Sebenarnya ia telah membuat keputusan itu beberapa hari yang lalu. Bahkan ingin memberikannya pada saat itu juga. Tapi karena hari ulang tahunnya yang ke-17 tinggal beberapa hari lagi, ia memutuskan untuk menundanya. Ia tahu bahwa Theo akan merasa sangat berbahagia menerima hadiah itu. Ia sadar bahwa lelaki yang selalu memanjakannya itulah orang yang paling tepat dan berhak untuk mendapatkan hadiah itu. Lelaki yang dengan kedua bibirnya dapat membuatnya menderita dalam rintihan nikmat. Lelaki yang telah memberikan arti nikmatnya sebuah cumbuan di pangkal pahanya. Lelaki yang lidahnya menari-nari pertama kali di vaginanya kira-kira sebulan yang lalu, yang kemudian secara rutin seminggu dua kali selalu 'mimik' pipis enak dari pangkal pahanya. Lelaki yang selama sebulan telah bersabar mencumbu dan dicumbu hanya dengan bibir dan lidah.
'Theo memang lelaki yang sabar dan penuh perhatian', gumamnya ketika teringat pada cendawan di ujung batang kemaluan Theo. Seolah masih terasa lembutnya cendawan itu menyusup ke dalam rongga mulutnya. Cendawan yang terasa mengalirkan kehangatan ketika menyentuh kerongkongannya, yang membuat ia tersendat dalam nikmat, yang membuat rasa dahaganya sirna setelah mendapatkan 'mimik' pipis enak dari batang kemaluan itu, dan yang membuatnya terpejam ketika segumpal lendir panas tiba-tiba 'menembak' kerongkongannya.
*****
Gadis remaja itu tersenyum manis ketika melihat cahaya lampu mobil yang mendekati villanya. Tergopoh-gopoh ia menuruni tangga ke lantai 1 dan setengah berlari menuju halaman. Langkahnya yang cepat membuat pahanya yang berwarna kuning gading sesekali menyembul dari belahan kimono yang pakainya. Segera dipeluknya pinggang lelaki itu. Pelukannya yang sangat ketat seolah menunjukkan kerinduan yang mendalam. Padahal mereka baru berpisah beberapa jam yang lalu.
Theo menggamit dagu gadis remaja itu, membuat wajahnya yang cantik menengadah. Lalu ia menunduk dan menggosok-gosokkan hidungnya ke ujung hidung gadis itu. Dalam keremangan cahaya lampu neon di teras, bibirnya memagut bibir gadis itu. Dikulumnya bibir mungil itu dengan penuh perasaan. Ia ingin menunjukkan rasa cintanya yang dalam. Dan ketika lidah gadis itu menjulur, lidah itu segera dipilinnya dengan lidahnya sambil dihisapnya dengan lembut.
"Kangen nggak?"
"Kangen banget, Sayang!" jawab Theo sambil mengecup leher jenjang gadis itu.
"Geli, Theo!"
"Oh ya. Kalau yang ini..?" tanya Theo sebelum mengecup dan menjentikkan ujung lidahnya persis di bawah dagu.
"Enak..!"
Jawaban itu membuat Theo lebih bersemangat menciumi leher gadis itu. Sesekali lidahnya menjulur menjilat hingga membuat gadis itu beberapa kali mendongakkan kepalanya. Lalu ia merasakan kedua belah lengan yang merangkul pinggangnya berpindah ke lehernya, membuat buah d**a gadis itu menempel ketat ke dadanya. Karena senang dan gemas, kedua telapak tangannya segera meremas bongkah p****t gadis itu. Bongkah p****t itu terasa kenyal karena belum sepenuhnya mengembang. Diremasnya berulang kali. Bahkan sambil meremas, bongkah p****t itu agak ditariknya ke atas agar ia tak perlu terlalu menunduk ketika menciumi leher.
Debby menyukai tarikan di bongkah pantatnya walau hal menyebabkan ia harus berjinjit. Tak lama kemudian, karena jari-jari kakinya mulai terasa kelu, ia menggantung di leher agar dapat melingkarkan kedua belah kakinya di pinggang lelaki itu. Tumitnya terpaksa menekan pinggul Theo ketika ia merasakan ciuman-ciuman basah merayap menuju buah dadanya. Ciuman yang membuat ia beberapa kali melengkungkan punggungnya ke belakang, memberi ruang yang lebih luas kepada lelaki itu untuk menciumi buah dadanya. Beberapa menit kemudian, tumitnya menekan lebih keras karena ia ingin mengangkat badannya lebih tinggi agar ciuman-ciuman itu segera mendarat di buah dadanya.
Theo menarik bongkah p****t gadis itu lebih tinggi setelah menyadari bahwa di balik kimono itu tidak ada bra yang menghalangi. Walau kimono itu belum sepenuhnya terbuka, bibirnya sudah tidak sabar untuk segera mengecup celah di antara kedua buah d**a yang baru mekar itu. Lidahnya pun mulai merayap dari lekukan bawah hingga ke putingnya yang kecil. Semakin lama lidah itu bergerak semakin cepat. Menjilati bergantian. Buah d**a kiri dan kanan. Dan ketika merasakan air liurnya telah membasahi kedua buah d**a itu, ia segera mengulum putingnya yang kemerahan.
"Ooh..! Ooh.., Theo! Aarrgghh..!" desah Debby ketika merasakan p****g dadanya digigit dengan lembut. Dan ketika bibir lelaki itu berpindah ke buah d**a sebelahnya, lalu mengulum dan menjentik-jentikkan ujung lidah di putiknya, ia mengerang..
"Theoo..! Aargh.., enak!!" Tapi beberapa detik kemudian, ia mendorong kepala lelaki itu.
"Gendong ke atas dong, Theo," katanya sambil menunjuk ke arah balkon.
Debby tahu bahwa setelah menciumi buah dadanya, guru matematikanya yang tampan itu akan menciumi betis, lalu paha, dan pangkal pahanya. Dari beberapa cumbuan oral yang mereka lakukan sejak sebulan yang lalu, ia pun tahu bahwa kedua betisnya akan mendapat ciuman-ciuman basah bila cumbuan itu dilakukan di atas tempat tidur. Tapi kali ini ia menginginkan cumbuan yang agak berbeda. Sesuatu yang berbeda akan menciptakan sensasi yang berbeda pula, yang akan membuat tubuhnya menderita dalam kenikmatan berkepanjangan. Ia menginginkan ciuman dan jilatan basah merayap dari kedua betis hingga ke bibir vaginanya dilakukan ketika ia sedang berdiri di balkon villa! Walaupun sesungguhnya ia tak dapat memastikan apakah hangatnya jilatan-jilatan rakus di vaginanya akan mampu melawan dinginnya embun dan tiupan angin malam yang menerpa tubuhnya.
Ia merinding membayangkan kenikmatan akibat sensasi yang luar biasa itu. Merinding karena ia ingin mengalami o*****e dalam terpaan embun putih dan dinginnya angin malam! Suasana seperti itulah yang diinginkannya. Di satu sisi ia ingin merasakan dinginnya tiupan angin malam di sekujur tubuh, dan di sisi lain ia ingin merasakan hangatnya lidah yang terselip di bibir vaginanya. Sensasi yang luar biasa itu akan membuat tubuhnya kejang pada saat segumpal lendir orgasmenya akan langsung dihisap oleh lelaki yang dicintainya itu dengan rakus. Lendir o*****e yang tumpah ketika ia berdiri menggigil kedinginan dalam selimut embun malam!
Gadis itu merasa melayang ketika Theo menggendongnya menuju balkon. Vaginanya mulai terasa basah ketika lelaki itu menurunkan tubuhnya dengan hati-hati. Karena tali kimono yang melilit pinggangnya sudah kendur, angin malam yang dingin terasa langsung menerpa bagian depan tubuhnya. Ia mulai menggigil.
"Di sini?"
"Hmm!"
Debby menyandarkan punggungnya ke kusen pintu, lalu memandang ke sekelilingnya. Putih berkabut. Ia menoleh ke arah rumah penjaga villa di sudut barat, juga putih berkabut. Walaupun lampu neon di balkon tidak dimatikan, ia merasa yakin tidak ada orang yang dapat melihat mereka. Sambil tersenyum, diangkatnya kaki kirinya lalu meletakkan telapak kakinya di sandaran lengan kursi di sebelahnya. Bagian tengah kimononya, dari pinggang ke bawah menjadi terbelah dua.
"Di sini, Theo. Puaskan Debby di sini! Sepuas-puasnya, Sayang. Debby ingin malam ini menjadi malam yang tak terlupakan. Debby ingin pipis enak di sini. 'Mimik' ya Sayang. Kalau udah puas 'mimik', baru kita pindah ke dalam. Debby akan beri hadiah istimewa untuk Theo di kamar!"
Theo tertegun. Posisi gadis belia yang disayanginya itu sangat menantang, membuat ia tak mampu menjawab. Matanya nanar menatap keindahan kaki yang keluar dari belahan tengah kimono, yang lututnya tertekuk karena telapaknya menginjak lengan kursi. Mulutnya setengah terbuka ketika matanya menatap pangkal paha gadis itu. Terkesima. Ia baru menyadari bahwa tak ada celana dalam mini atau G-string yang menutupi pangkal paha itu. Dalam keremangan, masih dapat dilihatnya bulu-bulu ikal halus dan tipis di bagian atas v****a yang segar itu.
"Mau 'kan, Theo?"
"Akan kuturuti apa pun yang Debby inginkan," kata Theo sambil berlutut di hadapan gadis itu.
Dengan posisi berlutut, betis indah itu berada persis di sebelah pipi Theo. Dan dengan lembut diusap-usapkannya telapak tangannya ke betis itu. Semenit kemudian, dibelai-belainya betis itu dengan pipinya. Ia ingin merasakan kehalusan pori-pori betis itu di pipinya! Lalu ia mengecupnya. Mula-mula ia mengecup bagian bawah, tetapi semakin lama semakin naik ke arah belakang lutut. Mula-mula kecupannya kering, tetapi semakin mendekati belakang lutut, kecupannya semakin basah. Ketika bibirnya telah terselip di belakang lutut yang tertekuk itu, ia mengecup sambil mempermainkan ujung lidahnya.
"Geli, Theo!" kata gadis ketika ia merasakan kumis Theo menggelitik belakang lututnya.
Kedua belah tangannya mendekap d**a untuk mengurangi dinginnya terpaan angin sekaligus untuk menahan agar belahan tengah kimononya tetap tertutup. Sebaliknya, ia mulai merasakan kehangatan di pangkal pahanya.
Theo memindahkan kecupannya ke betis yang sebelah lagi. Betis itu terasa lebih kenyal karena berat badan Debby bertumpu pada sebelah kaki. Dengan sabar, Theo mengecup kembali. Mengulangnya berulangkali. Dan kemudian mulai menjilat ke arah bawah. Sesekali ia mengecup dengan gemas, setengah menggigit.
Debby menunduk dengan mata terbuka lebar. Ia merasa senang dan tersanjung menatap guru matematikanya itu berlutut di antara kedua belah kakinya. Jantungnya berdebar-debar melihat lelaki yang sabar itu harus membungkuk agar dapat mengecup betisnya. Ia merasa senang dan tersanjung. Perasaan itu seolah membongkah dan memberi kehangatan di rongga dadanya. Membuat dirinya seolah melambung tinggi ke dalam dinginnya embun malam. Ia pun sangat menikmati hembusan nafas yang terasa hangat di betisnya. Setiap kali lelaki itu mengecup, seolah tersisa kehangatan di bekas kecupannya.
Theo mulai menciumi lutut bagian dalam. Sambil mencium, matanya menatap bibir v****a gadis itu. Walau terlihat samar, tetapi cahaya lampu neon di langit-langit balkon membuat bibir v****a tampak mengkilap. Pasti sudah ada sedikit cairan lendir yang terselip di antara bibir itu, katanya dalam hati. Lalu dengan cepat diterkamnya v****a yang segar itu. Lidahnya segera membelah, dan bibirnya segera mengisap. Setelah itu, dengan cepat pula ia menarik kepalanya menjauhi v****a itu. Hanya sedikit cairan lendir yang terhisap.
Debby memekik karena terkejut. Ia tak menduga Theo akan 'menerkam' vaginanya secepat itu. Walau hanya sekejap, dalam keterkejutannya, terkaman itu ternyata mampu mengalirkan kehangatan di sekujur tubuhnya. Mungkin karena terkejut, sekejap ia lupa pada dinginnya terpaan angin malam.
"Theo jahat! Nggak sabar ya?"
"Ingat, tak ada setetes pun yang terbuang!"
"Paha dulu!" kata gadis itu sambil mendorong kepala Theo ke arah pahanya.
Theo menatap keindahan paha yang terpampang di depannya. Paha itu terbuka lebar dan karena telapaknya terletak di atas sandaran lengan kursi, dengan mudah ia menciumi dan sesekali menjilatnya karena paha itu persis setinggi kepalanya. Kulit paha itu terasa dingin di bibirnya. Lalu diusapkannya wajahnya beberapa kali ke permukaan paha dalam yang mulus itu. Ia suka merasakan kemulusan paha itu di wajah dan pipinya. Semakin sering mengusap-usapkan wajah dan menciuminya, kulit paha itu terasa semakin hangat. Kedua belah telapak tangannya pun giat bergerak menyalurkan kehangatan. Tangan kirinya mengusap-usap paha kanan bagian luar, sedangkan telapak kanannya digunakan untuk mengusap-usap betis kiri gadis itu.
Debby sangat menyukai usapan-usapan telapak tangan Theo. Usapan-sapan itu mengurangi dinginnya terpaan angin malam. Bahkan kehangatan pun mulai terasa menjalar di bagian bawah perutnya ketika ia merasakan lidah Theo merayap mendekati lipatan antara paha dalam dan vaginanya. Ia merintih ketika bibir lelaki yang suka 'mimik' pipisnya itu menariki bulu-bulu halus di sekitar bibir vaginanya. Bulu-bulu itu masih terlalu pendek, masih sepanjang bulu alis mata sehingga bibir itu selalu gagal menariknya. Hal itu malah membuat vaginanya semakin basah. Setelah mengencangkan lilitan kimono agar belahan di bagian dadanya tidak terbuka, kedua lengannya segera jatuh di atas kepala lelaki itu. Ia menginginkan lidah hangat itu membelah bibir vaginanya.
"Theo, mimik dulu dong lendirnya," kata gadis itu sambil membuka bibir vaginanya dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. Sejenak, Theo menghentikan ciuman-ciumannya. Ia menengadah sambil tersenyum, tak lama kemudian, ia kembali menciumi paha kiri gadis itu. Sengaja tidak diturutinya keinginan gadis itu.
"Theo, jahat!" kata gadis itu sambil menarik kepala Theo ke arah pangkal pahanya. Kedua tangannya menahan agar kepala itu tetap berada di pangkal pahanya. Dan ketika ia merasakan kehangatan lidah menyusup ke dalam vaginanya, ia merintih..
"Ooh, ooh.., enak Theo! Aarrgghh..!"
Tarikan nafasnya pun mulai tak teratur ketika lidah itu menjilati dinding dan bibir dalam vaginanya. Ia mendorong pinggulnya agar lidah itu masuk semakin dalam. Ia mulai lupa dan tak merasakan dinginnya angin malam. Biasanya, keadaan seperti itu membuat pori-pori di sekujur tubuhnya terbuka. Berkeringat. Tapi saat ini, tak ada setetes pun keringat di kulitnya. Pori-porinya tetap tertutup. Kenikmatan dan kehangatan nafas yang mendengus-dengus di vaginanya hanya mampu memberi kehangatan tetapi tak mampu membuatnya berkeringat. Dan ia menyukai hal itu! Sebuah sensasi yang membuat vaginanya semakin basah berlendir. Apalagi ketika merasakan lelaki itu mengisap lendir yang terselip di bibir dalam baginanya, ia merintih berulang kali..
"Argh..! Argh..! Theo, Oh nikmatnya, sstt, sstt.., aarrgghh..!" Ia menjadi lupa pada paha kirinya yang belum cukup banyak mendapat cumbuan.
Malam itu Theo merasakan sebuah perbedaan. Aroma segar kemaluan gadis itu tidak setajam biasanya. Mungkin karena aroma itu langsung tertiup angin malam. Karena rindu akan aroma itu, Theo menekan hidungnya ke celah sempit di antara bibir v****a gadis itu. Ditekannya sedalam-dalamnya sambil menghirup aroma yang sangat dirindukannya itu.
Debby terkejut merasakan hidung lelaki itu tiba-tiba menusuk lubang vaginanya. Ia menggelinjangkan pinggulnya. Menggelinjang dalam kenikmatan. Geli dan nikmat tiba-tiba terasa menusuk hingga ke jantungnya. Ia merintih-rintih berkepanjangan akibat dengusan nafas di dalam lubang vaginanya.
"Aarrgghh..! Aarrghh..! Ampun, Theo..! Aarrgghh.., aarrgghh..!" rintihannya semakin keras ketika merasakan kumis lelaki itu menyapu klitorisnya.
"Ampun, ampun.. Theo! Aarrgghh..! Debby mau pipiis!"
Tapi ia tak berusaha menghindari hidung itu. Ia bahkan memutar pinggulnya sambil menekan bagian belakang kepala lelaki itu. Ia tak ingin hidung itu tak lepas dari jepitan bibir vaginanya. Hal itu tak berlangsung lama. Ia hanya mampu memutar-mutar pinggulnya beberapa kali! Tiba-tiba saja ia merasakan adanya dorongan lendir o*****e yang tak mampu ditahannya. Dorongan itu terasa sangat kuat. Jauh lebih kuat daripada dorongan yang biasanya ia rasakan ketika mendekati puncak orgasmenya.
"Theo, Theo.., Debby mau pipis! Aarrgghh.., mimik!"
Theo mendengar rintihan itu. Tapi ia tak ingin menarik hidungnya. Ia tak peduli walaupun merasakan dua lengan memukul-mukul kepalanya dengan gemas. Ia telah terbius oleh aroma, kehangatan, kelembutan, dan kehalusan dinding v****a gadis remaja itu. Bahkan semakin diremas dan ditariknya kedua bongkah p****t gadis itu agar hidungnya semakin tenggelam ke dalam liang v****a yang segar itu.
Remasannya di bongkah p****t itu sangat kuat, membuat gadis itu hanya dapat merintih dan meronta-ronta. Dan tak lama kemudian, ia merasakan lendir hangat membasahi ujung hidungnya. Ia sangat senang merasakan kehangatan lendir itu. Lendir yang membasahi hidungnya ternyata membuat batang k*********a semakin tegang. Bengkak. Mungkin karena merasakan nikmat yang berbeda dari biasanya. Selama sebulan, telah berkali-kali ia rasakan o*****e gadis itu di ujung lidahnya. Tapi kali ini berbeda, ia merasakannya di ujung hidungnya!
Walaupun terasa agak sesak, Theo menarik nafas. Ia menghirup aroma yang sangat pribadi itu langsung dari bagian yang sangat dalam dan tersembunyi! Ia pun merasa sangat puas karena baru kali ini ia mendengar gadis cantik itu merintih-rintih minta ampun!
"Aarrgghh.., ampun! Ampun.., Debby pipiis!" rintih gadis itu sambil berusaha menarik pinggulnya agar hidung lelaki itu terlepas.
Ia tak mampu mengendalikan rasa nikmat dan geli yang bercampur menjadi satu di lubang vaginanya. Tapi remasan telapak tangan di bongkah pantatnya lebih kuat daripada tarikan pinggulnya. Akhirnya ia hanya merintih-rintih melepaskan lendir orgasmenya ketika hidung itu mendengus-dengus. Seluruh sendi-sendi di sekujur tubuhnya menjadi lunglai. Membuat ia pasrah dan berusaha agar tak terjatuh ke lantai.
Theo menarik hidungnya setelah merasakan lendir o*****e itu berhenti mengalir. Ia menengadah sambil tersenyum puas. Ia dapat melihat kenikmatan yang baru saja usai mendera gadis itu. Hal itu terlihat dari bola mata yang menatap hampa dan kelopak mata yang setengah terpejam.
"Theo jaa.. haatt.., Theo jahat! " kata Debby terengah-engah sambil meminjit hidung lelaki itu dengan jempol dan telunjuknya. Tapi jari itu terpeleset karena hidung itu masih dipenuhi lendir licin.
"Jahat!" ulangnya sambil memijit kembali.
"Oh ya?" sahut Theo sambil menunduk. Lalu ia mulai menjilati v****a yang masih berlepotan lendir itu.
Debby menggeliat ketika merasakan kembali lidah yang menjilati bibir luar vaginanya. Ia merasa lelah tetapi ia pun tahu bahwa ia tak dapat menghindar dari lidah yang selalu rajin membersihkan sisa-sisa lendir o*****e di vaginanya. Ia tetap berdiri walau tungkai kakinya mulai terasa pegal, terutama tungkai kakinya yang menginjak lengan kursi. Ia tidak akan mendorong kepala itu menjauhi vaginanya. Percuma. Ia tahu bahwa lelaki yang selalu memanjakannya itu tak akan berhenti menjilati sebelum vaginanya benar-benar bersih. Selain itu masih ada hal yang belum ia dapatkan. Malam itu ia belum merasakan nikmatnya 'menumpahkan' lendir orgasmenya langsung ke dalam mulut yang terjebak di dalam vaginanya. Terjebak di bagian yang paling dalam dan tersembunyi. Belum merasakan nikmatnya 'menumpahkan' lendir o*****e langsung ke dalam bibir dan lidah yang menghisap-hisap vaginanya ketika dinginnya angin malam menerpa tubuhnya.
Ia menunduk sambil mengusap-usap rambut lelaki tampan yang masih rajin menjilati vaginanya. Kelopak matanya kembali terbuka. Bola matanya berbinar-binar menikmati pemandangan erotis di pangkal pahanya. Menikmati indahnya lidah yang menjulur dan menghilang dalam belahan bibir vaginanya. Lidah yang basah mengkilap ketika keluar dari lubang vaginanya. Tanpa sadar ia mendesah ketika lidah itu mulai mencari-cari sisa lendir di balik sekumpulan urat saraf yang menutupi klitorisnya. Ia menggeliat. Dan menggeliat lagi ketika merasakan klitorisnya dijentik-jentik dengan ujung lidah. Lalu diturunkannya telapak kaki kirinya dari lengan kursi. Setelah memindahkan berat badannya ke kaki kirinya, diangkatnya kaki kanannya dan diletakkannya pahanya di pundak lelaki itu. Ia menarik nafas lega merasakan kehangatan di bagian dalam pahanya, bagian yang menempel dengan pipi Theo.
"Nggak apa-apa 'kan, Sayang." kata gadis itu sambil mempermainkan jari-jari tangannya di rambut lelaki itu.
Ia terpaksa bertanya karena sebelumnya tidak pernah melakukan hal seperti itu. Tidak pernah berdiri sambil menjepit kepala di pangkal pahanya.
Theo menengadah, lalu mengangguk.
"Puaskan Debby ya, Sayang. Sebentar lagi, mimik lagi ya." Theo mengangguk kembali sambil mengulum k******s gadis remaja yang nakal itu.
Melihat anggukan kepala itu, Debby jadi lebih bersemangat untuk meraih puncak orgasmenya. Kedua tangannya segera menekan kepala lelaki itu agar semakin terdesak ke vaginanya. Satu tangan menekan bagian belakang kepala, dan yang sebelah lagi menjambak segenggam rambut. Posisi seperti itu membuatnya sangat b*******h. Kelopak matanya terbuka lebar menatap kepala yang pasrah di pangkal pahanya. Seolah kepala itu dipersembahkan sebagai alat untuk meraih puncak orgasmenya.
Walaupun vaginanya telah pernah beberapa kali dioral oleh guru matematikanya itu, tetapi ia belum pernah merasakan nikmatnya mengendalikan kepala itu di pangkal pahanya. Mengendalikan sesuka hatinya. Jantungnya berdebar-debar ketika ia mulai menggerak-gerakkan pinggulnya. Ia merasa lebih nikmat karena pinggulnya bebas bergerak sesuka hatinya. Ia pun merasa bebas untuk mengerak-gerakan kepala lelaki itu ke arah yang ia inginkan. Menekannya, mendorongnya, atau bahkan menariknya. Beberapa kali ia terpaksa menariknya sambil berjinjit karena kumis lelaki itu terasa menyentuh ujung atas belahan vaginanya.
"Argh..! Argh..!" rintihnya menahan nikmat yang mendera sekujur tubuhnya. Debby merasakan lendir yang semakin deras mengalir ke vaginanya.
"Mimik, Sayang," katanya sambil menekan pundak Theo dengan paha belakangnya.
Ia ingin lidah itu menyusup ke dalam vaginanya, menarik lendir dan mengisapnya. Ia merasa bahwa sebentar lagi ia akan mencapai puncak orgasmenya. Ia ingin merasakan kelembutan dan kehangatan bibir itu ketika dinding vaginanya berdenyut-denyut. Sambil agak menekuk kedua lututnya, dihentakkannya pinggulnya agar lidah dan bibir lelaki itu masuk lebih dalam ke lubang vaginanya. Ia seolah mendapat sinyal ketika merasakan remasan di bongkah pantatnya, sinyal yang menyatakan bahwa lelaki itu menyukai hentakan pinggulnya. Tanpa ragu, ia kembali menghentakkan pinggulnya sambil menekan bagian belakang kepala lelaki itu. Dilakukannya berulang kali, seolah ingin menunjukkan bahwa vaginanya ingin menelan lidah dan mulut lelaki itu.
"Theoo.., aarrgghh..," rintihnya sambil menekan dahi lelaki itu dengan ujung jarinya. Tekanan itu menyebabkan wajah Theo terdongak hingga mulutnya persis berada di bawah vaginanya.
"Mimik 'pipis' Debby, Sayaang," rintihnya sambil menghentak-hentakkan pinggulnya dengan cepat.
Sekujur tubuhnya menggigil merasakan nikmatnya lidah yang tertanam di lubang vaginanya, lidah yang dapat ia perlakukan sesuka hatinya. Seolah ada 'p***s' kecil tertanam di lubang k*********a. Ia menggigil merasakan sensasi nikmat yang luar biasa dalam terpaan dinginnya angin malam yang berembun. Bulu-bulu roma di sekujur tubuhnya merinding ketika merasakan lahapnya lidah dan mulut lelaki itu menghisap-hisap, menanti lendir o*****e yang akan tumpah dari vaginanya.
"Aarrgghh.., hasshh.., hasshh.., aarrgghh, aarrgghh, aarrgghh..!" rintihnya berkepanjangan ketika 'menumpahkan' orgasmenya.
Ia masih merintih-rintih bekepanjangan ketika merasakan liarnya lidah lelaki itu menjentik-jentik bibir dalam vaginanya. Lidah itu masih rajin bergerak seolah belum terpuaskan dengan segumpal lendir yang telah mengalir dari lubang vaginanya.
Theo masih menjilat-jilat. Sesekali mengulum bibir luar v****a gadis yang masih terengah-engah itu. Ia pun merasakan nikmat yang luar biasa ketika merasakan lendir o*****e gadis remaja itu mengalir ke kerongkongannya. Mungkin karena dinginnya terpaan angin, lendir o*****e yang ditelannya terasa lebih hangat dari biasanya. Paha yang menekan pipinya pun terasa lebih hangat. Dan.., hentakan-hentakan pinggul itu lebih liar dari biasanya!
"Ooh Theo, nikmatnya!" desah Debby sambil menatap bola mata lelaki yang masih dijepitnya di pangkal pahanya. Jari-jari tangannya mengusap-usap dahi dan rambut lelaki itu. Dibelai-belainya dengan mesra. Bibirnya tersenyum bahagia.
"Sekarang kita ke kamar yuk!" sambungnya sambil mengangkat pahanya dari pundak lelaki itu.