Membicarakan Hal Penting Itu

1015 Kata
“Tidak! Tidak! Jika akan melakukan hal seperti itu, aku harus menikah dulu,” ucapku bersikeras. “Bukannya Kamu butuh sekali uang itu?” balas laki-laki dengan celana jins hitam dan T-shirt warna putih polos itu. “Tentu, tetapi bukan berarti aku harus melakukan hal-hal seperti itu dengan bodoh,” lanjutku masih berusaha mempertahankan pendapatku, eits ... bukan, bukan pendapat tetapi prinsip. “Apa orang-orang yang mengalami kesulitan keuangan selalu berprinsip seperti itu,” ucapnya sambil menatapku dari atas ke bawah, mungkin celana jins dan jaket belel serta sepatu bertali yang sudah buruk ini pasti mengganggu penglihatan matanya, tetapi aku tak peduli, topi pad yang tadinya dalam posisi benar sekarang kubalik dan menyisakan anak-anak rambut yang tak rapi. “Entah ... nggak semua juga atau entahlah belum pernah orang-orang yang kesulitan keuangan kutanyai satu per satu,” jawabku dengan cuek. Laki-laki tampan dengan alis tebal itu menatap tak berkedip, mengangkat punggung dari sandaran sofa dan mencondongkan badan ke depan. “Tapi, Kamu yakin bakal melakukan itu?” ucapnya penuh selidik, manik mata hitamnya menyorot tajam langsung ke jantung. Tangan ini berkeringat. “I-iya,” sahutku dengan gagap, lalu mengangguk-anggukan kepala. Laki-laki itu diam sambil tetap mengamati seolah aku ikan hias di akuarium. “Kamu tentu tahu, jika itu dilakukan, Kamu akan kehilangan banyak hal, tidak seperti aku, perempuan akan lebih banyak menanggung akibatnya,” ucapnya memaparkan kenyataan, aku mencoba bersikap tenang, walaupun kenyataan yang akan kuhadapi itu menimbulkan rasa gemuruh dalam hati yang tak berhenti. “Aku tahu, aku sudah memikirkannya sebelum datang ke sini,” jawabku sambil menundukan pandangan hingga mata ini menatap sepatu butut yang kukenakan. “Kurasa Kamu bukan jenis gadis yang rela melakukan hal seperti itu untuk kesenangan, apa yang kamu pakai tidak menggambarkan itu,” lanjutnya, mungkin laki-laki ini membayangkan yang datang ke sini adalah gadis dengan penampilan sexy menenteng tas dan handphone mahal dengan riasan wajah hits terbaru, alis buatan, softlens warna-warni dan atribut kekinian yang lain. Aku mendesah kesal dengan kata “menggambarkan” yang ia ucapkan itu. “Eh ... tenang saja! Aku akan jauh lebih cantik dari gadis-gadis itu jika mengenakan baju bagus,” seruku geram, tidak apa mencoba meningkatkan sedikit level kepercayaan diri, hal yang tak pernah terucap ini terpaksa kali ini harus dinyatakan. Laki-laki itu tersenyum, lalu mengambil gelas dan menyesap isinya. “Aku percaya, aku mengundangmu ke sini juga karena mengetahui kecantikanmu yang tersembunyi dibalik baju lusuh itu,” jawabnya sambil meneliti apa yang kupakai. “Ah!” seruku kesal sambil menutupkan bantal kursi ke wajah ini. Mendadak rasa menyesal timbul setelah tadi mengucapkan kata yang tak pernah terucap itu, kenapa? Kenapa harus merasa kesal dengan apa yang ia gambarkan, toh begitulah keadaanku, lusuh. Terdengar suara tawa riang dari laki-laki yang masih duduk di sofa ini. “Kenapa Kamu mau melakukan itu?” tanyanya ketika aku meletakan bantal kursi itu di atas sofa. “Uang,” sahutku jujur. Laki-laki ini mengembuskan napas, entah apa yang ada di pikirannya, aku tak peduli. “Bukan karena aku ganteng,” ucapnya dengan penuh percaya diri. Aku menggeleng. “Kegantenganmu tidak akan menyelesaikan masalah dalam hidupku,” jelasku dengan yakin, laki-laki tampan itu bersiul sambil bertepuk tangan. “Gadis yang logis, ternyata tidak hanya cantik, otakmu juga jalan,” komentarnya sambil mengangkat satu alis dan jujur aja, sebenarnya apa yang ia ucapkan tentang dirinya memang bukan bohong, ia memang ganteng. “Untuk apa uang itu?” interogasinya lebih lanjut. “Menyelesaikan masalah,” jawabku singkat, ternyata pertemuan ini bukan hanya konfirmasi melakukan itu, tetapi juga mirip interogasi kepolisian. “Em ... itu sempat kudengar dari Julian,” sahutnya sambil kembali menatapku lekat. “Kabarnya Kamu menderita sekali,” lanjutnya membuat kuping ini agak panas. “Apa itu perlu ditegaskan?” sahutku geram. Laki-laki ganteng itu mengedikkan bahu. “Apa Kamu hidup di jalanan?” lanjutnya tanpa mempedulikan rasa geram yang aku yakin ia mengetahuinya. Aku menggelengkan kepala. “Aku tampak seperti ini hanya karena terlalu banyak bekerja part time, hanya itu, bukan berati aku hidup di jalanan Tuan Aldar Harran,” seruku dengan nada suara mulai meningkat. “Iya, itu lebih tepat menggambarkan keadaanmu,” jawabnya sambil mengangguk. “Hei! Kalau sudah tahu kenapa masih tanya?” seruku geram sambil merebahkan diri di sofa, andai bukan di tempat umum tentu sudah kutinggal tidur saja laki-laki ini. “Hei!” seruku begitu teringat sesuatu dan kembali duduk. Kepala ini celingukan dan mencari orang-orang yang tadi sempat kulihat di tempat ini. Ini adalah tempat makan umum yang tersembunyi, berada di pinggir sebuah lembah hijau yang indah. Tetapi, ke mana semua orang itu, juga tak satu pun pengunjung terlihat. “Mereka semua sudah kusuruh pergi, hari ini tempat ini tutup, hanya menyediakan makanan untuk kita,” sahutnya seolah tahu apa yang sedang kupikirkan. “Bisa begitu?” seruku heran. “Ini milikku,” ucapnya sambil menunjuk dengan pandangan mata dan sedikit gerak kepala. “Oh!” seruku melongo. “Sudah lapar?” tanyanya kemudian, aku menggeleng ketika ia menunjuk satu meja yang berada di satu sisi dinding yang lain, meja itu penuh makanan. “Kalau begitu mari kita lanjutkan,” ujarnya sambil kembali menatap dengan tatapan polisi menginterogasi maling. “Jika aku menyetujui syaratmu, apa rencanamu setelah itu?” sambungnya sambil meletakkan gelas yang dari tadi ia pegang. “Em ... setelah itu, setelah tugas itu selesai...,” ucapku lirih, ada perasaan malu ketika mengucapkan itu. “Em ... kita ... kita bisa melanjutkan hidup kita masing-masing. Ya anggap saja menikah, lalu bercerai, banyak ‘kan yang seperti itu? Kita akan saling tidak mengenal dan kembali ke dunia kita masing-masing. Tentu saja, itu akan lebih baik bagi kita berdua, em kita tidak akan saling mengganggu atau anggap saja ... tidak pernah ada yang terjadi di antara kita,” ucapku dengan lancar mengungkapkan apa yang telah kupikirkan semenjak tawaran itu kudengar dari Julian. Laki-laki itu kembali mengambil gelas dan menyesapnya tanpa mengalihkan pandangan dari wajah ini, sepertinya apa yang kukatakan mendadak membuat tenggorokan laki-laki itu kering. Laki-laki itu diam sejenak. “Jadi, itu akan mirip dengan transaksi?” tanyanya sambil meletakkan kembali gelas yang kini telah kosong itu ke atas meja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN