri jauh lebih hangat dari biasanya. Pelukannya terasa lengket dan menentramkan hatiku. Seolah berkata, ia ingin memelukku seribu tahun lagi. Andai saja benar seperti itu, hidupku terasa lengkap walau sempat hancur beberapa saat. Aku harus semangat dan menularkannya pada Putri. Dia pasti bisa sembuh. Walau pikiranku masih sangsi karena terngiang percakapan bersama mama siang tadi. “Apa tidak ada pengobatan yang lebih baik, Ma? Donor tulang sumsum belakang gitu? Apa Aksa bisa donor?” “Tidak semua orang bisa mendonor, Sa. Harus ada pemeriksaan bertahap. Tentu saja harapan itu masih ada.” “Ma, tolong kami ya? Lakukan yang terbaik untuk Putri dan Aksa.” “Berdoalah pada Tuhan, Aksa. Hanya Dia yang berkuasa atas kita.” ---             Penyakit yang diderita Putri telah menghancurkan kesempurnaan hidupku. Kukira kisah cinta ini adalah kisah yang sempurna karena semua berjalan lancar tanpa kendala apapun. Ternyata, masih ada cobaan yang menghadang kami di saat pernikahan kurang 4 pekan lagi. Leukimia telah menghancurkan impian indah kami. Semua hadir dan menjelma jadi mimpi yang terburuk dari segala mimpi buruk. Inginku bangun tapi tak bisa. Aku tak bisa terjaga.             Kemoterapi terus dijalani Putri agar ia bisa menjalani stem cell atau transplantasi sel induk. Dengan kata lain, ia akan mendapatkan donor sumsum tulang belakang. Aku, ibu, dan ayahnya masuk ke dalam daftar pendonor. Bukan hanya kami sebenarnya, tapi seluruh keluarga besar yang berpotensi bisa menjadi pendonor. Hasilnya, aku dan ibunya cocok sebagai pendonor. Mungkin itu menjadi secercah harapan cerah di sela mimpi buruk ini. Maka dimulailah rencana pengobatan itu. Kabarnya, Putri akan menjalani operasi di bulan depan, mungkin dua pekan setelah kami menikah.             Kabar itu telah sampai pada telinga calon istriku mungkin dalam hitungan jam akan menjadi istriku. Yah, sebab sore ini aku akan mempersuntingnya di depan Tuhan. Sore ini aku akan menjabat tangan ayahnya yang akan meresmikan hubungan kami. Pesta sederhana tapi sarat makna sudah disiapkan di kediaman Putri. Para kerabat dan sanak saudara juga sudah berdatangan. Semua ikut bahagia kendati sempat bingung dengan dimajukannya pernikahan ini. “Mungkin karena Putri sudah hamil duluan.” “Mungkin karena takut Putri meninggal duluan. Makanya Aksa kasihan dan ingin segera menikahinya.”             Mungkin kalimat sumbang sejenis itu yang sempat mampir ke telinga kami. Betapa teganya mereka bicara sekejam itu. Apalagi kalimat sumbang itu meluncur dari mulut saudara kami. Seharusnya mereka mendoakan yang terbaik bukannya malah nyinyir tak jelas. Ah, sudahlah tak banyak waktu untuk emosi. Lebih baik kuabaikan itu dengan menutup telingaku dan telinga Putri. Lebih baik memandanginya yang sudah cantik dalam balutan kebaya brokat warna putih gading. “Kamu cantik Sayang,” ucapku sambil memegang pundaknya yang kurus. Putri menoleh dan menunjukkan pipi tirusnya, “maaf ya Mas. Putri tak jadi memakai sanggul cantik yang penuh bunga. Putri jadi menutupnya dengan kerudung seperti ini.” “Tak apa, Dek. Kamu cantik bila berkerudung seperti itu. Setelah ini, pakai kerudung terus ya?” dia mengangguk dan menyentuh punggung tanganku. Kutahu dia tak bisa bersanggul karena rambutnya hampir habis akibat kemo. “Kamu gak nyesel nikahi aku, Mas? Masih ada waktu sejam sebelum kita sah,” bicara apalagi dia ini? “Ah, malas kalau kamu bicara gitu!” tolakku enggan. Dia berusaha tersenyum kendati lemas. Kutahu dia baru saja muntah hebat di kamar mandi. “Aku serius Mas! Aku tak cantik seperti dulu. Rambutku tak lagi indah dan sekarang jadi botak. Kulitku kusam dan tubuhku kurus. Aku tak lagi bersinar seperti kesukaanmu selama ini,” dia mulai mengusik emosiku. “Sudah sering mas tekankan kalau mas tidak suka kata-kata itu, Dek!” tegasku galak. “Jawab saja Mas! Putri hanya butuh itu sekarang,” desaknya lagi. Aku menghela napas sabar. “Okay, kamu memang tak seperti biasa. Kali ini penampilanmu unik. Kamu agak kurus dan kusam. Tapi, kamu jauh lebih kuat dari Putri yang biasa. Kamu jauh lebih dewasa dari Putri yang biasa. Mas bangga bisa menikahimu, Dek. Mungkin mas memang jarang mengucap cinta, tapi ini bentuk cintaku padamu,” ucapku begitu saja. Ia menatapku lekat dan penuh haru. “Memang mas jarang mengucap cinta. Tapi, mulai sekarang Putri yang akan selalu mengucapkan itu. Putri cinta sama Mas Aksa,” ucapnya manis. Aku tersenyum lega. Syukurlah ia masih bisa berpikir jernih. “Kalau Putri tak kuat berjalan ke depan, pakai kursi roda ya Nak?” pecah suara Bu Mita yang terlihat anggun dalam kebaya warna putih. “Iya Bu. Putri tak apa kok,” ia masih berusaha menenangkan semua orang kendati tubuhnya bergetar ketika memaksa berdiri lama. “I wanna hold your hand. I wanna hold your hand. Oh please say to me. You let me be your man. And please say to me, you let me hold your hand. Now let me hold your hand. I wanna hold your hand!”             Petikan lagu milik The Beatles itu mengalun lembut di benakku. Serasa lagu itu yang masuk ke suasana ini. Suasana dimana aku hanya ingin menggenggam tangan Putri. Dimana aku hanya ingin menggenggam tangan Pak Satya, Komandan Korem, untuk mengesahkan Putri sebagai istriku. Dimana setelahnya aku bisa menggenggam tangan Putri tanpa terbatas lagi. Dimana aku bisa memeluknya sepuas hatiku. Dimana aku bisa mengaku sebagai lelakinya. “Saya terima nikah dan kawinnya Putri Purnamaria Kirana binti Bapak Satya Prakasa dengan mas kawin seperangkat alat salat dan perhiasan emas 40 gram dibayar tunai!” ucapku tegas dalam satu tarikan napas. “Bagaimana saksi, sah?” tanya pak penghulu keras. “Sah!” “Sah!” sahut dua orang saksi tegas. “Alhamdulillah…”             Rasanya hatiku plong ketika mendengar ucapan ‘sah’ di udara. Akhirnya aku resmi menyandang status sebagai suami Putri. Kami sudah resmi sebagai suami dan istri di depan Tuhan dan negara. Kini statusku di militer tak lagi bujang tapi sudah K-0. Mungkin saja sebentar lagi akan jadi K-1 jika anak pertama kami lahir. Ah membayangkannya saja sudah membuatku berdebar. Aku jadi senang dan punya semangat baru. Semangat ini juga untuk kesembuhan Putri. “Putri, silahkan cium tangan Mas Aksa,” tuntun mamaku pelan sambil membawa tangan kurus Putri kepadaku. Ia menciumnya lembut seraya berbisik, “terima bakti Putri, Mas.” “Iya Sayang,” jawabku pendek dan pelan.             Aku menengadahkan wajah cantiknya. Kupandangi sejenak bak cahaya rembulan yang lembut. Halo Sinar Bulanku, kamu sungguh indah dan berseri. Ya, Putri memang seindah sinar rembulan purnama. Cantik dan bersih dipandang di langit yang gelap. Kukecup keningnya penuh sayang. Aroma melati bercampur hyacinth. Memang berpuluh vas bunga hyacinth memenuhi tempat akad nikah ini. Walau pernikahan ini tak seperti yang kami rencanakan, setidaknya bunga cantik itu tetap hadir dan menghibur Putri. “Putri suka sekali bunganya,” bisiknya lembut ketika aku selesai mengecup keningnya. “Terima kasih karena telah terlahir dan jadi istriku Dek,” ucapku manis yang langsung dibalas tepukan tangan meriah dari segala penjuru.             Sementara itu, kulirik ibu Putri yang kini jadi mertuaku menangis tersedu dalam pelukan Danrem yang kini jadi ayah mertuaku. Kutahu ini sangat menyedihkan bagi mereka. Putri sulung kebanggaan mereka yang diharapkan punya pernikahan impian ternyata berakhir seperti ini. Walau pernikahannya tetap indah, tapi luka karena penyakit itu masih menganga lebar. Kami semua tahu, saat ini sedang ada bom waktu yang siap untuk meledak. Putri masih bisa kritis sewaktu-waktu, tanpa kami tahu. “Makasih ya, Sa! Tolong jaga Putri,” ucap Pak Satya berusaha tegar. Beliau menepuk pundakku dengan cukup kuat. Seolah menambah daya semangatku. “Siap,” tersenyum kuat, “sudah menjadi tugas saya Pak!” “Kamu hebat, Sa!” simpul Pak Satya lagi. Sementara itu, ibunda Putri tak banyak bicara dan hanya bisa tersedu ketika memeluk anaknya. “Anakku, kenapa harus kamu Nak? Andaikan saja bisa dipindah ke Ibu,” ucap mertuaku di sela tangisnya. Semua tahu bahwa pernikahan ini tak 100% bahagia. ***   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN