Bab 2

2519 Kata
Jatuh cinta itu nggak salah, tapi yang salah itu jatuh cintanya ke siapa                                                                                     * * * *     Naya POV Gimana perasaan kalian kalau kena yang namanya friendzone? Apa yang bakal kalian lakuin? Diem sambil memendam perasaan sampai dia tahu dan itu mustahil terjadi karena itu nggak bakal pernah terjadi. Atau kalian bakal ngomong terus terang dan buat dia menjauh secara tidak langsung? Semuanya serba salah. Ibarat nih ya, gue kayak makan buah simalakama. Tapi kalau gue sih, lebih milih opsi pertama. Gue nyari aman aja dan gue yakin, suatu saat nanti dia bakal tahu perasaan gue. Ya suatu saat nanti, tapi kapan? Ya nanti pokoknya. Wajar aja sih gue bisa suka sama sosok sahabat gue satu ini, dia ganteng pasti. Baik? Tentulah. Apalagi kita udah kenal dari gue masih kecil, ya sekitar 8 tahun yang lalu. Namanya Davino Vanny Argia. Setiap kali gue lihat senyumnya hati gue langsung berdesir, setiap gue ngomong sama dia tanpa ia sadari gue selalu grogi. Belum lagi kalau dia godain gue. Pipi gue pasti blushing sendiri. Kata-katanya yang manis dan perlakuannya membuat gue terbang. Tapi, ada hal yang buat gue sedikit kecewa. Semua apa yang gue bayangin nggak sesuai sama apa yang gue harapin. Dia ternyata anggep gue cuma sebatas sahabat. Ya gue tahu, gue nggak ada apa-apanya sama cewek-cewek cantik di luar sana yang pintar dandan. Tapi ya gimana lagi, namanya juga perasaan nggak bisa ditentuin kan? Jadi gue ikut alur hidup aja, kalau jodoh gue, pasti gue bakal kembali sama dia. Tapi kalau enggak pasti ada yang jauh lebih baik dari dia. Tapi gue tetap berharap sama dia haha … Oke gue baper mungkin. Satu pesan masuk dari ponsel gue muncul, kebetulan gue lagi megang ponsel jadi gue tahu. Dengan segera gue langsung membuka lock screen dan melihat siapa yang mengirimi gue pesan. Ternyata itu dari Davin. Ketika gue tahu itu dari Davin gue langsung kesenengan, rasanya pasokan udara mulai menipis dan gue ngerasain sesak di d**a. Eakk. Tanpa banyak basa-basi gue langsung membaca isi pesan tersebut. Davino Jalan yuk Nay? Gue bosen di rumah, si Venna lagi sibuk sendiri nih. Lo mau kan? Fix! gue jingkrak-jingkrak tahu nggak sih, seneng banget gila. Orang yang gue suka ngajak gue jalan. Tanpa banyak pikir gue langsung membalas pesan dari Davin. Me Siap. Davino Gue jemput bentar lagi. Oksigen woi oksigen! Gila ini bukan mimpikan? Gue jalan sama cowok yang gue suka! Oke tanpa membuang-buang waktu gue langsung bergegas mengganti pakaian, supaya pas Davin datang nanti dia nggak nunggu gue kelamaan. Kalian tahukan nunggu itu nggak enak? Apalagi nunggu orang yang nggak peka? Eh upss. Naya POV End     * * *     "Mau ke mana Nay?" tanya Rere saat mendapati anaknya yang telah rapi keluar dari kamarnya. "Jalan sama Davin Mah,” jawab Naya dengan berjalan ke arah meja makan. Rere mengukir senyum lembut saat melihat anaknya tampak sangat bahagia ketika bersama dengan Davin. Dion yang juga melihat anaknya sudah rapi mengernyit heran. "Jalan ke mana?" tanya Dion sambil menutup koran yang sedang ia baca. "Ih Papa kepo kaya Dora deh," jawab Naya sambil mengambil segelas air mineral lalu meminumnya. Sedangkan Dion kembali membuka koran yang sempat ia tutup sebentar tadi, kemudian ia melanjutkan membaca. "Kalau jalan hati-hati, jangan pulang sore-sore," ingat Dion. "Oka, Pah," balas Naya. "Kak Nia ke mana? Tumben gak ada suaranya?" tanya Naya sambil celingak-celinguk mencari keberadaan kakaknya. Biasanya yang paling kompor dan heboh tentang urusan Naya itu adalah Nia---kakaknya yang sangat amat rempong. "Kayaknya masih tidur, habis kemarin kakak kamu lembur tugas sapai malam," jawab Rere sambil menyerahkan roti yang telah ia olesi dengan selai dan setelah itu ia memberikannya kepada Naya. Naya menerimanya dengan manis, "Makasih Mah," kata Naya. "Sama-sama," balas Rere. Saat Naya baru menggigit ujung roti tersebut tiba-tiba dari arah depan rumah Naya terdengar suara gaduh yang begitu mengganggu, Bisa dipastikan itu asal suara dari arah teras depan rumah keluarga Naya. "Assalamualaikum," ucap seseorang dari luar. Membuat seisi ruang makan itu saling pandang dengan wajah bingungnya. "Waalaikum salam," jawab keluarga tersebut dengan kompak. Namun masih saja, tanda tanya besar mengisi hati mereka. "Kamu keluar gih, bukain pintu siapa yang heboh di luar," Rere menyuruh anaknya untuk membukakan pintu di luar. "Oke, Mah," Naya dengan semangat langsung berlari keluar untuk mencari tahu siapa yang sudah datang. Setelah pintu dibuka terlihatlah sosok berbadan tingg menjulangi dan tegas itu membuat Naya menahan nafasnya. Cowok yang membelakangi Naya langsung mengalihkan pandangannya. "Udah siap, Nay?" pertanyaan Davin membuat Naya tersadar dari keterkejutannya. "Udah, dari tadi. Lo lama kayak siput sih," jawab Naya acuh, sebenarnya dia hanya menghilangkan rasa grogi dan gugup ketika melihat Davin yang sangat tampan sekaligus mempesona baginya.   "Berarti udah siap jalan sama gue dong?" tanya Davin dan dijawab dengan anggukan oleh Naya. Cowok itu tersenyum simpul dan kemudian menarik tangan Naya untuk masuk ke dalam rumah. "Apaan sih tarik-tarik," sewot Naya. "Aelah, baperan lo. Kalau gue nggak narik lo, lo bakalan bengong kayak orang b**o di depan. Heran gue, lo bengong aja. Kenapa? Lo suka sama gue?" pertanyaan Davin yang mampu membuat Naya tertohok itu langsung menelan ludahnya susah payah. Dia harus mencari alasan apa? Otaknya sekarang tidak bisa berpikir mencari-cari sebuah alasan. Apalagi detak jantungnya  beritme tidak karuan. Duh gimana nih? Plis tolong gue dong! batin Naya memohon. "Loh, Davin. Udah datang aja kamu. Tante kira kamu jemput Nayanya agak siang," tiba-tiba Rere menyapa Davin dengan sapaan lembutnya. Davin menyambut Rere dengan mencium punggung tangan wanita itu dengan sopan, senyumnya tersungging dibibir, "Hehe, iya nih, Tan. Biar nanti pulangnya nggak sore-sore banget," jawab Davin. Rere mengangguk, "Udah sarapan?" tanya Rere. Davin hanya tersenyum cengegesan. "Halah modus lo ke sini pagi-pagi. Paling minta makan doing kan lo? Idih ngaku aja," Naya berkata dengan sinis, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Tahu aja lo," tanpa disangka Davin mencubit hidung Naya dengan gemas. "Davin!" kesal Naya sambil mengerucutkan bibirnya kesal. Rere yang melihat tingkat kedua remaja itu hanya menggelengkan kepalanya. "Udah-udah, kalian berdua cepet sarapan aja." "Oke, Tante." "Siap, Mah." "Ngikut aja lo tupai," sewot Naya. "Suka-suka gue dong."   * * *     Setelah acara ribut di rumah Naya tadi akhirnya Davin dan Naya kini telah berada di dalam mobil yang entah akan membawa mereka berdua entah ke mana. Di dalam mobil itu hanya ada keheningan yang menyelimuti mereka berdua, Davin yang fokus menyetir sedangkan Naya hanya diam sambil melihat jalan dari balik kaca mobil. "Kita ke mana ya, Nay?" tanya Davin sambil fokus pada stir mobilnya. "Mana gue tahu, kan lo yang ngajak gue," jawab Naya masa bodoh. Sebenarnya dia berharap agar Davin mengajaknya ke suatu tempat yang romantis. Tapi Naya tahu bahwa itu hanyalah hayalan semata baginya.   "Ya kasih masukan gitu. Habis gue bosen di rumah," kata Davin. Naya nampak berpikir, dia memiliki sebuah ide, "Nonton yuk!" pekik Naya senang. Davin melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Bioskop jam segini mana udah buka sih," kata Davin. Naya cemberut, tahu gitukan dia tidak perlu repot-repot memberi jawaban kalau ujung-ujungnya jawabnya seperti itu. Melihat Naya yang menekuk wajahnya membuat Davin terkekeh geli, "Gak usah dijelek-jelekin tuh wajah. Udah jelek juga," canda Davin. Emang gue jelek banget ya? Gitu amat perasaan kalau ngomong. Batin Naya sedikit merasakan sakit. "Ye gini-gini pemberian dari Tuhan. Syukuri kek. Orang gue imut kayak gini dibilang jelek, rabun sih lo," jawab Naya. "Lo kalau marah kenapa lucu sih, gemes gue sama lo." Davin lagi-lagi membuat Naya salah tingkah. "Kan u--udah gue bilang. Gue itu lucu sama gemesin," kata Naya. "Iya terserah lo deh," Davin memutar stir mobilnya untuk berbelok kekiri, "Gimana kalau kita ke danau yang ada di taman pinggir kota itu?" tawar Davin. Naya menimbang-nimbang ide yang dikeluarkan oleh cowok tersebut, "Lo mah jadi cowok  nggak ada romantis-romantisnya. Ngajak ke taman masih pagi-pagi. Mau lihat apaan? Lihat daun yang masih ngembun?" tanya Naya sedikit kesal. Sontak jawaban yang terlontar dari bibir Naya membuat Davin terbahak-bahak. "Hahaha anjir, jawaban lo buat gue ngakak sumpah," Davin tertawa keras, "ya udah nanti kalau gue ke sini lagi, gue ngajak pacar gue pas sore-sore jadi nggak lihat daun ngembun. Gue ajak dia lihat sunset," lanjut Davin. Andai lo nanti ngajak gue. Pasti gue seneng banget. Tapi ya gimana lagi ya Dav, lo sama gue cuma digariskan buat sahabatan aja kali ya? Pikir Naya dalam hati.   "Heh malah bengong lo. Gimana nih? Lo maukan?" tanya Davin. "Ya udah sih, gapapa. Itung-itung ngajarin lo biar nggak jomblo trus nanti pas punya pacar nggak bingung mau ngapain," kata Naya. "Yailah Nay, gue jomblo gara-gara lo juga sih.n" Ha?! Serius? Gara-gara gue? Apa Davin nggak mau lihat gue sakit hati? Atau dia juga punya rasa yang sama kayak gue? Batin Naya bertanya-tanya. "Kok gitu?" tanya Naya. "Ya … kan mereka ngira lo sama gue pacaran. Jadi setiap ada yang deketin gue pasti mereka mikir dua kali," jawab Davin berhasil membuat Naya tersinggung. Secara tidak langsung Davin merasa risih ketika ada Naya di smpingnya. "Oh, berati gue jahat banget ya," Naya tersenyum getir.     * * *     Di sinilah mereka berdua sekarang, di danau yang Davin rekomendasikan kepada Naya. Tempat itu memang sangat indah. Sebenarnya itu adalah taman, namun taman itu begitu luas dan terletak sebuah danau kecil di tengahnya. Davin mengajak Naya untuk segera ke sana. Sesampainya mereka berdua di sana, Davin dan Naya duduk di salah satu kursi kayu yang menghadap langsung ke arah danau tersebut. "Lo bakal kuliah di mana Nay setelah lulus nanti?" pertanyaan Davin membuat Naya menoleh ke arah cowok itu. Ia melihat Davin yang menatap lurus ke depan seakan-akan menerawang ke masa depan mereka. "Di sini-sini aja sih," jawab Naya. "Kalau lo?" Naya ganti bertanya. Davin nampak berpikir, ia menghela nafasnya dengan berat. Sepertinya pertanyaan yang diajukan oleh Naya itu begitu berat sehingga membuat Davin tidak bisa menjawabnya. "Gue ngikut kembaran gue, kalau dia maunya di luar negeri. Gue harus ikut," ujar Davin seraya mengulum senyum. "Berarti lo bakal ninggalin gue dong?" tanya Naya dengan sedih. Melihat raut wajah sahabatnya yang sedih membuat Davin merasa bersalah, ia kemudian menarik Naya ke dalam pelukannya. Tubuh Naya menegang saat merasakan reaksi yang baru saja dia terima akibat pelukan dari seorang Davin. Cowok itu mengelus rambut Naya dengan penuh perasaan tanpa ia sadari. "Kan masih ada skype, nanti gue bakal pulang setahun sekali," jelas Davin. "Ya tapi beda Dav," elak Naya dengan cemberut. "Kita pastiin semuanya. Gue bakal sering-sering deh ngehubungin lo." janji Davin. Naya tersadar, sepertinya dia terlalu egois kepada Davin. Toh, di sana Davin menuntut ilmu bukan main-main. Lagian dia siapa? Kekasihnya? Bukan kan? Jadi kenapa dia harus melarang-larang Davin untuk pergi. Naya menjauh dari pelukan Davin yang terasa begitu nyaman tersebut. Ia takut tidak bisa melupakan laki-laki tersebut dan malah justru ia takut perasaanya semakin tumbuh dengan seiring berjalannya waktu karena ia merasa nyaman dan terlindungi di dekat Davin. Andai saja takdir bisa berpihak baik kepada Naya, ia ingin suatu saat Davin mengetahui perasaanya dan bisa menerima Naya untuk menjadi bagian dalam hidupnya. Tapi Naya sadar itu adalah suatu hal yang sangat mustahil. "Lo kuliah aja di sana. Lagian ngapain  segala ngehubungin gue? Kitakan cuma sahabat?" ucapan Naya sangat menohok hatinya sendiri. "Ya nggak apa-apa siapa tahu lo nanti kangen gitu sama gue?" kata Davin. "Pede ih," Naya pura-pura tertawa. "Ya kan gue ganteng," Davin menjawab dengan cengirannya. “Kumat deh geernya,” Ujar Naya. “Gue ganteng sih, haha.” "Serah lo deh Dav, untung sahabat lo." "Kenapa? Lo takut jatuh cinta sama gue?" tanya Davin dengan kerlingan mata jahilnya. Gue udah jatuh cinta sama lo kali Dav. Tapi lo nya aja yang nggak peka. Batin Naya gemas sendiri menghadapi sifat Davin. "Enak aja lo," elak Naya pura-pura tidak terima. "Oh ya Dav," ujar Naya. Mendengar Naya seperti memanggilnya membuat Davin menoleh. "Hmm," gumam Davin. "Anu--," kata Naya terbata. Davin menyipitkan matanya ke arah Naya. "Anu apaan? Yang jelas kalau ngomong." Naya menghela nafasnya. "Cewek eumm cewek yang lo suka tuh yang kayak gimana sih, Dav?" Naya memberanikan diri untuk bertanya kepada Davin soal tipe-tipe cewek yang diinginkan oleh laki-laki itu. Siapa tahu dia masuk kriteria yang diinginkan oleh Davin? Davin yang merasa aneh dengan pertanyaan Naya membuat dia mengangkat sebelah alisnya bingung, "Lo ngapain nanya-nanya kayak gitu?" tanya Davin curiga. Melihat tatapan Davin seakan seperti laser membuat Naya menelan ludahnya susah payah, "Ada yang nyuruh nanyain ke lo. Mungkin dia mau daftar jadi cewek lo kali," elak Naya lagi. Ya kali Naya rela kalau Davin didekati perempuan lain. Untungnya Davin percaya dan menganggukkan kepalanya. Ia memberi tahukan bagaimana kriteria yang Davin inginkan, "Gue itu nggak muluk-muluk. Tapi yang jelas, cantik pasti, pinter, jago masak biar nanti kalau jadi istri gue nggak beli makanan luar. Trus baik sama gue dan keluarga udah itu aja," kata Davin. Naya yang mendengar jawaban Davin membuatnya menganga, dari sekian kriteria yang Davin inginkan hanya satu yang masuk itu saja termasuk atau tidak bagi Davin, Naya tidak tahu. Yaitu, baik dengan keluarganya. Jangan ditanya, Naya sangat menyayangi keluarga Davin itu tulus bukan karena dia suka dengan Davin dan hanya pura-pura baik. Tidak! Dia tidak seperti itu. "Yaelah, Dav, lo mah nyari pacar apa nyari karyawan. Banyak amat," celetuk Naya. "Gue kalau udah srek satu bakal gue lanjut sampai nikah. Makanya gue nggak pacaran kan sekarang? Selain gue mau fokus sama sekolah gue juga belajar menata hidup," penjelasan Davin mampu membuat Naya memerah. Tapi sekaligus sedih, karena pasti sekalinya Davin mempunyai kekasih itu bakal lama dan tidak ada celah untuk dirinya mendekati Davin kembali. Dan pasti Davin akan selalu menjaga perasaan kekasihnya nanti.   Trus sama guenya kapan dong? “Tapi, yang cantik itu belum tentu baik Dav. Bisa aja dia cuma memanfaatkan parasnya, bukan menerka-nerka dan menuduh. Tapi lebih baik cari yang cantik dari hati bukan dari wajah. Karena  cantik dari hati itu akan terpancar juga ke wajah. Kalau mau cantik, tenang banyak dokter kecantikan kok sekarang hehe,” Jelas Naya. Perkataan Naya barusan berhasil membuat Davin bungkam seribu bahasa. Ia hanya menatap gadis yang ada di depannya dengan salut. “Setelah gue tangkap apa yang lo katakan tadi, gue berpikir lo baru aja nyeramahin gue. But gue nggak setuju sama lo. Kenapa? Karena menurut gue cantik itu relatif, gue nggak mandang itu semua. Kalau gue udah cinta, ya gue bakal bantu dia supaya dia mau berubah,” Jelas Davin. Naya menanggapi dengan hati yang sebenarnya sesak namun dia bisa apa selain mengiyakan saja, "Ohh, ya udah semoga lo dapat seseorang yang lo inginkan, dan kriteria lo tadi ya Dav." jawab Naya. "Kalau orangnya lo aja gimana?" Davin bertanya. Naya menatap Davin tidak berkedip. Jantungnya seperti berlari marathon sekarang. "Ha? Eh? Kok gu---gue sih?" tanya Naya terbata. Davin tertawa sembari mengacak rambut Naya gemas, "Nggaklah, kan gue sama lo sahabatan. Gue nggak mau ngehancurin persahabatan kita," jelas Davin seakan seperti sambaran petir. Tau gitu lo jangan bilang kayak tadi dong, Dav! Lo seakan-akan nerbangin gue ke langit trus lo jatuhin gue ke dasar samudra yang terdalam. Batin Naya sendu. "Hmm, sahabat bakal tetep sahabat ya Dav nggak bakal berubah?" tanya Naya pura-pura. "Apaan?" bingung Davin. "Bukan apa-apa," ujar Naya. "Gak jelas lo." Naya diam-diam selalu mengamati wajah laki-laki yang sejak tadi duduk di sampingnya. Nggak tahu sampai kapan gue bisa jaga rahasia ini Dav. Gue takut saat lo tahu perasaan gue justru lo malah menjauh. Batin Naya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN