3. We Got Married

1427 Kata
Minzy menatap langit malam dengan mata yang berkaca-kaca. Impiannya untuk menikah dengan pria yang dicintai kini telah hilang. Karena Minzy telah resmi menjadi istri Marvi. Istri sah. Di depan agama dan negara. Saat ini, Minzy sedang berdiri di balkon kamar hotel untuk menikmati angin malam dan meratapi kehidupan pernikahannya setelah itu. "Pernikahan ini telah terjadi, mau sampai kapan kamu akan menyesalinya?" Ucap Marvi yang entah sejak kapan berdiri di samping kiri Minzy. Clik. Air mata Minzy terjatuh. "Kau mengatakan hal itu seakan-akan ini bukan masalah besar, Tuan. Kau pikir pernikahan hanya sebuah candaan?" Minzy mengusap air matanya yang enggan untuk berhenti. Marvi bersandar pada pagar balkon dan menatap Minzy yang masih menangisi pernikahan mereka. "Aku akan..." "Aku sudah meminta kamu agar mengatakan hal yang sebenarnya, tapi Bapak tetap tidak mau... Sekarang kita harus bagaimana?" Ujar Minzy kebingungan. "Dan sekarang? Sekarang Ibu Helena sakit," Marvi mengangguk paham. "Kau boleh menyalahkan aku dalam hal ini. Aku benar-benar tidak memiliki kesempatan, orang tuaku sangat sibuk menyiapkan pernikahan kita." Ucap Marvi. Ya, setelah acara resepsi, Helena tak sadarkan diri dan dibawa ke rumah sakit. Namun Kenan melarang Marvi untuk ikut menjaga di rumah sakit karena ini adalah malam pertama Marvi dan Minzy. Marvi memegang kedua bahu Minzy dan membuat Minzy menatap ke arahnya. "Kau tenanglah, beri aku waktu. Biarkan seperti ini untuk beberapa waktu. Kesehatan Ibuku sedang tidak baik, keadaannya akan semakin parah jika mendengar kita ingin berpisah padahal baru satu hari menikah." Mohon Marvi meminta pengertian Minzy. Minzy terdiam. Wajah senang Helena ketika menyambut tamu undangan memenuhi pikirannya. Ekspresi bang ga dari Kenan ketika menyambut dirinya sebagai menantu membuat Minzy semakin bingung. Helena dan Kenan sangat baik kepadanya walaupun mereka tahu bahwa dirinya hanya seorang gadis yang besar di panti asuhan. "Aku mohon," ucap Marvi. "Aku tidak akan melakukan apapun tanpa izin kamu. Kita hanya menikah untuk orang tuaku, dan aku sadar akan hal itu. Aku tidak akan melewati batas." Minzy menatap Marvi tak percaya. Bos yang arogan, Bos yang egois dan tidak disiplin ternyata memiliki sisi lembut jika menyangkut tentang orang tua dan keluarganya. "Kalau kau tidak percaya, aku akan membuat surat perjanjian secara resmi." Lanjut Marvi. Minzy menghembuskan nafas berat. Dan, "Baiklah." Marvi memasang ekspresi tak menyangka. "Apa kau serius?" Minzy mengangguk pelan. "Asal kau harus menepati janjimu." Marvi mengangguk dengan semangat. "Tentu saja, aku melakukan ini demi kebahagiaan Ibuku, setidaknya sampai dia sembuh." Minzy hanya diam dan berlalu masuk ke dalam kamar hotel, hotel yang tadi siang mereka gunakan untuk acara resepsi pernikahan. Pernikahan mewah dan tamu yang terpandang. Itu memang keinginan Minzy, hanya saja, pria yang Minzy nikahi, bukanlah pria yang yang Minzy cintai. Minzy mendudukkan tubuhnya di atas tempat tidur dan menghela nafas pasrah. Ia berharap bahwa keputusannya adalah hal yang benar. Melihat wajah memohon Marvi demi kebahagiaan Ibunya membuat Minzy tidak bisa menolak permohonan itu. Marvi menyusul masuk seraya menutup pintu balkon, kemudian duduk di tepi tempat tidur. Menatap Minzy yang juga duduk di sisi sebelah kanan tempat tidur. "Selamat malam." Ucap Marvi seraya membaringkan tubuhnya membelakangi Minzy. Minzy melihat Marvi sebentar dan ikut berbaring. "Selamat malam." Ucap Minzy membalas ucapan Marvi. ***** Pagi ini, setelah check out dari hotel, Marvi dan Minzy memutuskan untuk mengunjungi Helena yang masih dirawat di rumah sakit. Mereka berjalan berdampingan tanpa saling berpegangan tangan menuju ruangan Helena dirawat. Sampai akhirnya mereka berdua sampai di depan sebuah ruang VVIP dengan pelayanan terlengkap dan ruangan ternyaman di rumah sakit tersebut. Cklek. Marvi membuka pintu. "Masuklah," ucapnya pada Minzy. Minzy pun masuk. Dan terlihatlah Helena yang bersandar di tempat tidur sedang di suapi oleh Kenan. "Selamat pagi, Mom... Dad..." Sapa Marvi seraya memeluk Kenan yang sedang duduk menyuapi Ibunya. Kemudian ia beralih mencium kening Ibunda tercinta. Minzy melihat Marvi yang memberi tanda untuk menyapa kedua orang tuanya. "Selamat pagi, Tuan--" "Apa?" Ucap Kenan menginterupsi. "Maksudku, selamat pagi Dad..." Minzy menyalami Ayah mertuanya. Kemudian beralih mencium tangan sang Ibu mertua dengan sopan. "Selamat pagi Mom, semoga cepat sembuh..." Helena mengusap wajah cantik Minzy. "Apa semalam kau tidur nyenyak, kantung matamu menghitam sayang..." Minzy gelagapan. Semalam ia tidak bisa tidur, terlalu banyak hal yang berbeda. Biasanya ia tidur sendiri dan semalam, dia tidur dengan Marvi bahkan Marvi memeluk pinggangnya tanpa sadar. Dan itu membuat Minzy tidak tidur nyenyak. Kenan tertawa pelan. "Mereka pasti kurang tidur, mereka pengantin baru. Jadi, wajar saja jika mereka tidak tidur semalaman." Dang! Helena tersenyum penuh arti menatap putra bungsu dan menantunya bergantian. "Aaah tentu saja, kenapa Mommy bisa melupakan hal itu." Wajah Minzy memerah karena malu, sedangkan Marvi tampak mengusap tengkuknya dengan gugup. Itu sangat canggung. "Sudahlah, kau membuat mereka malu Helena..." Ujar Kenan. Helena mengangguk paham. "Apa kalian akan langsung tinggal terpisah dari kami?" Tanyanya. Marvi melihat Minzy sekilas. Minzy hanya diam menatap lantai. Tatapannya kosong. Sudah sangat jelas, gadis itu sedang memikirkan sesuatu. "Zy, apa kau mau kita tinggal berdua di--" "NO! Maksudku... Maksudku, akan lebih baik jika kami tinggal bersama Mom dan Daddy untuk sementara waktu." Ucap Minzy memberikan alasan karena dirinya tiba-tiba saja berteriak. Kenan mengernyit heran. "Kenapa?" Marvi merangkul bahu Minzy dan berusaha senormal mungkin, berprilaku layaknya sepasang suami dan istri yang saling mencintai. "Minzy bilang kepadaku, bahwa dia ingin menjaga Mommy hingga Mommy sembuh. Mungkin setelah itu, kami akan mulai bersiap-siap untuk tinggal di rumah kami sendiri." Jelas Marvi. Minzy menghela nafas lega karena Marvi telah membantunya memberikan alasan. Karena alasan sebenarnya yaitu Minzy takut pada Marvi. Jika tinggal berdua, tidak akan ada yang tahu apa yang akan dilakukan Marvi nanti kepadanya. Sangat sulit untuk mempercayai orang. Apalagi Marvi, Bosnya yang sangat dingin, arogan dan menyebalkan. Bisa saja ucapannya semalam hanya bualan kosong untuk meluluhkan hatinya. Pikir Minzy. "Bukan begitu?" Marvi menatap Minzy yang berada dalam rangkulannya. Minzy mengangguk pelan. "Iya, Mom." "Aaah, kau memang menantu yang sangat baik. Kalau begitu, sore nanti Mommy akan pulang karena kamu akan menemani Mommy di rumah." Ucap Helena tersenyum senang. Melihat senyuman itu membuat Minzy teringat senyum Ibunya dulu. "Kalian baru check out dari hotel?" Tanya Kenan. Marvi mengangguk. "Kalau begitu pulanglah, dan bereskan barang istrimu. Lalu istirahat, Daddy yakin, tenaga kalian sudah terkuras banyak sejak kemarin." Ujar Kenan. Marvi mengangguk setuju. "Baiklah, Bye Mom... Dad... Sampai jumpa di rumah, sore nanti." Ucapnya berpamitan. Begitupun dengan Minzy. Setelah itu, mereka keluar dari dalam ruangan dan berlalu menuju tempat parkir. Sesampainya mereka di samping mobil, Marvi langsung masuk ke dalam mobil tanpa membukakan pintu untuk Minzy. Minzy tidak peduli, ia juga tidak berharap akan diperlakukan seperti ratu oleh bos menyebalkannya itu. Saat mereka telah berada di dalam mobil, Marvi langsung melajukan mobilnya meninggalkan area rumah sakit. "Apa kau memiliki pacar?" Tanya Marvi tiba-tiba. Minzy yang sedang melamun melihat ke arah Marvi sekilas. "Tidak." Jawabnya. "Baguslah, setidaknya tidak ada yang akan membuat masalah." Minzy menatap Marvi tak suka. Semalam pria itu terlihat sangat baik dan penuh kasih. Dan sekarang? Marvi kembali memasang peran sebagai Bos yang menyebalkan. "Menikah dengan Bapak adalah masalah terbesarku. Tidak akan ada masalah lain yang bisa membuatku terjaga sepanjang malam." Ucap Minzy tanpa takut. Marvi terkekeh pelan. "Pekerjaanmu menjadi asisten pribadiku, benar? Lalu apa bedanya? Sebelum ini kau juga mengurusi semua keperluanku." "Ya, terserahlah... Aku lelah, ingin istirahat." "Kau kelelahan seperti kita melakukan adegan ranjang semalaman, ck." Ucap Marvi pelan, namun Minzy dapat mendengarnya dengan jelas. Minzy menatap Marvi dengan tajam. "Ya!! Kau, arrghh... Apa kau tidak ingat? Semalaman kau memeluk tubuhku, apa kau pikir itu tidak mengganggu. Aih... Yang benar saja," kesalnya. "Apa? Berani sekali menatap Bos kamu dengan tatapan seperti itu." Sahut Marvi. Minzy menyipitkan matanya dan menunjuk wajah Marvi dengan berani. "Aku bahkan tidak takut menunjuk wajahmu seperti ini!! Dasar Bos arogan! Kau sangat menyebalkan." "Kau mau aku pecat, Hah?!" "Hey, apa kau lupa? Aku istrimu. Lihat cincin ini!!" Ujar Minzy mengingatkan. Marvi langsung terdiam dan Minzy kembali menyandarkan tubuhnya berusaha santai. "Andai aku tidak membawamu ke rumahku waktu itu." Ucap Marvi mendengus kesal. Minzy mengangguk setuju. "Ya, dan kau akan dinikahkan dengan wanita bernama Mia." "Aku menolaknya karena tidak ingin segera menikah, tapi malah berakhir dengan menikahimu. Setidaknya dia tidak banyak bicara seperti dirimu dan dia pewaris tunggal perusahaan Ayahnya." Ujar Marvi tanpa berpikir. Dan tanpa disengaja, kalimat terakhirnya membuat Minzy tersenyum hambar dengan ekspresi sedih. "Kau benar, aku tidak memiliki apa-apa. Lalu kenapa kau tidak mengatakan segalanya disaat aku meminta kamu untuk melakukan itu? Hah?! Karena kau ingin memanfaatkan ketidakberdayaanku dengan mengancam akan memecat aku?..." Ucap Minzy pelan. Marvi seketika terdiam. Raut wajah kesalnya perlahan berubah menjadi rasa bersalah. Dia tidak bermaksud untuk menyinggung perasaan Minzy. "Tidurlah, aku akan membangunkanmu ketika sampai di rumah." Ucap Marvi. Mulutnya terlalu sulit untuk mengatakan maaf.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN