“Mama dengar ada anak baru di kelas kamu.” Helen bertanya pada anak bungsunya, Ilana. Mereka sedang berada di ruang makan dengan nasi goreng di piring masing-masing. Ia menatap Ilana yang sudha berseragam rapi di depannya.
Ilana hanya mengangguk sebagai jawaban tercepat.
“Pindahan dari mana?” Helen bertanya lagi dan melihat Ilana kembali menggeleng. Gadis itu masih sibuk mencacah isi mulutnya.
“Bagus, fokus saja belajar. Jangan pedulikan hal-hal lain selain belajar. Kamu sadar kalau tahun ini adalah kesempatan terakhir kamu. Jangan kalah lagi dengan Nadine.” kata Helen dengan serius.
Ilana mengangguk. Ia fokus menghabiskan isi piringnya sementara ibunya masih terus menasehatinya mengenai semua tentang proses belajarnya. Hal yang sebenarnya sudah sangat membuatnya muak karena ia mendengarnya hampir setiap hari.
“Jangan lupa vitamin-mu.” Helen mengingatkan Ilana saat gadis itu sudah menyantelkan sebelah tali ransel ke punggungnya. Ilana menghela napas dan melihat ibunya berjalan mendekatinya dengan kotak obat di tangannya.
Ilana mengambil dua butir vitamin dari dalam kotak dan meminumnya dengan bantuan air mineral dalam gelas yang diulurkan ibunya.
“Nadine sekarang sudah tidak punya apa-apa lagi. Kamu seharusnya lebih mudah untuk ambil posisi dia.” kata Helen. Ilana tidak menjawab, ia memilih untuk langsung berpamitan pada ibunya dan keluar dari rumah.
Nadine sekarang sudah tidak punya apa-apa lagi. Kamu seharusnya lebih mudah untuk ambil posisi dia. Kata-kata itu berputar diotaknya selama perjalanan menuju sekolah. Ibunya pasti melihat hal itu sebagai peluang. Ia pun berpikir seperti itu awalnya. Namun ia menyadari bahwa meski diterpa cobaan yang begitu besar, Nadine tampak tak melemah. Hal yang akhirnya membuatnya menyadari bahwa Nadine yang sekarang tetap seperti dulu. Apalagi sekarang gadis itu menjadi anak beasiswa yang tidak boleh keluar dari tiga besar. Gadis itu justru akan belajar lebih keras karena tidak ingin posisinya diambil olehnya.
***
Emma melirik penunjuk waktu di pergelangan tangannya, lalu ke sebelahnya, di mana Axel, pacarnya sedang membongkar isi ponselnya. Laki-laki itu tampak sangat serius menatap layar ponselnya,sekana tidak ingin ada yang terlewat olehnya.
Itu adalah rutinitas mereka setiap bertemu. Baginya, Axel memang cukup posesif. Laki-laki itu tidak suka jika ia berhubungan terlalu dekat dengan laki-laki itu meski hanya berteman. Namun ia bisa menerimanya. Ia menyayangi laki-laki itu dan tidak ingin kehilangannya.
“Oke.” Axel menoleh dan mengulurkan ponsel milik Emma.
“Aku masuk dulu.” kata Emma. Ia melihat Axel mengangguk.
“Kurangin makan, ya. Pipi kamu kelihatan agak tembem.” kata Axel pada Emma yang langsung meraba pipinya.
“Tapi makan aku udah sedikit banget, sayang.” kata Emma. Ia merasa bahwa ia tidak menambah porsi makannya sama sekali. Ia sudah sangat menjaga makan dan merasa bahwa porsi makannya saat ini sudah saat menyiksanya.
“Ya kurangin lagi, atau tambah olahraganya.” kata Axel, “jangan nyemil sembarangan juga. Pokoknya aku nggak suka kamu tambah gendut sedikit aja.”
Emma menghela napas lalu mengangguk. Ia terlalu takut kehilangan laki-laki itu dan akan menuruti semua yang laki-laki itu perintahkan. Ia pamit pada Axel lalu keluar dari mobil dan mendekati gerbang sekolahnya.
***
Setelah turun dari halte bus dekat sekolahnya, Nadine masih harus berjalan sekitar lima menit lebih untuk sampai di depan gerbang sekolahnya. Dalam perjalanannya, sebuah mobil berhenti di sampingnya. Ia menghentikan langkah dan menoleh untuk melihat mobil siapa yang berhenti mendadak di sampingnya.
“Ayo naik.” Joseph mengatakan itu setelah ia membuka jendela mobilnya.
Nadine menatap Joseph yang tengah duduk tenang di kursi penumpang belakang. Laki-laki itu terlihat tulus, namun Nadine sama sekali tidak ingin menerima kebaikan siapapun. Tanpa mengatakan apapun, ia kembali berjalan dan tak mengacuhkan tawaran Joseph.
Joseph berdecak. Ia kembali meminta supirnya untuk menjalankan mobilnya dengan pelan di samping gadis itu.
“Come on, kita satu tujuan.” kata Joseph pada Nadine yang masih fokus pada jalanan di depannya. Nadine tidak peduli dengan apa yang keluar dari mulut Joseph sehingga ia terus berjalan.
Joseph menghela napas. Ia menutup jendela mobilnya dan meminta supirnya untuk menjalankan kecepatan seperti biasa. Joseph memutar kembali semua ingatannya mengenai Nadine sejak ia bersekolah di sana. Ia tahu gadis itu menjalani hari-hari yang berat akibat ulahnya sendiri. Tapi ia tidak punya keinginan apapun selain berteman. Joseph sudah mulai mengenal dekat teman-teman dikelasnya, kecuali Nadine dan Ilana.
Meski begitu, cerita mengenai gadis itu memang lebih mudah didapatkan. Tidak ada yang tidak tahu bagaimana hidup gadis itu. Cerita hidup gadis itu sudah menjadi konsumsi publik.
Joseph keluar dari mobilnya dan berjalan menyusuri koridornya menuju tangga. Saat baru saja melewati ruang teater, ia mendengar suara dari dalam karena pintu ruangan itu tidak tertutup dengan rapat. Ia yakin tidak akan ada yang beraktifitasi di ruangan itu sepagi ini.
Dengan keberanian penuh, Joseph mendekat dan mengintip ke dalamnya. Di sana ia melihat Keenan dan dua temannya sedang duduk di kursi yang ada di sana. Di depannya, seorang laki-laki sedang mengerjakan sesuatu di dalam buku.
“Jangan sampai ada yang salah.” kata Keenan sambil memukul kepala laki-laki itu dengan tempat pensil yang ada di atas meja.
Kedua mata Joseph memicing hanya untuk memastikan bahwa laki-laki di depan Keenan adalah laki-laki yang pernah ia lihat di ruang makan dan dirisak oleh Keenan.
“Jika ada satu saja yang salah, aku akan menghajarmu.” katanya lagi.
Apa dia menyuruh laki-laki itu mengerjakan tugasnya? Pikir Joseph. Ia tidak tahu siapa sebenarnya sosok Keenan sehingga ia bisa melakukan hal-hal itu. Ia tidak tahu kenapa semua anak takut padanya. Ia tidak mengerti kenapa ada orang yang rela dipelakukan sebegitu buruknya oleh laki-laki itu.
Joseph baru saja hendak membuka pintu lebih lebar dan masuk saat sebuah suara masuk ke gendang telinganya.
“That’s none of your business.” Suara itu terdengar dari luar. Joseph menoleh ke asal suara tepat saat Nadine berjalan melewatinya.
“Hei, look.” Joseph berkata lirih. Ia menoleh ke arah Nadine dan ke dalam ruangan secara bergatian. Namun saat ia sadar bahwa kata-kata Nadine adalah bentuk peringatan buatnya, ia akhirnya memilih untuk mengekori gadis itu hingga berhasil mensejajarkan diri.
“Keenan berulah lagi. Dia sepertinya meminta anak lain mengerjakan tugasnya.” kata Joseph pada Nadine yang tampak tak tertarik. Jelas saja, hal itu bukan lagi hal luar biasa. Mereka bisa melihat kejadian itu, atau yang lebih parah setiap hari. Dan sayangnya, tidak ada yang berani membela.
“Lalu, kamu mau membelanya?” Nadine bertanya meski ia sama sekali tak menoleh pada Joseph yang berjalan di sebelahnya. “go for it!” katanya lagi. “kamu hanya perlu bersiap karena Keenan akan mengubah hidupmu seperti di neraka.”
Nadine berjalan mendahului Joseph dan masuk ke ruang perpustakaan.
Langkah Joseph berhenti. Ia membalik badan dan kembali menatap ruang teater yang masih terlihat. Ia menarik napas panjang. Ia pernah ada di posisi laki-laki itu meski tidak separah itu, hingga akhirnya memutuskan untuk menjalani homeschooling. Setelah memutuskan untuk kembali ke sekolah, Joseph sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tak ingin terlibat masalah dengan siapapun. Ia ingin satu tahun hidupnya tenang. Ia tidak ingin terlihat menonjol.
***
“Kenapa makanmu semakin sedikit?” Joseph mengatakan itu saat berdiri di samping meja yang ditempati Emma. Ia melihat isi nampan gadis itu lebih sedikit dibanding sebelumnya.
“Duduklah.” Alih-alih menjawab pertanyaan Joseph, Emma memilih untuk mempersilakan laki-laki itu duduk di depannya. “apa pipiku terlihat agak besar?” Emma bertanya pada Joseph yang langsung berdecak.
“Are you kidding me?” Joseph tidak tahu mengapa Emma menanyakan itu padanya. Joseph tak mengerti bagaimana bisa gadis itu menyimpulkan pipinya bertambah besar. Biar ia jelaskan. Gadis di depannya tinggi juga kurus. Wajahnya oval dengan kulit yang seperti porselen. Rambut gadis itu panjang dan selalu tergerai rapi melewati bahunya. Gadis itu sangat cantik, dengan tubuh bak model. Gadis itu sudah terlalu kurus dibanding anak seusianya, ia tidak tahu darimana gadis itu merasa jika pipinya membesar.
“Don’t get me wrong,” kata Joseph, “you’re so pretty… tapi menurutku, kamu bahkan terlalu kurus.” kata Joseph. Ia sudah memulai aktifitas makannya saat Emma tampak mengamati kata-katanya.
Emma hanya mengulas senyum tipis. Rasanya menyenangkan mendengarkan hal-hal kecil itu dari mulut orang lain. Namun, ia menyayangkan bahwa Axel tidak pernah berpikir seperti orang lain. Pasalnya, bukan hanya Joseph yang mengeluhkan bahwa dirinya terlalu kurus. Semua teman-temannya juga sering bilang seperti itu.
Ia tahu bahwa Axel adalah orang yang mengembalikan titik balik hidupnya. Dulu ia hanya gadis dengan tubuh gemuk dan tidak pernah memikirkan penampilan. Lalu tiba-tiba Axel datang ke hidupnya dan mengubah hidupnya. Laki-laki membantunya mengubah penampilannya menjadi seperti sekarang. Ia tahu bahwa Axel adalah orang yang paling berjasa dalam hidupnya. Ia pernah berada pada satu keadaan di mana ia depresi dan merasa bahwa ia tidak berguna. Axel menyelamatkannya. Menariknya dari lubang hitam tanpa dasar itu dan membuatnya merasa dicintai sebegitu rupa.
Emma menemukan gairah untuk hidup. Dan perlahan Axel membantunya mengubah penampilan hingga seperti sekarang. Emma tidak mau menyangkal bahwa ia mencintai Axel karena merasa Axel seperti pahlawan baginya. Axel telah berjasa banyak bagi hidupnya dan ia tidak ingin kehilangannya. Ia bahkan tidak peduli jika Axel terlalu overprotective padanya.
“Makanlah yang banyak. Kamu tidak akan tiba-tiba gemuk hanya karena menambah tiga atau empat sendok porsi makanmu.” kata Joseph.
“Ini cukup.” kata Emma sambil melanjutkan makannya. Mereka berdua melanjutkan obrolan ke hal-hal lain. Joseph melihat Nadine menempati satu meja di ujung ruangan seorang diri.
***
Haikal melirik penunjuk waktu di pergelangan tangannya. Sudah setengah jam menuju berakhirnya jam makan siang. Ia melongok ke arah ruang makan dan tidak menemukan Keenan di sana. Ia akhirnya masuk ke dalam dan mendekati meja prasmanan. Ia membiarkan staff kitchen mengisi nampannya dengan nasi, lauk dan sayur. Ia mengambil tempat di meja kosong, tepat di samping meja Joseph dan Emma.
Joseph sempat menatap ke arah Haikal. Laki-laki itu menatap wajah Haikal lamat-lamat. Laki-laki itu berkulit putih, dengan mata sipit yang dibingkai kacamata tebal. Deretan giginya terpasang kawat gigi. Wajahnya terlihat canggung dan sedikit ketakutan. Sepertinya hidup laki-laki itu tidak pernah tenang. Laki-laki itu terus menerus melirik ke sekeliling dengan waspada. Laki-laki itu seperti sedang diintai musuh dan tengah bersiap jika musuhnya tiba-tiba datang. Laki-laki itu makan dengan cepat seperti dikejar waktu. Padahal mereka masih punya banyak waktu sampai bel masuk berbunyi.
Dan memang, ketenangan tidak pernah menjadi milik Haikal. Matanya baru saja melirik pintu ruang makan saat ia melihat Keenan dan dua temannya masuk. Haikal mempercepat makannya. Ia tahu bahwa semua pasang mata kini meliriknya. Haikan meneguk air mineral dalam botolnya lalu berdiri dan membawa nampan bekas pakainya yang masih meninggalkan sisa makannya. Yang perlu ia lakukan adalah menjauhi laki-laki itu. Hal yang sudah sering ia lakukan namun gagal. Keenan akan mencarinya jika laki-laki itu butuh mainan. Ia tidak pernah bisa benar-benar bersembunyi.
Ia berjalan pelan dan menunduk saat hendak melewati Keenan. Namun Keenan memang tidak pernah membiarkan hidupnya tenang. Laki-laki itu menjegalnya saat ia lewat sehingga ia jatuh tersungkur dengan bunyi nyaring nampan yang membentur lantai keramik ruangan itu.
“Hati-hati…” kata Keenan. Ia menginjak punggung Haikal untuk lewat. Tak cukup, kedua temannya melakukan hal serupa. Membuat Haikal meringis kesakitan.
“Apa selalu seperti itu?” Keenan masih menatap Haikal yang berdiri dengan seragam bagian belakangnya yang kotor dan mencetak bekas sepatu. Laki-laki itu berjalan pelan dan menaruh nampan bekas makan pada tempatnya lalu menghilang dibalik pintu.
Joseph melihat Emma mengangguk. “Keenan selalu mencari masalah, pada siapapun yang ada di depannya. Tapi memang Haikal adalah favoritnya.”
“Siapa Keenan sebenarnya?” Joseph bertanya lagi.
“Dia anak wakil gubernur.” kata Emma. “orangtuanya menjadi salah satu donatur terbesar di sekolah kita. Nggak salah kalau dia jadi anak emas meski kelakukannya seperti iblis.” Emma mengatakan kata terakhir dengan nada berbisik.
Joseph menatap Keenan yang menempati meja tak jauh dari tempatnya. Laki-laki itu makan dengan tenang sambil bercanda dengan dua temannya. Laki-laki itu terlihat begitu menikmati hidupnya. Laki-laki itu sama sekali tidak merasa bersalah dengan apa yang baru saja ia lakukan. Ia tidak mengerti apakah laki-laki itu punya hati atau tidak.
TBC
LalunaKia