Rasa itu kembali mereka rasakan saat keduanya bertemu dalam dunia dan dimensi yang berbeda, Rhea merasa kembali mendapatkan oase dari kecupan lembut dan dekapan hangat almarhum suaminya, meskipun dia tahu raga yang disentuhnya kali ini adalah tubuh saudara kembar sang suami. Namun, diabaikan semua itu, perempuan itu hanya ingin memenuhi ruang rindu yang sempat berada di relung hatinya yang paling dalam.
“Rhea …,” ujar Abiwara sambil melepas pagutan di bibir mungil itu dan menangkup pipi yang bersemu merah muda, “aku harus pergi, kasihan Satya. Sudah terlalu lama aku memakai tubuhnya.”
“Sayang, apa nggak bisa beberapa menit lagi?”
Laki-laki itu menggeleng keras seraya berkata, “Ingat ucapanku tadi, ya. Satya akan menjaga dan melindungi kamu, kamu harus hati-hati dengan orang-orang itu. Jangan biarkan mereka menyakiti kamu dan Shira. Ingat pesanku, Rhea. Aku sangat mencintaimu, Rhea. Cintaku tanpa batas waktu.”
Perempuan itu hanya mengangguk sambil menangis sedih, bersamaan dengan sinar yang keluar dari tubuh Abisatya yang lama kelamaan menghilang dari pandangan dan tiba-tiba saja tubuh Abisatya lungai dan terjatuh, seolah-olah semua tulang lolos dari raga itu. Lara yang tahu hal ini akan terjadi, segera menyangga tubuh laki-laki itu dibantu oleh Mirza. Sang adik segera membimbing Abisatya untuk duduk di sofa, laki-laki itu terlihat lemas dan tidak berdaya, seolah-olah semua energi yang ada di dalam tubuh terkuras habis.
“Kak Satya, lebih baik kakak minum dulu,” ujar Mirza sambil memberikan sebotol air mineral yang diberikan Pak Bondan ke Abisatya. Laki-laki itu segera meminum air tersebut hingga habis lalu menenggelamkan tubuhnya di sofa. Tubuhnya butuh istirahat sebentar.
“Terima kasih, Mirza. Tubuhku rasanya lemas semua,” sahut Abisatya sambil mengedarkan tatapannya ke seluruh penjuru ruangan. Rhea tampak masih menangis sedih, ditemani Bu Mayang yang mencoba menenangkannya, sementara Lara dan Bondan juga asistennya sedang menetralisir keadaan di rumah itu, agar yang tidak terlihat tidak bisa masuk dengan mudah ke dalam rumah tersebut. “Apa Abi sudah pergi?” Mirza mengangguk mantap.
“Kamu tahu, Kak. Tadi ada moment indah yang sangat romantis. Kamu tahu itu?” Abisatya menggeleng lemah, “apa kakak nggak merasakan?” Kulit di kening laki-laki itu mengerut ke tengah.
“Merasakan apa? Memangnya Abi ngapain tadi?” tanya Abisatya penasaran.
“Kamu tahu,” bisik Mirza lirih sambil mendekat ke sang kakak, “tadi itu mereka ciuman.” Kedua bola mata Abisatya mendelik dan tercengang. “Iya bener! Mereka itu tadi ciuman di depan kita, kakak nggak ngerasain tadi?” Laki-laki itu menggeleng lemah sambil mengingat-ingat apa yang terjadi padanya saat Abiwara merasuki tubuhnya. “Kakak, bener-bener nggak tahu apa-apa?” bisiknya lagi.
“Yang aku rasakan tadi itu tiba-tiba gelap dan hilang begitu saja. Lalu aku nggak inget apa-apa, Mir. Dan tahu-tahu kamu bimbing aku untuk duduk di sini,” sahut Abisatya sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi padanya tadi.
“Yah, payah, Kakak! Berarti Kak Satya nggak bisa ngerasain dong apa yang dilakukan Kak Abi sama Kak Rhea tadi? Waah nggak seru, nih!” ucap Mirza kesal sambil ikut menenggelamkan tubuhnya di sofa di sebelah sang kakak.
“Abisatya!” sela Lara yang tiba-tiba sudah berdiri di depan mereka bareng Bondan dan sang asisten.
“Ya, Lara. Bagaimana? Sudah selesai semua?” tanya Abisatya sambil berusaha berdiri dari sofa. Namun, Lara melarangnya, sedangkan Mirza segera terduduk tegak di sofa.
“Sudah, nggak usah berdiri. Kamu pasti masih merasa lemas, ‘kan?” ujar perempuan eksentrik itu sambil menghempaskan tubuhnya di sofa, diikuti oleh Bondan dan Tama. “Lebih baik kamu istirahat dulu. Aku cuma mau menjelaskan kalau seluruh rumah sudah kami netralisir. Yang di luar biar tetap di luar, sementara yang sudah di dalam biar tetap di dalam, selama mereka tidak mengganggu.”
“Memangnya tadi yang dari luar ada banyak, ya, Kak? Yang masuk ke dalam sini?” Perempuan itu mengangguk mengiakan pertanyaan Mirza.
“Tadi yang dari luar itu cukup banyak yang mau masuk, karena mereka merasa terpanggil dan ingin ikut masuk ke sini. Untungnya sudah dibentengi sama Abah, jadi mereka nggak bisa masuk begitu saja,” jelas Lara sambil menatap kedua kakak beradik itu secara bergantian.
“Tapi sebenarnya tadi sudah ada juga yang masuk ke tubuh kamu, Abisatya,” sela Bondan sambil menunjuk ke Abisatya, “untungnya sudah aku keluarkan yang ikutan masuk ke tubuh kamu, kalau nggak, pertemuan Abiwara dan Rhea bakal terganggu tadi dengan hadirnya orang ke tiga."
Mirza terkekeh seraya berkata, "Hantu aja ada orang ke tiganya? Seru juga!"
"Mereka itu sama seperti kita, mereka punya rasa, punya keluarga, aktifitas sehari-hari, hanya saja kita tidak bisa melihatnya secara kasat mata. Tapi disadari atau tidak, mereka itu ada," sela Lara sambil menyeringai kecil.
"Oh iya, Pak Bondan silahkan diminum dulu tehnya, tapi kayaknya sudah nggak panas lagi ini," ujar Mirza sambil menuangkan teh dari teko ke dua gelas cangkir yang ada di atas meja plus gula batu, "Aah ternyata masih panas, rupanya saya salah. Mungkin tadi Yani sudah mengganti dengan seduhan teh yang baru."
"Nggak, papa, Mas. Nggak usah repot-repot, saya juga biasa minum air putih," sela Bondan sambil menunjuk botol air mineral yang dibawanya sedari tadi.
"Suami saya ini lebih suka minum air putih, ketimbang teh, Mirza. Nah, tehnya biar saya minum saja dan yang ini buat Tama. Ayoo Tam, diminum!" Pemuda itu mengangguk lalu mengambil cangkir yang diberikan Lara padanya, "untuk Abah, Abah bisa coba ini cake buatan Abisatya. Enak banget! Lumer di mulut," ujarnya lagi sambil memberikan potongan cake yang diletakkan di atas piring kecil lalu memberikan ke sang suami.
"Terima kasih! Apa Mas Abisatya ini pintar bikin cake?" tanya laki-laki tua itu sambil menyuapkan sesendok cake ke dalam mulutnya.
"Bukan bisa lagi, Abah, Abisatya ini profesinya memang seorang chef. Dia lama kuliah dan kerja di luar negeri khusus kuliner. Ayoo, Tama, dicobain cakenya! Kamu juga harus ngerasain cake buatan Abisatya!" puji Lara berulang kali, laki-laki itu hanya menyeringai kecil, mendengar pujian bertubi-tubi dari tamunya. "Oh iya, abis ini kami mau pamit pulang," ujarnya lagi sambil menyesap teh panasnya perlahan, "kami pamit aja ke Bu Mayang dan Rhea, nggak usah diganggu dulu, sepertinya tadi mereka masuk ke dalam kamar. Rhea biar tenang dulu aja."
"Terima kasih, Lara!" sahut Abisatya sambil membenarkan posisinya duduk. "Terima kasih banyak, paling nggak sekarang Rhea tahu kalau apa yang aku bilang ke dia itu bener dan aku nggak mengada-ngada." Perempuan eksentrik itu mengangguk mengiakan ucapan Abisatya yang terlihat sudah mulai pulih, tenaganya sudah mulai terkumpul. Sekarang tinggal menentukan langkah selanjutnya, mengungkap kejahatan Adham dan Beno.
♥♥♥♥
Memasuki rumah bergaya minimalis tanpa pagar, dua lantai dengan taman kecil di depan rumah yang belum jadi, plus kolam renang di teras samping yang bisa dilihat dari ruangan di sebelahnya dengan kaca-kaca besar yang jadi pembatas dinding, membuat perempuan itu berdecak kagum. Dia tidak menduga kalau sang pujaan hati telah mewujudkan semua impiannya selama ini, mempunyai rumah yang seperti ini.
"Bagaimana, Rhe? Kamu suka dengan rumah ini?" tanya Abisatya yang menemaninya siang itu, meninjau lokasi rumah yang dirancang oleh Abiwara untuk Rhea.
Perempuan itu mengangguk dengan ekspresi wajahnya yang puas dan bahagia. "Aku nggak nyangka kalau Mas Abi akhirnya memenuhi keinginanku membuat rumah seperti ini," sahut Rhea sambil mengedarkan tatapannya ke ruangan yang kosong lalu beralih berjalan-jalan untuk melihat-lihat seisi rumah. Abisatya mengekor di belakang.
"Apa Abi pernah tanya soal konsep rumah ini?" tanyanya lagi sambil menaiki anak tangga, menuju ke lantai dua.
Rhea kembali mengangguk seraya berkata, "Iya dulu, Mas Abi pernah tanya waktu kami baru nikah. Konsep rumah yang seperti apa yang aku inginkan? Waktu itu aku bilang, ada taman di depan dan di belakang lalu ada kolam renang di teras samping, kalau bisa dua lantai. Ya, seperti ini," sahutnya sambil berjalan berkeliling di lantai dua yang dipenuhi oleh kamar-kamar kosong.
“Aku jadi ingat tiga tahun yang lalu, waktu Abi bilang ketemu lagi sama kamu,” sela Abisatya sambil menyenderkan pinggang di pagar pembatas yang membatasi lantai dua dengan ruangan yang dibawahnya, sehingga mereka bisa melihat ke ruangan bawah. “Waktu itu, kalau nggak salah kamu masih dokter di Puskesmas, ya?”
Rhea kembali mengangguk. “Iyaa, kami ketemu di Pangandaran, waktu itu dia ada proyek renovasi resort hotel di Pangandaran, sementara aku juga tugas kedinasan dokternya di sana. Kalau nggak salah, kamu sendiri sudah balik ke Jakarta, 'kan?” selanya sambil asyik melihat-lihat ruangan di lantai dua.
“Iyaa, aku udah balik ke Jakarta, setelah enam tahun di Paris. Kalau udah takdir, emang nggak kemana, ya. Selama sembilan tahun kamu nggak ketemu sama Abi, tapi tahu-tahu tanpa kalian duga, kalian bisa ketemu lagi atau kalau aku bilang, sih. Pertemuan kalian yang kedua itu bukan secara kebetulan, tapi memang dipertemukan oleh Tuhan, karena dia adalah jodohmu,” ujar Abisatya lagi.
Rhea menggeleng lemah dan ikut menyandarkan tubuhnya di sandaran pagar tersebut seraya berkata, "Mas Abi memang jodohku, tapi hanya sementara, karena Tuhan telah merenggutnya dariku dan Shira," ujarnya sedih. Riak kecil itu kembali menggantung di kelopak mata dan mendesak untuk keluar, "Kak Satya, terima kasih!"
"Terima kasih untuk apa?"
"Untuk kemarin, karena akhirnya aku bisa ketemu lagi sama Mas Abi, meskipun hanya sesaat, tapi itu cukup berarti buatku." Laki-laki itu menggeleng. "Aku ini memang bodoh, tidak gampang percaya begitu saja pada ucapan semua orang. Aku selalu saja menuntut sebuah pembuktian yang benar-benar nyata kalau apa yang ada di depanku ini benar-benar real," lanjutnya sambil menyeka ujung matanya yang berair. "Hingga akhirnya aku ketemu sama Mas Abi."
Rhea mencoba menahan sesak di dalam d**a yang hendak meletup keluar, air matanya sudah tidak dapat dibendung, rasa sedih dan nelangsa di dalam d**a juga tak tertahankan. Pecahlah tangisnya kembali. Perempuan itu menangis sesenggukkan, dadanya terasa sakit, nyeri. Diabaikannya keberadaan saudara ipar yang berdiri di sebelahnya. Saat ini dia hanya ingin menangis, semua hal yang berkaitan dengan almarhum suaminya selalu membuat Rhea sedih, terlebih hadiah special, sebuah rumah minimalis yang sesuai dengan konsep yang diinginkannya, menjadi kado special saat ultahnya nanti.
Abisatya merasa iba dan sedih, laki-laki itu bisa merasakan apa yang dirasakan oleh mantan istri saudara kembarnya, karena dia sendiri juga merasa kehilangan saat Abiwara pergi meninggalkannya. Rasanya ada sebagian dari dirinya yang dipaksa dicopot keluar hingga membuatnya lemah. Laki-laki itu tidak pernah mengungkapkan perasaannya ini pada siapapun, sebagai laki-laki, dia tetap ingin terlihat tegar di mata semua orang terutama di depan Rhea, meskipun sebenarnya hatinya rapuh.
Direngkuhnya tubuh perempuan itu dan dipeluknya erat, tak terasa air mata pun lolos dan membasahi pipinya. Rhea sendiri tidak menolak saat saudara iparnya memeluknya erat. Perempuan itu menumpahkan semua tangisnya dipelukkan pria berbadan tegap yang berdiri tinggi menjulang di depannya, tinggi badan laki-laki itu sama persis dengan tinggi badan almarhum suaminya. Rhea merasa nyaman saat berada di pelukkan Abisatya, perempuan itu merasa seolah-olah sedang dalam pelukkan sang suami, apalagi aroma parfum yang menguar dari tubuh laki-laki itu sama persis dengan aroma parfum yang menjadi favourite sang suami.
Sementara Abisatya merasa canggung karena sosok yang menyerupai Abiwara ada di ruangan itu memperhatikan mereka berdua. Sosok itu tampak menyeringai senang dengan senyumnya yang lebar, seolah-olah memberikan ijin ke saudara kembarnya untuk melindungi sang istri.
“Maafkan aku,” ujar Rhea sambil melepas pelukkannya di tubuh Abisatya, “aku jadi larut dan sedih kalau keinget sama Mas Abi, maafkan aku,” lanjutnya canggung sambil menyeka matanya yang sembab.
“It’s okay! Nggak masalah, aku bisa ngerti, kok,” sela Abisatya kikuk, “kalau aku jadi kamu, aku mungkin akan melakukan hal yang sama,” sahutnya kikuk.
“Apa saat ini Mas Abi ada di sini?”
Laki-laki itu mengangguk mengiakan pertanyaan Rhea seraya berkata, “Dia ada persis berdiri di sebelahmu,” lanjutnya sambil menunjuk ke sebelah perempuan itu. Rhea pun menoleh ke sebelahnya yang kosong, tidak ada siapa-siapa di sana.
“Terima kasih, Mas,” ujarnya sambil menatap ke sebelahnya, “terima kasih karena kamu sudah memberikan hadiah yang indah ini, rumah impian kita berdua,” lanjutnya dengan kedua bola mata yang berkaca-kaca.
“Abi bilang dia senang kalau kamu juga senang menerima hadiah ini,” sela Abisatya sambil menoleh ke Rhea yang masih diam termangu menatap ke sisi sebelahnya yang kosong. “Dia memang sengaja membuat rumah ini sesuai dengan konsep yang kamu inginkan,” lanjutnya lagi sambil masih bersender di pagar pembatas ruang lantai dua dan ruangan di bawahnya.
“Aku jadi speechless dan nggak tahu mau ngomong apa, selain bilang terima kasih ke Mas Abi. Hanya itu saja,” sahut Rhea sedih.
“Lalu, apa yang mau kamu lakukan setelah ini?” tanya Abisatya sambil beralih berjalan ke depan dan melihat-lihat situasi jalanan di luar sana melalui kaca besar yang juga berfungsi sebagai dinding rumah. “Apa kamu mau pindah ke rumah ini atau tetap bertahan di rumah Ibu dulu?” tanyanya penasaran.