Bab 2. Lamaran Ala Bima

1295 Kata
Sepasang pria dan wanita itu kini telah berpindah posisi. Bima duduk di sofa, memangku Binar yang memeluknya erat. Tangan besar Bima memegang pinggang ramping sang wanita, membantu menggerakkannya. Terlepas dari bagaimana kegiatan itu bermula, tak ada yang memungkiri bahwa kini mereka telah menikmati apa yang terjadi. Binar dengan pengalaman yang minim namun kerap tergoda oleh mimpi-mimpinya dan Bima yang selalu menahan diri sejak mereka berpacaran akhirnya melepaskan semua belenggu itu. Tubuh mereka bergerak ritmis, berpeluh, memanas, mengikuti insting masing-masing. Binar mencengkram rambut Bima kuat, melenguh sambil menggigit bibir ketika tubuhnya terasa begitu penuh. Bima menenggelamkan wajahnya di bahu sang wanita, mencium leher Binar, menghisapnya kuat saat sensasi nikmat menyelubungi dirinya. Ia membuat sebuah tanda kemerahan di beberapa bagian tubuh Binar tanpa bisa dicegah. Gerakan keduanya tampak semakin cepat, hormon endorfin membanjir, membuat melayang, mabuk kepayang. “Binar….” Bima mendesahkan nama wanita itu, yang sayangnya justru membuat Binar mencengkram rambutnya semakin erat. Suara Bima yang rendah dan dalam terdengar lebih menggoda saat seperti ini. Begitu juga desahan tertahan Binar, membelai pendengaran Bima, membuatnya lebih b*******h. Memicu permainan cepat mencapai puncak. Maka di titik tertentu, sepasang pria dan wanita itu akhirnya melenguh kencang bersama. Tubuh mereka menegang, bergetar hebat, memeluk semakin erat. Puncak kenikmatan telah dicapai, bersamaan. Nafas mereka masih menderu ketika Binar melepaskan pelukan. Ia masih memejamkan mata, tak berani menatap mantan sekaligus bosnya yang kini sedang menatapnya lekat. Bima membelai rambut Binar yang berantakan, mencium bahunya sekilas. “Kenapa?” tanyanya lembut karena Binar tak kunjung membuka mata. Perasaan menyesal menyusup hati Binar segera. Wanita itu bangkit, memungut pakaiannya yang terserak, memakainya dengan cepat. Melihat itu, Bima pun melakukan hal yang sama. Namun detik berikutnya, ia sama sekali tak menyangka Binar akan tiba-tiba melangkah pergi meninggalkannya tanpa sepatah kata pun. “Mau ke mana?” cegah Bima sembari menahan lengan Binar. “Mau mandi.” Binar menjawab pendek, tanpa menoleh. “Kamu menyesal?” tanya Bima dingin. Binar terdiam. “Kamu menyesal, Binar?” Suara Bima sedikit meninggi. “Padahal kamu yang menggoda saya lebih dulu, tapi sekarang kamu menyesal?” Binar menoleh, matanya berkaca-kaca. “Kalau Bapak sudah tahu saya sedang mengigau kenapa masih dilanjutkan?” “Saya yakin kita tadi sama-sama menikmatinya, kenapa sekarang kamu menyesal?” “Kenapa Bapak nggak menolak saya?” tanya Binar lagi, bibirnya bergetar menahan tangis. “Saya sudah berusaha menolak, tapi kamu tet—” “Kenapa nggak menolak lebih keras lagi, hah?!” Binar berteriak frustasi, air matanya luruh sudah. Perasaan menyesal di dadanya menggunung semakin tinggi, bercampur dengan perasaan marah, sedih, dan kecewa. "Saya sudah menolak, Binar. Tapi saya juga laki-laki normal, saya sudah menahan diri saya sebaik mungkin selama berpacaran sama kamu, tapi malam ini... sekuat apapun saya berusaha mendorong kamu, saya juga bisa lemah, Binar." Binar tak menjawab, matanya yang berair hanya menatap Bima lekat. Ada luka dan kekhawatiran yang membayang di sana. Dari semua pria yang dekat dengannya, kenapa harus bos sekaligus mantannya ini yang menghabiskan malam panas dengannya? Mengapa harus laki-laki arogan yang tak berperasaan ini? Sungguh, Binar tak ingin terjebak dengan pria ini. Tidak dalam sebuah ikatan pernikahan yang bersifat selamanya. *** “Apa ini, Binar?” Bima melemparkan surat pengunduran diri yang Binar letakkan di mejanya pagi tadi. Persis seperti yang Binar rencanakan, sepulang dari perjalanan bisnis itu, ia menyerahkan surat pengunduran dirinya. “Surat pengunduran diri, Pak. Kan sudah ditulis di sana?” sahut Binar tenang. “Kenapa tiba-tiba?” “Ini nggak tiba-tiba, Pak. Saya sudah memikirkannya sejak lama.” “Sejak kapan? Sejak malam itu?” balas Bima tajam. Wajah Binar langsung memerah. “Bu-bukan, Pak.” “Terus sejak kapan? Sejak kamu mimpi berhubungan intim sama saya?” “Pak, jangan diperjelas dong,” cicit Binar sambil menunduk malu. Bima berdiri, melangkah menghampiri Binar yang berdiri canggung. “Saya nggak tahu kamu punya sisi m***m seperti itu, Binar,” sindirnya tajam. Binar tak menjawab. Keinginannya hanya satu, ia ingin segera pergi dari kantor ini. Kalau bisa malah menghilang sekalian. Setelah kejadian malam itu, Bima jadi tahu bahwa ia beberapa kali bermimpi mereka melakukan hubungan badan. Meski Bima tak pernah mengungkit apapun setelahnya, tetap saja Binar merasa malu setengah mati. “Kenapa nggak jawab? Saya bener kan?” todong Bima. “Pak, sebaiknya Bapak segera merekrut sekretaris baru. Nanti sebelum saya benar-benar resign, saya akan bertanggung jawab melatih sekretaris baru itu sampai bisa mengambil alih tugas saya.” Binar mencoba negosiasi. Bima menggeleng. “Nggak akan ada yang bisa menggantikan tugas kamu, Binar.” “Ada, Pak. Pasti ada.” Bima menghela nafas pelan. Ia berbalik, kembali ke mejanya dengan tangan di saku. “Saya tahu hal kayak gini bakal terjadi, karena itu saya sudah menyiapkan ini.” Ia tersenyum penuh arti, mengambil sesuatu dari dalam laci dan menyembunyikannya di dalam saku. Binar mengernyit bingung. “Menyiapkan apa?” Bima telah tiba di hadapan Binar. Pria itu tersenyum tipis, mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah dari saku celananya. Ia membukanya, sebuah cincin bermata berlian yang indah duduk manis di sana. “Jadilah istri saya, Binar.” “Hah?!” Binar jelas terbelalak. Ini sungguh di luar dugaannya. “Bisa nggak sih kamu pake volume normal aja? Suka banget teriak-teriak.” Bima mendengus. “Nggak mau!” tolak Binar tegas. “Apa yang nggak mau?” “Saya nggak mau jadi istri Bapak!” Kening Bima langsung berkerut. “Kenapa?” “Karena… karena kita mantan.” Tawa Bima langsung terurai. “Nggak ada mantan yang berhubungan badan, Binar.” “Itu kecelakaan, Pak.” “Karena kamu mengira saya Bima yang biasanya berhubungan badan sama kamu di mimpi kamu?” Binar membuang muka, malu. “Nggak bisa, Pak. Pokoknya saya nggak mau jadi istri Bapak.” “Gimana kalau kamu hamil anak saya? Saya nggak mau anak saya lahir tanpa ayah.” “Hah? Hamil?” Binar ternganga. “Kamu lupa? Waktu itu kita main tanpa pengaman loh. Dan saya keluar di dal–” “Stop!” Binar berteriak kencang, wajahnya merah padam, ia benar-benar ingin masuk ke dalam inti bumi sekarang juga. Bima menyeringai, merasa menang. “Jadi gimana? Mau kan?” Binar masih tak menjawab. Ia sibuk menenangkan debaran jantungnya yang kini berdetak tak karuan. “Kamu bisa dapat banyak keuntungan kalau nikah sama saya. Pertama, kamu boleh memilih kerja atau enggak, uang saya cukup buat membiayai hidup kamu meski kamu nggak kerja. Kedua, kamu nggak perlu bermimpi begitu lagi, kita bisa melakukannya langsung di dunia nyata, kapanpun kamu mau.” Bima tersenyum, menatap Binar lekat. “Tapi….” Binar kehabisan kata-kata. “Nggak ada ‘tapi’, Binar. Kamu harus jadi istri saya. Minggu depan kita nikah.” “Apa?!” Binar melotot tak percaya. “Nggak mau, saya nggak mau jadi istri Bapak!” Bima merengut tak suka. “Kenapa kamu segitu nggak maunya jadi istri saya?” “Bapak tuh nggak cocok jadi suami. Jadi pacar aja nggak romantis, kaku, dingin banget lagi. Saya nggak bakal betah jadi istri Bapak.” “Tapi kamu suka tuh sama ciuman dan sentuhan saya. Saya juga bisa memuaskan kamu dengan baik,” sahut Bima enteng. “Nikah kan nggak cuma soal urusan ranjang, Pak!” Bima berdecak kesal melihat kekukuhan Binar. “Nggak bisa, Binar. Kamu harus tetap menikah sama saya. Gimana kalau kamu hamil anak saya?” Binar terdiam. Kekhawatiran Bima ada benarnya. Ia juga tak mau ketahuan hamil saat belum menikah. “Begini saja.” Bima kembali memasukkan tangannya ke dalam saku. Ia menatap Binar tepat di manik mata. “Nikah dulu sama saya, kalau setelah beberapa bulan kamu ternyata nggak hamil, kita akan bercerai. Tapi kalau ternyata kamu hamil, kamu baru boleh minta cerai setelah anak saya lahir. Gimana?” “Terus saya jadi janda dong?” “Makanya jangan minta cerai,” pungkas Bima dengan senyum penuh kemenangan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN