Wind Flower

737 Kata
Aku menjatuhkan tas tangan yang aku bawa diatas lantai. Kepalaku blank. Tubuhku tidak bertenaga ketika mendudukan diri di sisi ranjang. Jam dinding berbentuk bundar terus berputar, menghipnotis membujuk sepasang kelopak mataku untuk menutup sempurna sebab lelah dan kantuk telah menyerang dengan kuat. Semalam adalah hal tergila yang aku lakukan, padahal aku benci sekali melakukan kesalahan dan bertindak diluar nalar. Mengapa aku bisa-bisanya menghabiskan malamku dengan pria asing yang namanya saja bahkan tak bisa kuingat? Kepalaku berdenyut sakit. Efek alcohol belum mereda sepenuhnya, begitu pula bagian bawah tubuhku sedikit tak nyaman. Ah.. ini membuat kepalaku rasanya mau pecah. “Kau pulang sepagi ini karena berkencan dengan pacarmu itu ya Haleth, siapa namanya dia itu? haha aku lupa,” aku menggeram malas, kantuk memudar memaksa kedua kelopak mataku untuk melirik pada sosok gadis lain di kamar asrama ini. Gadis itu adalah satu satunya teman yang aku miliki di kampus sekaligus sepupuku yang so cantik. Dia terlihat sedang asyik menyisir rambutnya yang panjang didepan meja rias. Berbeda denganku dia gadis yang supel. “Si b******k Aeldene,” dengusku. “Kau bertengkar lagi dengannya? Kali ini apalagi?” gadis itu melirik kearahku sebentar sambil mengibaskan rambutnya. Ya, aku akui bila rambutnya memang cantik dan halus. Tapi tentu saja aku tidak akan mengatakan kejujuran untuk itu. “Ternyata bukti-bukti yang aku kumpulkan memang benar, dia berselingkuh,” Idril nampak tertawa cekikikan. Wanita itu seperti sedang menertawakan nasib malang yang menimpaku dengan begitu mudah. Dan itu sangatlah menyebalkan. “Dia bermain sesuai umurnya Haleth, aneh sekali bila seorang pria akan setia pada satu wanita. Dan ya, pacarmu itu memang sangat menggoda sih, wajar bila banyak wanita yang merayunya. Terlebih kau sendiri juga sepertinya pacar yang membosankan,” beringsut Idril lagi menghampiriku sedikit lebih antusias dari biasanya, membuatku mengernyitkan alis karena tingkahnya. Sepupu macam apa yang malah melegalkan soal perselingkuhan pacar saudarinya sendiri? Bukannya memberikan dukungan moril, kata-kata yang barusan keluar dari bibirnya lebih seperti mendukung pacarku untuk selingkuh. Idril sialan! “Kemarin aku juga bermain dengan si Ragil dari jurusan Teknik sipil. Dan ya kau tahu seperti yang terlihat dari balik bajunya dia lumayan berotot,” tambahnya lagi membuatku malah kian geram. “Lantas apa hubungannya denganku?” “Nah, Haleth.. maksudku adalah aku sedang memberitahumu tentang orang-orang seperti Ragil agar kau mau mencoba sekali-kali mencoba tidur dengan lelaki seksi daripada kau terus setia pada orang b******k yang sudah menyakitimu. Balas dia dan lakukan hal yang sama dengan apa yang dia lakukan, kupikir itu akan sepadan,” Kali ini giliranku yang tertawa cekikan. Tentu saja aku sudah melakukannya, bahkan lebih parah. Maksudku sepulang dari mabuk aku berpapasan dengan pria setengah telanjang di jalanan dan kemudian aku menariknya tanpa sadar ke hotel cinta. Bagian mana lagi yang perlu direvisi ? semua kronologis yang aku alami sudah lebih dari cukup untuk menerangkan betapa patah hatinya aku terhadap Aeldene. Idril menggelembungkan pipinya, “Woy, aku sedang bicara serius loh Haleth, kau ini— kenapa bisa sesuka itu sih pada si Aeldene?” Aku mencobanya, membayangkan sosok yang sedang dijabarkan oleh Idril padaku dalam bentuk visualisasi dalam otak. Namun yang membuatku bulu kudukku meremang adalah bukan sosok Aeldene yang muncul, tapi pria yang menghabiskan waktu satu malam denganku. Demi Tuhan, kurasa aku telah gagal memahami sudut pandangku sendiri yang nampaknya sudah cukup kacau balau. Bagaimana tidak, pria itu memiliki pahatan yang sempurna. Aku masih bisa merasakan seberapa hebatnya d**a bidang pemuda itu ketika sedang mendekapku saat kami berdua bergumul dia. Terlebih yang tidak bisa ku lupakan adalah—staminanya. Senyum aneh muncul dengan sebelah alis yang terangkat, terlihat bahwa visual pemuda itu pasca seks belum pudar sepenuhnya. “Ya, kurasa karena dia seksi dan cinta pertamaku,” “Cinta pertama??” aku meringis merasa tuli sementara oleh jeritan khas kelampau histeris dari sepupu payahku lakukan. Perempuan dengan rambut panjangnya itu terlihat menahan kesal setengah mati padaku. “Mana ada yang seperti itu didunia ini? Jangan jadi naiflah Haleth!” “Aku tahu,” “Lantas?” “Aku akan mengurusnya,” Bungkam. Selanjutnya aku hanya mampu merespon kegaduhan Idril dengan cengiran aneh. Kutinggalkan saja dia yang terus berkomat-kamit tanpa jeda menceramahiku soal Aeldene. Dia memang tidak mengenal Aeldene. Karena itu mudah baginya untuk bicara seperti itu. Aku sendiri tahu bila aku sedang mencoba untuk mengalahkan logikaku sendiri dengan mencoba untuk memaafkannya. Tapi itu mustahil setelah aku membiarkan dia bertingkah seenaknya. Intuisiku benar soal dia. Meski berat tapi pria pecundang itu sudah tidak selevel denganku. Dia pria terburuk   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN