Sementara itu, malam ini dibawah sorot lampu-lampu jalan ibu kota, Senna bersandar di punggung Galen. Perasaannya galau setelah pertemuan makan malam bersama Devan tadi.
Galen melirik ke spion, memperhatikan Senna yang terdiam. Wajahnya terlihat sedih, matanya menatap tak fokus pada jalan dihadapan.
“Sen, lo yakin okay ‘kan?” tanya Galen lembut, mencoba mencairkan suasana diantara mereka berdua.
Senna menggeleng, tentu saja ia tak baik-baik saja. Perasaannya sakit, ia bahkan ingin menangis sejak tadi. “Gue sakit hati banget, nyesel banget dateng ke sana. Kesannya cuma buat nyakitin diri sendiri. Gue tau sih, dia enggak ada perasaan apapun ke gue. Kok gue bego banget bisa sesayang itu sama orang yang bahkan enggak pernah liat gue.”
Galen menurunkan kecepatan, mendengarkan tanpa memotong ucapan Senna. Meski tak terlalu memahami, tapi Galen hanya ingin Senna mengeluarkan apa yang ia rasakan.
“Gue cuma anak kecil. Tapi tetap aja gue suka. Gue sesayang itu,” tangis Senna pecah.
Galen menahan napas. Ia tak bisa berkata apa-apa. Hatinyapun ikut merasa terluka melihat Senna seperti ini. Hanya saja ia tak bisa melakukan apapun untuk saat itu selain mendengarkan Senna.
“Jadi sekarang Lo mau ke mana biar perasan Lo better?” tanya Galen pada Senna.
“Ke mana aja boleh Gal, asal jangan pulang dulu. Gue cuma mau menghindar sebentar,” jawab Senna sambil menghapus air mata di pipinya.
Galen mengangguk pelan, lalu melajukan motor. Ia berharap bisa ada bersama dan menemani Senna, setidaknya untuk malam ini.
“Oke kita healing sebentar.”
Sementara di rumah Hamidah, Devan kembali ke dalam rumah setelah bertanya ke satpam. Wajahnya semakin cemas. “Senna, pergi sama cowok. Naik motor, satpam juga gak tau siapa,” kesal Devan.
“Namanya anak-anak bergaul kan biasa Dev. Kamu enggak usahlah berlebihan.” Hamidah mencoba menenangkan, tapi Devan tak bisa tenang.
Devan mondar-mandir di ruang tengah, resah. Ponselnya terus ia genggam, jari-jarinya bahkan gemetar, cemas. Beberapa kali melihat pesan chat yang dia kirim tetapi sama sekali belum ada balasan Senna.
Stella melangkah pelan mendekat. Tatapannya tertuju pada Devan dengan curiga, ia memaksakan senyum di bibir. “Mas, sabar, nanti juga dia balik. Kamu itu cemasnya berlebihan, beda.” Stella menekankan kata Beda tatapan matanya tertuju pada Devan, mencaritahu.
Langkah Devan terhenti, segera menatap Stella. Ia tersadar mendengar apa yang dikatakan Stella barusan, tapi tak menjawab—hanya diam.
Senyum Stella memudar. Matanya mulai berpaling dari Devan. “Aku ngerti kok Mas, kamu—memang harus bertanggung jawab. Ya ‘kan Mas? Tanggung jawab paman ke keponakannya?
“Iya,” jawab Devan singkat.
*
Devan mondar-mandir di depan rumah Senna. Wajahnya cemas, matanya tak henti melirik jam tangan sambil sesekali memandang ke arah jalan. Jantungnya berdegup kencang, perasaan was-was tak bisa dia tahan meski sudah berulang kali mencoba menenangkan diri.
“Ke mana sih?”
Hampir setengah jam ia berdiri di sana, ketika akhirnya dari jauh terdengar deru motor terdengar mendekat. Devan menoleh cepat, tatapannya langsung menangkap sosok Senna yang turun dari motor sambil memegangi helm, Devan lega.
Namun senyum lega itu lenyap seketika saat telinganya menangkap ucapan Senna pada anak laki-laki yang mengantarnya—Galen.
“Makasih, sayang.,” ucap Senna dengan nada santai dan terdengar manis.
Galen kaget, mulutnya terbuka sedikit, matanya melebar, bingung. Tapi Galen hanya tersenyum canggung, mencoba mengikuti suasana hati Senna.
Devan yang melihat itu, seketika matanya menatap tajam. Rasa panas membakar d**a tanpa bisa ia tahan. Langkah kakinya cepat, menghampir keduanya. Dan Galen bekum sempat berkata apa-apa, tangan Devan melayang, menampar pipi Galen cukup keras.
Galen kaget, matanya menatap Devan kaget. Senna terpekik, buru-buru berdiri di depan Galen, menatap Devan dengan mata penuh amarah.
“Om! Kenapa sih? Gila nampar orang seenaknya?!” Senna berteriak, suaranya nyaring di telinga. “Om tuh nggak berhak nampar Galen! Om bukan papi aku, bukan siapa-siapa aku! Lagian aku pulang tepat waktu, sesuai peraturan, jam sembilan! Kenapa sih, om harus kasar kayak gini?!”
Galen memegangi pipinya yang memerah, masih tampak shock. “Hei, it’s okay Sen, I’m okay.” Galen menenangkan, tapi emosi Senna sudah di ujung tanduk.
Devan terdiam, napasnya terengah, ia benar-benar tak bisa menahan marah yang juga bercampur rasa cemas.
“Dia bawa kamu malam-malam, saya nggak kenal siapa dia, saya khawatir Senna!” Devan berusaha menjelaskan, tapi suaranya terdengar kacau.
Senna menggeleng keras, tak habis pikir dengan apa yang dikatakan Devan. “Udahlah, Om. Aku udah gede, aku nggak butuh orang buat ngatur hidup aku. Aku bisa jaga diri. Aku cuma mau pergi sebentar, itu aja. Kenapa Om harus kasar?!”
Devan terdiam. Hatinya rasanya nyeri mendengar nada suara Senna. Namun, ia juga tak bisa menyangka kalau ia memang kehilangan kendali.
Senna menoleh pada Galen, suaranya lebih lembut. “Udah Gal, lo pulang aja. Please, gue yang minta. Gue nggak mau lo ditampar lagi.”
Galen tampak ragu, wajahnya masih kaget, tapi ia melihat Senna yang serius dan memilih menuruti permintaan itu.
“Lo yakin, Sen?” tanya Galen ragu.
Senna mengangguk. “Yakin. Please, pulang aja dulu.”
Galen mengangguk lalu mengenakan helmnya lagi, ia menatap Senna sejenak sebelum akhirnya pergi meninggalkan mereka. Begitu motor itu menjauh, Senna masih berdiri dengan kesal, sambil mengusap air matanya sekilas. Devan melangkah pelan ke arahnya, tapi gadis itu hanya menatapnya Devan sinis tanpa kata-kata.
“Saya cuma cemas Senna,” ucap Devan pelan. Suaranya lembut, nadanya penuh rasa bersalah. “Saya cuma nggak tenang, saya takut kamu kenapa-kenapa. Saya nggak tahu apa-apa soal anak itu.”
Senna menghela napas, lalu menatap Devan, tapi kini lebih karena kecewa daripada marah. “Senna udah janji, kan? Bakal balik sebelum jam sembilan. Senna nggak bohong Om, nggak kabur.”
Devan mengangguk pelan. “Iya, saya maaf ya,” ucapnya.
Tanpa berkata lebih, Senna berbalik, melangkah ke dalam rumah. Devan mengikutinya dari belakang, langkahnya seolah tertahan menjaga jarak agar Senna tak lagi kesal.
Begitu sampai di depan kamarnya, Senna berbalik berhadapan dengan Devan. Mereka berhadapan, tapi Senna hanya menunduk. “Senna capek Om, mau tidur. Udah, jangan ngikutin.”
Devan menghela napas berniat untuk menjawab, tapi sebelum sempat menjawab, Senna sudah berjalan masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu dengan keras. Devan berdiri kaku di depan pintu itu. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Dadanya sakit, pikirannya kacau. Ia menunduk, menarik napas panjang, sebelum akhirnya berjalan ke kamarnya sendiri.
Di balik pintu, Senna bersandar. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Ia kesal, marah, perasaannya sama kacaunya dengan Devan.
“Om Devan ngeselin!” Kesal Senna sambil mengusap airmata lalu merebahkan tubuhnya ke tempat tidur.
*
Pagi datang dan Devan sudah berdiri di dapur Dnegan wjahnya yang kusut, mata sembab karena semalaman tidak bisa tidur. Dia sibuk menyiapkan sarapan seadanya. Tangannya bergerak, tapi pikirannya masih memikirkan pertengkaran dengan Senna semalam.
Devan beberapa kali menghela napas panjang. Ia tahu dia salah. Tapi hatinya semalam tak bisa dikendalikan. Pikirannya kacau mengikuti emosi yang meledak-ledak diikuti rasa cemburu.
Sementara itu, di lantai atas, Senna masih terlelap di balik selimut. Dia terlalu capek karena marah, matanya baru terbuka saat matahari sudah terlihat masuk dari jendela kamarnya.
Matanya terbuka, lalu tertutup lagi beberapa kali. Ia meregangkan tubuh. Semalam marah dan dia malah tdur nyenyak.
“Marah-marah malah bikin bisa tidur,” ucap Senna.
Senna duduk lalu terdiam sejenak, menatap langit-langit, lalu bangkit perlahan. Emosi semalam masih ada, tapi tidak seperti semalam. Ia menghela napas, meraih handuk, dan berjalan ke kamar mandi.
Setelah mandi dan berpakaian untuk ke kampus, ponselnya tiba-tiba berdering. Nama yang tertera di layar, papi. Senna menatap ponsel itu sejenak sebelum akhirnya menggeser layar.
“Halo, Pi?”
Suara Danu terdengar lembut dari balik telepon,. “Sayang, kamu kemarin malam pergi sama laki-laki, ya, Nak?”
Senna mendengus pelan. “Ya, sama Galen, Pi. Mami kenal dia. Temen aku dari dulu kok. Tanya aja sama Mami.” Nada suaranya terdengar kesal.
“Papi ngerti, papi nggak marah. Cuma Nak, kamu juga harus coba hargain Om Devan. Dia itu bener-bener sayang sama kamu, Nak. Papi tahu dia nggak akan macem-macem sama kamu. Om Devan cuma khawatir.”
Senna terdiam, memutar bola mata. Lalu berjalan pelan ke depan cermin sambil mengeringkan rambutnya.
“Aku cuma muter-muter aja di jalan, beli es krim sama Galen. Nggak ngapa-ngapain. Lagian, aku udah pulang tepat waktu pi, Aku juga nggak kabur, cuma makan es krim dan pulang tepat waktu.” protes Senna
Suara Danu tetap tenang, sabar ia tau Senna juga kesal. “Papi ngerti, tapi kan kamu posisinya pergi sama Om Devan malam tadi. Dia bertanggung jawab. Jadi ya, paling nggak, coba ngerti posisi dia ya sayang.”
Senna menautkan kedua alisnya, bibirnya mengerucut. “Senna bukan anaknkecil pi, Senna juga ijin kok sama nenek. Ngapain dibesar-besarkan sih?” Nada suaranya mulai meninggi. Dadanya terasa sedikit sesak, walau tak sampai menangis.
Danu terdiam sejenak di seberang. Lalu suaranya terdengar lagi. “Papi ngerti maaf ya, kalau kamu ngerasa kesel sama papi. Tapi Nak, ada orang yang bener-bener peduli sama kamu. Bukan cuma papi sama mami. Om Devan juga. Om Devan cuma mau jagain kamu.”
Senna menggigit bibirnya, lalu menatap bayangan dirinya sendiri di cermin. “Ya udah Pi, aku mau kuliah dulu. Nanti aku kabarin.” ucap Senna akhirnya, mengakhiri panggilan.
“Oke, jaga diri ya, Nak. Papi sayang kamu.”
“Iya Pi.”
Panggilan berakhir, Senna meletakkan ponselnya ke meja, menarik napas panjang. Ia menatap dirinya sendiri. Rambutnya digerai, dengan make-up tipis.
“Om Devan kenapa sih?” Senna menggeleng cepat, menepuk kedua pipinya pelan menyadarkan diri.
Gadis itu meraih tasnya, mengambil jaket, lalu turun ke bawah. Aroma makanan menyapa hidungnya. Dan di dapur sosok yang semalam buat ia kesal, berdiri sibuk menata piring dan mangkuk, Devan.
Senna terdiam di anak tangga, beberapa detik ia hanya menatap punggung lelaki itu yang tampak tegak dan kekar.
“Senna Sadar, jangan bego. Dia enggak pernah anggap Lo siapa-siapanya,” bisiknya pada diri sendiri.
Senna menegakkan bahu, pura-pura tak peduli, segera melangkah keluar tanpa suara. Devan menoleh, tapi ia hanya bisa menatap punggung Senna yang menjauh. Devan menghela napas sadar diri Senna pasti masih marah padanya.