Bab3

780 Kata
Hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Justru makin berat, seperti langit sengaja mengirim tekanan tambahan untuk malam yang sudah cukup kacau. Di bawah kilatan petir, warga yang berkumpul makin banyak. Orang-orang yang awalnya hanya lewat kini ikut menonton. Dari kejauhan, beberapa payung berwarna gelap bergerak mendekat, ikut memenuhi sisi jalan yang berlumpur. Naumi menunduk, wajahnya pucat, rambutnya menempel di pelipis karena udara lembap. Ia seperti sedang berada dalam mimpi buruk yang terlalu nyata untuk ditolak, terlalu cepat untuk dihindari. Tangannya terus meremas tas kecil di d**a, jemarinya kehilangan hangat. Pak RT menatap kerumunan, lalu kembali memandang Naumi dan Adrian seolah hendak memastikan bahwa keputusan malam ini mutlak tidak dapat diganggu gugat. “Penghulu sudah dihubungi,” katanya pada warga. “Bilang ada kasus darurat.” Kasus darurat. Kalimat itu menampar Naumi lebih keras dari apa pun yang terjadi sebelumnya. “Pak… tolong,” suara Naumi akhirnya pecah, lirih, hampir tak terdengar di tengah suara hujan. “Bunda saya sakit… saya cuma mau pulang. Saya tidak tahu ada siapa pun di sini. Saya nggak melakukan itu. Tolong dengarkan saya.” Beberapa perempuan di belakang saling berbisik. Ada yang tampak iba, tapi mayoritas terlihat lebih sibuk menikmati drama malam itu daripada berusaha mengerti. “Mbak, bukan masalah kasihan atau nggaknya,” salah satu mengangguk-angguk sok bijak. “Ini masalah nama baik kampung. Kami nggak mau ken azab! Kalau nggak diselesaikan, besok jadi omongan satu kelurahan. Satu desa bisa kena bencana!” Naumi menggigit bibir sampai rasanya perih. Ia ingin berteriak, tetapi tenggorokannya mengencang. Seperti ada sesuatu yang mencegah suara keluar. Sementara itu, Adrian berdiri tegak. Sorot matanya tidak menunjukkan ketakutan, tetapi lebih ke campuran jengkel dan tidak percaya. Rahangnya mengetat. Ia menatap Pak RT seperti seseorang yang sedang menahan diri agar tidak membuat masalah lebih besar. “Dengar saya,” katanya pelan tapi dengan tekanan kuat. “Saya tidak kenal perempuan ini. Dia datang berteduh. Saya tidur. Tidak ada yang terjadi. Tidak ada sama sekali.” “Tidak ada bukan berarti tidak mungkin terjadi,” seloroh salah satu warga sambil terkekeh, menimbulkan tawa dari beberapa lainnya. “Maling mana ada yang mau ngaku. Bisa penuh penjara!” Adrian memejamkan mata beberapa detik, mencoba bersabar. Ketika ia membuka mata kembali, sorotnya lebih dingin. “Kalian mau menghancurkan hidup orang dengan fitnah tanpa bukti?” “Jangan pakai kata fitnah!” Suara Pak RT meninggi, bukan marah karena kebenaran, tapi marah karena wibawanya ditantang. “Kalau tidak mau malu, kalian nikah. Selesai. Habis perkara!” Adrian hendak menyahut, tetapi sesuatu membuatnya terdiam. Seorang pria muda datang berlari, napasnya terengah, membawa payung kecil dan plastik berisi sesuatu. Ia mendekat ke Pak RT sambil menunjuk gubuk. “Pak, tadi ada warga yang lewat. Ngintip, dan lihat mereka ini lagi m.e.sum. Mau lapor, tapi udah keburu rame. Orang-orang di kampung juga sudah makin heboh. Banyak yang bilang jangan pulang sebelum ini tuntas.” Orang-orang makin heboh. Semakin lama, suara-suara itu terasa seperti perangkap. Seolah semua pintu keluar ditutup rapat oleh opini massa yang sudah telanjur liar. Naumi merasakan lututnya melemas. Hatinya berdegup cepat, terlalu cepat, seakan mencoba kabur sebelum tubuhnya sempat menyadari. Ia memandang Adrian—mencari pertolongan, atau setidaknya sedikit pengertian. Tetapi bagaimana bisa ia meminta bantuan dari seseorang yang bahkan belum ia kenal satu jam yang lalu? Tiba-tiba, Adrian melangkah mendekat pada Naumi. Bukan untuk menyentuh, bukan untuk melindungi, tapi untuk memastikan ia mendengar kalimatnya. “Aku akan jelaskan semuanya ke mereka,” katanya rendah, hampir seperti bisikan yang hanya bisa didengar Naumi. “Tetap tenang.” Naumi menatapnya, matanya memantulkan ketakutan sekaligus harapan yang tidak berani ia akui. “Mereka tidak mau dengar…” “Aku akan buat mereka dengar,” jawabnya. Tetapi sebelum Adrian sempat melakukan apa pun, suara motor berhenti di depan gubuk. Seorang pria dengan jas hujan panjang turun tergesa-gesa, memegang map cokelat di tangan. “Ini dia,” seru salah satu warga gembira. “Penghulu datang!” Naumi menutup mulut dengan kedua tangan. Matanya mengabur, bukan karena hujan, tetapi karena air mata yang akhirnya jatuh. Tubuhnya tersentak kecil. Ia merasakan seolah seluruh malam itu menutupnya dari semua arah. Penghulu berjalan mendekat, menatap mereka berdua, lalu menoleh pada Pak RT. “Mana calon mempelainya?” Sorot matanya tidak menyiratkan penilaian. Ia hanya datang untuk menjalankan tugas. Tidak tahu apa-apa. Tidak mempertanyakan apa-apa. Datang hanya karena menerima kabar: ada dua orang yang butuh dinikahkan malam ini. Pak RT menunjuk. “Mereka.” Cahaya senter kembali mengarah pada Naumi dan Adrian. Kali ini, lebih terang, lebih telanjang, lebih memojokkan. Adrian menahan napas. Naumi mulai gemetar. Dan di tengah hujan yang tidak berhenti, di malam yang semakin pekat, satu kalimat dari Pak RT menjadi penutup takdir Bab ini: “Baik. Kita mulai prosesnya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN