Begitu kode konfirmasi turun, Sang Kapten kontan meringkus pria kurus itu, tanpa perlawanan berarti.
“Apa salahku? Aku ini petani, kenapa kalian menuduhku hanya karena hal sepele?" teriaknya, tak terima tangan kurusnya diborgol.
“Kau sudah lebih dari dari cukup untuk dicuragai, atas dua kali kebohonganmu! “ jawab Kapten Wawan.
“Kalian menangkap orang yang salah!“ teriaknya.
“Tidak, kami menangkap orang yang benar, “ sahut Rain, “apa kau mau menunggu kami menggeladah bukit itu?“ lanjutnya, melirik.
Pria itu terbelalak. Tubuhnya terkulai lemah, pasrah tak berdaya. Kapten Wawan semakin yakin. Ia segera memerintahkan beberapa pasukan menuju ke arah bukit, sementara sisanya secara tanggap mempercepat proses olah TKP. Mereka sedikit khawatir karena warga yang berbondong-bondong, mungkin akan mempersulit anggota bekerja.
“Geledah bukit itu! Dan masukkan pria ini kedalam mobil jenazah!“ perintahnya, “kita bawa dia sekalian!“ imbuhnya, seraya mencincing kerah pria kurus itu, seolah membawa seekor tikus.
“Tidaaak!!! Aku tidak mau satu mobil dengan k*****t itu!“ tiba-tiba pria itu berontak, “mampus kamu! Mampus kamu!“ lanjut pria itu, menyumpahi.
Dari belakang, Rain menepuk pundaknya. Seraya berjalan, pemuda itu berkata, “caramu membuat pelaku bicara bagus sekali, kapten?“
“Benarkah?“ tanya Kapten Wawan, merasa mendapat pujian. Hingga ia sadari, ia sama sekali tak melakukan apa-apa, "tunggu dulu! Bagaimana kau bisa tahu pelakunya orang itu?" lanjutnya, bertanya.
“Saya hanya curiga dengan rumput di kening korban,” jawab Rain.
“Rumput apa?” sergah Kapten Wawan.
“M-Maksudnya, daun bambu muda di punggung korban.”
Rain gelagapan, sadar bila ia tak melakukan banyak penyelidikan kali ini. Beberapa fakta yang ia peroleh sudah seperti layaknya contekan. Sejak datang ke TKP, ia bahkan hanya fokus mencari pelaku.
“Daun?“ Kapten Wawan mengernyitkan dahi.
Rain menggeleng. Fakta itu juga luput ia jelaskan pada Kapten Wawan, sementara sifat pria itu sedikit menyebalkan . Kebanyakan bagian di dalam mimpi yang ia lihat merupakan hal yang merepotkan, dan ia tak ingin mengulangi lagi semua itu.
“Setelah otopsi, anda pasti akan langsung paham,” ucap Rain, meninggalkan Kapten Wawan dalam perasaan bingung.
...
Keesokan harinya.
Hasil TKP menunjukkan bekas hijau pada pakaian korban. Hal itu disebabkan oleh bambu yang juga meninggalkan benda hitam seperti rambut yang melekat pada kaos korban.
“Jadi, TKP sesungguhnya bukanlah di situ, melainkan di atas bukit,” jelas Tim Forensik.
“Kok bisa?“ tanya Kapten Wawan.
“Entahlah, itu seperti; pelaku melempar tubuh korban dari atas bukit, atau mayat korban tiba-tiba ada di sana!” jelas Si Anggota Forensik.
“Dari atas bukit?!" sergah Kapten Wawan.
“Banyak sekali jejak darah di sana,” ujar Tim Forensik.
Ia mempelajari lagi berkas laporan otopsi dan hasil olah TKP, tapi jarak mayat sampai ke arah bukit ternyata puluhan meter lebih. Tak adanya rute yang mengarah ke TKP, serta jejak kaki yang menunjukkan belum ada yang kembali dari ladang melalui jalan itu, benar-benar sesuatu yang membingungkan.
“Bagaimana caranya, kau pikir dia superman? Bisa melempar manusia sejauh itu dari atas bukit?” tanyanya, “atau jangan-jangan, pelaku menyeret tubuh korban dengan posisi mundur, sehingga jejak kakinya menciptakan ilusi, seolah-olah belum ada yang kembali dari ladang?” lanjutnya, menyanggah.
“Itu memang kedengaran cukup masuk akal, ndan, tapi kami sama sekali tak menemukan jejak darah di sana,” jawabnya.
“Maksudmu?”
“Pelaku mungkin bisa naik lagi ke atas, membuat ilusi seolah-olah belum ada yang turun ladang, tapi kalau benar demikian, harusnya yang kotor bukan hanya bagian punggung, melainkan juga celana,” jelasnya, “jalanan begitu lembab, tapi hanya kaki korban yang kotor. Jangan lupakan pula soal jejak darah tadi. Darah masih mengalir dari kening pelaku, tapi di saat yang sama, tak ada yang tertinggal di jalanan,” lanjutnya.
“Terus, bagaiamana? Tidak mungkin mayat korban tiba-tiba ada di sana!” gerutu Kapten Wawan, “apa yang harus kutulis di berkas laporan?!”
“Kami sendiri tak mengerti, ndan!” jawabnya, “maka dari itu, bisakah anda memanggilnya kemari?”
Kapten Wawan terdiam. Sepertinya, Rain mengatakan, “jika nanti hasil otopsi keluar, dia harusnya langsung tahu.” Akan tetapi, semuanya benar-benar sukar dimengerti.
Sialnya, ia benar-benar tak ingin lagi berurusan dengan pemuda itu. Rasa-rasanya, posisinya bakalan semakin mengkhawatirkan, bila terus berhubungan dengan pemuda itu. Akan tetapi, ia pasti akan disuruh membuat laporan kasus, dan ia harus menuliskan semuanya secara runtut. Walau terpaksa, ia pun, mendatangi Rain, menanyakan bagaiamana pelaku membawa mayat korban sampai ke sana, tanpa mengubah jejak kaki yang ada di TKP.
“Jadi, bagaimana caranya?” tanyanya, mendatangi pemuda yang sebelumnya sedang malas-malasan di halaman markas itu.
“Lho, belum tahu, ya?” jawab pemuda itu.
Kapten Wawan sungguh jengkel, tapi tak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa menjawab, “belum,” menelan amarahnya bulat-bulat.
Melihat tampang pemuda itu sejatinya membuat darah seakan naik, sampai ke ubun-ubun. Pemuda yang sedang duduk di halaman itu malah santai-santai, seolah tak memiliki niatan membantu sama sekali.
“Pelaku cuman meluncurkan mayat korban,” gumam Rain.
“Meluncurkan?! Dari atas bukit?!” Kapten Wawan nyaris naik pitam, melihat pemuda itu manggut-manggut. Ia tak pernah merasakan penghinaan seburuk itu. “Dengar! Jalan kesana memang curam, tapi tak securam itu untuk membuatnya menggelinding ssjauh itu. Lagipula, tidak ada jejak tubuh menggelinding, atau darah seperti yang kau maksud. Apa kau lupa, bekas noda yang hanya ada di punggung dan kaki korban!?” lanjutnya, menyanggah.
“Pintar sekali kapten, pintar! Tapi saya tidak bilang melalui jalan.“
“Maksudmu?"
“Pelaku meluncurkannya dari atas bukit, menggunakan bambu lebih tepatnya,” jelas Rain, “apakah tim forensik tidak bilang kalau diatas bukit ada banyak ceceran darah?” imbuhnya.
Kapten Wawan terdiam. Tim Forensik memang sempat menyinggung itu. Mereka berkata, “pelaku mungkin saja melempar korban dari atas bukit.” Mungkin, itu merujuk dari tempat di mana jejak darah banyak ditemukan. Namun, benda yang menurut pemuda itu digunakan oleh pelaku terasa konyol baginya.
"Bambu?“ tanyanya.
“Kemungkinan, pelaku membentangkan bambu panjang, memanfaatkan tinggi tebing. Prinsipnya seperti perosotan." Lanjutnya.
Perosotan? Pikir Kapten Wawan, membayangkan anak-anak yang tengah bermain perosotan di taman kanak-kanak, tapi menggunakan sebilah bambu yang diletakkan dalam posisi miring.
“Itu lebih mustahil! Bagaiman kalau jatuh? Tidak ada jaminan mayat korban akan meluncur sejauh itu, kecuali menggunakan puluhan bambu. Sangat mustahil pelaku bisa menahan bambu sebanyak itu,” sanggahnya, "lagipula, kalau macet bagaimana? Permukaan bambu itu tidak rata!” lanjutnya, menyanggah.
“Hahaha, pelaku tidak perlu bambu sebanyak itu!" Rain tertawa, menganggap argumen itu konyol. Ia lalu berkata lagi, “cukup satu saja!"
“Apa kau gila? Tubuh korban sudah pasti terpelanting kalau hanya satu!"
“Jadi anda berpikir, tubuh korban meluncur di atas bambu?"
Kapten Wawan yang mengangguk sontak membuat Rain menggeleng, dan tersenyum geli.
"Anda mau mencobanya, lagi Flying fox, persis seperti saat pelatihan dulu?” ujar Rain, “hanya saja, yang dia gunakan bukannya tali dan pengait, melainkan bambu dan kaos,” lanjutnya.
Pemuda berambut acak-acakan itu kemudian melangkah pergi, merasa penjelasannya sudah cukup. Kapten Wawan yang mendapat informasi ini kemudian menyampaikannya pada tim forensik. Mereka melakukan penyidikan lanjutan, sampai kemudian semua bukti akhirnya terkumpul.
Fakta menyebutkan, pelaku membacok kepala korban ketika korban tengah mencari rumput bersama. Posisi mereka saat itu berada di atas bukit, dimana rumput di sana memang sedang lebat. Mereka berdua yang belakangan diketahui merupakan teman dekat. Dengan ini semua semakin jelas; pelaku tak perlu repot-repot menunggu korban lengah.
Pelaku yang telah mengincar kepala korban sejak keberangkatan, sontak membacok kepala korban dengan arit, hingga korban tewas seketika. Dalam prosesnya, arit sempat tersangkut dan membuat pelaku mencongkel aritnya, agar terlepas. Pelaku kemudian memasukkan kaos, beserta mayat korban kedalam bambu. Dari atas bukit, pelaku mengangkat bambu, hingga tubuh korban meluncur ke bawah.
Beberapa kali, tubuh korban sempat tersangkut ruas bambu, tapi pelaku memutar bambu tersebut hingga tubuh korban kembali terperosok. Begitu seterusnya sampai tubuh korban tergeletak. Karena itulah baju korban robek, serta dipenuhi rambut bambu.
Akibat sudut puncak tebing sampai ke TKP berbeda dengan TKP, sehingga jejak darah tak ditemukan dari sana. Sebaliknya, bukit yang letaknya lebih jauh justru memiliki bekas darah. Hal ini pula yang menjelaskan, kenapa jejak kaki yang ada di TKP bisa sedemikian rupa.