Perasaan Iba

1126 Kata
Rusdi membelai lembut kepala Mela. Gadis itu sedang terlelap di bawah pengaruh obat. Menurut cerita yang Rusdi dapat dari perawat yang menjaga Mela, anaknya itu tadi meronta dan berteriak histeris sehingga perawat menyuntikkan obat penenang pada Mela. Rusdi menatap iba pada anaknya. Sedari kecil, Mela hampir tidak pernah bahagia. Masa kecil ia habiskan dengan membantu ibunya keliling berjualan kue. Masa remaja ia habiskan untuk belajar karena ia bertekad untuk mendapatkan beasiswa agar bisa mencapai cita-cita. Di hari ia menikahkan Mela, Rusdi melihat anaknya sangat bahagia. Awalnya Rusdi merasa berat menikahkan Mela dengan Rayan karena keluarga Rayan yang tidak merestui pernikahan tersebut. Karena Rusdi melihat keinginan Mela dan Rayan yang kuat untuk menikah, Rusdi akhirnya menikahkan keduanya meskipun tidak dihadiri oleh keluarga Rayan. “Dosa apa yang telah ayah perbuat hingga anak ayah tidak bisa hidup bahagia,” ujar Rusdi menyalahkan diri sendiri. Bahkan di hari tuanya, ia tetap belum bisa memberikan Mela kebahagiaan. “Yang kuat ya, Nak. Ayah yakin... Mela pasti kuat. Mela anak yang kuat!” ucap Rusdi lagi dengan suara bergetar. Suara ketukan terdengar di pintu, Rusdi bangkit dari kursi plastik yang ia pakai untuk duduk dan melangkah pelan ke pintu. Teman-teman satu kerja Mela di Bank datang untuk menjenguk Mela. Wajah-wajah mereka sudah tidak asing lagi, Mereka sudah sering di bawa Mela ke rumah. Mereka juga hadir di acara pernikahan Mela dan Rayan kemaren. “Masuklah, Mela sedang tidur.” Rusdi mempersilakan mereka untuk masuk. Siska, Deni, Risa dan Fany masuk ke dalam. Mereka adalah sahabat Mela di kantor dan sudah dianggap anak sendiri oleh Rusdi. “Bagaimana keadaan Mela, Pak?” tanya Siska. “Masih tidur, tadi di kasih obat penenang oleh Dokter,” jawab Rusdi. “Obat penenang?” Deni mengulang perkataan Rusdi. “Iya, obat penenang. Menurut perawat yang menjaga. Mela tadi...” Rusdi menjeda ucapannya, ia memandangi Mela yang masih terlelap, lalu melanjutkan. “Mela berteriak histeris setelah mendapat kabar kalau Rayan... meninggal dunia.” Kata yang di ucapkan Rusdi barusan membuat Siska, Deni, Risa dan Fany saling bertatapan. Dari wajah ke empatnya bisa Rusdi simpulkan jika mereka juga kaget mendengar berita itu. “Maksud Bapak, Mas Rayan meninggal dunia karena kecelakaan itu?” timpal Risa. Rusdi mengangguk, sekali lagi ia hanya bisa menatap wajah malang Mela. Ia kemudian menarik dalam nafasnya. “Tuhan hanya menentukan jodoh Mela dan Rayan dengan sangat singkat. Selain kematian Ibunya, kematian Rayan adalah cobaan terberat Mela. Bapak minta tolong pada kalian, untuk mendukung Mela biar ia bisa bertahan,” pinta Rusdi. “Jangan khawatir, Pak! Kami akan terus berada di samping Mela,” ujar Fany. “Terima kasih.” senyum kecil terukir di wajah Rusdi. Anaknya tidak sendirian, masih ada orang lain di sekeliling Mela yang masih ada untuk menyayanginya. ** “Makanlah, Ayah mau pergi kerja dulu.” Rusdi meletakkan sepiring nasi goreng di dekat Mela. Sudah dua hari Mela berada di rumah setelah hampir sepuluh hari ia di rawat di rumah sakit. “Mela gak lapar, Yah!” jawab Mela pelan. “Ingat kata dokter, kondisimu belum terlalu pulih. Kau harus banyak makan biar punya tenaga.” “Nanti Mela akan makan. Ayah mau berangkat kerja, kan? Nanti Ayah telat, ini sudah hampir jam tujuh.” Sejak kecelakaan yang menimpa Mela, Rusdi sudah minta izin untuk tidak bekerja karena ia harus menjaga Mela di rumah sakit. Sekarang Mela sudah berada di rumah, ia tentu harus masuk kerja, Rusdi membantu usaha Pak Ridwan, Ketua RT di lingkungan tempat tinggal mereka yang punya usaha sebagai distributor bahan pangan yang menyalurkan bahan makanan ke daerah-daerah terdekat. “Ayah masih ragu untuk berangkat kerja. Kau belum makan dari kemaren.” Rusdi meletakkan lagi tas kerja yang tadi ia sandang ke meja kecil yang ada di dekatnya. “Baiklah, Mela akan makan. Ayah bisa berangkat kerja sekarang.” Mela lalu mengambil piring yang berisi nasi goreng lalu mulai memakan nya dengan pelan. Meskipun ia tidak selera makan, ia harus memaksakan diri untuk makan supaya Rusdi bisa tenang berangkat kerja. Melihat Mela sudah memakan nasi goreng buatan nya, Rusdi lalu mengambil kembali tas kerja nya. “Ayah berangkat kerja dulu, nanti kalau ada apa-apa... telepon Ayah. Oke!” Rusdi membelai lembut kepala Mela, diselipkannya do’a untuk putrinya itu supaya Mela tetap kuat dan tabah saat sendirian berada di rumah nanti. “Baik, Yah!” Mela menjawab sambil tersenyum. Ia lalu memandangi Rusdi sampai lelaki itu menghilang dari pandangan nya. Sepeninggal Rusdi, Mela meletakkan kembali nasi goreng yang baru ia habiskan separo. Ia menatap kosong ke depan, persis di depan Mela sekarang adalah kamar pengantinnya. Kamar itu pernah ditempati Rayan satu malam, dan mereka sudah memiliki kenangan indah di kamar itu. Sebuah kenangan yang tidak akan pernah Mela lupakan seumur hidupnya. Mata Mela berkaca-kaca, kedua bahunya naik turun memikirkan nasib yang ia alami saat ini. Bayangan hidup bersama Rayan sampai tua hancur sudah karena kecelakaan itu. Janji yang terucap untuk sehidup semati telah terputus oleh takdir yang tidak bisa di elakkan oleh manusia. Mela berusaha untuk ikhlas, namun ia tidak bisa. Hatinya masih belum bisa menerima kematian Rayan, terlebih... Mela belum mengunjungi pusara rayan. “Ayah tidak tau, Ayah hanya melihat jenazah Rayan di bawa keluar dari rumah sakit oleh ambulance,” ucap Rusdi kala itu kepada Mela disaat Mela menanyakan tentang Rayan. “Bu Maya melarang Ayah untuk melihat jenazahnya, Kau mendengarnya juga waktu itu, ‘kan?” “Tapi kenapa Ayah begitu lama? Aku pikir Ayah ikut ke pemakaman Mas Rayan,” tanya Mela dengan rasa ingin tahu yang besar. Rusdi menggeleng pelan, ia lalu membuang pandang ke arah lain. Ia tidak mau Mela melihat wajahnya yang telah berkata bohong. “Ayah masih belum bisa menerima kenyataan jika Rayan telah meninggal.” Ya, kata itulah yang akhirnya di ucapkan Rusdi kepada Mela. Rusdi tidak sepenuhnya berbohong, namun hatinya juga ikut tersayat ketika ia harus mengatakan kepada Mela jika ia tidak tau dimana Rayan dikuburkan. Dan Mela sepenuhnya percaya pada Rusdi, Ayahnya itu tidak pernah membohonginya. Mela mengusap pipinya yang telah basah dengan air mata, selama sepuluh hari ini cairan bening itu selalu menemani hari-harinya. Matanya selalu basah, berbeda dengan hatinya yang sudah dipaksa untuk mengering. Kering sebelum waktunya. Dengan sisa tenaga yang ada, Mela berusaha bangkit dan berjalan terseok menuju kamar, kedua kakinya belum terlalu kuat untuk berjalan. Setibanya di kamar, Mela mengambil ponselnya yang terletak di meja rias. Ia lalu mencari kontak telepon seseorang dan menghubunginya. Beberapa detik kemudian, panggilan itu pun tersambung. “Halo,” suara di seberang sana menyapa. “Halo... siapa ini?” tanyanya lagi karena Mela tak kunjung menjawab. “Halo... jika tidak bicara maka aku akan tutup panggilan ini.” Dia mulai meninggikan suara karena merasa dipermainkan. “Baiklah, aku tu....” “Tunggu!” Mela berteriak. Lalu... “Aku Mela, aku butuh bantuan mu.” “Mela?!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN