The Oracle

1516 Kata
"Ngapain lo, Bang?" "Nggak lihat gue lagi nyiram tanaman?" "Ya tahu kalau itu. Cuma, tumben aja gitu. Biasanya juga Mama yang nyiram." "Lo sendiri ngapain?" Tama menepuk-nepuk lengannya, lalu merapikan kerah kemejanya yang sedikit terlipat. Kemudian memakai jas yang semula tersampir di pundaknya. "Masih pake nanya? Gara-gara siapa coba, gue akhirnya mesti ngantor? Lo kalau nyurga nggak pernah ngajak, kalau ke neraka aja, lo suruh gue duluan." Frans membuang selang air di tangannya, dihampirinya Tama untuk sekedar merapikan lengan jasnya yang sedikit menekuk di bagian pergelangan tangan. Lalu, ditepuknya pipi Tama dua kali ditambah satu tamparan kecil. "Lo emang udah saatnya bantuin gue! Jangan main mulu!" Tama mencebik kesal. "Udah sana berangkat. Sebagai pejabat sementara, nggak boleh telat di hari pertama kerja." "Bang, udahlah. Relain. Yura aja nggak mikirin lo, kenapa lo mikirin dia sampai sakit begini. Coba aja ada—" "Lo jangan kayak Mama. Udah sana, pergi," potong Frans cepat seraya mendorong tubuh Tama memasuki mobilnya. Setelah melambaikan salam perpisahan, dan mobil Tama sudah tak lagi terlihat, Frans kembali melanjutkan kegiatan menyiramnya. Selesai menyiram, dia mengambil beberapa bibit bunga—koleksi Mama—dari garasi, dan menanamnya di pot. Konon, berkebun bisa membantu mengurangi stres, jadi tidak ada salahnya Frans memilih kegiatan ini untuk mengisi waktu luangnya. "Frans! Tolong angkutin sampah ini ke depan!" teriak Mama dari dalam rumah. Frans beranjak menuju dapur, lalu diambilnya sekantong plastik sampah rumah tangga—bekas memasak sarapan tadi subuh—dan membawanya ke depan. Kebetulan sekali, Bapak Tukang Sampah Komplek yang biasa mengumpulkan sampah di tiap-tiap rumah untuk dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir sedang berhenti di depan bak sampah rumah Frans. "Om Pangeran tinggal di rumah ini?" tanya seorang bocah perempuan yang duduk di atas boncengan becak sampah yang sudah dimodifikasi. "Iya, emang kenapa? O iya, tapi Om bukan Pangeran." "Om Pangeran tahu dong siapa yang punya rumah besar itu?" tanya bocah itu lagi sambil menunjuk rumah besar yang berada tepat di samping rumah Frans—hanya dipisahkan tembok—tanpa memedulikan klarifikasi Frans. "Orangnya kemana, Om?" "Kenapa emangnya?" "Anu ... maaf, Mas. Anak saya ini emang cerewet," ujar Bapak Pengumpul Sampah yang tersenyum kikuk pada Frans. Frans balas tersenyum, seraya memindai penampilan pria setengah baya di depannya ini, kemudian beralih pada anak perempuannya yang masih melihat penuh kagum ke rumah tetangga Frans. Entah sudah berapa hari bapak-anak ini tidak ganti pakaian dan entah berapa lembar pakaian yang dimiliki oleh mereka. Melihat kumal dan warna pakaiannya yang sudah memudar, seketika membuat Frans iba. Jauh sekali dengan penampilan Frans. Meskipun hanya kaos putih polos dan celana pendek yang biasanya juga merangkap sebagai baju tidurnya, tapi Frans membeli pakaiannya ini di mal dengan harga yang tidak murah. Mungkin jika dibandingkan dengan pakaian yang dipakai pasangan bapak-anak ini, harganya berkali-kali lipat lebih mahal. "Om lagi sedih ya? Ditinggal sama Putri?" "Hah?" tanya Frans tak mengerti dengan ucapan bocah cilik yang tersenyum manis padanya. "Iya, Om lagi sedih karena Tuan Putrinya pergi, kan? Tuan Putri juga sedih. Makin sedih, karena Om udah bikin Tuan Putri nangis." "Maksudnya?" "Anu ... nggak usah terlalu didengarkan, Mas. Anak saya ini memang suka ngelantur ngomongnya," sergah Si Bapak. "Om akan sedih terus, nggak pernah bisa bahagia, kalau nggak minta maaf sama Tuan Putri." "Tapi Om nggak kenal Tuan Putri yang kamu maksud dan Om juga bukan Pangeran." "Masa?" tanya Si Anak dengan tatapan tak percaya pada Frans. Frans mengangguk cepat. Namun, sepertinya jawaban Frans belum memuaskan rasa penasaran bocah perempuan yang juga menatapnya dengan ekspresi datar. Frans sampai salah tingkah dan memutuskan untuk masuk kembali ke rumah. "Om, jangan lupa minta maaf sama Tuan Putri, biar Om bisa bahagia sama Tuan Putri," teriak Si Anak lagi dari atas boncengan becak Sang Bapak yang mulai melaju meninggalkan rumah Frans. "Kamu abis ngobrol sama siapa, Frans?" "Oh itu, Bapak yang ngumpulin sampah di komplek, sama anaknya." "Mana?! Masih ada di depan, nggak?" Frans mengernyit bingung melihat reaksi Mama yang heboh. "Aduh, Mama belum sempet bilang makasih sama dia." "Kenapa? Mama kenal?" Bukannya menjawab, Mama malah mengangkat tangan kirinya dan menunjukkan salah satu jemari, dimana sebuah cincin dengan permata besar melingkar di sana. "Namanya Dewi, dia udah bantuin Mama nemuin cincin ini. Ikut kebuang ke sampah dong! Mama lupa waktu nyuci piring sengaja Mama lepas. Eh, nggak taunya malah ikut kebuang di sampah." "Dia nemuinnya dari dalam kantong plastik sampah?" Mama mengangguk. "Mama juga bingung, gimana dia bisa tahu. Dia pasti punya indera keenam!" Indera keenam. Indigo. Ya, apapun itu. Sepertinya bocah perempuan berbaju lusuh itu memang memiliki 'sesuatu' yang tidak semua orang memilikinya. Frans yang semula tidak yakin dengan apa yang didengar dari mulut mungil itu—tentang dirinya—kini menjadi ragu. Mungkin apa yang dikatakan bocah itu ada benarnya! Dia harus menemukan Yura! Minta maaf karena sikapnya selama ini yang lebih mementingkan pekerjaan daripada bersamam Yura. "Mau kemana kamu?" tanya Mama saat melihat Frans beranjak. "Mandi, mau ke kantor." ------------------------ "Kalian nggak percaya?" Frans memandang kesal pada tiga orang yang duduk di hadapannya dan menghakiminya, seolah dia adalah orang gila! "Mas! Ngomong kek, kasih tahu temen kamu yang keras kepala ini, kalau dia udah gila!" kesal Ken pada suaminya yang hanya bersandar santai di sofa dan memandang Frans datar. Lalu Ken mengusap perutnya yang sebentar lagi membuncit berulang kali sembari mengucap 'amit-amit'. Satria berdeham sejenak, mengulur waktu untuk memikirkan kalimat yang tepat untuk Frans, selain 'orang gila sinting b**o!'. "Lo udah gila? Sinting? Atau b**o?" "Maksud lo?" "Gini, Frans. Selama gue kenal sama lo, gue nggak pernah sekalipun lihat lo se-desperate ini, sampai percaya hal-hal dukun." "Sat, dia bukan dukun. Dia anak kecil polos yang punya indera keenam," ujar Frans mengulang kalimatnya ini—entah sudah berapa kali. "Berapa kali gue mesti jelasin kalau dia ini bisa tahu kalau gue lagi sedih. Lebih herannya lagi dia bisa nemuin cincin kawinnya Mama di antara sampah!" "Orang buta juga bisa tahu kali, kalau Abang sedih gara-gara patah hati," gerutu Tama pelan yang diamini oleh Ken. "Ok, kalau lo bilang gitu. Sekarang gue tanya lagi, darimana dia bisa tahu kalau gue sedih karena cewek? Dia bilang Tuan Putri loh! Which is itu yang dimaksud sama dia adalah Yura!" "Mas Frans, bukan bermaksud lancang, tapi waktu itu gue juga baca isi surat dari Yura. Di situ dia bilang—" "Gue nggak pernah ada buat dia, itu intinya," potong Frans. "Dan dia nggak cinta sama lo. Dia cinta sama orang lain," tambah Ken dengan kesal. "Dan lo dengan begonya masih ngarepin dia?! Gila! Kena jampi-jampi lo?" "Ken!" gusar Frans, dan berhasil membuat tiga orang di hadapannya menjengit kaget. "Udah, Frans. Anggep aja Ken nggak ngomong itu," putus Satria, berusaha menenangkan keadaan. "Oke, kita percaya dengan apa yang lo omongin. Terus, rencana lo apa buat nyari Yura?" "Tunggu!" potong Ken, berhasil membuat Frans kembali mengatupkan bibirnya. "Sori, tapi gue masih penasaran." "Apalagi, Yang? Frans udah cerita semuanya. Bagian mana lagi yang kurang jelas?" Satria langsung mengangkat tangannya, tanda menyerah saat melihat tatapan tajam istrinya. "Kenapa lo bisa yakin kalau Tuan Putri yang dimaksud bocah itu adalah Yura? Maksud gue gini, mengingat sejarah lo—kalian berdua—yang banyak mantannya, dan gimana kelakuan kalian di masa lalu, nggak menutup kemungkinan bahwa Tuan Putri yang sakit hati sama lo—sampai bisa jampi-jampi—adalah mantan-mantan lo?" Bukannya jawaban yang didapat Ken, tapi malah suara tawa terbahak dari tiga pria yang berada di dekatnya. Ken menatap bingung ketiganya, sejauh dia menelaah kalimat yang baru saja keluar dari mulutnya, tidak ada hal lucu di sana. Lalu apa yang pantas ditertawakan oleh tiga orang pria sinting di sebelahnya ini? "Ken, kalau gue bukan adiknya Bang Frans, dan gue adalah cewek, gue juga mau kali jadi mantannya dia." "Kenapa gitu?" tanya Ken menuntut penjelasan dari Tama yang berusaha menahan tawanya. "Kamu juga, kenapa malah ikut ketawa? Bukannya jawab?" kesal Ken, kali ini pada suaminya. "Ken," panggil Frans. "Gue nggak pernah bikin cewek-cewek yang gue putusin sakit hati." "Ck! Namanya putus itu pasti sakit hati. Buktinya sekarang lo ampe gila!" "Beda. Dulu, cewek-cewek yang jadi pacar gue, nggak bener-bener cinta." "Darimana lo tahu?" "Ya gimana gue nggak tahu? Tiap gue mau putusin, trus gue beliin ponsel baru, baju, perhiasan, atau apapun itu yang mahal, mereka langsung bersedia gue putusin kok." "Hah?" "Nah, ngerti kan, kenapa gue juga mau jadi mantannya Abang gue?" kekeh Tama. "Jadi kecil kemungkinan kalau yang sakit hati itu adalah mantan-mantan gue." Ketiganya kembali menertawakan ekspresi bodoh bercampur bingung yang ditampilkan Ken. Wanita hamil itu masih sulit percaya dengan apa yang diucapkan oleh Frans. Lucunya, hati kecilnya mengajak Ken bercanda, tau gitu gue pacarin Mas Frans! "Jadi, gimana rencana lo?" tanya Satria setelah tawanya reda. "Gue akan mulai dari awal lagi. Mulai dari orang tua, teman-temannya, dan cowok sialan yang berani rebut Yura dari gue! Gue pengen lihat apa lebihnya itu cowok sampai bisa bikin Yura lebih milih dia dari pada gue yang tampan dan mapan ini?" "Bang, gue kasih tahu." "Apaan?" "Pada akhirnya, yang tampan dan mapan kayak lo akan kalah sama yang bikin nyaman, dan selalu ada saat dibutuhkan. Cewek emang gitu," kekeh Tama, lalu beranjak cepat dari duduknya sebelum kotak tisu melayang padanya. "Adek b*****t lo!"      Continuará . .  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN