Bab 1. Lebih Baik Jadi Janda

1367 Kata
Sepuluh hari sesudah dirawat di rumah sakit, bahkan sampai pulang ke rumah pun Ciara tidak dapat bertemu dengan Adam, suaminya. Bahkan sekarang Charles, papa Ciara justru membawanya pulang ke kediamannya bukan rumah orang tua Adam. Bahkan wajah Charles terlihat muram seperti menahan emosi dan menghindar bertatap muka langsung dengan putrinya itu. Sedari keluar rumah sakit Ciara terus bertanya pada mommy dan daddy nya namun keduanya bungkam. Davina sang mommy hanya mengatakan kalau mereka akan membicarakan hal ini di rumah setelah Ciara benar-benar pulih. Tentu saja perasaan Ciara bagai diombang-ambingkan ombak yang tidak menentu arahnya. Dalam hatinya bertanya-tanya. Ada apa sebenarnya. Kecelakaan kemarin dirinyalah yang menjadi korban, bahkan motif di balik kecelakaan tersebut Ciara juga belum tahu. Semua terasa abu-abu di hadapannya saat ini. Semua orang yang dipercayanya bungkam. Beberapa kali Ciara berusaha menghubungi Adam namun pria yang menjadi suaminya itu seperti menghilang dari kehidupannya. Bagaimana ia tidak berpikir demikian. Sedari sadar sampai pulang, batang hidung bahkan bayangan Adam benar-benar tidak terlihat. “Sebenarnya adapa sih, Mom!” Tanya Ciara yang sudah tidak tahan lagi dengan semua kebungkaman. “Kamu istirahat dulu, Cia. Jangan mikir yang berat-berat dulu. Pulihin diri dan fokus sama kesembuhan kaki kamu dulu yah.” Jawab Vina mengalihkan pertanyaan Ciara. “Kenapa Adam ngak ada? Kenapa Cia pulang kemari? Sebenarnya kalian semua kenapa sih!” Makin lama suara Ciara semakin kencang menunjukkan kemarahannya. Tatapan Vina berubah sendu menahan kesedihan yang Ciara tahu kalau ibunya sedang memendam sesuatu namun tidak ingin sampai dirinya tahu. Kemudian Vina menyelimuti putrinya kembali menulikan telinganya. “Kamu istirahat dulu, Mommy buatin makan siang buat kamu yah.” Kemudian Vina keluar dari kamar Ciara, wanita itu dapat melihat sang ibu mengusap mata seperti menghapus air mata. Ciara bukan anak kecil lagi yang bisa dibodohi. Pasti terjadi sesuatu. Setelah Vina menghilang, Ciara mengambil ponsel miliknya dan menghubungi siapapun yang berhubungan dengan Adam. Dari mertuanya Karina dan Brahm, Adam juga Nicole. Namun semuanya tidak mengangkat panggilan dari nya. ‘Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Kenapa kamu menghilang, Dam? Apa yang terjadi?’ Air mata Ciara mengalir menangisi keadaannya. Sakit dari kecelakaan yang menimpanya saja belum sembuh benar, kini ditambah lagi dengan suaminya yang menghilang bak di telan bumi beserta seluruh keluarganya. Saat makan malam, Ciara digendong Charles turun ke bawah karena rumah mereka tidak menggunakan lift. “Kamar kamu di kamar tamu untuk sementara biar kamu ngak kesulitan mondar-mandir. Jadi malam ini kamu tidur di kamar tamu.” Ucap Charles sambil menggendong putrinya turun. “Dad.” “Iya, Sayang.” “Kenapa Cia ngak tinggal di rumah Adam?” “Sementara ini kamu di rawat di rumah, Daddy yang minta sama Adam.” “Tapi kenapa, Dad?” “Tolong, Cia. Dengar Daddy kali ini saja. Sampai kamu pulih jangan dulu membahas Adam dan keluarganya.” “Tapi kenapa, Dad!” Charles tidak lagi menjawab membuat Ciara bertambah kesal. Andai saja kakinya bisa berjalan normal mungkin ia sudah kabur dari rumah untuk mencari suaminya dan mengorek semua kebenaran yang disembunyikan. Di meja makan, hanya dentingan suara sendok garpu yang beradu dengan piring makan. Tidak ada percakapan sedikitpun sehangat biasanya. Suasana di meja makan terasa dingin. Baham Naira yang lebih jahil dari Ciara ikutan diam dan hanya fokus pada makanannya saja. “Tumben banget sih kita makan ngak bersuara gini? Memangnya sejak aku kecelakaan dunia jadi terbalik yah.” Vina sampai terbatuk-batuk mendengar perkataan seolah sedang menyindir mereka semua. “Pelan-pelan, Sayang.” Seru Charles sambil menyodorkan minuman pada istrinya. “Kenapa Mommy kaget sampai tersedak gitu? Memangnya aku salah ngomong yah, Mom?” Cibir Ciara menatap tajam sang mommy. “Ngak kok. Tersedak ludah pas ngunyah. Kamu ngak salah ngomong kok.” Ciara meletakkan sendok dan garpunya dengan kasar. “Aku ngak lapar lagi.” Vina cepat-cepat menyeka bibirnya dan berdiri berniat untuk membantu putrinya. Namun baru saja berdiri, Ciara sudah menahannya. “Ngak perlu! Aku bisa sendiri ke kamar. Kakiku memang sakit tapi tangan dan organ lainnya ngak. Aku ngak butuh dibantuin sama orang-orang yang ngak peduli sama aku!” Ciara berbalik kemudian menggerakkan kursi rodanya yang kebetulan otomatis. Gadis itu menuju kamar tamu lalu menutup pintu kamar tersebut dengan kencang. Membuat ketiga orang di meja makan tersebut menunduk sedih berusaha menerima kemarahan Ciara yang harus mereka maklumi. Ciara menutup wajah dengan kedua tangannya kemudian menangis lirih mengeluarkan emosi yang sudah ditahannya sejak tadi. “Aku kangen sama kamu, Dam. Aku bikin salah apa sih sampai ngak boleh ketemu kamu. Sebenarnya ada apa, kenapa ngak ada yang mau ngasih tahu aku!” Teriak tangisan menyayat Ciara terdengar sampai ke depan. Charles dan Vina ikut terluka melihat putrinya seperti ini namun mau bagaimana lagi, hanya ini jalan satu-satunya agar Ciara mereka tetap selamat dan baik-baik saja. Hari berganti malam, Ciara masih duduk di kursi rodanya. Puas menangis dengan mata sembab dan bengkak ia merasa haus dan sialnya lupa membawa serta air minum ke kamar ini. Melihat ke arah jam dinding ternyata sudah pukul sembilan malam. Perlahan-lahan Ciara membuka pintu kamarnya dan keluar menuju dapur. Suara mesin kursi roda miliknya sangat halus sehingga tidak menarik perhatian siapapun di dalam kamar. Di lantai bawah hanya ada kamar orang tuanya dan kamar tamu. Setelah selesai minum, Ciara mengambil sebotol air mineral untuk ia letakkan di dalam kamarnya. Saat sedang melewati kamar orang tuanya, Ciara mendengar perdebatan Charles dan Vina, semakin lama suara perdebatan itu semakin kencang dan menarik perhatian Ciara. “Kamu ngak ngerti perasaan perempuan, Charles. Kamu ngak kasihan sama Ciara!” “Kamu pikir aku kejam? Aku juga sakit lihat anak kita seperti sekarang. Tapi demi dia kita harus jadi orang tua yang tegar. Aku hanya tidak ingin semakin membuat perasaan Ciara semakin hancur. Kamu dengar kan kata dokter di rumah sakit. Kita masih harus menghadapi masalah yang lain nantinya soal Cia!” “Setidaknya pertemukan dia dengan Adam dulu, Yank. Kalau aku jadi Cia, pasti akan lebih baik kalau mendengar langsung dari mulut orang yang kita sayangi. Bukan dengan cara menghindar seperti sekarang! Soal itu aku juga tahu, aku juga sakit. Aku yang melahirkan Ciara tentu saja hatiku jauh merasa lebih pedih. Sesak rasanya setiap kali mikirin tentang anak kita!” Vina dan Charles terus menangis meluapkan semua emosi yang mereka rasakan saat ini mengenai putri sulung mereka. “Trus kamu mau aku antar anak kita ke lubang maut itu lagi. Kamu ngak kenal keluarga Damian. Bahkan aku menyesal kita terlalu dekat dengan keluarga mereka sampai anak kita yang jadi korbannya.” Kali ini suara Charles sudah tidak setinggi tadi. Bola mata Ciara membulat penuh mendengarkan kemarahan sang daddy. ‘Apa maksud semua perkataan mereka.? Kata dokter di rumah sakit? Kenyataan pahit apa? Lubang maut apa? Kenapa Daddy bilang begitu?’ Dalam hati Ciara membatin. Gadis itu masih menguping di depan kamar untuk mencari tahu lagi berharap dapat mengetahui permasalahan yang sebenarnya. Bahkan ia ikut menangis meskipun hanya mencuri dengar. Debaran jantungnya semakin menjadi. “Trus Ciara kayak gini apa bedanya! Sakit aku lihat anakku diginiin,, Yank. Kalau kamu yang di posisi dia gimana perasaan kamu, Hah!” “Aku lebih baik memilih putriku sakit sekarang daripada sakit seumur hidupnya! Kalau putri kita kenapa-napa mereka hanya ikut merasa sedih. Tapi gimana sama kita yang jadi orang tuanya. Aku ngak bisa melihat putriku terus-terusan bersabar dan mengalah mengikuti jalan pikiran anak mereka yang egois itu.” “Trus kamu tega biarin Ciara jadi janda di usia semuda ini!” “Kalau memang harus demikian, akan jauh lebih baik dimulai dari sekarang. Mumpung anak kita masih muda usianya. Cia juga masih bisa memulai kehidupan yang baru.” Bagai petir menyambar dirinya, itulah yang dirasakan Ciara begitu mendengar ucapan terakhir sang mommy. ‘Apa! Janda! Apa maksud Mommy! Kenapa Daddy setega itu lebih rela aku jadi janda. Siapa juga yang mau cerai dari Adam.’ Spontan tangan Ciara mengetuk pintu kamar orang tuanya menderu-deru bak orang tidak sabaran. Wajah pias Charles dan Vina kini saling menatap satu sama lain. Setelah menghapus air mata dengan tisu, Vina membuka pintu kamar perlahan. Sungguh rasanya berat hanya sekedar menelan saliva saja ketika menatap wajah beringas putrinya yang tengah menatapnya bak seorang musuh. “Bilang sama aku, kenapa aku harus jadi janda! Sebenarnya ada apa sama Adam!” Teriak Ciara menggebu-gebu dengan derai air mata penuh kecewa pada kedua orang tuanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN