Cicilan

2400 Kata
##Bab 3 Cicilan “Aku berikan Mama hanya 1 juta rupiah, puas? Atau malah tidak percaya?” Itu pun baru bulan ini ngasih, karena uang hasil ngojek yang kukumpul ada lebihan,” jawab Mayang membuatku terkejut. “Mayang, kalau memang kamu ingin berikan Mama sejumlah uang, ngomong pada Mas,” ucapku sambil mencari dompet. Sebaiknya aku ganti uang Mayang, siapa tahu dengan seperti ini, ia mau menjawab semua rasa penasaranku. Setelah mendapatkan dompet itu, aku pun segera mengeluarkan sejumlah uang yang ia sebutkan tadi. “Ini, Mas gantikan uang yang kamu berikan untuk Mama atas namaku. Terima kasih ya, Dek. Kamu telah ingatkan Mas untuk memberi meskipun tahu orang tuamu berkecukupan,” jawabku. Ia hanya terdiam, kemudian meraih uang yang kuberikan padanya. “Terima kasih, Mas. Aku simpan uang pemberian kamu, terima kasih sekali lagi sudah percaya dengan ucapanku,” ketusnya. Kemudian, ia letakkan uang itu di sebuah laci yang tak pernah aku buka sebelumnya, kuintip sedikit laci yang ia buka, ternyata ada sejumlah uang di sana. Aku tersentak dan melontarkan senyuman tipis ke arah Mayang. Ia pun memberikan senyuman itu kembali padaku. “Kenapa, Mas? Ingin tahu juga isi laci ini?” tanyanya. Aku hanya menggelengkan kepala. Kemudian, kami pun berpencar, Mayang melakukan tugasnya, aku hanya rebahan di ranjang. Ada keinginan membuka laci tersebut, dan menghitung jumlah uang yang ada. Namun, di sisi lain aku menghargai privasi istri. Gara-gara sibuk mencari alasan Mayang ngojek, dan maksud tulisan yang ada di bukunya, aku jadi kelelahan dan tertidur hingga maghrib. Tersadar ketika mendengar suara isak tangis Mayang di kamar sebelah. Astaga, itu suara Mayang seperti sedang menangis. Kedengarannya di samping, kamar Arya. Lebih baik aku lihat langsung saja, dan menanyakan padanya. Kulangkahkan kaki ini, beranjak dari ranjang besi yang berusia seperti pernikahanku dengan Mayang. Saksi bisu cintaku pada Mayang yang tak pernah rapuh dilekang oleh waktu. Pintu kamar terbuka setengah, kucoba masuk tanpa memberikan salam agar ia tidak menyembunyikan kesedihannya. Aku dekati wanita yang sedang menggendong Arya, ia sedang menyusui anak kami. Namun, air mata yang tak pernah kulihat selama di rumah, kini terlihat bercucuran di hadapan Arya. Tampak tangan Arya sedang memegang pipi ibunya, seperti tahu ibunya sedang menangisinya. Bibir Mayang pun tidak henti-hentinya menciumi tangan Arya yang sedang menyeka air matanya. “Mayang, kamu menangis?” tanyaku dengan penuh kehati-hatian. Ia pun tampak menyeka air matanya. Kemudian memancarkan senyuman, Arya yang belum tidur pun bangun dan ketika melihatku, ia meminta digendong oleh papanya. “Papa, endong,” ucap bocah berusia 2 tahun September nanti. Dengar celotehan Arya, aku pun tersenyum dan mengecup keningnya. “Arya, Arya berhenti ASI ya, biar Mama nggak nangis lagi,” ucapku pada anakku. Namun, anak itu tidak terlalu paham dengan apa yang kubicarakan. “Mama ais eyus,” celetuk Arya sontak membuatku menelan saliva ini. “Iya, Mama nangis terus karena sayang dengan Arya, ia pengen Arya berhenti nyusu, Arya mau?” tanyaku pelan. Arya pun yang belum mengerti hanya mengangguk. “Nggak apa-apa, Mas. Aku nggak keberatan jika Arya masih ASI, nanti tepat 2 tahun baru diberhentikan,” sahut Mayang. Matanya sudah kering, air mata yang bercucuran tadi seketika sudah tak terlihat mengalir lagi di pipinya. Mayang kenapa jadi pandai menyembunyikan kesedihannya? “Mayang, sebenarnya ada apa kamu menangis? Kenapa tiap kali menyusui Arya kamu nangis? Ini tidak baik untuk kamu dan Arya,” ucapku sambil menatap mata wanita yang kupersunting setelah pacaran 3 tahun lamanya. “Nanti akan kuceritakan pada tanggal 5 September, Mas,” jawab Mayang dan setelah itu ia bangkit dari duduknya. Kemudian, dengan posisi menggendong Arya aku tarik tubuh wanita yang kini turun bobot tubuhnya. “Mayang, jika aku bersalah dalam membina rumah tangga, tolong ditegur! Jangan hukum aku seperti ini,” ungkapku sambil memegang lengannya yang tidak ada dagingnya itu. “Kamu tidak bersalah, Mas. Kamu baik, makanya aku tak pernah mengeluhkan apa pun padamu,” jawab Mayang lagi. “Lalu, apa yang kamu pikirkan selama ini? Uang yang aku berikan padamu untuk merawat dirimu saja, itu tak digunakan untuk mempercantik dirimu sendiri,” sahutku. Uang yang kuberikan satu setengah juta memang tidak besar, tapi itu aku berikan khusus untuk Mayang, tidak untuk keperluan rumah tangga lainnya. Seperti listrik, makanan, kebutuhan kamar mandi, itu semua sudah kusediakan tiap bulan. Jadi, uang itu murni untuk Mayang senang-senang. Namun, tak kulihat ia bersenang-senang dengan uang yang kuberikan. “Iya, Mas. Terima kasih, itulah kenapa aku nggak pernah mengeluhkan ini padamu, karena memang aku tahu semua kebutuhan sudah kamu penuhi. Tapi ....” ucapannya terputus. Ia tampak menyorot Arya setelah ingin bicara tapi memilih untuk tidak melanjutkannya. “Sambung, Mayang. Tapi apa?” tanyaku penasaran. “Sudah, Mas. Kita siap-siap makan malam, masakan ibumu masih banyak di dapur,” ucapnya. Teringat bicara soal masakan, aku pun segera menyampaikan bahwa besok ibu tidak dapat mengirim makanannya. “Dek, ada yang aku lupa, besok Ibu nggak bisa antar makanan, kamu masak ya,” suruhku. “Bukankah masakanku nggak enak, Mas?” tanya Mayang. Aku menautkan kedua alis yang tebal ini. Rupanya ia tahu aku ini lebih suka masakan ibu. “Enak kok, siapa yang bilang masakanmu tidak enak? Kalau aku tidak mikir takut kamu kelelahan, pasti lebih baik kamu saja yang masak,” jawabku sambil berusaha merangkulnya. “Ibumu, yang bilang Mas. Kata Ibu, ia mengirimkan makanan karena kamu tidak menyukai masakanku,” jawab Mayang. Aku terdiam sejenak, sepertinya ucapan ibu ini membuat Mayang nangis terus. Namun, aku memutar perkataannya kembali, hanya soal masakan seperti ini bisa membuat istriku ngojek? Rasanya tidak mungkin alasan ini yang dibuatnya. “Maafkan ibuku, ya. Mungkin ia salah tanggap dengan ucapanku.” Kami pun tidak melanjutkan pembicaraan tentang masakan, yang terpenting sekarang aku harus lebih banyak bicara dan perhatian pada Mayang. “Aku berangkat kerja, ya, Sayang. Ingat, jangan ngojek lagi!” tekanku pada Mayang. “Iya, Mas. Hari ini aku kan masak, Ibu nggak kirim makanan, jadi nggak mungkin aku ngojek,” celetuknya. Aku pun bergegas berangkat kerja setelah sarapan pagi bersamanya. Di tengah perjalanan, sudah lumayan jauh dari rumah, berkas penting yang akan kulaporkan tertinggal di rumah. Kuhubungi Mayang, tapi tidak diangkat olehnya. Sepertinya aku harus putar balik, mengambil berkas penting itu. Hanya dalam waktu setengah jam, aku sudah kembali ke rumah. Namun, sepertinya ada tamu yang datang. Siapa yang datang pagi-pagi sekali? Baru jam setengah sembilan sudah bertamu. Kulangkahkan kaki perlahan, suara mobil masih kunyalakan, karena terparkir di depan rumah tetangga, mungkin Mayang tidak mengira itu mobilku. Biasanya kalau tahu juga ia langsung membuka pintu untukku. “Ini sudah cicilan yang terakhir ya, Mayang, alias sudah lunas,” ucap wanita yang berada di dalam rumahku. Cicilan? Utang? Sudah lunas? Apa ini yang ada di catatan buku Mayang? Akhirnya kuurungkan niat untuk masuk, khawatir malah mereka tidak jadi bicara kelanjutannya, lebih baik aku mendengarkannya dari balik pintu saja. “Kalau begitu, aku permisi dulu ya, makasih loh!” ucap wanita itu lagi. Sepertinya ia mau pulang, lebih baik aku nongol lebih dulu, agar bisa tanyakan langsung padanya. “Assalamualaikum,” ucapku sambil melebarkan daun pintu yang sedikit terbuka. “Waalaikumsalam, loh Mas kamu pulang lagi?” tanya Mayang heran. Ia pun sontak memandang wajah wanita yang berada di hadapannya. “Iya, ada yang ketinggalan. Maaf, Mbak ini siapa ya?” tanyaku pada wanita yang tak kukenal, dari parasnya usia wanita itu sekitar seumuran Mayang. Ada urusan apa ia ke sini? Tagihan apa yang Mayang punya? “Mas, kamu sudah dari tadi ya di depan pintu?” tanya Mayang balik. Rasanya ia selalu menutupi setiap kali aku ingin mengetahui apa yang ia lakukan. “Maaf Mayang, aku tanya temanmu dulu, agar tahu istriku ini punya cicilan apa!” tekanku pada Mayang. Ia pun tertunduk, kemudian Mayang duduk di sofa. Ada tarikan napas keluar dari mulutnya. Sepertinya ia sedang tegang, mungkin karena kedatanganku yang mendadak. “Mbak, maaf saya tanya lagi, Mbak ini siapanya Mayang ya?” Bola mata Mayang tak henti-hentinya menatap ke arah wanita itu. “Saya Rika, temannya Mayang. Maaf ya, Mas. Ke sini pagi-pagi, soalnya lagi butuh uang,” jawabnya membuatku semakin penasaran. Kulirik wajah Mayang yang tiba-tiba membeku, apa ini rahasia di balik semua yang kupertanyakan? “Kalau boleh tahu, ke sini ada perlu apa ya? Tadi aku dengar soal cicilan,” cecarku pada wanita yang berpakaian rapi. Ya, hari ini aku harus mendapatkan jawabannya. Agar aku bisa bekerja dengan tenang di kantor. “Iya, Mas. Jadi ini cicilan ....” Tiba-tiba telepon seluler milikku berdering, suara panggilan telepon terus menerus terdengar, hingga obrolan kami pun terputus. “Maaf, Mbak. Sebentar saya angkat telepon dulu,” ungkapku. Ternyata Pak Wijaya yang telepon, Bos yang mengangkatku menjadi manager di kantor. Sejak kelahiran Arya lah kehidupan kami berubah, mobil aku beli pun setelah Arya lahir. Mungkin sebagian orang tidak percaya bahwa rezeki anak itu sudah ada masing-masing. Aku percaya itu, karena dulu kehidupan kami sangat prihatin. Bekerja di kantor tapi masih staf biasa, dan penghasilan pun masih di bawah rata-rata. Sampai-sampai, ketika Mayang melahirkan pun aku tak punya uang sama sekali. “Halo, Pak.” “Ardan, sudah jam berapa ini? Berkas-berkas yang akan ditandatangani jangan lupa dibawa. Masa Bos datang lebih dulu dari bawahan. Ayolah cepat ke sini,” ledeknya. Aku tahu ia becanda padaku. Namun, memang tak sepantasnya sudah hampir jam sembilan aku belum juga tiba ke kantor. “Iya, Pak. Maaf, saya lupa bawa berkasnya, ini sedang ambil ke rumah. Segera saya meluncur ke kantor,” jawabku. “Baik, saya tunggu, Ardan.” Telepon pun terputus. Sepertinya aku urungkan kembali membahas cicilan Mayang. Nanti setelah pulang dari kantor, akan kutanyakan lagi pada Mayang. “Mayang, tolong nanti jelaskan padaku tentang ini, setelah Mas pulang kerja,” ucapku sambil berlalu ke kamar, mengambil berkas yang tertinggal di laci. Aku ambil berkas yang tertinggal, tapi ada yang terlihat aneh di laci bawahnya. Tepat laci yang semalam aku lihat berisikan uang, tapi di sana sudah tak nampak tumpukan lembaran merah. Rasanya semalam kulihat jumlah yang berada di dalam laci cukup lumayan, tapi kenapa hanya sisa beberapa lembar saja? Untuk menghilangkan rasa penasaranku, aku tarik laci yang tadi sedikit terbuka. Ternyata hanya berjumlah uang satu juta. Itu sejumlah uang yang kuberikan untuknya semalam, ketika mengganti uangnya. Lalu yang semalam kulihat ke mana? Apa untuk Rika tadi? Benar-benar saat ini aku dibuat penasaran oleh Mayang, kenapa ia tidak jujur saja kepadaku? Adakah ancaman yang telah ia terima? Aku bergegas kembali ke kantor, karena Pak Wijaya sudah menunggu untuk meeting. Dengan langkah tergesa-gesa, aku hampir bertabrakan dengan Mayang. “Dek, kamu masih punya utang penjelasan temanmu tadi, ingat ya pulang kerja aku akan tagih!” seruku. “Iya, Mas, kamu buru-buru sekali? Hati-hati ya, Mas!” pesannya ketika melihat aku pergi tergesa-gesa. Banyak pikiran yang muncul, hingga meeting pun akhirnya berjalan dengan hasil yang kurang memuaskan. Pak Wijaya pun menghampiriku, menanyakan perihal performaku saat meeting. “Ardan, kamu kenapa? Meeting tadi benar-benar terlihat kurang sekali performamu, jangan buat saya malu,” ucapnya membuatku malu. Namun, ia memang bos yang sangat pengertian terhadapku. “Maaf, Pak. Saya sedang banyak masalah,” jawabku sambil memegang kening pada rambut yang tadi tertata rapi. “Masalah apa Ardan. Bukankah saya sudah memberikan gaji 20 juta sebulan untukmu, masih kurang kah?” tanya Pak Wijaya membuatku sungkan. “Itu dia, Pak. Saya bingung, gaji saya sudah besar, keperluan rumah tangga sudah saya penuhi, tapi istri saya selama 2 tahun ini menjadi ojek online tiap pagi hingga siang,” jawabku dengan muka yang sedikit tertutup oleh kedua tangan. “Wah, ini pasti ada sesuatu, Ardan. Kamu harus cari tahu,” saran Pak Wijaya. “Saya sudah bertanya pada istri, katanya ia akan jujur tanggal 5 September nanti,” terangku. “Tidak bisa, Ardan. Kamu harus cari tahu lebih dulu, khawatir istrimu itu tertekan atau ada yang mengancam.” Ucapan Pak Wijaya membuatku semakin memikirkan masalah ini. Jangan-jangan Mayang memang diancam. “Siapa yang mengancamnya? Saya tidak tahu harus bagaimana, Pak,” jawabku. “Bagaimana jika kamu ngobrol empat mata pada perawat yang momong anakmu, pasti ia tahu sesuatu,” saran Pak Wijaya. “Sudah, Pak. Saya sudah tanyakan padanya, tapi ia tidak bicara jujur pada saya,” sahutku lagi. “Saran saya, bicara ketika istrimu tidak ada di rumah. Nanti saya suruh Tiara ajak istrimu jalan, bagaimana?” Pak Wijaya atasan yang benar-benar perhatian pada keluargaku. “Baik, Pak. Terima kasih banyak,” Aku pun kembali bekerja dengan hati yang sudah lumayan lega. Pekerjaan hari ini sedikit kacau, tapi sudah agak sedikit lega, karena besok istrinya Pak Wijaya akan mengajak Mayang pergi. “Assalamualaikum,” ucapku ketika tiba di rumah. “Waalaikumsalam,” sahutnya sembari mencium tanganku. Kemudian ia buka jas yang kupakai, dan meraih tas yang kubawa. “Mas, kamu lelah, ya? Oh ya, tadi kamu tanya untuk apa Rika ke sini?” tanya Mayang. Entahlah, aku merasakan ada ketidakjujuran di matanya. “Iya, kamu punya utang apa?” tanyaku dengan nada lemas. “Kemarin, uang yang kuberikan untuk Mamaku itu pinjam dengan Rika,” sahutnya membuatku mengernyitkan dahi. Sepertinya ini jawaban yang tidak jujur, aku lihat uang yang kuberikan padanya masih utuh, justru uang yang kemarin lumayan banyak jumlahnya kulihat tadi sudah tidak ada. “Mayang, lain kali kalau butuh uang, bilang aku saja,” sahutku. Malam sudah mengeluarkan bintang, sepertinya sebentar lagi Bu Tiara akan datang mengajak Mayang ke luar rumah. Deru mobil terdengar parkir di depan rumah, aku rasa itu Bu Tiara. Ting ... tong .... Benar dugaanku, itu tadi suara mobilnya Bu Tiara. Mayang pun membuka pintu, ia terkejut kedatangan istri atasanku. “Loh, Bu Tiara, ada apa ya?” tanyanya. “Hai Mayang, aku mau bicara sesuatu, bisa kita ngobrol di cafe dekat sini?” tanya Bu Tiara. Lalu mata Mayang tertuju padaku, dan aku pun mengangguk. “Tuh, boleh sama suami, sebentar saja, yuk!” ajaknya lagi. “Iya, baik, Bu,” sahut Mayang. Kemudian, ia pun berangkat bersama Bu Tiara. Aku segera melangkah ke Mbok Ani, ia harus menceritakan keganjalan yang terjadi. “Mbok, Arya sudah tidur?” tanyaku pelan. “Sudah, Pak. Baru saja tidur,” sahutnya. “Kalau begitu, ada yang ingin saya bicarakan serius, Mbok bisa jawab dengan jujur? Ini demi Arya, Mbok, juga demi saya, majikan Mbok.” Aku berusaha meyakinkan Mbok Ani. Ada sorotan tajam di matanya. “I-iya, Pak. Saya akan jawab semampu saya,” sahutnya terbata-bata. “Mbok, adakah yang Mbok tahu tentang istriku? Sepertinya ada yang ia rahasiakan, tahukah Mbok tentang rahasia ini?” Mbok Ani bergeming, hanya mampu menelan salivanya, terlihat dari kerongkongannya yang bergerak. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN