BAB 3

2122 Kata
Lampu-lampu taman di halaman belakang rumah keluarga Pramesti temaram, menciptakan suasana yang hangat sekaligus intim. Angin malam berhembus lembut, sesekali membuat dedaunan berdesir pelan. Tikar anyaman pandan telah digelar di sisi kolam renang, di atasnya berjejer piring-piring besar berisi samyang pedas yang mengepul panas, ditemani gelas berisi es teh manis dan minuman segar lain yang Mbok siapkan. Sekar, ketiga adiknya, serta Aria, duduk melingkar. Mereka kompak mengenakan kain batik yang dililit sebagai kemben, rambut dicepol rapi, seolah menyatukan mereka dalam nuansa kebersamaan yang unik dan hangat. Tawa kecil sudah lebih dulu mengiringi sebelum acara makan dimulai. Nayla, dengan sigap, menyalakan kamera DSLR yang terpasang di tripod kecil. Lampu indikator merah menyala, menandakan kamera sedang merekam. “Halo semuanya! Welcome back to channel Nayla,” ucap Nayla penuh semangat sambil melambaikan tangan. “Kali ini aku nggak sendirian. Aku ditemenin sama ketiga kakakku dan Mbak Aria sahabat Mbak Sekar! Dan kita bakal mukbang samyang sepuluh porsi! Jangan lupa like, comment, dan subscribe yaa~” Kirana tertawa kecil sambil melirik Ayu. “Ya ampun, Nayla. Kamu serius ini bakal ditayangin? Nanti fans kamu makin heboh lagi.” “Biarin,” jawab Nayla ringan. “Konten bareng keluarga pasti lebih rame.” Sekar menghela napas panjang. “Aku sebenernya nggak niat ikut loh. Aku lagi diet, Nay.” Namun Nayla langsung mencondongkan badan, wajahnya memohon-mohon. “Ayolah, Mbak. Justru kalo Mbak Sekar ikutan, videonya bakal lebih seru. Penonton pasti kaget lihat sisi lain Mbak Sekar yang biasanya serius banget!” Aria menimpali sambil menyikut lengan Sekar. “Udah, Kar. Jangan kebanyakan alasan. Kita seru-seruan aja malam ini.” Akhirnya, dengan pasrah Sekar mengambil sumpit. “Baiklah. Tapi jangan salahin aku kalo minggu depan aku ngeluh tambah gemuk.” Sorak sorai kecil terdengar dari adik-adiknya, seolah mereka baru memenangkan sebuah kompetisi. Kamera sudah merekam semua momen itu. Mukbang pun dimulai. Piring pertama samyang diangkat, aroma pedasnya langsung menusuk hidung. Warna merah cabai terlihat menggoda, membuat siapa pun yang menatapnya menelan ludah. Sekar yang awalnya hanya berencana makan sedikit, ternyata dengan cepat menghabiskan setengah porsinya. Wajahnya sedikit memerah, tapi sumpitnya terus bergerak. “Astaga, pedes banget. Tapi kok nagih ya?” katanya sambil mengipas-ngipas mulut. Nayla terbahak. “Liat tuh! Baru juga mulai, Mbak Sekar udah kalap.” Tak sampai sepuluh menit, Sekar benar-benar menghabiskan porsi pertamanya. Dan tanpa banyak bicara, ia mencomot piring kedua. Aria pun tak kalah cepat. Ia makan dengan ritme yang sama, menyeruput mie pedas itu dengan mulut teratur tapi gesit. Kirana dan Ayu saling melongo, lalu menatap keduanya bergantian. “Serius deh… kalian berdua kayak lagi lomba lari, bukan makan mie,” komentar Kirana dengan heran. Ayu menambahkan, “Aku kira yang makannya paling kalap tuh Nayla. Tapi ternyata Mbak Sekar sama Mbak Aria lebih sadis.” Aria tertawa sambil menenggak es teh. “Dari dulu memang begini. Aku sama Sekar selalu jadi yang paling cepat kalau urusan mie instan. Nggak tahu kenapa, kayak refleks aja. Kalau makanan lain sih biasa-biasa aja, tapi kalau mie… wah, jangan ditanya.” Sekar mengangguk sambil menyeka keringat di pelipisnya. “Betul. Mungkin karena kita sering makan mie bareng waktu SD dulu. Jadi udah kebiasaan.” Mendengar itu, ketiga adiknya tertawa ngakak. Nayla sampai menjatuhkan sumpitnya karena terlalu geli. “Astaga, aku nggak nyangka Mbak Sekar punya sisi beginian. Aku harus sering bikin konten kayak gini biar kebongkar semua sisi kakakku.” Suasana makan semakin ramai. Sesekali terdengar suara isakan kecil karena pedasnya samyang, tapi tawa lebih mendominasi. Kamera Nayla menangkap setiap ekspresi: Kirana yang berusaha tetap anggun padahal wajahnya sudah memerah, Ayu yang berkali-kali meniup mulut karena kepedasan, Nayla yang sibuk memberi komentar lucu, serta Sekar dan Aria yang sudah menghabiskan porsi kedua mereka lebih cepat daripada yang lain. “Udah kenyang belum, Mbak?” tanya Aria sambil melirik Sekar. Sekar tertawa kecil. “Kenyaaang. Tapi puas. Sesekali nggak apa-apa lah.” “Sesekali? Percaya deh, minggu depan kamu bakal nyari alasan lagi buat makan mie instan,” goda Aria. Sekar hanya bisa mengangkat bahu sambil terkekeh. Setelah semua selesai, mereka bersandar di bantal-bantal besar yang sudah disiapkan Mama. Gelas minuman segar berpindah tangan, es di dalamnya beradu menimbulkan bunyi ringan. Angin malam makin sejuk, suara jangkrik samar terdengar dari kejauhan. Kirana membuka percakapan. “Aku beneran nggak nyangka, malam ini seru banget. Rasanya kayak balik ke masa kecil.” Ayu mengangguk. “Iya. Padahal tadi aku capek banget kuliah, tapi sekarang mood jadi bagus.” Nayla, yang masih sibuk mengecek kameranya, ikut menimpali, “Konten kali ini pasti viral. Aku bisa ngerasain!” Sekar hanya tersenyum sambil menghela napas lega. Rasa penat dari pekerjaan, tekanan proyek, bahkan panggilan serius dari Wiryajaya tadi sore, mendadak terasa ringan. Ia menatap adik-adiknya yang tertawa bebas, lalu melirik Aria yang tampak bahagia berada di tengah keluarganya. Bagi Sekar, malam sederhana dengan samyang, kain batik, dan kebersamaan ini lebih berharga daripada jamuan mewah di restoran manapun. Aria menepuk bahu Sekar pelan. “Lihat tuh, Kar. Kamu nggak sendirian. Kamu punya mereka. Jangan terlalu keras sama dirimu sendiri.” Sekar menatap Aria, lalu menunduk sebentar. Senyumnya tipis, tapi tulus. “Iya. Kamu benar. Terima kasih, Ri.” Dan malam itu berlanjut dengan obrolan-obrolan ringan, candaan yang membuat perut mereka sakit karena terlalu banyak tertawa, serta rasa nyaman yang hanya bisa ditemukan di rumah, bersama orang-orang yang benar-benar mereka sayangi. Malam semakin larut, namun obrolan di ruang santai itu tidak juga mereda. Setelah puas menyantap samyang buatan Mbok, mereka berlima masih duduk melingkar di dekat kolam renang dengan kain batik yang melekat di tubuh mereka, rambut disanggul rapi. Gelas-gelas berisi minuman segar tersisa setengah, dan kamera yang tadi dinyalakan Nayla masih merekam tanpa mereka hiraukan. Nayla tiba-tiba mencondongkan tubuhnya ke arah Sekar, matanya menyipit jahil. “Mbak, aku boleh tanya sesuatu nggak?” katanya dengan suara penuh rasa ingin tahu. Sekar menoleh, sedikit curiga. “Tanya apa, Nay?” Kirana ikut menimpali, menyenggol lengan kakaknya. “Aku juga kepo, Mbak. Soal Pak Wiryajaya itu loh. Dari tadi Kamu belum cerita banyak. Seperti apa sih orangnya?” Ayu yang duduk di sebelah Sekar ikut menoleh, walau ekspresinya lebih tenang. Aria tersenyum tipis sambil menunggu jawaban. Sekar menarik napas panjang, menatap ketiga adiknya satu per satu. “Pak Wiryajaya itu... orangnya tenang, tutur katanya halus, dan kelihatan sangat menjaga wibawanya. Waktu meeting tadi, aku merasa tatapannya aneh.” “Aneh gimana, Mbak?” tanya Nayla cepat, matanya berbinar penasaran. Sekar menunduk sebentar sebelum melanjutkan. “Tatapan penuh kerinduan. Seolah-olah... dia sudah lama mengenalku. Padahal, baru pertama kali kita bertemu.” Kirana menutup mulutnya dengan tangan, berdecak pelan. “Wah, jangan-jangan ada kisah masa lalu antara Mbak sama beliau.” Sekar hanya bisa tersenyum miris. “Aku bingung. Aku merasa ada sesuatu yang menarik darinya, tapi di sisi lain, aku juga takut untuk merasakan hal yang sama.” Ucapan Sekar membuat suasana hening sejenak. Namun, Nayla yang memang tak bisa diam langsung meraih ponselnya. “Kalau gitu kita cari tahu saja, Mbak. Nama lengkapnya siapa tadi?” “Wiryajaya,” jawab Sekar lirih. Dalam hitungan detik, Nayla dan Kirana sudah sibuk mengetik di layar ponsel mereka. Tak lama kemudian, teriakan kecil keluar dari bibir Nayla. “Mbak! Ini lho... banyak artikel tentang beliau! Lihat, wajahnya katanya mirip sama raja keraton puluhan tahun lalu.” Kirana segera ikut membaca. “Iya, benar! Bahkan ada penulis tua yang bilang, beliau mungkin reinkarnasi dari bangsawan keraton Jogja. Katanya sorot matanya sama persis dengan lukisan Raden Mas…” Ayu mencondongkan kepala, ikut melihat sekilas. “Aku rasa itu hanya kebetulan. Banyak orang bilang mirip dengan tokoh masa lalu, tapi itu kan hanya persepsi.” Aria yang sejak tadi diam akhirnya bersuara. “Aku justru percaya hal seperti itu mungkin saja ada. Reinkarnasi itu nyata bagi sebagian orang. Dan kalau benar, mungkin memang ada takdir tertentu yang mempertemukan Mbak Sekar dengan Mas Wiryajaya.” Sekar menghela napas, menatap Aria dengan senyum tipis. “Aku tidak percaya reinkarnasi, Aria. Menurutku hidup ini ya sekali, dan setelahnya kita akan kembali pada Sang Pencipta.” “Tapi banyak bukti-bukti kisah orang yang mengingat kehidupan lamanya, Mbak,” sanggah Aria dengan tenang. Kirana segera mengangkat tangan, “Aku setuju sama Kak Aria. Banyak cerita soal anak kecil yang bisa menyebut detail kehidupan sebelumnya. Itu kan susah dibantah.” Nayla mengangguk mantap. “Aku juga percaya. Rasanya masuk akal kalau jiwa bisa lahir kembali.” Ayu tersenyum sambil menyilangkan tangan di d**a. “Kalau aku, sama seperti Mbak Sekar. Aku tidak percaya. Semua itu hanya kebetulan dan imajinasi manusia.” Perdebatan ringan itu berlangsung dengan hangat, tanpa ada yang benar-benar memaksakan pendapat. Mereka tertawa kecil ketika menyadari bahwa meja kecil di depan mereka kini penuh gelas kosong dan sisa bungkus samyang. Setelah topik reinkarnasi agak mereda, Nayla tiba-tiba bersandar ke bahu Sekar. “Kalau soal percintaan, gimana Mbak? Kamu jujur saja, deh. Jangan-jangan sebenarnya Kamu sudah mulai ada rasa sama Pak Wiryajaya?” Sekar menepuk lembut kepala adiknya. “Dasar adik nakal. Aku tidak sedang dekat dengan siapa-siapa. Dan untuk Pak Wiryajaya, aku sendiri belum mengerti perasaanku. Ini kan baru pertemuan pertama kami.” Aria yang duduk di seberang mereka tersenyum, lalu mengeluarkan ponselnya. “Kalau kalian mau tahu, aku justru punya teman dekat. Namanya Rangga, konsultan keuangan di kantorku. Dia baik, sering membantuku saat pekerjaan menumpuk.” Kirana ikut membuka galeri ponselnya. “Kalau aku, ada temen kuliah namanya Dimas. Kami sering diskusi tugas bareng. Belum ada apa-apa sih, tapi orangnya menyenangkan.” Ayu menggeleng pelan. “Kalau aku, memang sedang tidak dekat dengan siapa pun. Kuliah saja sudah cukup menyita waktu. Jadi untuk sekarang, aku lebih memilih fokus.” Nayla terkikik. “Kalau aku, jangan ditanya. Masih terlalu sibuk jadi YouTuber, belum kepikiran soal cinta-cintaan.” Sekar hanya bisa tersenyum mendengar jawaban adik-adiknya. Malam itu terasa hangat, penuh dengan tawa, rasa ingin tahu, dan ikatan persaudaraan yang kian erat. Obrolan malam itu beralih semakin serius ketika Sekar dan Aria mulai membicarakan soal pekerjaan. Sekar meletakkan gelas minumnya di atas meja kayu kecil, menatap ke arah Aria. “Aria, kalau proyek Taman Sari ini berjalan lancar, ada kemungkinan aku harus ke Jogja untuk beberapa minggu ke depan. Pihak sana ingin aku langsung melihat lokasi supaya bisa membuat desain yang sesuai dengan kondisi lapangan.” Aria mengangguk pelan. “Kalau begitu, aku akan coba ajukan cuti. Sudah lama aku ingin liburan ke Jogja, sekalian menemanimu bekerja. Aku bisa bantu apa saja kalau memang diperlukan.” Sekar tersenyum tipis, lalu meraih ponselnya. “Aku sudah mulai mencari-cari rumah singgah di Jogja. Kalau hanya seminggu, kita bisa sewa rumah harian saja. Setelah itu, pekerjaan bisa aku lanjutkan dari Jakarta lewat laporan dan komunikasi daring.” Aria ikut mencondongkan tubuh untuk melihat layar ponsel Sekar. Mereka tampak serius membandingkan beberapa pilihan rumah singgah dengan halaman luas dan nuansa tradisional Jawa yang kental. Tentu saja, pembicaraan itu tidak luput dari telinga ketiga adik Sekar yang sejak tadi duduk memperhatikan. Nayla langsung bersorak kecil. “Mbak! Kalau Kamu ke Jogja, aku ikut ya. Aku bisa bikin konten YouTube banyak di sana. Asyik sekali pasti.” Kirana menimpali dengan cepat. “Aku juga mau ikut, Mbak. Ada banyak hal menarik di Jogja yang bisa aku jadikan bahan tulisan. Lagipula, aku ingin belajar langsung atmosfer keraton.” Ayu yang biasanya lebih kalem kali ini ikut bersuara. “Aku pun mau, Mbak. Aku bisa menengok beberapa rumah sakit pendidikan di sana, siapa tahu bisa menambah wawasan.” Sekar langsung menegakkan tubuhnya, menatap ketiga adiknya tajam. “Kalian bertiga jangan manja. Ingat, kalian masih harus kuliah. Tidak bisa seenaknya meninggalkan perkuliahan hanya karena aku ada pekerjaan di Jogja.” Ketiga adiknya spontan terdiam, namun wajah mereka tetap menunjukkan rasa kecewa. Nayla bahkan memanyunkan bibirnya. Aria yang duduk di samping Sekar menghela napas pelan, lalu menoleh ke arah mereka bertiga. “Begini saja. Kalian jangan ikut dari awal. Biarkan aku menemani Mbak Sekar bekerja dulu. Tapi kalau kalian benar-benar ingin ke Jogja, kalian bisa menyusul hari Jumat sore setelah kuliah selesai. Kalian bisa bertemu di bandara, lalu berangkat bersama.” Kirana langsung bersinar matanya. “Jadi kami boleh menyusul, Kak Aria?” Aria tersenyum lembut. “Boleh. Dengan syarat, kalian tetap jalani kewajiban kuliah. Nanti hari Minggu malam atau Senin pagi, kita semua pulang bersama-sama. Jadi tidak ada yang terganggu urusannya.” Sekar menatap Aria dengan wajah sedikit tak setuju, namun akhirnya ia menghela napas. “Baiklah. Kalau itu memang bisa jadi solusi, aku izinkan. Tapi kalian bertiga janji, jangan sampai kuliah terganggu. Aku tidak mau mendengar kabar ada yang bolos.” Ketiga adiknya kompak menjawab dengan semangat. “Janji, Mbak!” Suasana kembali cair, senyum dan tawa mengisi udara. Sekar hanya bisa menggeleng, sementara Aria tersenyum puas karena berhasil menengahi. Malam itu, rencana ke Jogja mulai terbentuk, bukan hanya soal pekerjaan, tapi juga kesempatan bagi mereka semua untuk merasakan kebersamaan dalam nuansa baru.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN