Theo terkejut ketika membaca dua kalimat singkat pada sepotong kertas yang terselip di antara hasil test murid-muridnya..
"Saya ingin punya cowok yang seperti Bapak, jantan! Apalagi kumis Bapak yang tebal itu, menggemaskan".
Setelah membacanya, ia menarik nafas panjang beberapa kali. Ia menduga bahwa potongan kertas itu terselip di kertas test muridnya yang nakal, Debby. Lalu ia memutuskan untuk merobek kertas itu menjadi beberapa potongan kecil. Ia tak ingin istrinya menemukan dan membaca kertas itu.
Tanpa disadarinya, pikiran Theo menerawang ke beberapa 'peristiwa menyenangkan' ketika ia mengajarkan matematika di kelas 2B. Kelas itu menjadi berbeda daripada kelas-kelas lainnya karena di kelas itu ada Debby yang cantik, berhidung bangir, berkulit kuning bersih, dan selalu duduk di kursi barisan paling depan. Kursi itu berjarak kira-kira 3 meter dari meja guru dan persis berhadap-hadapan.
Debby menjadi murid yang 'istimewa' karena bila sedang latihan mengerjakan soal, lututnya selalu agak renggang. Dari mejanya, Theo dapat memandang celah di antara kedua lutut itu. Dan karena murid-murid lainnya sedang sibuk mengerjakan soal masing-masing dengan kepala tertunduk, maka Theo merasa bebas menatap pemandangan indah di depannya.
Pertama kali, Theo merasa bahwa hal itu hanya sebuah ketidaksengajaan. Murid yang istimewa itu mungkin terlalu asyik dan serius mengerjakan soal latihan sehingga tidak menyadari posisi duduknya yang menggairahkan birahi lelaki. Sesekali kedua lutut itu dirapatkan, tapi tak lama kemudian terbuka kembali.
Ia jadi terlena menatap keindahan paha dan kecantikan wajah gadis remaja yang duduk di depannya. Dan tak sengaja, ia melihat senyum kecil di sudut bibir gadis itu ketika memergoki arah tatapan matanya. Saat itu, ia langsung mengalihkan pandangan ke sekeliling ruang kelas. Tapi tak lama kemudian, seperti dihipnotis, pandangannya beralih kembali ke tempat semula. Ternyata kedua lutut itu terbuka semakin renggang hingga ia dapat melihat kemulusan paha bagian dalamnya.
Theo tak mampu mengalihkan matanya ketika muridnya itu kembali mengangkat wajahnya. Sesaat, tatapan mata mereka berbenturan. Lalu keduanya tersenyum. Tak lama kemudian, kedua lutut itu semakin direnggangkan hingga ia terpana menatap segaris celana dalam berwarna putih. Barulah disadarinya bahwa paha itu memang sengaja direnggangkan agar ia dapat memandang keindahan yang tersembunyi di balik rok seragam berwarna abu-abu itu.
Pada kesempatan lain, Theo hanyut ke dalam fantasinya sendiri. Seandainya mungkin, ia ingin menghampiri dan melihat keindahan itu lebih dekat lagi. Ia ingin mengusap kemulusan paha itu dan mengecup pori-porinya berulang kali. Ia ingin mencicipi kehalusan kulit paha itu dengan ujung lidahnya. Lalu ia akan mengecup dan sesekali menjilat, mulai dari lutut hingga ke pangkal paha. Ia juga ingin menyusupkan telapak tangannya ke bawah rok gadis remaja itu agar dapat meremas bongkah pinggul yang pasti masih kenyal.
Dan yang paling penting, ia ingin menyibak secarik kain tipis penutup pangkal paha gadis itu agar ia dapat menghirup aroma semerbak yang tersembunyi di situ. Aroma seorang gadis belia pasti sangat segar, katanya dalam hati. Aroma yang membius! Aroma yang membuat ia tak berdaya! Lalu ia akan menghirup aroma itu dalam-dalam. Setelah aroma itu memenuhi rongga dadanya, ia akan mencium dan menjilat-jilat kelembutan bibir v****a yang segar itu. Lidahnya akan menari-nari dengan liar agar kedua belah paha mulus itu 'menggunting' lehernya sehingga lidahnya terperangkap dalam liang v****a yang basah. Setelah melipat lidahnya seperti bentuk sekop, akan dihisapnya semua lendir yang tersembunyi di bibir dalam dan dinding v****a itu. Akhirnya, ia akan meremas-remas bongkahan pinggul kenyal itu sambil membiarkan lidahnya merasakan denyutan-denyutan v****a seorang gadis remaja yang sedang mencapai puncak orgasmenya.
*****
Kira-kira seminggu setelah menyuguhi pemandangan indah di pangkal pahanya, tiba-tiba Debby berjalan menghampiri Theo. Saat itu bel jam istirahat telah berbunyi. Gadis itu sengaja keluar paling akhir dari ruang kelas.
"Ini untuk Bapak!" katanya sambil meletakkan sepotong kertas di atas meja, lalu melangkah terburu-buru meninggalkan ruang kelas.
Theo membaca tulisan di kertas itu, 'Coba tebak, besok Debby pakai CD warna apa?'. Dan di bawah tulisan itu ada nomor HP. Setelah merenung sejenak, Theo memasukkan nomor HP itu ke dalam memory HP-nya. Sejenak ia ragu mengirimkan SMS untuk menjawab pertanyaan itu. Tapi ada bisikan di lubuk hatinya, 'Ini hanya sebuah game, tak salah untuk dicoba.' Dan kemudian ia menuliskan satu kata, 'Pink.'
Kira-kira semenit kemudian, HP Theo berbunyi. Ia membaca SMS yang masuk, 'Salah.' Lalu dibalasnya, 'Biru muda.' Tak lama kemudian, masuk jawaban, 'Salah!'. Dibalasnya lagi dengan, 'Putih!'. Jawabannya, 'Masih salah!'. Setelah merenung sejenak, Theo membalas, 'Hitam.' Lalu ia menerima balasan, 'Ayo, itu CD siapa? Debby nggak punya CD warna hitam!'.
Theo tersipu. Lalu ia menulis SMS yang agak panjang, 'Nyerah deh. Yg pernah aku lihat hanya: putih, pink, dan biru muda. 2 hr y.l aku nggak bisa melihatnya krn pahamu kurang terbuka!' Dan ia pun menerima jawaban yang agak panjang, 'Jadi Bpk ingin bsk Debby pakai warna apa?' Merasa game yang mereka mainkan telah meningkat panas dan mesra, dengan berani Theo menulis, 'Jgn pakai!!' Dan setelah SMS itu dikirimkan, hingga menjelang tidur malam harinya ia tidak mendapat balasan. Mungkin ia marah dan tersinggung, pikir Theo.
Keesokan harinya, jantung Theo berdebar-debar ketika berada di ruang kelas. Setelah menjelaskan beberapa contoh soal, ia melangkah berkeliling di antara kursi murid-muridnya. Ia berbuat demikian agar tak sempat bertatap mata dengan gadis remaja yang nakal itu. Tapi ketika sedang melangkah di sebelah kiri kursi Debby, gadis itu sengaja menjatuhkan pensilnya ke lantai persis di depan kursinya.
Tanpa sadar, dengan refleks ia berhenti lalu menunduk memungut pensil itu. Dan ketika menengadah, tiba-tiba wajahnya merona merah. Walau hanya sesaat, dilihatnya gadis itu sengaja mengangkangkan kedua pahanya lebar-lebar, lalu dengan cepat dirapatkan kembali. Memang hanya dalam hitungan detik, tetapi ia sempat melihat pangkal paha itu dari jarak yang sangat dekat. Di pangkal paha itu ada setumpuk kecil bulu-bulu ikal berwarna hitam. Bukan hitam pekat, tetapi hitam kecokelat-cokelatan karena bercampur dengan bulu-bulu halus, lurus, dan masih pendek. Bulu-bulu yang baru tumbuh!
Setelah berdiri kembali dan berhasil menguasai dirinya, Theo menatap ke sekeliling ruang kelas. Tak terlihat ada tanda-tanda bahwa murid-murid lainnya mengetahui peristiwa itu. Lalu dengan suara tegas berwibawa, ia berkata..
"Kerjakan latihan soal nomor 1 dan 2."
*****
Sore itu, ketika baru saja menutup pintu mobilnya, HP Theo berbunyi. Ia terpana ketika membaca nama yang muncul, Debby.
"Ya, ada apa Debby?"
"Bapak marah ya?! Kenapa setelah mengambil pensil Debby dari lantai Bapak tidak duduk kembali di kursi Bapak. Padahal hari ini Debby sengaja tidak pakai CD agar Bapak bisa memandanginya!"
Lidah Theo tiba-tiba terasa kelu. Gila, katanya dalam hati. Si Debby ini bicara to the point. Berkesan vulgar. Menantang. Gadis itu seolah tak peduli, atau memang tak mau peduli efek dari kalimat-kalimat nakal yang diucapkannya.
"Aku tidak marah! Aku sedang memikirkan apakah aku masih akan mendapatkan kesempatan memandang pangkal pahamu dari jarak sedekat itu." kata Theo setelah memutuskan untuk 'masuk' ke game yang lebih dalam lagi.
Hanya orang bodoh yang menolakmu, katanya dalam hati. Bahkan kamu bisa membuat semua lelaki menjadi bodoh dan tak berani membantah keinginanmu. Lelaki mana yang berani menolak keinginan seorang gadis remaja yang cantik dan seksi seperti kamu? Lelaki mana yang akan membantahmu bila kau janjikan akan mendapatkan hadiah berupa sepasang paha ramping dan panjang yang akan membelit pinggangnya?
"Bapak suka?"
"Suka banget! Apalagi kalau boleh dicium!"
"Bapak mau mencium paha Debby?"
"Mau! Paha dan pangkalnya ya!"
"Ha?!"
"Apa v****a Debby belum pernah dicium?"
Sejenak tak ada jawaban. Theo pun sempat ragu-ragu untuk melanjutkan. Apakah mungkin si Debby yang vulgar dan nakal itu masih virgin? Belum pernah merasakan lidah lelaki menjilat-jilat bibir vaginanya, mengisap-isap klitorisnya? Apakah mungkin ia belum pernah menggosok-gosokkan dan menghentak-hentakkan celah v****a di bibir dan hidung seorang lelaki? Kalau belum, mengapa ia mengatakan suka pada kumisku?, tanya Theo dalam hati.
Rasa penasaran membangkitkan gairah kejantanannya. Bagian bawah pusarnya mulai tegang ketika membayangkan keindahan bulu-bulu di sekitar v****a itu. Bulu-bulu yang dapat ia tatap sepuas hatinya. Tidak hanya pandangan sekilas seperti ketika ia memungut pensil dari depan kursi gadis belia itu. Bulu-bulu halus yang masih pendek, yang membuat ia gemas ingin menarikinya dengan bibirnya. Menggelitiknya dengan kumisnya yang kasar. Gelitikan yang membuat pinggul itu mengelinjang. Lalu ia akan menjilatnya. Dan karena tak sabar, gadis itu akhirnya menarik kepalanya agar ia mencium dan menjilati bibir v****a yang mungil itu. Ini kesempatan emas yang mungkin terjadi hanya sekali seumur hidup, atau tidak akan pernah terjadi sama sekali! Take it or leave it, katanya dalam hati.
"Hallo Debby!"
"Kalau dicium di situ belum pernah. Kalau dahi dan pipi sering, dicium Papa."
"Terserah Debby deh. Aku akan menurut saja. Kalau hanya boleh memandang saja, aku suka. Kalu diijinkan mencium, aku pun suka. Dilarang, aku pun akan patuh."
"Kalau suka, Debby akan mengijinkan Bapak memandangnya lagi dari jarak dekat!"
"Kapan?"
"Mau sekarang?"
"Hah?!"
"Debby sekarang ada di Mall Arion. Bapak jemput Debby ya. Jangan parkir. Masuk ke halaman mall dan melewati pintu depan. Debby sekarang berdiri di situ, buruan ya!"
"OK!"
*****
Theo tersenyum sambil melirik Debby yang duduk di sebelahnya. Secara material, walau hanya seorang guru matematika, ia tidak kekurangan. Ia berasal dari keluarga yang berkecukupan. Ia memiliki rumah dan mobil sedan yang baik pemberian orangtuanya. Ia mencintai matematika dan ingin mengajarkannya kepada orang lain. Cita-citanya hanya ingin membuat matematika menjadi sebuah ilmu yang mudah untuk dimengerti. Sikapnya yang sabar ketika mengajar membuat ia disukai murid-muridnya. Ia memang tidak ingin diarahkan orangtuanya menjadi seorang pengusaha seperti yang dialami adiknya.
"Kita kemana?" tanya Theo memecah keheningan.
"Ke rumah Debby saja. Di rumah Debby hanya ada pembantu. Papa dan Mama sedang ke Singapore."
"Karena sekarang tidak sedang di kelas, sebaiknya panggil langsung nama, jangan pakai Pak."
"Benar? Nggak marah?"
"Benar! Walau perbedaan usia di antara kita mencolok, bukan berarti kita harus membuat sekat pemisah. Sekat seperti itu sangat membatasi ruang dan gerak. Secara formal, kadang-kadang sekat seperti itu memang diperlukan untuk menjaga jarak karena kita terikat pada norma dan etika. Kalau informal, sekat-sekat itu tak diperlukan karena akan membatasi seseorang dalam mengekspresikan dirinya. Setuju?" Debby tertawa kecil mendengar uraian Theo.
"Kayak menjelaskan rumus matematika saja!" komentarnya.
Ternyata gadis remaja itu tinggal di sebuah rumah besar dan mewah. Debby menggandeng tangan Theo menuju ruang keluarga yang terletak di bagian tengah, lalu menghilang di balik salah satu pintu setelah aku menghempaskan p****t di atas sebuah sofa besar dan empuk. Tak lama kemudian, seorang pembantu datang meletakkan segelas minuman ringan di hadapanku dan kemudian dengan terburu-buru menghilang kembali ke arah belakang.
Sambil menunggu, Theo melayangkan pandangan ke sekeliling ruangan. Semua furniture di ruangan itu tertata rapi dan bersih. Pada sebuah dinding, tergantung lukisan berukuran kira-kira 1 x 1 meter. Lukisan seorang anak perempuan kira-kira berumur 7 tahun yang berdiri diapit oleh ayah dan ibunya. Anak itu sedang tersenyum lugu. Rambutnya berponi. Lucu. Itu pasti Debby dan kedua orangtuanya, kata Theo dalam hati.
Kurang lebih 15 menit kemudian, Theo terhenyak. Gadis remaja itu berdiri di hadapannya dengan gaun tipis berwarna putih yang ujung bagian bawahnya tergantung kira-kira sejengkal di atas lutut. Gaun tanpa lengan. Hanya dua utas tali di bahu kiri dan kanan yang mengikat gaun itu agar tetap tergantung menutupi tubuh pemiliknya. Cantik. Seksi. Mempesona. Rambutnya lurus sebahu. Tingginya yang kira-kira 165 cm membuat ia tampak anggun. Tonjolan dadanya proporsional. Gaun tipis itu seolah menebarkan sejuta misteri yang memaksa mata lelaki menatap tak berkedip untuk mengungkap rahasia lekuk-lekuk tubuh yang tersembunyi di baliknya. Bagian bawah gaunnya yang lebar dan berenda seolah menjanjikan telaga birahi yang akan menyeret lelaki menyelam dalam sejuta fantasi.
"Debby, kau cantik sekali," kata Theo memuji. Pujian jujur yang keluar dari lubuk hatinya.
Debby tersenyum. Selama ini belum pernah ada lelaki yang memujinya seperti itu. Ia senang mendengar pujian itu. Ia pun sangat senang karena sebelumnya tak pernah melihat guru matematikanya itu terpesona menatapnya. Ia pun belum pernah melihat tajamnya sorot mata lelaki yang terpesona menatap. Dengan sikap feminin, ia duduk di sebelah kiri Theo.
"Debby, mengapa kamu memakai gaun seperti itu?"
"Karena Debby suka pada Bapak. Juga karena Bapak tampan dan jan.."
"Ehh, ehh! Tidak pakai sebutan Bapak!"
"Lupa..! Juga karena Theo tampan dan jantan, itu jawabannya!"
"Alasan lain?"
"Debby nggak punya saudara. Debby anak tunggal. Sering kesepian di rumah karena sering ditinggal Papa dan Mama. Nggak punya sahabat karena banyak teman-teman perempuan yang iri sama Debby. Nggak punya pacar karena cowok yang seusia Debby rata-rata egois. Obsesinya mereka selalu tentang s*x. Padahal Debby belum tentu suka. Jelas Bapak guru?"
Theo tertawa karena kata 'bapak guru' itu diucapkan dengan cara yang lucu. Dan sebelum tawanya berakhir, tangannya meraih bahu gadis itu. Dirangkulnya dengan ketat. Tak ada perlawanan. Sisa sabun beraroma lavender yang memancar dari tubuh gadis itu terasa menyegarkan ketika aromanya menyengat hidung Theo. Dengan gemas, di kecupnya pipi gadis itu. Kiri dan kanan.
"Seperti Papa," kata Debby sambil tertawa kecil.
Lalu ia bangkit dan berjalan ke arah pintu penghubung yang membatasi ruang keluarga dengan bagian belakang rumah. Setelah mendengar 'klik', ia melangkah kembali menghampiri Theo dan duduk rapat persis di sebelah lelaki itu.
Theo menggamit dagu gadis itu agar menoleh ke arahnya, kemudian dengan cepat bibirnya memagut bibir mungil gadis itu. Bibir yang terlihat basah walau tanpa lipstik. Sejenak tak ada reaksi. Diulangnya mengulum sambil menjulurkan lidahnya untuk mengait-ngait. Tapi lidah gadis itu masih tetap diam bersembunyi di rongga mulutnya. Sejenak, Theo melepaskan pagutan bibirnya. Ditatapnya wajah yang cantik itu sambil menggerakkan jari tangannya untuk menyibak beberapa helai rambut yang terjatuh di kening gadis itu. Dan ketika kembali mengulang ciumannya, ia merasakan ujung lidah yang menyusup di antara bibirnya.
Segera dipagutnya lidah itu. Dihisapnya dengan lembut agar menyusup lebih dalam ke rongga mulutnya. Kedua telapak tangannya turun ke bahu. Setelah mengusapkan jari-jarinya berulang kali, telapak tangannya meluncur ke punggung. Lalu dibelai-belainya punggung itu dengan ujung-ujung jarinya sambil mempermainkan lidah gadis itu dengan ujung lidahnya. Tak lama kemudian, ia merasakan dua buah lengan melingkari lehernya. Semakin lama lengan itu merangkul semakin ketat. Kemudian ia mulai merasakan lidah gadis itu bergerak-gerak. Tidak hanya pasrah menyusup, tetapi mulai bergerak membelit dan balas mengisap.
Theo melepaskan pagutan bibirnya. Sejenak mereka saling menatap. Terlihat bias-bias birahi di kedua bola mata mereka. Lalu dikecupnya dahi gadis itu dengan mesra. Kemudian bibirnya berpindah mengecup bahu. Mengecup berulang kali. Dari bahu bibirnya merayap ke leher. Sesekali lidahnya dijulurkan untuk menjilat.
Debby menggelinjang karena geli, seolah sekujur tubuhnya sedang digelitiki oleh jari-jari yang nakal dan menggemaskan. Ia menyukai hal itu, menyukai kecupan dan jilatan yang merambat di sekeliling lehernya. Apalagi ketika ia merasakan lidah itu menjilat-jilat kerongkongannya disertai telapak tangan yang meremas buah dadanya. Sesaat, ia menahan nafas ketika telapak tangan itu hanya menekan buah dadanya, tetapi tak lama kemudian, ia menghembuskan nafas lega merasakan telapak tangan itu meremas dengan lembut.
"Aahh, Theo," desahnya sambil menghembuskan nafas panjang.
Bibir Theo kembali merayap ke bahu. Sambil sesekali mengecup, ia menggunakan giginya untuk melepaskan tali yang mengikat gaun itu. Lidah dan hembusan nafasnya membuat gadis itu menggelinjangkan bahunya.
Debby baru menyadari bahwa tali pengikat gaunnya telah terlepas setelah ia merasakan bibir lelaki itu menyusur menciumi belahan atas buah dadanya. Bulu roma di sekujur tubuhnya meremang. Belum pernah ada lelaki yang melakukan hal itu. Ia ingin menolak, ingin mendorong kepala yang semakin mendekati buah dadanya, tetapi tangannya terasa lemah tak bertenaga. Ada rasa geli dan nikmat yang menjalar di pori-pori sekujur tubuhnya. Rasa yang membuat ia tak berdaya menolak. Apalagi setelah merasakan lidah itu menjilat-jilat dadanya. Jilatan-jilatan basah yang membuat jari-jari tangannya menekan kepala lelaki itu ke dadanya.
Ia menarik nafas lega, merasa beruntung karena tidak mengenakan bra di balik gaunnya. Bibirnya sesekali mendesis-desis seperti kepedasan ketika ia merasakan jilatan-jilatan itu semakin liar menjelajahi buah dadanya yang baru mekar. Dan ketika putik buah dadanya terperangkap dalam jepitan bibir lelaki itu, ia merintih sambil menghentakkan telapak kakinya di atas karpet..
"Aarrgghh.. Theo, enaak! Aduuhh..!".
Sekujur tubuhnya merinding ketika merasakan putik dadanya dijentik-jentik dengan ujung lidah. Lalu digigit dengan lembut. Dilepaskan. Digigit kembali. Dilepas. Dan tiba-tiba ia merasakan buah dadanya dihisap agak keras, seolah ingin ditelan!
Debby mendesah ketika merasakan jari-jari tangan Theo mengelus-elus bagian dalam pahanya. Ia mendesah dalam kenikmatan sambil menghempaskan lehernya di sandaran sofa. Secara naluriah, direnggangkannya kedua belah pahanya agar jari-jari dan telapak tangan itu dapat merayap lebih dalam. Ia ingin segera merasakan jari-jari tangan itu mengelus-elus pangkal pahanya.
Isyarat itu dimanfaatkan Theo dengan baik. Dengan sebuah tarikan kecil, ia menyingkap gaun gadis remaja itu. Tak ada kesulitan ketika menyingkap gaun itu. Bagian bawahnya yang lebar membuat gaun itu tersangkut dengan mudah di bawah pusar. Ia terpaksa menghentikan aktivitas bibirnya karena ia ingin menunduk agar dapat memandang pangkal paha itu lebih jelas.
"Aku akan menciumnya," kata Theo sambil bangkit dari sofa, kemudian duduk di atas karpet persis di antara kedua lutut Debby.
"Jangan dicium, Theo. Debby takut."
"OK, tapi kasih pemandangan yang paling indah ya," kata Theo sambil mengangkat kaki kanan gadis itu.
Lalu diletakkannya telapak kaki kanan itu di atas sofa. Tak lama kemudian, bola matanya terbelalak menatap pesona yang terpampang di hadapannya! Sebelah paha tergeletak di atas sofa, sedangkan paha yang sebelah lagi tertekuk, telapaknya menginjak pinggir sofa. Dengan sebuah dorongan kecil menggunakan jari, paha yang tertekuk di atas sofa itu terbuka lebar-lebarnya.
"Indah sekali!" sambung Theo sambil menengadah menatap wajah gadis remaja yang cantik itu. Debby tersenyum malu. Ia ingin menutup pahanya, tapi gerakannya tertahan oleh tekanan jari di lututnya.
"Debby malu, Theo!" katanya dengan manja. Tapi di dasar hatinya, ada perasaan senang dan bangga melihat guru matematikanya berlutut di hadapannya, persis di antara kedua belah pahanya. Perasaan yang membuat dirinya merasa sangat dimanja dan dihargai.
Theo terbelalak menatap kemulusan paha dan celana dalam mini dari satin di hadapannya. Urat darah di batang k*********a meronta menatap pemandangan indah itu. Bagian depan celananya terasa sempit. Apalagi ketika ia menatap segaris bagian basah yang tercetak di permukaan v****a gadis itu. Bagian basah itu memperjelas bayangan bibir v****a yang tersembunyi di baliknya. Dan karena celana dalam satin itu sangat tipis, ia bahkan dapat melihat bayangan bulu-bulu yang tumbuh di sekitar bibir vaginanya.
Keindahan itu sangat mempesona sehingga ia terpaksa melepaskan ikat pinggang dan ritsleting celananya agar batang k*********a terbebas dari penderitaan. Lalu diciumnya paha bagian dalam yang tertekuk di atas sofa itu. Diciumnya berulang kali seolah tak puas merasakan kehalusan kulit paha itu di bibirnya. Setelah itu ciumannya berpindah ke paha sebelahnya. Sambil terus mencium dan sesekali menjilat, dielus-elusnya pula paha bagian luar. Semakin lama ciumannya semakin mendekati pangkal paha. Lalu ia berhenti sejenak untuk menghirup aroma semerbak yang semakin tajam menusuk hidungnya. Fantasinya di depan kelas telah menjadi kenyataan. Dengan gemas, dibenamkannya hidungnya persis di antara bibir v****a gadis remaja itu. Sesekali diselingi dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Theoo..! Aauuw!" pekik Debby karena terkejut sambil menggelinjangkan pinggulnya.
Tapi beberapa detik kemudian, ketika ia merasakan lidah lelaki itu menjilat-jilat bagian luar celana dalamnya, ia merintih-rintih. Ia merasa nikmat setiap kali lidah itu menjilat dari bawah ke atas. Jilatan yang lahap! Basah. Berliur. Jilatan yang membuat ia terpaksa memejamkan mata meresapi kenikmatan yang mengalir di sekujur tubuhnya. Jilatan yang membuat ia menjadi liar, yang membuat ia menghentak-hentakkan kakinya karena beberapa kumis kasar lelaki itu terasa seolah menyusup menembus celana dalamnya yang tipis. Di sela-sela kenikmatan yang mendera, kumis itu terasa menggelitiki vaginanya, membuat ia menggeliatkan pinggulnya berulang kali.