*Author’s POV*
Gavin memberikan ponselnya kepada putrinya. Lian menerimanya dengan gerakan lambat. Hatinya masih bimbang, jantungnya berdebar kencang.
“Li..”
“Kak..”
Keduanya saling berpandangan menatap lekat manik mata masing-masing. Setelah lama tidak bertemu, Lian melihat cambang tipis rapi tumbuh di sekitar dagu dan pipi Kakaknya. Rahangnya makin menunjukkan ketegasan. Bukan lagi kakaknya yang ia lihat beberapa tahun, terlihat keren dan menggemaskan. Kini ia terlihat lebih maskulin dan tampan ala Asia. Matanya sudah memanas. Entah untuk apa air matanya yang akan jatuh. Rasa takutnya sudah menguap, berganti perasaan rindu, jengkel, dan perasaan lainnya. Lian mematikan sambungan video call itu tanpa mengucapkan apapun. Ia segera menyerahkan kembali pada Papanya.
“Aku mau pulang!” ucap Lian dengan menghentakkan kakinya. Ia sudah akan berlalu tapi menghentikan langkahnya. Ia menarik kedua sahabatnya untuk ikut dengannya.
Laurel dan Tania hanya menghembuskan nafasnya kasar. Mereka saling berpandangan tapi tidak ada yang mengatakan sepatah katapun. Mereka tahu bahwa Lian sedang kesal sekali.
Gavin hanya memijat pelipisnya. Ia pun beranjak mengikuti putrinya. Sesampainya di pintu masuk, ia segera meminta petugas valet mengambil mobilnya. Setelah mobil datang, keempatnya masuk ke dalam mobil Aston martin four seater keluaran terbaru itu.
Sepanjang perjalanan suasana hening menyergap. Kedua sahabatnya sebenarnya agak tidak mengerti kenapa Lian dalam suasana hati seburuk ini setelah tadi menutup telponnya dengan Davino. Bukannya ini yang ditunggu? Ia ingin tahu seperti apa Kakaknya saat ini.
Untuk menghalau suasana canggung ini, Gavin berinisiatif menyetel musik. Seperti biasa, ia selalu menyetel musik yang pas sekali di hati pendengarnya dan suasana yang ada. Lagu Marcell – Firasat mengalun indah.
Lian mengalihkan pandangannya menuju ke arah jendela samping. Ia mati-matian menghalau rasa aneh dalam dirinya yang membuatnya ingin menangis. Ini perasaan aneh pertama yang ia miliki.
Sesampainya di rumah, Lian segera turun setelah sebelumnya ia pamit untuk duluan dan menyuruh kedua temannya menyusul ke kamar. Lian berjalan cepat bahkan tidak menyapa Mamanya.
“Li, kok udah balik?”
“Iya, ma. Lian duluan.”
Embun mengernyit. Tidak lama ia melihat Laurel dan tania mengekor di belakang Gavin.
“Siang Tante,” sapa keduanya dengan senyuman manis kepada Embun.
“Hai, anak-anak cantik. Kok udah pulang sih?”
Gavin merengkuh istrinya dan mencium pipinya di depan teman-teman anaknya. Ia sudah biasa melakukan itu di depan Laurel dan Tania. Jadi mereka tak sungkan lagi.
“Nanti aku cerita, Sayang. Om minta tolong hibur Lian ya, kalian langsung ke kamar Lian aja.”
“Iya om.” jawab keduanya kompak. Mereka berangkulan menuju kamar Lian.
“Ada apa sih, Pa?” Embun bertanya dengan dahi berkerut.
Gavin hanya menghembuskan nafasnya panjang. Ia menarik lengan Embun untuk duduk di ruang keluarga. Keduanya duduk di sofa berwarna kuning pastel dengan motif Chevron. Gavin memandang foto keluarganya.
“Tadi, waktu Papa antar Hati ke Mall, dia ternyata lagi nge-dance sama teman-temannya. Pantes dia nyuruh Papa gak ikutin dia.”
“Gak harus nge-dance juga, anak segede gitu ya kali mau di ikutin Papanya lagi jalan, Pa. Malu lah. Terus?”
“Ya, Papa tungguin, Ma. Gak Papa larang kok. Walaupun kepala Papa udah cenat cenut ngeliat dia goyang. Pengen Papa tampol yang ngeliatin Hati satu-satu. Kesel banget!”
“Dia memang cantik banget.” Embun memeluk suaminya dan menyandarkan kepalanya di d**a Gavin. “Terus?”
“Terus anak kita yang di Amerika telepon. Dia nanya kenapa kok berisik banget. Ya, Papa bilang aja lagi anter adeknya main pump it atau apa itu ya, Ma. terus langsung deh dia ganti video call. Ngotot banget suruh ngeliatin Adeknya.”
“Mama bisa nebak, dia pasti marah-marah ya.”
“Lebih marah daripada, Papa. Papa suruh aja negor langsung. Eh, malah pada diem-dieman terus Hati malah matiin HP. Minta pulang.”
“Kayaknya komunikasi mereka jelek deh, semenjak Davino ke Amerika.”
Gavin hanya manggut-manggut setuju.
-***-
Waktu sudah menunjukkan pukul empat dini hari di Chicago. Ia masih tidak bisa tidur setelah percakapan terakhirnya dengan Adik perempuannya. Tubuhnya sudah lelah, tapi otaknya tidak bisa diajak kompromi.
Setiap kali ia memejamkan matanya, terngiang suara Lian dan wajah cantik Lian yang sudah banyak berubah dari tiga tahun yang lalu. Gadis kecilnya bahkan sepertinya sudah lebih tinggi. Walaupun akan masih tetap lebih tinggi dirinya yang memiliki tinggi 187 cm. Davino terduduk mengingat wajah terakhir adiknya saat akan menutup telponnya.
Davino yang sudah akan mengomel seperti biasanya, hanya dengan melihat wajah adiknya, kemarahannya jadi menguap entah kemana. Ada perasaan bersalah menyergap dalam dirinya. Bahkan sepertinya rasa rindunya lebih besar. Saat tadi wajah Lian yang muncul di layar ponselnya, ia mengusap wajah itu seolah sedang dekat dengannya. Kini sesak menyerang dadanya.
Waktu sudah menunjukkan pukul lima kurang, ia membuka jendela kamarnya menggunakan remot kontrol. Sebentar lagi matahari akan terbit dan pemandangan dari kamarnya sangat indah dan sayang untuk dilewatkan. Semoga ini menjadi penenang bagi dirinya.
Tidak lama semburat kuning dari atas danau terlihat, perlahan tapi pasti matanya terpejam. Rasanya ia sangat lelah.
“Li..” Davino melihat Lian dengan senyumannya. “Ini jelas mimpi!”
Tidak berapa lama Davino membuka matanya dan, benar saja. Ia berada di kamarnya dengan matahari yang sudah meninggi. Ia menggapai ponselnya di atas nakas. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Davino segera terduduk saat ia menyadari ini sudah cukup siang.
Ia sudah beberapa kali mengalami lucid dream. Lucid dream adalah kondisi ketika seseorang sadar bahwa ia sedang bermimpi. Beberapa kali Davino bahkan mengendalikan mimpinya menjadi mimpi erotis. Ia harus segera mengalihkan pikirannya dari Lian, sebelum Lian menjadi sasaran mimpinya.
Dengan enggan Davino berjalan menuju kamar mandi. Ia sudah berjanji akan pergi menemani Gienka hari ini. Seusai mandi, ia segera menyemprotkan parfum dengan wangi musk. Ia menyisir rambutnya yang agak panjang. Badannya kini sudah terbentuk sempurna dengan otot-otot kekar di sekitar d**a dan lengan serta perutnya yang sixpack.
Ia mengambil kaos putih yang sangat pas di badannya memadupadankannya dengan celana jeans hitam. Ia mengambil sepatu Air Jordannya yang berwarna putih. Lalu membenarkan sedikit letak rambutnya saat berkaca di pintu masuk. Ia segera mengambil kunci mobil Aston martinnya.
Sepanjang perjalanan ia sibuk menikmati lagu sambil memperhatikan sekitarnya. Ia ingin mengendarainya santai saja. Satu album The Weeknd terputar di mobilnya. Lagu Save Your Tears membuatnya ingin ikut bernyanyi.
Ia termangu sesaat mencermati liriknya. Ia menghembuskan nafasnya kasar, lalu mencoba untuk melajukan mobilnya dengan cepat.
Sesampainya di rumah Gienka. Ia segera berlari kecil menuju teras rumah karena hujan mulai mengguyur Chicago pagi itu.
Tok.. Tok.. Tok..
Tidak berapa lama, Gienka dengan tank top spaghetti berwarna putih dan rok motif floralnya keluar dari dalam rumah. Ia tampak manis karena bulu matanya yang lentik dan rambutnya yang dikuncir kuda. Senyum manisnya menghiasi wajahnya. Ia segera mencium pipi kanan dan kirinya.
“Maaf aku baru bisa tidur pagi tadi. Saat aku bangun, ternyata sudah cukup siang.”
“Tidak apa-apa. Mama dan Papa sudah menunggu. Ayo masuk!”
Mereka melangkahkan kaki menuju ruang keluarga yang menjadi satu dengan ruang makan keluarga. Terlihat Ayah Gienka sedang melihat tabletnya di sofa ruang keluarga, sedang ibunya sepertinya menyiapkan sesuatu di dapur.
“Semuanya, Davino sudah datang.”
“Hai Davino, Lama sekali kamu tidak pernah kesini.” Ucap Bram, Papa Gienka.
“Maaf, Pak Bram. Banyak sekali pekerjaan yang harus ku kerjakan.” Davino mendekat ke arah Bram dan berpelukan sebentar.
“Apa kamu masih sering pergi New York – Chicago?”
“Tentu saja. Pak Bram.”
“Kamu pekerja keras sekali, Dav.”
“Itu sudah jadi tanggung jawabku Pak,” ucap Davino dengan senyuman di wajahnya.
“Sudahlah, jangan mulai memberinya beban dengan bertanya pekerjaan Bram. Aku sudah membuat Pancake. Kemarilah, mari kita nikmati akhir pekan ini dengan obrolan ringan,” ucap Renee, Ibu Gienka.
Davino menghampiri Ibu Gienka dan mengecup pipi kanan dan kirinya.
“Sangat lama aku tidak melihatmu, Dav. Rindu sekali rasanya.”
Davino hanya membalasnya dengan senyuman. Mereka pun bercengkrama bersama dengan obrolan ringan. Ini salah satu cara Davino agar tidak merasa sendiri di negara paman sam ini. Ia bahkan bisa melupakan sedikit kegelisahan hatinya tadi pagi soal Lian.
-***-