“Yang mau kunikahi itu Alina bukan Aliska!” tegas Abiyasa pada Anwar.
“Alina sudah tiada. Takdirmu adalah menjadi suami Aliska. Kau harus terima itu!” tandas Anwar dengan mata menyala.
“Tidakkk!!!” tolak Abiyasa frustasi.
“Aaaaa......” jerit Aliska secara tiba-tiba seraya mengerutkan kening dalam posisi berbaring di ranjang. Ia langsung membuka kedua mata dan menyadari jika barusan mengalami mimpi buruk. Mendadak jantungnya berdebar cepat sehingga memicu keluar keringat. Gadis itu mendesah kemudian mengambil segelas air dari atas nakas dan meneguknya hingga tandas.
Mimpi buruk. Jika mimpi itu jadi nyata bagaimana?
Aliska berusaha mengeyahkan pikiran itu. Cepat-cepat bergeser menuju kamar mandi. Gadis itu harus segera membersihkan diri agar tidak terlambat berangkat ke lokasi syuting. Tangannya menyalakan keran shower. Air bercucuran hingga membuat seluruh tubuh menjadi basah.
Selesai mandi, Aliska melangkah keluar dari bathroom lengkap dengan handuk di kepala dan bathrobe yang membalut badan polos miliknya. Sesekali memandangi wajah merona di depan cermin. Tampak rahang yang agak kaku akibat tegang menjalani syuting terakhir hari ini.
Aliska pun segera menjalankan shalat subuh sebelum matahari terbit. Tak lupa berdoa agar diberi kelancaran saat mewujudkan mimpi besar sang saudara kembar.
Saat memilih-milih baju yang berjejer rapi di dalam walk in closet untuk keperluan syuting, terdengar suara serak dari seorang pria yang berjalan menghampiri gadis itu.
“Hari ini syuting terakhirmu kan?” tanya Anwar yang baru saja kembali dari Balikpapan. Mengurusi bisnis keluarga di sana.
“Iya Papa, doakan aku ya! Ini persembahan terakhirku untuk Lina,” pinta Aliska seraya menatap haru sang ayah. Teringat akan perjuangan Alina demi film itu.
“Pasti kudoakan yang terbaik. Mengenai acara pernikahanmu bagaimana? Kurang lima hari saja menuju hari H.” Anwar bertanya sembari mengingatkan waktu pernikahan yang semakin dekat.
“Beres Papa. Papa tenang saja, mulai besok Liska akan sibuk mengurusi pernikahan,” jawabnya mantap kemudian melanjutkan ucapan kembali. “Memang sih, rasanya seperti naik roller coaster dengan kenyataan bahwa Liska harus segera menyelesaikan film Lina. Setelah itu menikah dengan Mas Abi.”
Anwar berdeham. “Hmm... tapi kau menikmatinya kan? Jangan mengeluh tentang itu! Kau akan menjadi artis terkenal sepeninggal Lina dan akan menjadi istri pejabat.”
Aliska meringis mendengar ucapan Anwar. Baginya, ucapan tersebut secara tidak langsung dapat melukai hati gadis itu. Bagaimana tidak jika kenyataan yang harus diterima itu murni bukan atas keinginannya sendiri. Ia hanya pengganti sang saudara kembar yang selalu menjadi gadis nomor satu. Dan Aliska adalah gadis yang terpaksa menuruti semua keinginan orang-orang di sekitarnya.
Menjadi seorang istri dari pria berkharisma semacam Abiyasa Airlangga memang adalah impiannya. Tetapi jika ia boleh memilih, Aliska ingin menjadi pengantin wanita yang dicintai oleh sang mempelai pria. Bukan pengantin wanita pengganti dari wanita lain. Ingin merasakan sepenuhnya dicintai oleh pria itu.
“Papa, apa artinya itu semua jika pernikahan kami hanyalah pernikahan terpaksa,” sahut Aliska seraya menghembuskan napas.
Menanggapi omongan sang anak, dahi Anwar berkerut.
“Jangan selalu bahas itu! Kau ingin Papa cepat menyusul Mama? Kau tak ingin Papa menggendong cucu?” tanya Anwar berapi-api.
Cucu? Papa ingin cepat punya cucu?
Aliska bergumam dalam hati. Mencerna ucapan Anwar yang sontak membuatnya tercengang. Penasaran dengan kata ‘cucu’, gadis itu balik bertanya.
“Maaf Pa, bukan begitu. Liska hanya masih shock saja dengan pernikahan ini. Oh ya, memang Papa ingin cepat punya cucu?”
Anwar menggangguk antusias. “Tentu saja ingin. Apalagi punya cucu dari keluarga Airlangga. Lidya pernah berkata jika ia ingin kau cepat hamil agar nanti calon penerus Abi bisa tetap mempertahankan posisi tertingginya.”
“Posisi apa, Pa?” tanya Aliska tidak paham karena sebelumnya Anwar tak pernah bercerita.
“Pemegang saham tertinggi di perusahan rokok milik keluarga Airlangga di tanah leluhur mereka,” jawab Anwar.
Kenyataan baru lagi yang harus diterima oleh Aliska sebagai calon istri Abiyasa. Mungkin karena ia masih belum lama menjadi calon istri pria itu. Jadi ia masih belum paham tentang seluk keluarga Airlangga yang terpandang.
“Oh begitu. Ya sudah, aku berangkat dulu ya, Pa! Takut terlambat.”
Anwar mengangguk lantas berucap kembali. “Kau bawa mobil sendiri atau Papa antar?”
“Hari ini Liska diantar sopir pribadi Mas Abi. Sengaja diantar Pak Agung karena Mas Abi sibuk di kantor partai. Sekalian mau nyebar undangan pernikahan kami di EH Pictures.”
“Ya sudah kalau begitu. Kamu hati-hati di jalan ya, Liska!” pesan Anwar diikuti anggukan sang anak sembari memberi salam.
“Iya Papa, aku berangkat dulu! Assalamualaikum...” ucap Aliska sambil mencium tangan sang ayah.
“Wa’alaikumussalam,” sahut Anwar.
Aliska pergi meninggalkan sang ayah. Bergerak maju menuju tangga rumah yang melingkar pada ruang tengah. Menapaki anak tangga dengan bunyi langkah kaki dari Gucci Marmont Mid Heel berwarna hitam yang ia kenakan. Menghargai pesan dari Alina bahwa untuk menjadi seorang public figure hendaknya menggunakan fashion ternama sebagai wujud apresiasi diri sendiri.
Jika saat Aliska masih menjadi English Teacher, ia masih tampil casual dan lebih terlihat sederhana. Kali ini saat menjadi seorang aktris memang sudah sepatutnya mengikuti tren. Kesan glamour yang kerap menerpa kalangan artis.
“Bisa jalan ya, Pak! Hari ini kita berangkat ke lokasi di Villa Puncak Plataran,” perintah Aliska pada sang sopir.
“Siap, Non,” sahut Agung seraya menginjak pedal gas.
Mereka pun berangkat menuju Villa Puncak Plataran yang berlokasi di Cisarua, Bogor. Karena lokasi yang jauh dari rumah, Aliska sudah berangkat sejak pukul jam 07.00 WIB agar bisa sampai ke sana dua jam kemudian. Agar tidak kelaparan, sengaja membawa bekal sandwich untuk sarapan yang telah disiapkan oleh asisten rumah tangga.
Mobil yang dikendarai sopir melewati Tol Pondok Pinang – TMII hingga Tol Jagorawi. Puncak terletak 70 km dari Jakarta Selatan. Membutuhkan waktu sekitar satu jam lebih empat puluh lima menit untuk dapat tiba di sana.
Sesampainya di Puncak, pemandangan alam pertama yang dapat dilihat adalah deretan pegunungan Gede-Pangrango dan perkebunan teh milik PTPN VIII. Puncak yang terkenal dengan kesejukan dan keindahan alamnya menjadikan wilayah ini banyak ditemui tempat peristirahatan untuk wisatawan dosmetik maupun mancanegara. Salah satunya adalah Villa Puncak by Plataran yang akan menjadi lokasi syuting terakhir film Pangeran Condet.
“Terima Kasih ya, Pak Agung sudah mengantarkan saya ke sini,” ucap Aliska seraya mengurai senyum.
“Sama-sama Non, nanti pulangnya dijemput Tuan Abiyasa ya. Nanti sore atau malam beliau akan ke sini.”
“Oke, Pak.”
Aliska berjalan meninggalkan Agung. Berlalu dengan mendorong sebuah koper yang berisi perlengkapan syuting beserta undangan pernikahan yang nanti akan dibagikan.
Gadis itu berjalan menuju sebuah villa besar dimiliki oleh Puncak Plataran. Tipe villa ini memiliki dua lantai dengan pemandangan gunung dan sungai yang indah. Yang menonjol dari villa ini adalah sebuah private pool berbentuk persegi panjang yang asri. Ditambah dengan dapur yang sangat luas beserta minibar yang cocok untuk bersantai dan mengobrol.
Aliska melihat telah banyak kru yang datang beserta para pemeran film. Langkahnya terhenti ketika Elia Kenanga sang script writer datang menghampiri.
“Aliska, baca dan hafalkan naskah hari ini ya! Hari ini kau akan berdandan seperti pengantin baru. Tokoh utama Hania Shah dan Farzan Shihab akan menikah hari ini.” Elia menjelaskan lantas mengedipkan mata. “Anggap saja sebagai latihan untuk pernikahanmu beberapa hari lagi.”
Yang diucapkan Elia membuat Aliska tersipu malu.
“Oke, saya siap-siap dulu untuk take ya,” sahut Aliska dengan senyuman mengembang.
Gadis itu beranjak menuju ruang ganti aktor dan aktris. Iris hitam miliknya menemukan sebuah kebaya putih cantik yang tergantung di sana. Mengamati kebaya itu dengan mata berbinar.
“Cantik banget kebaya ini,” gumam Aliska yang secara tiba-tiba disahuti oleh Emir.
“Iyalah cantik. Apalagi kalau sudah kamu pakai, pasti lebih cantik lagi,” goda Emir sambil mengerjap.
“Ah, kau ini Pangeran Condet yang tukang gombal! Suka banget godain aku!”
Emir tertawa terbahak-bahak. “Haha… ini nih yang bikin kamu beda sama Alina. Saudaramu pembawaannya lebih serius ketimbang kamu. Kamu anaknya asik.”
“Hmmm… nggak juga sih. Di kantorku yang lama aku pendiam lho. Karena ketemu kamu yang easy going, aku jadi lebih rame.”
“Iya deh percaya sama Hania-nya Farzan ini. Yuk, kita siap-siap dulu! Hari full scene kita lho. Kita tunggu kejutan apa yang ditulis oleh script writer kita.”
“Oke,” sahut Aliska.
Kemudian ia beralih ke ruangan khusus sebagai kamar ganti wanita. Mempersiapkan segala atribut untuk syuting terakhir hari ini. Akan menjadi hari yang istimewa bagi Aliska dengan status sebagai seorang aktris.
***
Setelah melewati reading skenario hari terakhir, menghafal dialog para tokoh, dan melakukan pengambilan adegan menjelang ending, akhirnya acara puncak pada fim berjudul Pangeran Condet itu pun tiba. Dengan posisi masih mengenakan sepasang baju pengantin, Aliska dan Emir bersiap diri.
“One... two... three... action!” teriak sang sutradara yang fokus memerhatikan kedua pemeran film itu.
“Hania, terima kasih sudah menerimaku kembali padamu. Aku berjanji takkan mengecewakanmu lagi,” ucap Emir pada Aliska saat scene terakhir. Pria itu berkata seraya memeluk tubuh ramping si gadis selayaknya sepasang kekasih.
Aliska menggangguk dengan posisi mata terpejam. Merasakan hangatnya pelukan dari Emir pada pengambilan adegan. Selalu mengingatkan diri sendiri jika adegan mesra yang ia lakukan bersama lawan main hanyalah sebatas akting. Jangan sampai terbawa perasaan!
“Aku sangat mencintaimu Hania Shah… sangat mencintaimu…” bisik lembut Emir dengan memberi kecupan kecil di telinga Aliska.
“Aku juga mencintaimu Farzan Shihab,” balas Aliska lembut.
Setelah mendengar ucapan gadis itu, Emir dengan cepat membalikkan tubuh Aliska agar berada di depannya. Memandangi gadis cantik berwajah Indonesia - Pakistan tersebut dengan tatapan penuh cinta. Hingga tak kuasa untuk mendaratkan sebuah ciuman panjang yang manis dan romantis.
“CUT!!!” sahut Ahmad Dahlan dengan raut muka gembira.
Pria paruh baya tersebut bersorak-sorai lega atas pencapaian film yang sempat tergantung begitu saja karena kematian Alina. Diikuti dengan teriakan bahagia dari seluruh kru film yang sangat menantikan hari ini terjadi.
Usai terdengar sahutan dari sang sutradara, Aliska segera melepaskan bibirnya dari pagutan Emir. Ia langsung menangkap ekspresi merasa bersalah dari lawan mainnya itu.
“Maaf… maaf Aliska… ini hanya akting. Aku minta maaf,” ucap Emir dengan dua telapak tangan yang menempel untuk meminta ampun.
“Iya Emir, aku paham. Kan kita harus profesional dalam memerankannya,” jawab Aliska bijak meski di dalam hati ia menyayangkan adegan itu.
Ah, kenapa harus ciuman denganmu sih Emir? Coba Mas Abi yang menciumku dengan sadar seperti kamu tadi... dan aku membalas ciumannya... hal yang sangat kunantikan setelah kami menikah...
“Hei, melamun ya?” tanya Emir yang langsung mengakhiri lamunan Aliska.
“Eh Emir, kamu bikin aku kaget.”
Emir terkekeh. “Pasti mikirin calon suami kamu ya? Itu orangnya sudah datang. Berjalan ke sini.”
Aliska menoleh dan kedua bola matanya menyaksikan kemunculan seorang Abiyasa Airlangga dari teras villa tengah berjalan menghampiri sang calon istri. Seraya melepas kacamata hitam Fendi yang ia pakai. Memperlihatkan wajah Indonesia yang rupawan.
“Oh iya, Mas Abi sudah datang,” ujar Aliska agak tercengang.
“Kalau begitu aku pergi dulu ya? Silakan menikmati masa berdua dengan calon suami!” celetuk Emir yang langsung ditahan kepergiannya oleh Aliska.
“Memang mau kemana? Di sini saja, say hi dulu sama calon suamiku dong!”
“Enggak ah, kalau aku dipukuli lagi gara-gara ketahuan cium kamu gimana?” tanya Emir sedikit frustasi.
Aliska mengerutkan kening.
“Lho, katanya kalian sudah berbaikan? Kalau sudah nggak ada masalah, nggak perlu takut. Aku akan membuat kalian baik-baik saja…” Aliska berkata sambil berkedip.
“Hmm… mulai deh….”
Emir pun terpaksa menerima kedatangan Abiyasa bersama Aliska. Terdiam terpaku menyaksikan pesona Abiyasa yang membuat banyak orang terbius oleh pria itu. Tak terkecuali gadis di sebelahnya ini yang tampak berseri-seri layaknya seorang putri yang menanti sang pangeran datang.
“Liska, sudah selesai syutingnya?” tanya Abiyasa seketika saat ia berada di dekat sang calon istri.
Gadis itu mengangguk perlahan. “Sudah Mas, scene terakhir sudah kelar. Sebentar lagi sepertinya akan ada penutupan. Oh ya Mas, sore-sore begini kok sudah datang?”
Abiyasa tersenyum tipis sembari menatap lembut gadis itu.
“Syukurlah pekerjaanku hari ini bisa cepat diatasi. Jadi aku bisa cepat jemput kamu ke sini,” jawab pria itu lantang.
“Begitu ya,” sahut Aliska seraya melirik Emir yang tampak gelisah. “Mas, aku sama Emir tadi—“
Belum sempat menyelesaikan ucapan, Abiyasa sudah memotongnya.
“Berciuman?” tanya Abiyasa yang membuat Aliska menggaruk kepala.
“Iya Mas, adegan terakhir sesuai skenario. Maaf kami berakting untuk itu.”
“It’s okay calon istriku, karena aku sudah sepakat sama kamu untuk menerima apapun itu sebagai profesionalitas kerja. Yang penting sekarang kalian sudah kembali ke dunia nyata kan? Film sudah selesai digarap dan siap untuk diluncurkan. Apalagi ini adalah film terakhir Alina. Aku paham itu.”
Secara tiba-tiba Emir membuka suara.
“Wow, kau lebih bijak sekarang ya Abi, berbanding terbalik dengan dulu saat masih ada Alina. Kali ini kau takkan menghajarku lagi kan?” tantang Emir.
“Jika kau menantangku begitu, aku bisa kembali menghajarmu!” tegas Abiyasa.
Aliska yang ingin mereka berdua berdamai, segera angkat suara.
“Sudah… sudah… kalian ini katanya sudah berbaikan tapi kok masih pedas ngomongnya. Ayo berdamai! Aku tak ingin Emir datang ke pernikahanku masih dengan perasaan tidak nyaman.”
Kedua pria itu sepakat untuk setuju. Aliska menghela napas lantas meraih kedua tangan mereka untuk bersalaman. Membuat situasi yang awalnya canggung menjadi lebih akrab, Hingga tak terasa menjadi menyenangkan untuk berbincang bersama.
“Aliska… Abiyasa… aku baru teringat sesuatu,” sahut Emir tiba-tiba.
“APA???” tanya sepasang calon suami istri itu bersamaan.
Emir terkikik. “Ih kalian ini ternyata menggelikan ya… hi hi hi… begini, pada saat syuting sebelum kecelakaan itu terjadi, Alina pernah berkata kayak firasat gitu.”
“Memang firasat seperti apa?” tanya Aliska penasaran.
“Masa dia bilang begini, Emir, misalnya ya jika terjadi sesuatu padaku, aku ingin apa yang kumiliki menjadi milik saudara kembarku, Aliska. Terus aku tanya, maksudmu bagaimana? Dia menjawab apapun itu termasuk calon suamiku pun silakan.”
Deg... Alina merestui pernikahanku dengan Mas Abi?
Aliska dan Abiyasa sontak terlonjak mendengar pengakuan dari Emir tentang firasat Alina.
“Hah, sungguh dia berkata seperti itu?” tanya Aliska terperangah.
“Iya beneran. Demi nama Tuhan aku nggak bohong. Mau aku lanjutkan lagi nggak?”
Aliska mengangguk antusias sedangkan Abiyasa hanya menelan ludah.
“Terus aku tanya, memang kamu ikhlas jika calon suamimu direbut saudaramu? Dia dengan santai menjawab, aku rela dan ikhlas untuknya. Aliska itu kesayanganku. Sebagai rasa penyesalanku juga padanya karena selama ini orang tua kami terutama Mama selalu membanding-bandingkan kami. Kelewat sayang padaku ketimbang Aliska. Bahkan saat aku menjadi artis dengan gaji tinggi, perlakuan Mama padaku semakin menjadi-jadi. Aku nggak tega sama Aliska meski aku tahu dia adalah gadis yang kuat.”
Emir bercerita dengan menggebu-gebu hingga membuat mata Aliska berkaca-kaca. Tak mampu lagi untuk menahan laju air mata yang mengalir deras di pipinya.
Pria itu kembali melanjutkan cerita. “Aku bertanya, kamu kok tiba-tiba bilang begini sih Lina? Kenapa? Memang kamu mau pergi? Dia menjawab, nggak tahu ya, ingin ngomong ini aja. Aku kepikiran Liska soalnya. Tadi dia kena omelan Mama gara-gara terlambat masuk kerja. Kemarin dia lembur sampai larut malam.”
Cerita Emir sontak membuat tangis Aliska pecah. Ia menangis tersedu-sedu. Hatinya terenyuh mendengar cerita itu.
“Alina… saudara kembarku sayang…” sahut Aliska lemas.
“Sudah, jangan menangis!” seru Emir menenangkan Aliska sedangkan Abiyasa terdiam dengan raut muka pucat. Tampak terguncang dengan cerita Emir.
Pembicaraan Emir dan Aliska harus berakhir ketika para kru film memanggil mereka untuk mengikuti acara penutupan syuting film. Kedua tokoh utama di film itu pun berlalu meninggalkan Abiyasa yang masih terdiam. Ia berniat menyaksikan acara itu dari kejauhan. Sedangkan Aliska bertekad untuk segera menuntaskan rangkaian acara pada syuting film Pangeran Condet sebagai persembahan terakhir untuk Alina.
****
-Author’s Note-
Hai readers, ini novel pertama aku. Jangan lupa tap ❤️ untuk mendukung cerita ini agar segera update kembali. Tunggu lanjutan kisah Aliska dan Abiyasa ya! Sebentar lagi mereka mau menikah. Siap-siap datang kondangan online. Komentar, saran, dan kritik kalian sangat membantu. Terima Kasih.