Aku adalah pemeran utama yang berperan dalam sandiwara kecil berjudul kita. Lalu kenapa kau bawa dia dan mengubah alur cerita?
* * * *
"Naya kamu habis ini mau lanjut kuliah ke mana?" tanya Lena sambil menata makan di atas meja. Sedangkan gadis yang diajaknya berbicara itu mencoba mencari jawaban.
"Masih nggak tahu Tan, aku masih bingung," Naya berjalan ke sisi meja makan untuk membantu Lena menata makanan di atas meja, "Kuliah di luar negeri aja sekalian sama Davin, Venna juga," ucap Lena.
"Mereka beneran mau keluar negeri ya, Tan?" tanya Naya lesu.
"Mungkin, Nay, soalnya papanya mereka udah daftarin ke salah satu Univerisitas di Los Angles," kata Lena. Melihat raut wajah Naya yang murung membuat Lena paham, didekatinya perempuan itu, "Kamu ikut aja, kalian kan udah sahabatan dari lama juga, jadi nggak ada salahnya kan buat kuliah bareng di luar negeri."
Naya tersenyum dan menggelengkan kepalanya, "Nggak Tan, sekali-kali Naya tanpa ada Davin, nanti kalau Naya bergantung sama Davin kasihan suaminya Naya nanti hehe," jelas Naya sembari menampilkan senyumnya.
Kan gue berharapnya Davin yang jadi suami gue. Ucap Naya dalam hati. Dan Naya lagi-lagi hanya bisa berharap semoga kelak Davinlah yang akan terus bersamanya, menjalani hari-hari dengannya. Tapi manusia hanya bisa membuat rencana dan Tuhanlah yang menentukan.
"Ya udah, duduk, Nay. Kita tunggu Davin sama Venna turun," Lena menyuruh Naya untuk duduk dan gadis itu pun mematuhinya.
Tak berapa lama kemudian Venna dan Davin sudah duduk dengan manisnya di kursi meja makan, “Papa belum pulang, Mah?” tanya Venna sambil mengambil nasi dan beberapa lauk yang sudah ditata di atas meja.
“Belum, papa kamu orangnya sibuk. Jarang di rumah, untung ada kamu sama Davin yang selalu nemenin Mama. Duh kalau enggak, pasti Mama udah ngelarang papa kamu buat dinas di luar kota,” jawab Lena sambil mengambilkan nasi dan lauk untuk Naya.
“Nay pulang jam 8 ya? Gue habis ini mau ke rumah temen,” Kata Davin sambil mengunyah makanan yang dia suapkan ke dalam mulut.
“Temen yang mana, Dav? Perasaan temen lo cuma itu-itu aja,” Venna menyahut dengan cuek.
“Ye sok tahu lo dasar bocah, temen gue tuh banyak. Lo aja yang kudet,” jelas Davin.
Naya menerka-nerka siapa yang menjadi teman Davin, “Iya Dav, emang siapa sih temen lo itu?” tanya Naya penasaran.
Davin kembali menyuapkan satu sendok yang berisi nasi serta lauk itu masuk di mulutnya. Dikunyahnya dengan pelan, “Ya udah, Nay, lo ikut gue aja, soalnya gue janjian jam 7. Bentaran kok nggak lama,” jawab Davin.
“Mengalihkan pembicaraan hmm,” celetuk Venna dengan wajah mengintimidasi.
“Bacot ye,” kesal Davin
Lena dan Naya saling pandang sekaligus menahan tawanya saat melihat kekesalan yang terpancar dari wajah Davin, “Nggak boleh ngomong kasar wei.” Naya memperingati.
* * *
Sesuai dengan apa yang dikatan oleh Davin tadi, cowok itu benar-benar mengajak Naya ke suatu tempat namun bukan rumah teman yang dimaksudkan Davin tadi. Dalam benak Naya, ia terus-terusan bertanya mau ke manakah Davin mengajaknya. Sampai beberapa waktu kemudian mereka berdua telah sampai di salah satu toko yang menjual bunga dan aksesoris untuk perempuan, “Mampir sini bentar ya, Nay, gue mau beli sesuatu,” kata Davin sambil melepas helm yang ia gunakan tadi.
“Tapi ini kan toko bunga sama tempat aksesoris cewek, Dav, emang lo mau beli anting?” tanya Naya bingung. Cowok itu tertawa pelan, “Bukan gue mau beli anting, mending ikut gue dulu deh.” Davin langsung menarik pergelangan tangan Naya tanpa seijin dari gadis itu.
Naya langsung mengikuti langkah kaki Davin yang membawanya masuk ke tempat itu. Pandangan Naya langsung tertuju ke arah mawar merah yang sangat indah terpajang di vas bunga, “Mbak bucket mawar merah yang itu satu ya.” Davin menunjuk seikat mawar merah yang diikat dengan indah dan ada hiasan yang begitu memanjakan mata. Naya menatap Davin bingung sebenarnya untuk apa Davin membeli bucket bunga itu?
“Yang ini, Mas?” tanya penjaga toko itu.
Davin mengangguk, “Iya, Mbak.”
Penjaga toko itu langsung mengambilkan bucket bunga yang dimaksudkan oleh Davin tadi dan menyerahkan kepada cowok itu, “Sudah, Mas?” tanyanya.
Tatapan Davin tertuju di mana Naya yang sedang menatap k arah liotin dan bunga mawar biru. Davin tahu bahwa bunga itu sangat langka, “Sudah, Mbak.” balas Davin.
“Tapi pacarnya kayaknya lebih suka yang mawar biru loh, Mas,” katanya.
Davin terkekeh, “Itu bukan pacar saya, Mbak, dia sahabat saya,” jelas Davin.
“Oh baik kalau begitu, silahkan menuju kasir kalau sudah ya.”
“Iya.”
* * *
“Sebenarnya kita mau ke mana sih, Dav?” tanya Naya dengan penuh tanda tanya yang ada di benaknya. Davin yang sedang menyetir motornya sontak dia langsung melirik ke belakang ke arah Naya sekilas.
“Nganter lo pulang lah, Nay, emang mau ke mana lagi?” tanya Davin.
Apa itu bunga buat gue ya? Tapi kalau buat gue kenapa Davin nggak langsung ngasih? Pikir Naya, “Kok nggak sampai-sampai sih perasaan dari tadi?” tanya Naya.
Terdengar Davin terkekeh di balik kaca helmnya, bahkan Naya bisa melihat kalau cowok itu menggelengkan kepalanya pelan, “Mana boleh sih lewat jalan yang tadi? Kan itu jalur searah Naya. Ada-ada aja sih lo,” ujar Davin.
“Jadi terus kita nggak jadi ke rumah temen lo itu dong?” ucap Naya. Pikirannya menjadi bertambah bingung, bahkan dalam benaknya Naya bertanya sebenarnya siapakah teman Davin itu? Apakah dia seorang cowok atau cewek, dan kenapa Davin membeli bunga mawar?
“Jadi kok,” jawab Davin.
“Terus? Kalau jadi kenapa kok pulang?” tanya Naya.
“Kalau gue jadi kok, tapi gue nggak ngajak lo, Nay. Karena udah malam, nggak baik cewek keluyuran,” Davin menasehati agar Naya tidak ikut bersamanya.
“Oh, gitu. Ya udah, nggak apa-apa,” jawab Naya. Padahal gue penasaran banget sama siapa yang bakal lo temui itu, Dav. Batin Naya, cewek itu semakin erat melingkarkan tangannya dipinggang Davin
Davin yang merasa kalau Naya semakin erat memeluknya itu langsung saja dia bertanya. “Kenapa, Nay?”
Naya menggeleng mantap, “Enggak, Dav, gue cuma kedinginan aja kok,” elaknya.
Padahal dalam hati Naya sudah sangat bersyukur dia bisa memeluk dan berdekatan dengan cowok itu. Mencium bau tubuh laki-laki itu adalah hal yang sangat paling dinanti dan ditunggu oleh Naya.
Sejujurnya, gue sangat mengharapkan agar gue bisa menjadi masa depan lo, Dav. Gue selalu berdoa sama Tuhan.
* * *
Keesokan harinya Naya tengah berada di kantin sekolahnya dia sedang duduk bersama Betty dan Venna tentunya. Dia sedang menunggu kedatangan seseorang, yaitu Davin. Karena Davin tadi ingin memperkenalkan orang yang ditolongnya kemarin kepada Naya dan Venna.
"Kembaran lo mana sih? Lama banget perasaan?" tanya Naya yang mulai jengah. Sebenarnya lebih ke arah penasaran.
"Itu orang udah kaya putri keraton aja deh!" seru Venna ikut menimpali.
"Boleh gabung?" tanya seseorang dari arah belakang.
Ketiga orang itu akhirnya mengalihkan pandangannya menjadi menatap pada suara itu berasal.
"Sini duduk," ucap Naya sambil mengajak orang itu duduk di sebelahnya.
"Makasih calon pacar," ucap Raka sambil mengedipkan sebelah matanya pada Naya dengan genit. Betty dan Venna yang melihat hal itu langsung bergidik ngeri.
"Sori telat, nyarinya susah soalnya hehe," kata Davin sambil menatap temannya dengan cengiran.
Naya langsung menatap Davin datar, bagaimana tidak. Davin membawa perempuan lain di hadapannya. Jelas saja perasaan Naya terluka.
"Oh iya sampe lupa, kenalin dia namanya Amel, Amel kenalin dia Naya sahabat gue, trus Venna kembaran paling nyebelin dan dia Betty temen sekelas gue," Davin menunjuk sahabat-sahabatnya sambil memperkenalkannya kepada Amel dengan ramah.
Diam-diam Naya memperhatikan Amel dan Davin, tatapan cowok itu sangat berbeda ketika dengan perempuan itu. Bahkan, senyum yang diperlihatkan Davin untuknya pun sangat begitu berbeda. Naya mengambil nafas dan membuangnya dengan perlahan. Ia berusaha untuk tidak menjatuhkan air mata yang sudah terlihat menggenang di kelopak matanya.
Raka yang tidak dikenalkan pun hanya menatapnya masa bodo. Toh itu tidak penting. Baginya perasaan Naya yang jauh lebih penting sekarang. Raka tahu, kalau Naya menyukai Davin. Tapi ia hanya diam, dia tidak bisa apa-apa karena statusnya yang sebagai orang barulah yang menahannya.
Kalau kalian melihat bagaimana raut wajah Naya sekarang, dia menatap kosong ke arah Davin yang sedang bersenda gurau dengan Amel.
Sampai kapan, sampai kapan gue hanya bisa natap lo kayak gini? Gue dekat dengan lo tapi belum tentu dekat itu bisa selalu bersama. Apalagi memiliki, posisi gue cuma sekedar sahabat yang menurut lo harus dijaga, bukan untuk dipertahankan.
Raka menghembuskan nafasnya, "Gue tahu perasaan lo, Nay, ikut gue ya? Lo bisa nangis sepuasnya di pundak gue kalau lo mau. Gue nggak bakal keberatan sama sekali," bisik Raka tepat di sebalah telinga Naya.
Semua yang melihat kejadian itu menatapnya terkejut. Karena mengira bahwa Raka mencium Naya. Sontak Davin yang tak sengaja melihat hal itu langsung menatap Raka dengan tatapan membunuhnya.
Apa-apaan itu Raka pake nyium Naya segala?! batin Davin geram.
Naya mengangguk menyetujui permintaan Raka, akhirnya kedua orang itu pergi meninggalkan meja kantin. Dan meninggalkan keterbingungan di antara mereka semua kecuali Betty.
"Gue sama Naya pergi dulu, karena ada hati yang mesti gue perbaikin dulu!" ucap Raka tegas sambil mengejar Naya yang sudah terlebih dahulu pergi.
* * *
Sesampainya di belakang sekolah, Naya langsung terduduk di kursi panjang taman. Air matanya meluncur begitu saja saat melihat tadi bahwa Davin dengan bahagianya bersama Amel. Canda tawa dari cowok itu bersama orang lain membuat hatinya yang sudah sakit bertambah sakit.
Raka yang baru datang melihat Naya yang tertunduk langsung berjalan ke arah gadis itu kemudian ikut duduk di samping Naya.
"Gue salah ya, Ka? Gue salah kalau gue sayang dan cinta sama sahabat gue dari kecil?!" tanya Naya dengan isakan kecilnya.
"Nangis aja, Nay kalau itu buat lo tenang. Pundak gue masih bisa buat sandaran lo kok," ucap Raka sambil mengarahkan kepala Naya ke pundaknya.
"Raka gue gak bisa gini terus! Gue capek mendam semuanya Ka! Apalagi ada orang baru antara gue dan Davin, apa gue harus jadi orang jahat dulu supaya dia bisa perhatian lagi ke gue, Ka?!" kini tangis Naya pecah begitu saja.
"Masih ada gue, Venna sama Betty, Nay, jangan berpikir untuk menjadi orang jahat. Kalau lo berpikir hal itu, sama aja bakal buat Davin bakal pergi dari lo … itu semuanya salah besar! Davin akan mencap lo sebagai musuh malahan. Cowok masih banyak, Nay, lo bisa cari yang lain," tutur Raka tenang.
Naya tersenyum getir, "Kalau gue udah sayang dan cinta sama dia gue harus gimana? Gue juga gak mau punya perasaan kayak gini, Ka!" ucap Naya sedih.
"Gue tahu, setiap persahabatan antara cowok dan cewek pasti salah satunya ada yang punya perasaan di antara mereka," ujar Raka berusaha menenangkan gadis itu.
"Dan kenapa harus gue yang punya perasaan lebih itu? Kenapa bukan Davin? Kalau seandainya Davin juga punya perasaan lebih ke gue dengan senang hati gue bakal nerima dia. Ingat, dengan senang hati, Ka!" ucap Naya semakin terisak di pundak Raka.
Dipeluknya tubuh mungil milik Naya, jujur entah sejak kapan Raka memiliki perasaan kepada Naya. Entah itu perasaan suka, sayang, cinta, atau malah justru dirinya hanya menganggap Naya seperti adiknya, yang jelas perasaan ingin melindungi Naya selalu ada. Tapi kalau memang itu adalah perasaan suka dalam artian cinta Raka akan mengurungkan niatnya karena prioritasnya ialah melihat perempuan yang ia sukai bahagia sehingga ia juga bisa bahagia dengan caranya sendiri. Tapi apabila perempuan yang ia sukai itu tengah tersakiti dia tidak bisa tinggal diam saja.
"Davin kan belum jadian, kenapa lo nggak jujur aja sama dia, Nay?" tanya Raka.
Naya cepat-cepat menggeleng, "Gue gak bisa, Ka, karena itu sama aja ngebunuh gue secara perlahan. Karena Davin cuma nganggep gue sahabat! Gak lebih, kalau gue jelasin perasaan gue, pastinya Davin bakal menjauh dan malah benci gue. Gue nggak mau hal itu terjadi.” Ucap Naya.
Raka hanya bisa menghela nafasnya, "Kalau lo butuh bantuan bilang aja sama gue, gue bakal siap jadi sahabat baru lo. Jangan sungkan sama gue, Nay." perintah Raka. Ia mengelus rambut Naya.
"Makasih Raka, lo udah mau ada di samping gue waktu gue susah, dan gue berharap lo akan selalu ada di sisi gue," tanpa dia duga Naya langsung memeluk dirinya dengan kencang.
"Pasti," jawab Raka.
Karena kebahagian gue itu liat lo bisa ketawa dan tersenyum. Batin Raka dengan menampilkan senyum tulusnya.
* * *
"Nay, lo nggak apa-apakan?" tanya Davin yang khawatir melihat keadaan Naya berantakan. Matanya sembab, hidungnya merah, dan rambutnya yang terlihat sedikit berantakan.
"Gue nggak apa-apa," balas Naya dengan memaksakan senyumnya.
"Syukur deh kalau gitu? Si Raka nggak ngapa-ngapain lo beneran kan?" tanya Davin sambil melirik ke arah Raka dengan sinis, sedangkan Raka yang ditatap hanya menghendikkan bahunya acuh.
"Dia baik kok sama gue, oh iya gimana lo sama Amel?" tanya Naya dengan was-was.
"Biasa aja, gue sama dia masih temenan. Masih pedekate haha," Davin tertawa saat mengingat bahwa dia terlalu tergila-gila dengan dengan Amel.
"Lo kenal Amel di mana?" pancing Naya.
"Gue kenal dia waktu dia ikut modeling di event sekolah dan gue sebagai anak jurnalis jadi selalu deket sama dia dan kemarin dia digangguin sama preman, jadi ya gue tolongin," jawab Davin.
Berat njirr saingan gue! Model disamain kayak gue! Gue sama dia aja bagaikan langit sama lumpur lapindo. Oh itu orang yang ditolongin Davin, yang bikin dia rela babak belur. Batin Naya dengan tertawa miris.
"Pantes cantik," jawab Naya.
"Makanya gue tertarik sama dia, udah cantik, pintar, baik, paket lengkap deh," puji Davin di hadapan Naya.
"Oh," balas Naya sekenanya.
"Oh iya gimana kalau lusa kita ke pantai?" tanya Davin.
"Sama siapa aja?" tanya Naya.
"Sama lo aja."
"Lah? Si Venna kenapa nggak di ajak sih?" tanya Naya bingung. Akhir-akhir ini Davin lebih suka pergi hanya dengan Naya tanpa mengajak kembarannya.
"Udah keseringan tuh anak ke pantai, kan gue sama lo belum ke sana berdua, jadi gimana?" tanya Davin meyakinkan.
"Ya udah gue mau, nih ya lama-lama yang dikira kembarannya lo itu gue deh bukan Venna," goda Naya sambil sesekali tertawa.
"Iya juga sih ya? Si Venna tuh jarang cocok pendapat sama gue ... apa-apa debat dulu, tapi kalau sama lo selalu sama. Apa jangan-jangan lo yang kembaran gue ya?" tanya Davin sambil tertawa.
"Ngaco deh, gue aduin Venna mati lo," ancam Naya.
"Venna itu adik gue, tapi kenapa sifatnya itu lebih nyeremin dia dari gue ya?" tanya Davin bingung.
"Lo tanya gue? Lah terus gue tanya siapa?" ucap Naya bingung.
"Tanyalah pada rumput yang bergoyang. Azek," laki-laki itu terkekeh pelan.
"Ck! Begonya kebangetan deh," balas Naya malas.
Untung saja pelajaran hari ini gurunya itu tidak se-killer guru-guru lain, jadi Davin dan Naya bisa bercerita dan mengobrol.
Tiba-tiba ponsel yang Naya letakkan di bawah loker itu bergetar tanda ada pesan masuk. Dengan sesekali melihat guru Naya memberanikan dirinya melihat pesan itu.
From
Vennadn : Lo habis ngomongin gue kan sama si kembaran laknat itu?!
Naya membulatkan matanya kaget dia langsung memanggil Davin.
"Kembaran lo cenayang ya?" tanya Naya polos.
"Emang kenapa?" Davin bertanya sambil mengkerutkan dahinya.
Naya langsung melihatkan ponselnya kepada Davin, cowok itu mengambil ponsel Naya. Sebelum ia membacanya, Davin menyisir rambutnya ke belakang. Matanya membulat saat membaca pesan dari kembarannya tersebut.
"Dasar kembaran durhaka! Masa gue dibilang laknat!" gumam Davin sambil membalas pesan dari Venna.
Naya tersenyum karena Davin masih belum melupakan dirinya karena kemunculan orang baru di hidupnya. Naya berharap semoga hubungannya dengan Davin bisa berjalan baik-baik saja.
Lo itu moodboster gue, kalau gak ada lo entah gue akan gimana? batin Naya.
* * *
Seperti yang dijanjikan oleh Davin bahwa dirinya akan mengajak Naya ke pantai, hari ini Davin membuktikan ucapannya. Di sinilah mereka berada sekarang di tempat yang telah direncanakan oleh Davin.
Davin dan Naya sedang berada di tepi pantai sambil melihat ombak dan juga sunset.
Tak henti-hentinya Naya tersenyum apabila mengingat tadi. Davin dengan semangat menggendong Naya ke sana kemari karena Davin kalah saat lomba lari dari area parkir sampai ke tepi pantai.
"Nay?" panggil Davin tanpa mengalihkan pandangannya dari sunset itu.
"Iya?" jawab Naya.
"Gue itu sebenernya suka sama ...," ucapan Davin menggantung membuat jantung Naya berdetak lebih kencang.
Jangan bilang lo suka sama Amel!? batin Naya.
"Sama Amel?" tanya Naya yang sudah tidak sabar lagi.
"Iya, kok lo tau?" jawab Davin bingung.
DEG!
Apa yang gue khawatirin bakal jadi kenyataan.
"Tatapan lo ke Amel itu beda," jawab Naya singkat.
Lo kuat Nay, please jangan nangis! Jangan buat pertahanan lo hancur!
"Jujur, Nay, kenapa semua orang bilang kalau gue itu cuma kagum aja sama Amel karena dia model? Trus banyak yang bilang kalau gue itu sukanya sama lo?" tanya Davin yang berhasil membuat Naya geram.
Anak kecil aja juga tau b**o, kalau gue cinta sama lo! batin Naya. Namun lagi dan lagi dia hanya bisa menahannya dan menyimpannya menjadi sebuah rahasia.
"Mungkin karena lo seringnya sama gue? Orang aja banyak yang ngira kalau gue itu Venna bukan Naya. Jadi lo nggak usah ambil hati," ucap Naya dengan menahan emosinya.
"Iya juga ya, lo sahabat yang paling ngertiin gue deh, Nay," ucap Davin sambil memeluk Naya. Naya hanya tersenyum di dalam pelukan cowok itu.
Nyaman, satu kata yang bisa menyimpulkan perasaan keduanya sekarang. Sayangnya yang menyadari hal itu hanya Naya saja. Davin? Jangan ditanya lagi dia hanya berpikiran bahwa perasaan dan hatinya hanya untuk Amel seorang. Cih! Dari mana datangnya teori yang didapat oleh Davin itu?
"Nay, lo mau bantuin gue nggak?" kata Davin sambil melepaskan pelukannya terhadap Naya. Kini laki-laki itu menatap lurus bahkan tatapannya masuk ke dalam kedua mata Naya.
Naya menatap Davin bingung, "Bantuin apa?" Naya mengernyitkan dahinya bingung, ia berusaha melepaskan tatapan itu. Tatapan yang menenangkannya.
"Bantuin gue supaya bisa deket sama Amel ya," ujar Davin.
Harus ya, Dav, gue bantuin orang yang gue cinta supaya bisa deket sama cewek lain? tanya Naya dalam hati.
"Nay, gimana? Lo mau kan?" Davin meyakinkan gadis itu.
Please look at me, Dav, gue juga cinta sama lo! Apa lo gak ngerasain apa yang gue rasain?!
"Kenapa nggak minta bantuan Venna? Dia kan kembaran lo dan lebih ngerti tentang lo juga?" tanya Naya bimbang, di mana apabila ia menerima tawaran untuk membantu Amel dan Davin melakukan pendekatan, otomatis itu akan membuatnya malah sakit hati, tapi kalau tidak, Davin akan kecewa dengannya.
"Kalau gue minta bantuan sama Venna, yang ada gue diceramahin," balas Davin.
Kalau ini yang terbaik buat lo, gue bakal usahain, Dav.
Naya menghela nafasnya dia sudah lelah untuk memperjuangkan Davin agar bisa menjadi miliknya.
"Oke, gue bakal bantu lo," jawab Naya.
Walau itu buat gue sakit.
"Seriusan, Nay?" tanya Davin tidak percaya.
"Iya, apa pun buat lo, Dav, pasti gue lakuin," jawab Naya.
"Gaya deh," kata Davin sambil mengacak rambut Naya gemas.
"Dav?" panggil Naya.
Davin pun menoleh sambil mengerutkan dahinya bingung, "Kenapa?"
"Gak jadi," balas Naya.
"Lah ini orang? Emang lo mau bilang apa?" ucap Davin sambil memegang pundak Naya dan mengarahkan pandangannya menjadi menatap dirinya.
Perasaan ini lagi, batin Davin.
"Enggak jadi.”
"Lo ngaku atau kita nggak bakal pulang dari sini?!" gertak Davin kepada Naya.
Naya langsung membulatkan matanya, "Anu itu gue mau bilang kalau gue minta nomornya Amel, ah iya gue minta nomornya Amel." Naya menjawab setengah tergagap. Davin menaikkan satu alisnya bingung.
"Buat apaan?" Davin bertanya.
"Katanya lo mau gue bantu PDKT sama Amel? Jadi ya itu salah satunya," jawab Naya dengan nada yang ia buat santai. Padahal dalam hati dia mengutuk dirinya sendiri karena telah terlalu jauh membohongi perasaannya terlalu dalam.
"Iya sih, tapi itu salah satu tugas lo, Nay, mintain nomor hapenya," Davin mengucapkan itu sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Bisa gue usahain," balas Naya dengan memaksakan senyumnya.
* * *
"Dek, lo nggak apa-apakan?" tanya Nia ketika dia melihat adiknya menangis tersedu-sedu, dan lihatlah penampilannya sekarang sangat kacau. Mata sembab, hidung merah, rambut berantakan, dan suaranya yang parau.
"Huaa hikss, kak Nia," Naya langsung bangkit dari tidurannya dan menubruk tubuh kakaknya itu dengan kencang.
"Hey ada apa? Say something please?" ucap Nia sambil mengelus kepala adiknya dengan sayang.
Nay pun langsung melepas pelukannya dan dia menatap kakaknya dengan perasaan takut-takut.
"Kak gue suka sama Davin kak, gue cinta sama dia. Tapi dia anggap gue cuma sahabatnya," ucap Naya lirih.
"Udah tau, trus kenapa lo bilangnya sama gue gak sama Davin coba?" tanya Nia.
"Davin gak peka sama Naya, dan dia malah nyuruh Naya buat deketin dia sama cewek lain hikss," Naya menangis dengan keras. Untung kedua orang tuanya sedang keluar makanya Naya bisa melepaskan suara tangisnya.
Nia menghela nafasnya, "Udah gue duga, emang lo nggak cerita kalau lo suka sama dia?" tanya Nia dan Naya menggelengkan kepalanya.
"Naya, lo mau sampe kapan nutupin perasaan lo sama Davin ha? Kalau lo gak jujur, ya Davin mana tahu?!" ucap Nia dengan sebal.
"Kalau gue cerita tentang perasaan gue yang sebenernya gue justru takut dia bakal ngejauhin gue, Kak, gue gak bisa tanpa dia," ucap Naya sambil menahan tangisnya.
"Ya udah terserah apa kata lo aja, Dek, gue sebagai kakak cuma bisa ngasih saran dan tempat curhat lo. Jadi semua keputusan ada di lo," tutur Nia dengan membelai pipi adik semata wayangnya itu dengan sayang.
"Makasih, Kak, udah jadi pendengar setianya Naya," ujar Naya.
"Sama-sama adik kakak yang cantik," jawab Nia dengan memeluk Naya erat. Nia tahu, adiknya itu rapuh dan belum bisa mengendalikan hatinya dengan baik.
Dan Naya memutuskan untuk berhenti mengejar Davin. Katakan Naya hanya memilih egonya sendiri karena tidak mau mengakui perasaanya tapi bagi Naya itu lebih baik daripada memaksakan perasaannya kepada Davin, perasaan yang mustahil untuk bisa terbalaskan.
Dia tidak mau menjadi orang jahat. Dia hanya ingin melihat orang yang dicintainya bahagia walau itu bukan karena dirinya.