Mira yang ternyata tengah mengganti popok Mei-Mei, terlonjak kaget saat melihatku. Sementara seorang lelaki yang juga duduk dengan posisi membelakangi pintu, langsung menoleh dan menatap diriku penuh keheranan.
Membuatku terjebak perasaan ... entah. Antara malu, kesal dan entah perasaan apa lagi. Namun, yang jelas, rasa malu lah yang lebih mendominasi. Bagaimana tidak, aku salah sasaran!
Ya ampun!
Andai diizinkan menghilang layaknya Jin Botol, pasti sudah kulakukan sekarang.
Benar sungguh. Aku malu ….
Ya Tuhan, aku mendadak seperti kehilangan muka saat ini.
Eh, tunggu!
Laki-laki itu ... siapa? Kenapa dia ada di kamar ini? Lalu, ke mana perginya Mas Hamid?
Mei-Mei yang terkejut karena ulah barbar yang kulakukan, menangis begitu kencang. Membuatku jadi semakin salah tingkah. Terlebih saat merasa lelaki itu memperhatikan gerak-gerikku. Sungguh, seperti hampir mati berdiri saja aku ini.
Menyadari bayinya menangis kencang, dengan sigap, Mira mengangkatnya untuk menenangkan. Namun yang menjengkelkan, setelah mengangkat bayinya, sepasang matanya terus ia gunakan untuk menatap heran padaku. Ah, bukan heran, lebih tepatnya … nyalang. Berani sekali dia menatapku seperti itu.
Sial!
Tak berbeda jauh dengan Mira, lelaki yang duduk di tepi ranjang pun terus menatapku dengan tatapan matanya yang seperti ingin mengibarkan bendera perang.
Menjengkelkan!
"Apa yang kamu lakukan, Lis? Kenapa Meisha sampai nangis kejer begitu?"
Deg!
Jantungku berdegup tiga kali lebih cepat dari biasanya. Duniaku pun seolah berhenti berputar sekarang.
Mas Hamid?
Aku membalikkan badan pelan. Dan betapa terkejutnya aku saat tahu-tahu, Mas Hamid, Ibu, dan Lina sudah berdiri di dekat pintu kamar yang baru saja kutendang.
Tanpa banyak bicara, ibu mertuaku langsung menerobos masuk dan menghampiri ke arah ranjang. Menghampiri Mira yang tengah menenangkan anaknya.
"Kenapa dia?" tanya wanita paruh baya bertubuh agak tambun itu pada Mira.
"Kaget, pintunya diterjang."
Bukan Mira yang menjawab, tapi lelaki asing itu yang bersuara. Membuatku semakin ingin melarikan diri andaikan pantas.
"Kamu?! Kakimu bukannya sakit tadi? Bisa gitu, ya, langsung nendang pintu?" sindir Mas Hamid sambil melirik kakiku. Membuatku semakin hilang percaya diri. Percayalah, bahkan sekedar untuk berdiri tegak seperti ini pun rasanya berat. Sangat berat.
"Sini! Ikut aku!" berang Mas Hamid sambil menarik kasar tanganku menuju ruang tamu. Meski pertanyaan tentang lelaki asing itu masih menggelayut dalam benak, aku tak bisa melawan saat Mas Hamid memperlakukan diriku tanpa berlemah lembut sedikit pun.
"Kamu punya masalah apa, sih, Lis? Ngapain kamu pake acara nendang pintu dan ngagetin orang sampai segitunya, ha?" Sambil mengolok perbuatanku, Mas Hamid menghempas tanganku dengan begitu kasar.
"Lina! Kembali ke kamar!" sentak Mas Hamid pada Lina. Sejak tadi dia memang mengekori kami seperti penguntit. Menyebalkan!
Layaknya seorang adik yang patuh, Lina pun menurut. Ia langsung putar badan ketika sang kakak memberi instruksi. Gadis 17 tahun itu tampak berjalan ke kamarnya meski dengan langkah malas.
Apa dia sedang kesal? Apa dia kesal karena tak bisa menyaksikan aku dimarahi Mas Hamid lebih lama? Bukankah itu namanya kurang ajar?
"Kamu kenapa sih, Lis? Kenapa tingkahmu sejak kemarin jadi aneh? Aku sudah nurut, loh, kamu mau nginep pun aku turuti. Apa maumu sebenarnya, Lisa ...?" tanya Mas Hamid dengan nada marah bercampur geram.
"Siapa lagi orang asing yang ada di kamar Mira tadi, Mas?" tanyaku tanpa mempedulikan pertanyaan tak penting darinya.
"Apa urusannya denganmu? Apa kamu mendobrak pintu cuma untuk mencampuri urusan orang? Apa kamu ngajak aku nginep cuma karena ingin membuat keributan? Iya?" Mas Hamid mencecarku dengan pertanyaan beruntun yang sukses membuat telingaku panas.
"Mas, aku tadi nanya, dia itu siapa? Kenapa kamu malah ceramah panjang lebar?" Suaraku naik dua oktaf tanpa terasa.
"Dia Zaki. Namanya Zaki. Zaki Zulfikar. Suaminya Mira. Puas kamu?" sahut Mas Hamid masih sambil menunjukkan tampang gusar sekaligus jengkel saat menatapku.
"Bohong! Ibu bilang, suaminya sudah meninggalkannya, kan?" sanggahku cepat dan tak mau kalah.
"Memangnya kamu mau apa kalau dia kembali? Meninggalkannya bukan berarti bercerai, masih ada kesempatan buat baikan, bukan?"
Suara Mas Hamid makin meninggi. Akan tetapi, tak serta merta membuatku langsung percaya. Bagaimana tidak, bukankah keluarga ini penuh dengan drama akhir-akhir ini?
"Kapan dia sampai? Kenapa mendadak? Kenapa dia datang pas kita bermalam di sini?" Aku tak berhenti bertanya.
"Dia datang barusan, Lisa. Tadi sempat ribut dulu sama Mira. Makanya kami semua terbangun. Kamu tadi tidurnya nyenyak banget, Nak. Ibu yang larang Hamid buat bangunin kamu. Lagian, tadi kan katanya kakimu sakit." Ibu mertua yang tiba-tiba muncul menghampiri aku dan Mas Hamid yang tengah bersitegang, menjawab dengan begitu tenang pertanyaanku. Sedangkan Mas Hamid tampak bungkam. Melakukan sesuatu hal yang wajar ketika sang ibu sudah turun gunung.
"Tadi dia datang tiba-tiba. Dari Bandung habis Isya. Sampai sini ya jelas tengah malam. Mira sempat gak mau menemui suaminya tadi. Tapi dia minta maaf sampai memohon-mohon dan bilang ingin berubah demi anaknya. Jadi ... ya begitulah. Mira mencoba menerimanya lagi. Masa iya anak masih bayi mau bercerai? Kasihan anaknya, nggak dapat kasih sayang lengkap nanti." Panjang lebar ibu mertuaku memberikan penjelasan. Namun, tetap saja aku tak ingin percaya begitu saja.
Bergegas aku menuju pintu utama rumah ini. Dengan gerakan pelan, aku membukanya. Sebuah mobil Pajero sport warna hitam terparkir di halaman rumah. Kurapatkan pintu dengan perlahan lalu kembali ke tempat di mana Ibu dan Mas Hamid berdiri.
"Puas?" tanya Mas Hamid. Masih dengan nada emosi, dia menatapku tajam.
"Berarti besok, pagi-pagi, Mira sudah dibawa pulang, dong sama suaminya?" Aku memberi kesimpulan, mengabaikan kemarahan suamiku.
"Mau pulang besok pagi, siang, sore, atau malam, kek, nggak ada urusannya dengan kita. Daripada kamu bikin ulah lagi, mending kita pulang malam ini!"
Mas Hamid lagi-lagi menarik tanganku dengan kasar, kali ini ke arah kamar.
Tak seperti biasanya, pada kesempatan ini, ibu mertuaku tampak tak berusaha menegur tingkah anaknya, yang jelas-jelas mengajakku pulang di tengah malam yang dingin seperti ini.
Mungkin dia marah karena merasa dibohongi. Atau … dia kesal karena aku bertingkah kurang ajar di rumahnya? Entahlah ....
"Ayo, ambil baju kotormu yang tadi. Jangan lagi pernah minta bermalam di sini kalau tujuanmu cuma ingin berbuat keributan malam-malam. Nggak sopan!"
Sambil meraih tas kecil berisi pakaian, Mas Hamid tak ada jedanya menggerutu. Kesal sekali rupanya dia.
"Ayo!" bentaknya padaku yang masih termangu dengan pikiran bercabang ke mana-mana.
"Nggak bisa nunggu pagi apa, Mas?"
"Nggak bisa. Aku yakin, kamu akan berulah nggak wajar lagi. Kecurigaan nggak berdasar sudah meracuni otakmu, Lisa!"
Lagi-lagi Mas Hamid menarik kasar tanganku. Aku melangkah tertatih mengikutinya. Ibu mertua yang semula duduk di sofa ruang tamu, langsung berdiri begitu melihat Mas Hamid menyeretku ke arah pintu.
"Mid. Jangan main kasar begitu."
Tegurannya hanya sebatas itu. Seharusnya dia menahan Mas Hamid membawaku pulang di jam cinderella bukan? Tapi tidak.
Baru saja keluar dari pintu, aku sudah menggigil. Dingin sekali.
"Mas, kita pulang besok pagi saja!" Aku menarik tanganku dengan paksa.
"Kalau kamu nggak mau ikut pulang malam ini, sekalian aja kamu nggak usah pulang ke rumah!"
"Apa, Mas?" Aku membelalak lebar. Kali ini aku memang benar-benar terkejut.
Mas Hamid melarangku pulang ke rumahku sendiri? Eh, maksudku ... ke rumah kami? Rumah Mas Hamid yang dua bulan lalu aku bantu renovasi pakai uang tabunganku saat masih bekerja, demi terlihat layak? Sungguh terlalu!
"Iya! Kalau mau tinggal, tinggal aja. Tapi selamanya kamu tinggal di sini sama ibu! Besok, baju-bajumu semuanya aku bawakan ke sini! Kamu masih ingin membuktikan kecurigaanmu, kan?"
Perintah dan pertanyaan macam apa ini? Aku merasa Mas Hamid seperti ingin membalikkan keadaan. Aku harus bagaimana sekarang?
Putar otak, Lisa, putar otak!
"Oke. Aku mau pulang, tapi aku ingin melihat dulu kartu keluarga mereka."
Bukankah tamu yang menginap 1x24 jam wajib lapor RT dengan membawa KK?
"Apa?!" Jelas sekali Mas Hamid terkejut dengan permintaanku. Membuat kecurigaan dalam hatiku semakin menjulang tinggi.
Untuk melakukan tes DNA pada bayi itu, aku memang sedang tidak ada dana. Jadi, cukup melihat dulu kartu keluarga Mira dan bayinya. Dari situ saja sudah bakal sedikit ketahuan, 'kan status Mira apa?
Apa benar memang istri Zaki? Atau … dia cuma istri simpanan Mas Hamid?
Mari, kita buktikan sekarang!