Bab 2

1131 Kata
(Bu Aisyah meninggal dunia. Kalian diminta segera datang ke rumah duka.) Kubaca pesan dari pengurus rumah tangga. Seseorang yang selama ini dipercaya oleh keluarga besar ibu mertua, mengurusi t***k bengek seisi rumah mewahnya. Aku menghela nafas, lalu merapikan koper dan hendak pergi. Tak kupedulikan seseorang yang masih memperhatikan dengan kening berlipat-lipat. Menyesal di saat-saat terakhir kehidupannya aku tidak berada di sisi ibu mertua. Kalau saja beliau tidak menyuruhku untuk menelusuri dan menjemput putra tersayangnya, mungkin saat ini di sana tangisku sedang pecah melepas kepergiannya. “Mau ke mana kamu, Ze? Kamu tidak berniat pulang malam ini juga, ‘kan? Perjalanan Surabaya—Bandung sangat melelahkan. Kita pulang besok sore.” Pria yang menyentuh wanita lain beberapa saat lalu itu menyentuh lenganku. Tapi, lekas aku menepisnya dengan kasar. Jijik rasanya bersentuhan dengannya sekarang. “Jangan mendikte kapan aku boleh dan tidak boleh pulang. Bersiaplah untuk pemakaman ibumu, itupun kalau kamu masih menghormati dia sebagai wanita yang melahirkanmu.” “Ap-apa kamu bilang?!” Mas Raga menganga tak percaya. Dia meremas rambutnya kasar. Teriakannya lalu menggema pada ruangan yang kutempati tak kurang dari tiga jam ini. Aku berlalu, tak peduli. Tak punya waktu untuk melihatnya meratapi kepergian ibunya. Ibu yang selalu berpesan agar anak kebanggaannya ini bisa melindungiku dan dua cucunya. Tapi nyatanya, bahkan dalam hembusan nafasnya yang terakhir, anaknya tengah mereguk dosa zina dengan wanita yang selalu dibencinya. Sheva. Wanita itu tak memiliki tempat di hati keluarga besar suami. Saat dia dan Mas Raga kepergok untuk kesekian kalinya, keluarga besar Mas Raga menyumpah serapah dirinya. Gundik, pelakor, jal*Ng, pezina, dll. *** Perjalanan ini terasa sangat panjang. Hati kelojotan ingin segera sampai di tujuan, tapi kemacetan meraja menutup akses kendaraan, menahan di tengah jalan lalu berhimpitan dengan pengguna jalanan lainnya. Di sampingku, Mas Raga tentu yang paling gelisah. Disaat-saat terakhir ibunya, kenapa dia memilih fly di udara dan jatuh di ranjang Sheva. Miris, najis, kamu Mas. Terlambat. Ketika kendaraan sampai di muka rumah, para pelayat sepi, sanak saudara sudah pergi, semua mengantar kepergian ibu mertua ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Di atas gundukan tanah merah, pria yang bergelar suami menangis tersedu melepas wanita yang sudah melahirkannya ke dunia namun berkali-kali dikecewakan. Ribuan kali petuah dan nasehat agar Mas Raga menjadi pria sempurna; sebagai seorang ayah, suami dan pemimpin untuk dirinya sendiri, tapi nyatanya ribuan kali ibu berwasiat, pria itu mangkir dan hidup sesuka hatinya. Maka beribu ucapan penyesalan yang dia lantunkan, semua sudah terlambat. Seiring jasad tertimbun tanah, seperti itulah kata maaf dari seorang ibu pupus untuknya. “Kita pulang, Ma?” ajak Afni dan Dika, dua buah hatiku. Arvan—bodyguard kesayangan mereka setia menemani keduanya kapan saja. “Iya, kita pulang sekarang.” “Dadah nenek. Baik-baik di sini ya, kami akan sering berkunjung.” Celotehan Afni membuat hatiku nyeri. Ah, anak usia empat setengah tahun ini masih belum mengerti arti kematian. Aku mengulas senyum dan menyentuh kepala mereka. Kugenggam tangan keduanya sambil meninggalkan jajaran pemakaman yang tertata rapi pada sebuah TPU ternama kota ini. Sampai ke rumah, aku masuk ke kamar dan mencari-cari bukti perselingkuhan mereka. Karena semuanya sudah berakhir, maka sekarang saatnya kubalas semua sakit hatiku. Maaf Bu Aisyah, aku tak mau memendam ini sendirian, dan terpaksa anakmu juga harus merasakannya. Kubuka ponsel, lalu mencari mana saja yang mesti kusebar, untuk kemudian berlayar pada para pengguna jejaring sosial. Aku tersenyum setelah kutemukan apa yang kucari dan simpan. Ternyata disaat seperti ini, banyak gunanya juga. Berkali-kali berzina dengan suami orang. Dia tak pernah jera bahkan seakan menantang dan merasa bangga. Silahkan nilai sendiri pasangan seperti apa mereka. Klik … kling .… Belasan chat, bukti pertemuan, juga belasan foto vulgar kebersamaan Mas Raga dan Sheva langsung kusebar di media sosial. Tak sampai disana, kupesan buzzer untuk semakin menyebarkan ke berbagai aplikasi agar Mas Raga dan Sheva semakin terkenal. Tak sampai satu jam, ribuan notifikasi masuk membuatku puas sekaligus bertepuk tangan dengan perasaan bebas. Beribu makian, kata-kata hinaan, termasuk hujatan membanjiri kolom komentar yang di setting publik. Tak lupa tag yang membanjiri notifikasi di layar atas, sebagai wujud simpati dan kepedulian padaku yang dirugikan. Selamat bekerja dan mencari tahu, wahai para netizen. Tugas kalian dimulai. Cari tahu sebanyak-banyaknya tentang aktris dan aktor yang mendadak viral lewat jalur perselingkuhan. *** Dentuman suara pintu terdengar. Mas Raga masuk ke dalamnya dengan nafas memburu. Dia terengah-engah menghampiri dengan pandangan paling tajam. Secepat ini ternyata kabar berita masuk ke telinganya. “Apa yang sudah kamu lakukan, hah? Apa?! Tega ya, kamu. Hanya gara-gara sakit hati lantas berani mempermalukan suami sendiri?!” “Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba kamu marah-marah, Mas?” tanyaku pura-pura polos. Mas Raga mengeluarkan ponsel dan memperlihatkannya padaku. Deretan berita dan gosip makin memanas, saat akun keduanya berhasil ditemukan publik. Wah, hebat sekali mereka. Dan aku puas mendengarnya. Aku menjawab dengan beroh ria. “Semua ini perbuatanmu, ‘kan? Ayo, ngaku dan tak usah berkilah!” bentaknya. Aku mengangguk pelan. Sedikitpun tidak merasa menyesal apalagi sedih. Sebaliknya, kunikmati wajah pias suamiku saat ini. “Kenapa kau berani mempermalukan suamimu sendiri, Zea? Kenapa? Apa tak cukup aku meminta maaf dan menyesali semuanya?! Licik!!” geramnya dengan suara menggelegar. Pria itu hampir membanting ponsel ke dinding seandainya tak memikirkan harganya. “Kenapa kau masih bertanya? Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Itulah konsekuensi untuk pria yang tidak setia, mengumbar nafsu, melegalkan zina, tanpa pernah memikirkan dosa dan dampak akibatnya. Jadi, tak usah bertanya-tanya kenapa aku melakukannya, sama seperti halnya kamu yang tidak pernah memiliki jawaban atas kelakuanmu yang diluar batas itu,” balasku dingin. Ingin tahu sejauh mana dia melampiaskan amarahnya padaku. Bodoh, jika aku terus-terusan diam sementara dia enak-enakkan ngamar. Dasar!! “Dan kau tak takut kalau suamimu ini tak punya kerjaan, dipecat, atau bahkan jadi olok-olokkan semua orang?!” “Takut? Hanya sedikit. Selebihnya hanya rasa puas melihatmu tak berdaya dan terlihat frustasi.” “Zea!!” “Diam, karena aku tak peduli lagi sekarang!!” Arghh!! Mas Raga melempar barang-barang di nakas untuk melampiaskan kekesalannya. Tapi bodo amat. Nasi sudah jadi bubur, silahkan dinikmati. Karena aku tak peduli. “Setelah ini aku pasti mendapat konsekuensi dari berbagai pihak. Aku juga tidak yakin atasan akan diam saja melihat kelakuanku. Argghhh … kenapa kau tega melakukan hal ini padaku, Zea? Kenapa?!” Mas Raga mondar-mandir gelisah. Aku masih menatapnya puas. Rasakan, itulah buah yang kalian semai atas perbuatan hina kalian. Aku mungkin tidak bisa membalas perbuatan kalian secara langsung, jadi biarkan mereka ikut bekerja dan memberi sanksi, Mas. Aku kembali tersenyum. Memilih duduk dan menjauh, lalu melihat deretan panggilan masuk ke nomorku dari puluhan orang yang sedang panas kuping. Wanita itu pasti kelabakan sekarang karena dia dan suamiku mendadak viral di sosial media. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Lihat saja nanti! Aku hanya perlu diam. Biar Tuhan yang bekerja dengan caranya sendiri. Menghukum dua orang yang sudah kelewatan batas. Sampai akhirnya mendapatkan konsekuensinya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN