Bab 3 - Undangan Makan Malam

1713 Kata
Arundhati baru saja selesai bersih-bersih selepas kembali. Jujur saja, raganya minta diistirahatkan. Akan tetapi, ia menghargai usaha sang kekasih yang sudah susah payah membuatkan sarapan untuknya. Alhasil, kasur yang tadinya menjadi tempat paling dirindukan, kini beralih sepenuhnya ke dapur. Apartemen dengan tipe dua bedroom itu memiliki dapur dan meja bar yang menyatu, tampak jelas dari ruang tamu. Meski luasnya tidak sebesar penthouse mewah di kebanyakan ibu kota, namun Arundhati bersyukur karena bisa membeli itu dengan jerih payahnya sendiri. Padahal, Radheya selalu membujuknya untuk pindah ke tempat yang lebih besar. Setidaknya, dekat dengan penthouse milik pria tersebut. Akan tetapi, Arundhati memiliki segudang prinsip yang tak bisa diusik. Selama ia masih bisa berusaha sendiri, Arundhati tidak pernah ingin membebani orang lain, sekalipun itu calon sang suami. “Huaaa aromanya enak sekali!” seru wanita itu ketika melangkah menuju dapur dengan rambut setengah basah. “Silakan dinikmati, tuan putri,” sahut Radheya, masih mengenakan apron dengan keringat yang membasahi pelipis. Tak lupa ia menarik kursi bar ketika Arundhati hendak duduk. “Terima kasih, Mas,” ucapnya, manja. “Coba dicicipi dulu,” ujar Radheya sembari menyeka pelipis dengan punggung tangannya. Arundhati tersenyum, menusukkan garpu ke potongan omelet. “Hmm, enak sekali. Pokoknya, Mas nggak pernah gagal kalau masakin aku,” puji Arundhati. “Calon suami siapa dulu!” seru Radheya berbangga diri. Senyum simpulnya begitu memikat. Walaupun jarang menunjukkan sisi romantisnya, Radheya selalu berhasil membuat Arundhati kecintaan. Tutur kata yang lembut serta perhatian selalu tercurah untuk wanitanya seorang. Selama mengenal hingga menjalin kasih, Arundhati tahu Radheya sosok yang dingin terhadap orang lain. Tapi, sangat bertolak belakang di hadapannya. Arundhati seperti melihat dua sisi koin dalam diri pria itu. Kendati demikian, Arundhati bersyukur memilikinya. Sebab, di dunia ini—tak ada lagi keluarga yang ia miliki selain pria di hadapannya kini. “Mas, kok cuma lihatin aku makan?” “Saya sudah sarapan.” Dengan kedua tangan bersiku, Radheya menumpukan dagunya. Memerhatikan sang wanita yang makan dengan lahap. Senyum terus terlukis di wajah. Kehangatan yang tercipta di pagi itu, membuat keduanya seperti berada di taman bunga. “Makannya pelan-pelan, Sayang.” Radheya mengulurkan tangan, mengusap saus yang tersisa di sudut bibir wanitanya. “Saya tidak akan meminta.” Arundhati kontan terbahak mendengar ucapan calon suaminya itu. Sungguh, momen sederhana itu seolah jadi hadiah kecil setelah hari kemarin sangat melelahkan. Arundhati menikmati tiap suapan, sesekali menatap pria yang kini tampak sibuk memperhatikan reaksi wajahnya. Ada semacam kebahagiaan terselubung yang membuatnya lupa pada rasa pegal di tubuh. “Nanti malam kamu ada acara?” tanya Radheya. “Sepertinya belum ada, Mas. Kecuali ada panggilan dadakan.” “Saya mau ajak kamu makan malam.” Senyum kecil menghiasi wajah Arundhati. Ah, rasanya indah sekali. Di pagi hari dibuatkan sarapan, di malam hari diajak makan romantis dengan sang pujaan. “Aku sih nggak akan nolak,” ucap Arundhati sambil menunjukkan pesonanya. “Oke. Nanti saya jemput jam tujuh, ya?” “Siap!” Sesaat suasana hening. Sesekali hanya terdengar suara sendok dan garpu yang saling beradu. Sementara Radheya terus mengamati setiap detail ekspresi sang wanita. Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Ponsel Radheya yang tergeletak di meja bergetar kencang. Ia melirik layar, raut wajahnya berubah serius. “Siapa?” tanya Arundhati, sedikit terganggu dengan ekspresi mendadaknya. “Dari kantor,” jawabnya singkat. Ia mengangkat panggilan itu, lalu berjalan menjauh beberapa langkah. Arundhati hanya bisa mendengar potongan suara, tapi nada tegas yang keluar dari Radheya jelas berbeda dari kelembutan yang tampak sejak tadi. Percakapan berlangsung singkat, sekitar dua menit, sebelum ia kembali dengan wajah yang menyimpan kegelisahan. “Ada apa, Mas?” Radheya menarik napas panjang, lalu duduk kembali. “Saya harus ke kantor sekarang. Ada rapat darurat.” Arundhati terdiam sejenak. “Tapi … kita baru aja ketemu.” “Saya tahu.” Tatapannya lembut, namun nada suaranya tak bisa ditawar. “Saya janji akan menebusnya malam nanti. Jangan kecewa, ya.” Radheya berdiri, melepas apron, lalu mengusap pelan puncak kepala Arundhati. “Makan pelan-pelan. Jangan lupa minum vitamin.” Arundhati mengangguk meski hatinya menolak. Ia mengantar Radheya sampai ke pintu. Pria itu sempat mengecup keningnya sebentar, sebelum melangkah cepat meninggalkan apartemen. Suara pintu tertutup meninggalkan keheningan yang asing. Arundhati berdiri beberapa saat di ruang tamu, menatap piring sarapan yang masih terhidang. Tiba-tiba rasanya hambar. Ia menarik napas, lalu memutuskan merapikan meja saja. Begitu selesai, langkahnya beralih ke kamar untuk segera beristirahat. Namun, ia mendadak ingat akan sesuatu. Amplop putih yang diberikan Maya tadi pagi. Ia buru-buru merogoh tas dan menemukan amplop tersebut. Kertasnya masih rapi, tapi ada rasa penasaran tentang isinya. Dengan hati-hati, ia merobek sisi amplop dan menarik selembar undangan elegan. Tulisan bertinta emas menghiasi bagian depan. Invitation Dinner. Alis Arundhati langsung mengernyit. Matanya bergerak cepat membaca isi. Dear Dokter, Saat pertama kali melihat dedikasi Anda terhadap rumah sakit, saya merasa sangat kagum. Untuk itu, izinkan saya membalasnya dengan undangan makan malam sekaligus menepati janji, agar bisa berbincang lebih jauh dengan Anda. Arundhati terdiam. Dari pesan tersebut tak ada yang salah dari isinya. Hanya seperti seorang atasan yang meminta waktu bawahannya untuk berdiskusi. Hanya saja, waktunya bertepatan dengan Radheya yang mengajak makan malam. Tentu saja, ia tak akan membuat sang kekasih kecewa. Arundhati yang semula ingin beristirahat jadi tak berminat. Ia pun buru-buru meraih ponsel, menghubungi Maya selaku seniornya. Di nada dering ketiga, suara nyaring itu menyapanya. “Hai, Sister!” “Kak …,” ucap Arundhati menggantung. “Oit. Ada apa?” “Soal surat tadi ….” Terdengar suara grasak-grusuk dari seberang sana. Arundhati bisa memastikan Maya dengan wajah sumringah serta mata melotot tengah menanti ceritanya. “Apa … apa?” “Undangan makan malam.” Dan benar saja, setelah itu—nada bicara Maya jadi menggebu-gebu. Suara cemprengnya langsung menusuk telinga, sampai-sampai Arundhati harus menjauhkan ponsel dari telinganya. “Ya bagus dong! Terima sih kalau kata gue. Ini kesempatan, kapan lagi lo bisa makan malam sama pemilik rumah sakit? Siapa tahu tunjangan lo naik. Ya, nggak?” Arundhati termenung, menimang ucapan itu. Memang, selama dua tahun ia mengabdi, baru kali ini Bagaspati memunculkan diri. Ah, tepatnya—mau berinteraksi dengan para pegawainya. Sebab, pria itu selalu bersembunyi dibalik layar. Terkadang, ia hanya muncul di media. Tidak langsung terlibat dengan operasional rumah sakit. “Tapi … aku ada janji sama Mas Radheya malam ini.” “Sama Radheya masih bisa lain waktu. Ini eksklusif, lho! Kapan lagi pimpinan ajak bawahannya makan malam.” “...” Tak ada jawaban, seolah Arundhati ikut memikirkan apa yang diucapkan oleh Maya. Mungkin, ia pun sependapat dengan ucapan sahabatnya … hanya saja. Derit panggilan lain, memecah perbincangan dua sahabat disana. Arundhati melihat ponselnya. Ternyata dari sang kekasih meneleponnya. “Kak, aku tutup dulu, ya. Mas Radheya telepon.” “Oke. Kabarin, ya. Kalau lo nggak bisa—gue sih seneng-seneng aja disuruh gantiin,” seloroh Maya, sedikit menggoda. Arundhati hanya tersenyum seraya menggelengkan kepala. *** Di tempat lain, di ruangan luas berdinding kaca lebar—Bagaspati duduk di kursi. Darisana, ia bisa memandang hiruk pikuk ibu kota. Namun, mata itu tak sepenuhnya mengamati, ia hanya melamun dengan banyak argumentasi yang berkelana dalam pikiran. Mengapa pria itu ada disisi Arundhati? Tak lama kemudian, Bima mengetuk pintu lalu berdiri tepat di hadapannya. “Ini laporan terbaru, Tuan.” Bagaspati membuka map. Beberapa lembar foto tersaji di mejanya. Salah satunya memperlihatkan Arundhati bersama Radheya. Mereka tampak akrab satu sama lain, memasuki sebuah apartemen, yang Bagaspati yakini sebagai tempat tinggal wanita itu. “Mereka sudah dekat sejak lama. Tepatnya, saat berada di panti asuhan yang sama.” Bagaspati beralih dari potret itu ke wajah asistennya. “Panti asuhan?” “Ya, Radheya diangkat menjadi anak asuh keluarga Atmadja, ketika usianya beranjak tujuh belas tahun.” “Lalu?” “Setelah Nona Arundhati selesai sekolah kedokteran dan mengabdi di rumah sakit ini, pria itu langsung melamarnya.” Bagaspati tercenung. Ia terus mendengarkan laporan demi laporan yang Bima katakan. Tak ada yang lebih menggebu, selain merebut Arundhati dari tangan pria itu. Kekaguman yang ia miliki saat ini, entah mengapa berubah menjadi sebuah obsesi. Bima menambahkan, “Banyak yang bilang pernikahan mereka sudah dalam tahap persiapan.” Urat halus muncul di kening Bagaspati. Ia menyandarkan punggung, jari-jarinya mengetuk meja berulang kali. Ada rasa panas yang menyeruak di dadanya, bukan sekadar cemburu, melainkan kesadaran pahit bahwa wanita yang perlahan menempati pikirannya ternyata sudah dimiliki orang lain. “Radheya …,” gumamnya lirih. Suara itu lebih terdengar seperti ejekan. Ia tahu siapa pria itu. Nama keluarganya bukan asing di kalangan bisnis maupun dunia gelap. Tapi justru itu yang membuat darahnya mendidih. “Siapkan detail lebih lengkap,” perintah Bagaspati datar. “Saya ingin tahu semuanya tentang dia. Dari masa lalu, bisnis, keluarga, sampai siapa saja yang terlibat dengannya.” “Baik, Tuan.” Bima segera merekam dalam otak, lalu meninggalkan ruangan. Begitu pintu tertutup, Bagaspati kembali menatap foto Arundhati. Senyum samar yang terekam di sana menusuk pikirannya. Ia sadar, semua yang terjadi bukan salah wanita itu. Tapi rasa yang muncul begitu dalam, sulit untuk diredam. “Kenapa harus dia, Dokter,” bisiknya, lirih namun penuh tekanan. *** Arundhati mengangkat telepon sang kekasih setelah mengakhiri perbincangannya dengan Maya. Ada senyum yang tampak di wajah. Bahkan, belum sampai tiga puluh menit Radheya meninggalkan apartemennya. Akan tetapi, pria itu sudah langsung menghubungi. Tentu saja, membuat hati Arundhati bersemi. “Halo, Mas? Ada apa?” Sempat tak ada jawaban, seolah seseorang di seberang sana tengah menimang kata yang tepat untuk mengungkapkannya. “Mas?” ulang Arundhati, dengan wajah sedikit khawatir. “Sayang, maaf … sepertinya malam ini saya tidak bisa menepati janji.” Deg. Senyum yang semula cerah, kini mulai redup. “Ke-kenapa, Mas?” “Keadaan kantor lagi crowded. Saya harus lembur untuk menanganinya.” Beruntung mereka bukan lagi anak remaja yang tengah jatuh cinta. Hubungan mereka jauh lebih dewasa. Jadi, Arundhati bisa memaklumi jika sang kekasih hati tak bisa menemani. Toh, ia pun lebih dari sibuk jika sudah berurusan dengan pasien. “Oh begitu. Iya udah nggak apa-apa, Mas.” “Kamu tidak marah, ‘kan?” “Memangnya calon istri kamu ini bisa marah?” tanya Arundhati dengan nada gurauan. “Itu kenapa saya sangat takut kehilangan kamu," goda Radheya. “Mas bisa aja!” “Terima kasih, Sayang.” Setelah tak ada percakapan, sambungan telepon pun berakhir. Arundhati kembali memikirkan undangan makan malam yang Bagaspati kirimkan. Haruskah ia menerimanya? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN