File 5 : Misteri Jejak Kaki

1245 Kata
“Bicara apa kau ini? Tanda semacam itu baru akan jelas, setelah menunggu identifikasi tim forensik!” sahut Kapten Wawan. “Tangan manusia itu memiliki kandungan minyak dan garam. Itu berasal dari metabolisme dan keringat,” sanggah Rain, “karena tanda semacam itu tak ada, saya yakin tim forensik tak akan menunjukkan hasil yang berarti,” lanjutnya. “Tadi kau bilang, pelaku menggunakan arit?“ protes Kapten Wawan. “Ingat yang saya katakan sebelumnya?” tanya Rain, “tak ada petunjuk yang tertinggal. Itu artinya tak ada tanda-tanda perlawanan, sementara luka berada di kening yang menandakan; pelaku menyerang dari depan. Ini berarti, korban tewas seketika, dan pisau semakin tak cocok digunakan sebagai s*****a utama,” lanjutnya, panjang lebar. ”Lantas, kenapa kamu justru berkata, ‘ini adalah pembunuhan yang mustahil dilakukan?” tanya Kapten Wawan, gagal paham, “orang kamu sendiri, kok yang bilang, ‘pelaku dibunuh seketika,” lanjutnya. Rain mendesah malas menerangkan. Wajahnya begitu lesu ketika meliriknya. Dalam hati, ia sudah merasa begitu jengkel. Pria gempal itu tak berhenti mendebat segalanya, padahal tak tahu apa-apa.  Sungguh, bagaimana dia bisa memiliki pangkat setinggi itu? Pikirnya. Rain berdiri, menatap ke arah mayat lagi, lalu berkata, “kaki korban!“  Kapten Wawan menoleh, memeriksa dalam sekedipan mata. Ia kemudian bertanya, “kenapa lagi? Hanya ada gumpalan tanah di sana!"  Rain tersenyum. Pria itu benar-benar cepat, kalau disuruh mencari kalimat protes. Apa susahnya, sih berpikir dulu sebentar, gerutunya dalam hati. “Justru itu yang aneh,” ucap Rain, “bisa-bisanya ada banyak sekali tanah di kakinya, padahal lokasi sekeliling ditutupi daun kering?” lanjutnya.  “Apanya yang salah? Petani yang berangkat dengan kaki t*******g itu hal biasa." “Arah pemukiman merupakan jalanan berbatu. Itu pasti akan menyakitkan kaki t*******g. Berarti, dia pasti akan memilih melewati tanah, bukan?” tanya Rain. Kapten Wawan mengangguk, dalam hati tertawa karena itu akan menjadi kontradiksi.  “Apa yang salah dengan kaki penuh tanah, ketika berjalan diatas tanah?” pikirnya.  Rain menarik napas. Ia tahu hal ini akan menjadi kejutan besar. Sejenak ia mengatur emosi, lalu berkata, “kutegaskan lagi ya, pak! Tanah sekitar jalan itu tertutupi daun bambu. Lokasi mayat juga di pertigaan, itu berarti, ia dalam posisi pulang, atau berangkat.” Kapten Wawan terdiam, menatap jalanan dari ujung sampi ke ujung. Rasanya, ia tak perlu mencobanya sendiri. Jalan dari arah pemukiman memang bebatuan, sementara kalaupun lewat tanah dedaunan memenuhinya. Lantas, darimana datangnya gumpalan tanah di kaki korban? "Bagaimana kalau kotoran itu dia bawa sejak dari rumah?" bantahnya. "Kalau begitu, kenapa tidak ada jejak kaki di atas daun kering, atau jalanan? Padahal, darah korban masih mengalir; menandakan kematiannya benar-benar baru saja terjadi,” sangkal Rain. Sang Kapten mengernyitkan dahi, memeras otaknya lebih keras. Ia begitu tak ingin dipermalukan lagi, oleh pemuda itu, tapi memang tak ada jejak kaki di mana pun. Di saat yang sama, ia menemukan hal yang bisa menghancurkan analisis itu. “Ah, palingan dia baru mau pulang, makanya tidak lewat sana. Maksudku, belum,” ujarnya, “wajar, kan kalau dari ladang kakinya penuh tanah?“ lanjutnya. Kapten Wawan tersenyum. Wajahnya terlihat amat puas. Seakan baru saja mendapat pencerahan, ia mengangguk-angguk. Kali ini ia yakin sekali pendapat Rain salah. “Kalau begitu harusnya ada jejak kaki dari arah atas, sebab ladang berada di arah sana!" sanggah Rain, tiba-tiba menunjuk jauh puluhan meter ke arah utara.  Kapten Wawan menggeleng. Ia menunjuk jalanan yang arahnya berlawanan. Tempat itu kelihatan lembab, serta dipenuhi jejak kaki. Hari ini mungkin cerah, tapi kemarin hujan masih turun dengan cukup lebat. Sejatinya, itu cukup menjelaskan alasan kaki korban bisa amat kotor. Tapi pemuda itu balik mengangguk-angguk, sama sekali tak punya niatan merevisi anilisisnya. Sungguh, betapa heran Kapten Wawan dibuatnya. Kapten Genpal itu kemudian berjalan mendekati jalanan lembab yang ia maksud; tempat dimana pemuda itu sendiri sempat mondar-mandir. "Ini ..." Ia menoleh, terkejut bukan kepalang. Seketika ia gelagapan, bertanya kesana-kemari, tapi wajahnya masih kelihatan bingung.  Bagaimana mungkin? Pikirnya.  “Kenapa kamu bisa tahu, di sana adalah ladang?“ tanya Kapten Wawan, “kamu baru disini, dan aku tak pernah melihatmu jalan-jalan.” “Kenapa, Ndan?” tanya salah seorang prajurit. “Aku tadi tanya arah barat itu apa, kan?” “Ya, Komandan, itu adalah pemukiman!” “Kalau timur?” “Kuburan.” “Terus kalau pojok sana?” “Jurang!” jawab Si Prajurit. “Dia menunjuk langsung ke arah utara, padahal sekilas jalanan becek ini seolah-olah mengarah ke jurang,” cerocos Kapten Wawan. Memang lokasi utara merupakan area ladang, dan jalanan itu pada akhirnya mengarah ke sana. Namun, Rain akan berakhir menunjuk ke arah jurang, bila menunjuk jalan itu secara langsung. Sebab, jalanan bercabang lagi, sementara area ladang tertutup rimbunnya pepohonan bambu. “Apa bedanya, toh akhirnya memang mengarah ke sana?” tanya Sang Prajurit. “Dasar bodoh! Lihat baik-baik!” Kapten Wawan menjitak kepala Si Prajurit, menunjuk jalanan yang masih kelihatan lembab tadi.  Prajurit itu tertunduk, menatap ke arah lokasi yang atasannya tunjuk. Seperti reaksi pertama Kapten Wawan, seketika ia menoleh pada pemuda itu; orang yang tengah menggenggam dagu, seolah memikirkan keuangan rumah tangganya yang sedang di ujung tanduk.  “Bagaimana mayat ini bisa ada di sini?” gumamnya. Jejak-jejak kaki itu semuanya melebar ke arah depan. Hal itu menandakan, semua orang yang lewat dari jalan itu belum ada yang kembali. Hari ini begitu panas, tak mungkin jejak itu dimanipulasi. Jejak kaki manusia pada dasarnya lebar di ujung, mengikuti bentuk kaki yang sedemikian rupa. Karena jejak-jejak kaki itu tak ada yang terbalik, berarti belum ada yang kembali melalui jalur itu. Walaupun orang-orang sudah berkumpul di TKP, jalan dari atas sana sudah ditutup menggunakan pita kuning. Bisa dipastikan, orang-orang pasti memutar, menggunakan rute lain.  “Katakan padaku, bagaimana kamu tahu?” tanya Kapten Wawan. Rain mendecak, sambil menggeleng, berkata, "pohon-bohon bambu cenderung lebat kearah sana. Rumput yang ada pada jalanan juga semakin tinggi kearah sana. Itu artinya, kondisi tanah lebih subur di sana. Logikanya, tanah yang subur itu pasti dimanfaatkan sebagai ladang,” jelasnya, “lihat sendiri kan? Dari banyaknya jejak kaki, tak ada satupun yang mengarah ke sini. Itu aneh, mengingat kondisi kaki korban dipenuhi tanah gembur. Pertanyaannya sekarang, bagaimana, dan kenapa mayat itu bisa berada di sini?” imbuhnya. Merasa sia-sia, Rain berhenti memberi penjelasan, padahal orang-orang tampak menunggu-tunggu. Tak terkecuali Kapten Wawan. Meskipun tak ingin pemuda itu merebut semua prestasi, ia tetap saja tak bisa menemukan penjelasan apapun. Apa mungkin.., ah tidak! Jalanan terlalu licin dan sulit. Pikirkan lagi, Rain! Kenapa tubuh korban ada disini? Luka korban berada di kening yang artinya, pelaku menyerang dari depan. Akan tetapi, kenapa tak ada tanda-tanda perlawanan? Apa itu berarti, pelaku adalah orang yang dia kenal? Satu-satunya yang masuk akal hanyalah : dia berasal dari kuburan. Hanya tempat itu yang penuh tanah, dan tak terikat dengan misteri jejak kaki. Tapi untuk apa? Ini hari Rabu, rasanya agak janggal untuk ukuran melayat. Untuk alasan apa dia pergi ke kuburan? Dia juga tidak membawa arit kalau diasumsikan mencari rumput, pikir Rain. “Aha!" “Itu tidak mungkin!“ potong Rain. “Aku belum bicara apa pun.“ Keluh Kapten Wawan. “Palingan kamu mau bilang dari kuburan, kan?“ “Iya dia itu-" “Habis nglayat? Dengan pakaian begitu? Ini juga hari yang kurang lumrah untuk melayat,” potong Rain.  Kapten Wawan kemudian menatap pakaian korban yang compang-camping, dan mengangguk sepaham.  Pria ini pun, mengenakan celana pendek, pikirnya. Rasanya, semakin masuk akal saja sanggahannya.  Keadaan tiba-tiba saja berbalik. Ia sekarang terus dicerca dengan kalimat protes. Rasa tak enaknya dibantah mentah-mentah sekarang menusuk-nusuk dadanya sendiri. Rasa-rasanya, kalah adu argumen dengan pemuda yang tergolong gondrong, bagi satuan polisi yang diwajibkan berambut pendek itu, pasti akan sangat memalukan, lebih-lebih di depan para bawahannya sendiri. Akan tetapi, memulai rumusan masalah nyatanya lebih sulit dari yang ia duga. Begitu ia membuka mulut, “mencari rumput juga tidak mungkin!” Rain sudah mendahuluinya. Pemuda itu berkata, “korban saja tidak bawa arit! Kalau benar demikian, salah satu prajurit di sini pasti sudah menemukannya.” "Woy! Apa memang tidak ada arit?” Kapten Wawan membisik, bertanya pada bawahannya. Namun, semua anak buah yang ia pelototi hanya mengangkat bahu dan menggeleng. Pada akhirnya, bukannya menjadi yang paling benar, ia malah mempermalukan diri sendiri, dan terkesan mengekspos kebodohan. Sementara itu, Rain mulai menggigit jempolnya, khawatir bilamana hanya ada jalan buntu yang akan mereka temui. Benarkah tak ada petunjuk sama sekali? Ataukah aku hanya kurang teliti, pikirnya, menatap mayat korban.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN