5. Perang Musuh Bebuyutan

2086 Kata
Sebuah restoran berbentuk glass house dengan nuansa vintage ala kolonial Belanda yang bernama Bunga Rampai ini menjadi saksi makan siang pertama Aliska dan Abiyasa setelah pertunangan. Restoran Indonesia yang berlokasi di Jalan Menteng, Jakarta Pusat tersebut menyajikan berbagai cita rasa masakan Indonesia. Rumah makan ini memiliki design yang cantik dan instagenic. Memiliki kesan restoran mewah dengan pilihan spot indoor maupun outdoor. Permainan warna yang digunakan sebagai interior di Bunga Rampai adalah hijau, cokelat muda, dan sentuhan oranye di beberapa sudut tempat makan. Warna-warna cerah ini membuat suasana menjadi lebih segar dan ceria namun tidak menghilangkan kesan megah serta elegan dari konsep bangunan lama. Yang sangat memungkinan untuk banyak berfoto di sini dengan dekorasi Bunga Rampai yang chic dan instagramable. Abiyasa mengajak sang calon istri untuk memilih tempat duduk di dalam ruangan restoran. Diikuti dengan kedatangan salah seorang pelayan sembari menyodorkan menu makanan. “Liska, kau mau makan apa?” tanya si calon suami pada gadis di depannya. “Terserah Mas Abi. Liska menurut saja.” Aliska menjawab canggung. “Lho, kamu pilih saja apa yang kamu suka. Aku ingin mencoba masakan yang kamu pilih. Alih-alih mau latihan menjadi suami kamu nanti. Pilihan istri adalah yang terbaik.” Abiyasa berkata sambil mengedipkan sebelah mata. Menarik sudut bibirnya untuk tersenyum manis. Mendengar ucapan Abiyasa membuat Aliska terkesiap. Hah, apa aku tidak salah dengar? Apa aku tidak bermimpi? Aliska menanggapi ucapan sang calon suami dengan tersenyum tipis sembari menelisik lembar menu makanan di atas meja. “Biasanya saat makan bersama teman-teman sekantor, kami makan sate lilit Jimbaran, nasi bali, dan konro bakar untuk main course. Kalau appetizer-nya kami makan kembang pacar dan tahu telur. Sesuai menu andalan di sini.” Netra hitam Abiyasa menyipit dan kemudian berubah membelalak lebar. “Oke, kita makan itu. Masakan itu yang paling favorit kan di sini. Untuk dessert dan minuman, kamu mau pesan apa, Liska?” tanyanya antusias. “Passion fruit cheese cake dan es kelapa muda saja, Mas.” Aliska menjawab dengan mata berbinar. “Ya sudah,” sahut Abiyasa kemudian memesan makanan dan minuman sesuai pilihan sang calon istri pada sang pelayan sembari meleletakkan lembar menu di atas meja. Kemudian kembali menatap gadis yang ada di depannya. “Liska, bagaimana hari pertamamu kembali bekerja?” “Alhamdulillah, berjalan lancar, Mas. Beberapa siswa sepertinya merindukanku,” balas Aliska sambil mengerjap. Jawaban Aliska membuat pria di depannya itu tertawa kecil. “Jelas saja merindukanmu, bagi mereka pasti kau adalah guru idaman. Selain pintar juga cantik.” Abiyasa menggoda gadis itu sedikit manja. “Tidak, mungkin karena kami bersahabat. Aku selalu dekat dengan murid-muridku,” tolak gadis itu. Abiyasa mengangguk paham maksud calon istrinya itu. “Oh ya, jika kau sudah menikah denganku, apa kau rela mengundurkan diri dari pekerjaanmu? Aku akan menjamin seluruh kehidupanmu. Kau tidak perlu susah payah bekerja. Kau tak perlu mengorbankan banyak waktumu hanya demi mendapatkan gaji sebagai karyawan.” Kalimat Abiyasa memang terkesan sarkatis dan arogan. Namun jika dipikir memang benar, seorang Abiyasa Airlangga yang terpandang tak membutuhkan istri pekerja. Dengan harta dan tahta yang gemilang, ia mampu menjadikan Aliska sebagai istri pejabat yang sangat berpengaruh di negeri ini. Yang akan membuat para wanita iri dengan status itu. “Iya Mas, aku paham. Tidak masalah bagiku. Setelah menikah memang tugas istri adalah mengabdi pada suaminya. Aku akan berusaha menjadi istri yang baik untukmu,” jawab Aliska sambil menarik bibir untuk tersenyum. Abiyasa membalas senyuman Aliska dengan memegang punggung tangan gadis itu sembari mengelus-elusnya. Jantung gadis itu seketika berdebar kencang menerima sentuhan dari sang calon suami. Apalagi ditambah dengan pertemuan kedua pasang mata mereka. Aliska segera menunduk untuk menghindarkan kontak mata yang semakin intens dengannya. Takut ketahuan kalau ia benar-benar jatuh cinta dengan pria itu. Suasana hati yang tak karuan seperti itu akhirnya diselamatkan dengan datangnya pesanan makan siang mereka. Keduanya pun segera melahap makanan dan minuman yang tersedia di atas meja makan. Hingga satu jam berlalu. Aliska harus segera kembali ke kantor. “Terima kasih, kau sudah mau menemaniku makan siang. Sebentar lagi aku akan mengantarmu kembali ke kantor.” Abiyasa berkata sambil menatap lembut calon istrinya. “Iya Mas, aku juga berterima kasih sudah diberi kesempatan makan siang berdua denganmu,” sahut Aliska seraya mengembangkan senyuman. Tak lama kemudian, Abiyasa memberi aba-aba sang pelayan untuk menghampiri meja mereka. Pria itu meminta tagihan yang harus dibayar. Dengan cepat ia mengeluarkan sebuah credit card dari dalam dompet kulit berwarna hitam. Membayar jumlah tagihan yang menyentuh angka sembilan ratus ribu rupiah untuk makan siang berdua kali ini. Jumlah yang ringan bagi seorang miliarder semacam Abiyasa Airlangga. “Pak, untuk kartu kreditnya menggunakan pin atau tanda tangan?” tanya sang pelayan sembari menyodorkan mesin EDC pada Abiyasa. “Tanda tangan saja ya, Mbak,” jawab Abiyasa seraya menggoreskan pena pada struk yang keluar dari mesin EDC. Terlihat tanda tangan seorang Abiyasa Airlangga memang selayaknya orang penting. Sebuah tanda tangan yang rumit untuk dijiplak. Sebenarnya pada saat bekerja Aliska tidak pernah makan siang di sini kalau bukan karena acara kantor. Meski ia juga berasal dari keluarga yang berada tapi untuk makan siang harus merogoh kocek hampir satu juta rupiah itu, ia keberatan. Biasanya Marsha mengajaknya makan siang di depot sekitar kantor atau delivery makanan via aplikasi ojek online. Setelah membayar tagihan makan siang, Abiyasa mengajak Aliska segera berlalu ke parkiran. Ia menarik lengan sang gadis kemudian menggandengnya. Perlakuan Abiyasa hari ini benar-benar sukses membuat hati gadis itu luluh pada sang calon suami. Ia bergumam dalam hati. Terima kasih Mas Abi. Awal yang baik untuk hubungan kita. Aku bahagia hari ini. Berada di dekat Abiyasa, Aliska merasakan gelora membara di dalam hati. Tetapi bagaimana jika seandainya ia tahu kalau dalang pertemuan indah ini adalah calon ibu mertuanya? Akankah ia akan bahagia seperti ini? Entahlah, yang terpenting bagi Aliska hari ini adalah awal yang baik untuk menyongsong kehidupan rumah tangganya kelak. Ia harus menikmati setiap perjalanan hidup bersama Abiyasa Airlangga. *** Jam menunjukkan pukul 17.00 WIB. Abiyasa tengah berdiri di depan kantor sang calon istri. Ia bersandar pada mobil seraya menghisap sebatang rokok selama menunggu kedatangan Aliska. Untuk mengabari keberadaannya, ia memencet tombol panggilan pada gadis itu melalui ponsel. “Liska, aku sudah di depan. Ini sudah jam lima sore. Sudah waktunya kamu pulang kan?” tanya Abiyasa dari balik telepon genggamnya. Aliska mengangguk pelan. Tangannya sibuk memasukkan beberapa barang pribadi ke dalam handbag. “Iya Mas, aku sudah beres-beres ini. Tunggu sebentar ya!” sahut Aliska yang segera menyelesaikan panggilan mereka. Di tempat Abiyasa berada, sesosok pria berbadan atletis berjalan ke arahnya. Abiyasa yang tengah sibuk mengotak-atik ponsel sambil merokok, langsung menghentikan aktivitas ketika pria itu telah berada di sana. Ia pun segera mematikan batang rokok yang dihisap. “Wow, tak kusangka aku bertemu denganmu di sini, Tuan Abiyasa Airlangga yang terhormat,” ujar pria itu yang diketahui adalah Bonaventura dengan nada persaingan. Abiyasa menengok ke arahnya. “Tentu saja Mister Bonaventura Walcott! Calon istriku berada di sini dan tak lama lagi akan mengundurkan diri.” Bonaventura terdiam sejenak seraya menatap sinis Abiyasa. “Kau menghancurkan cita-citanya sebagai seorang pengajar. Tidakkah kau membiarkan dia tetap mengajar meski kalian sudah menikah.” “Tidak bisa. Dia tidak perlu bekerja. Dia sepenuhnya sudah menjadi tanggung jawabku!” sergah Abiyasa dengan mata menyala. “Kau tetap seperti dulu ya, selalu memaksakan apa yang menjadi kehendakmu. Sangat disayangkan sekali kantorku akan kehilangan English Teacher sehebat Aliska yang dari lulusan luar negeri,” keluh Bonaventura yang menyebabkan Abiyasa tersulut emosi. “Diam kau b******k! Jangan bilang bahwa sebenarnya yang kehilangan adalah kamu bukan kantormu!” tandas Abiyasa sengaja ingin melihat reaksi Bonaventura. Mendengarnya membuat raut muka Bonaventura mendadak menjadi merah padam. Tak kuasa menghentikan tangannya untuk meninju muka Abiyasa hingga darah mengalir pada pelipis sebelah kiri pria itu. “Sialan! Jaga ucapanmu!!!” bentak Bonaventura seraya mencengkeram kerah baju pria itu dan tak lama kemudian dibalas oleh Abiyasa. Abiyasa meninju balik wajah Bonaventura. Terjadilah perkelahian antar musuh bebuyutan tersebut. Aksi pemukulan mereka pun mengundang perhatian warga sekitar. Tak terkecuali Aliska yang berteriak histeris saat melihat perkelahian itu terjadi. Ia berlari tergopoh-gopoh untuk segera melerai mereka berdua. “Hentikan!!!” tegas Aliska yang kini berada di antara Abiyasa dan Bonaventura. “Kalian jangan seperti anak kecil! Kumohon berhenti....” Aliska berteriak dengan napas terengah-engah. Berusaha melerai saat melihat kondisi kedua pria itu yang sudah babak belur. Seketika gadis itu berurai air mata. Bulir-bulir cairan bening menggenang di kelopak matanya. “Sudah, hentikan! Untuk apa kalian bertengkar? Jangan bertengkar lagi!” Aliska berkata sambil terisak hingga sesenggukan terdengar dari mulut gadis itu. Tak kuasa melihat Aliska menangis, kedua pria itu segera mengakhiri perkelahian. Mereka pun berdamai dengan kondisi muka mengenaskan. Abiyasa meraih lengan gadis itu dan berniat menggandengnya. “Ayo, kita pulang, Liska!” ajaknya sambil menggenggam erat tangan sang calon istri. Sebelum beranjak dari tempat itu, Aliska menginterupsi Abiyasa yang mengajaknya pulang. “Mas, sebentar ya, aku ambilkan obat dan plester dulu untukmu dan Mister Bona. Lukanya harus segera diobati.” Gadis itu berkata seraya melenggang pergi untuk mengambil obat di ruangan kantor. Setelah selesai mengambil kotak peralatan kesehatan P3K, Aliska segera mengobati wajah kedua pria itu. Dengan hati-hati ia mengolesi obat pada daerah yang terkena luka. Gadis itu merawat luka mereka secara bergantian. Menunjukkan sikap keibuan seorang Aliska ketika merawat sang calon suami dan pria yang diam-diam mencintainya itu. Hingga selesai sudah tugasnya merawat luka mereka. “Mister Bonaventura, saya pamit dulu. Saya harap semoga kedepannya tidak ada perkelahian seperti ini lagi,” tegas Aliska tanpa penolakan. Bonaventura mengangguk perlahan. Netra hazel yang ia miliki sibuk mengawasi perlakuan Abiyasa yang membuat hatinya panas. Pemandangan yang tidak ia inginkan terjadi ketika pria itu memegang bahu Aliska seraya mengecup keningnya. Sengaja memukul telak Bonaventura yang sejak dulu sering kalah dari Abiyasa. Membiarkan pria blasteran itu terbakar api cemburu. Abiyasa dan Aliska pun meninggalkan pria yang terluka fisik dan hati itu sendiri. Bagi Bonaventura, ingin rasanya merebut gadis yang dicintai itu dari sang musuh bebuyutan.Tetapi ia selalu terlambat tentang hati. Penyesalan mengapa ia tidak pernah mengutarakan rasa cintanya pada Aliska. Dan juga menyesali sikapnya dulu saat masih berkuliah mengenai surat cinta misterius itu. Andaikan saja aku mengakui surat itu, mungkin kami masih bisa bersama. Setidaknya aku bisa memperjuangkan rasa cintaku pada Aliska, gadis yang kupuja... Yang saat ini telah dirampas oleh musuhku sendiri.... Mengingat itu membuat Bonaventura frustasi. Ia mengacak-acak rambutnya kesal. Kemudian beranjak pulang dengan langkah gontai. Menyeret kaki jenjang dan kemudian berlalu mengemudikan mobil mewahnya dengan kecepatan tinggi. Sementara itu di dalam sebuah mobil hitam, Aliska tampak gelisah. Memikirkan perkelahian yang terjadi antara sang calon suami dan sang pimpinan. Ingin rasanya bertanya pada Abiyasa perihal pertengkaran itu tapi nyatanya ia hanya membisu. Hingga Abiyasa yang membuka obrolan untuk memecah keheningan hari yang telah menginjak malam. “Liska, aku harap kau menjaga jarak dengan Bonaventura. Aku tidak suka jika dia dekat-dekat denganmu,” ucap Abiyasa tajam sambil melirik ke arah Aliska yang terdiam dengan tatapan kosong. Gadis itu mengangguk seraya menatap Abiyasa penasaran. “Bagaimana kalian bisa saling kenal?” Abiyasa menjawab santai. “Kami sudah lama kenal. Bonaventura adalah teman sekelasku saat SMA. Daridulu kami sudah menjadi rival. Apalagi dari kedua orang tua kami mendukung persainganku dengannya.” Aliska terlonjak saat mendengar ucapan Abiyasa. Kedua alisnya terangkat dengan mulut sedikit terbuka. “Hah, kok bisa begitu?” tanyanya terkejut. “Panjang ceritanya. Persaingan itu sudah tertanam sejak kami belum lahir. Tepatnya kedua orang tua kami yang bermusuhan karena persaingan bisnis. Hingga permusuhan itu menjalar padaku dan Bonaventura. Dari dulu kami tidak mau kalah. Tapi sekarang aku tahu jika dia telah kalah,” tegas Abiyasa sambil menyeringai. “Maksudnya kalah bagaimana, Mas? Kalian tadi bertengkar karena apa?” tanya Aliska tak paham. “Biasalah... urusan laki-laki. Yang kupesan padamu cuma satu yaitu jaga jarak dengan Bonaventura! Kau sebentar lagi akan menjadi istriku.” Abiyasa berucap kembali. “Aku tidak ingin kau terlalu dekat dengannya. Tidak suka jika calon istriku dekat dengan musuhku.” Penekanan pada kalimat yang keluar dari mulut Abiyasa sukses membuat jantung Aliska berdebar-debar kembali. Mendadak wajahnya memerah. Setidaknya ia merasa terlindungi oleh sosok pria itu. Baginya hari ini merupakan awal yang indah untuk dirinya dan Abiyasa. Meski ia tak tahu jika ada campur tangan sang calon ibu mertua pada pertemuan mereka kali ini. Mobil pria itu pun melaju dengan kencang menyusuri jalanan kota Jakarta yang padat merayap. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN