Ara berlari ke balkon, memeriksa apakah Gama ada atau tidak. Namun ia tidak melihat lampu kamarnya menyala. Apa Gama tidak ada di rumah? Harusnya ini jam Gama membaca buku di balkon. Ara menghela napas, lalu senyumnya menghilang. Ia duduk di kursi dengan wajah lesu. Ia menundukkan kepalanya sambil menggoyang-goyangkan kaki.
“Ara?” panggil seseorang yang membuatnya menoleh. Itu adalah Gama. Cowok itu berdiri di pagar balkon sambil menatapnya. Seketika, senyum Ara mengembang kembali.
“Gama di rumah?”
Cowok itu mengangguk. “Kirain, Gama enggak ada di rumah. Lampu kamarnya mati tadi,” cerita Ara.
“Lo nungguin gue?”
Ara langsung kikuk. “Eng-enggak, kok. Kebetulan Cuma lihat kamar lo yang gelap. Gue lagi duduk di sini sambil lihat bintang.”
Ara menunjuk ke arah langit. Pandangan Gama ikut menatap langit. Namun ia tidak menemukan ada bintang di sana. “Enggak ada bintang,” kata Gama dengan santainya.
“Ta-tadi ada, kok. Tapi udah pergi,” katanya asal bicara.
Gama menatap Ara lalu tertawa. “Lo lucu,” katanya.
“Ck. Gue emang lucu. Lo aja yang baru sadar.”
Gama menggelengkan kepalanya. Setelah obrolan canggung tadi, Ara dan Gama sama-sama duduk di pagar pembatas antara balkonnya dan balkon Gama. Ara menaruh kursinya di dekat balkon sebelah kiri sedangkan Gama di sebelah kanan. Kini mereka duduk dengan terpisahkan jarak satu meter.
Awalnya mereka hanya diam saja, tapi suasana berubah ketika Ara bercerita. Gama sesekali terkekeh pelan mendengarnya. Meski sejujurnya ia tidak terlalu mengerti apa yang Ara ceritakan karena gadis itu berbicara sangat cepat.
“Pokoknya gitu. Marcela yang dorong dia sampai jatuh ke kolam belakang sekolah.”
Ara tertawa sambil menceritakan kejadian ketika Calvin menyatakan perasaan pada Ara.
“Terus, kenapa gak lo terima? Katanya lo suka dia?”
“Suka dan cinta itu beda, ya! Gue suka dia, bukan berarti gue mau jadi pacarnya.”
Gama mengangguk. “Kenapa lo begitu yakin kalo perasaan lo buat Calvin hanya sebatas suka?”
Ara menyilangkan kedua tangannya lalu berpikir sejenak sebelum akhirnya mengatakan, “Karena gue gak punya perasaan sayang yang lebih ke dia. Rasa suka gue hanya ada dititik kagum. Enggak lebih.”
“Lo tahu banget soal perasaan, ya?”
Ara tertawa. “Hanya diri kita sendiri yang paling tahu perasaan kita. Orang lain enggak, karena yang dia lihat hanya luarnya aja. Dia enggak tahu, ada di mana posisi perasaan itu.”
Gama tersenyum, kemudian mengubah duduknya menghadap Ara. “Kalo gitu, lo tahu, gak, kenapa seseorang sulit melupakan cintanya? Padahal, orang yang dicintai malah mengkhianati.”
Ara juga ikut mengubah posisi duduknya. Kini ia menyilangkan kedua tangannya di atas pagar dan menaruh kepalanya sambil menatap Gama. “Karena cinta itu tulus,” jawab Ara sambil tersenyum.
“Setulus apa?” tanya Gama lagi.
“Setulus ketika orang itu, enggak bisa melupakannya. Cinta itu ada banyak macam. Ada cinta yang bisa diungkapkan, ada juga yang tidak. Ada cinta yang begitu nyata, ada juga yang samar. Ketika lo sulit melupakan seseorang yang lo cinta, itu artinya cinta lo bukan hanya sekadar sesuatu yang bisa diungkapkan, tapi juga cinta itu sesuatu yang nyata. Perasaan bisa berubah kapanpun, karena hati manusia mudah tergoda. Tapi, di dalam hatinya pasti hanya ada satu orang, yang benar-benar enggak bisa dilupakan. Itulah cinta sejati.”
“Bukannya cinta sejati itu ada ketika dua orang saling mencintai?”
“Cinta sejati bukan hanya tentang dua yang saling mencintai. Jika yang kita cintai tidak mencintai kita, itu bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan alasan untuk tidak mencintainya lagi. Mencintai itu tentang keihlasan, bukan hanya tentang berbagi kasih.”
Gama sungguh terkesima dengan kalimat-kalimat yang dikeluarkan oleh Ara. Ia tidak menyangka Ara akan punya jawaban seluas itu. Bahkan ia saja tidak sepaham itu tentang cinta.
“Lo tahu banyak, ya.”
“Gue tahu, karena gue lihat sendiri dengan mata gue. Mama Alya dan Ayah Deva, juga Oma Sily dan Opa Daren. Keempatnya punya cinta yang begitu nyata. Itu salah satu bukti, bahwa cinta sejati benar-benar ada.”
“Lo beruntung,” Gama tersenyum, “karena melihatnya langsung.”
“Kenapa tiba-tiba lo nanya soal cinta?” tanya Ara yang agak kebingungan. Padahal awalnya ia sedang menceritakan hal-hal lucu yang ia alami.
Gama tidak menjawabnya. Cowok itu hanya tersenyum kemudian menatap langit tanpa bicara apapun. Kini otak Ara mulai berpikir terlalu luas. Ia mengira mungkin Gama sengaja memancingnya untuk menceritakan perihal cinta. Apakah mungkin Gama mencintai Ara? Pipi Ara memerah, kemudian gadis itu memekik girang dalam hati.
Enggak mungkin secepat ini. Gue bisa buat Gama jatuh cinta.
“Eng, lo nanya kaya gini apa karena lo …”
“Gama,” panggil seseorang yang membuat Gama menoleh. Cowok itu pamit dan langsung masuk ke dalam kamarnya. Ara hanya bisa melongo karena tidak bisa menyelesaikan ucapannya tadi.
“… Suka gue,” lanjutnya dengan suara pelan. Ia menghela napas pelan.
***
“Ara! Gue mau berangkat, nih!” teriak Arden dari bawah. Ara yang masih tidur di balik selimutnya hanya bisa bergumam pelan. Badannya sungguh terasa tidak enak. Mungkin karena keseringan duduk di balkon, ia jadi masuk angin. Rasanya seperti masuk ke dalam lemari es. Padahal selimutnya sudah tebal.
Arden yang merasa panggilannya tidak dijawab langsung berlari ke kamar Ara untuk menghampiri gadis itu. Ia begitu terkejut mendapati Ara yang masih tidur di tempat tidurnya.
“Ya ampun, Ra. Gue tahu tidur itu buat kecantikan. Tapi kalo sampe jam segini belom bangun, cantik lo kalah sama bedoh lo entar karena enggak sekolah.”
Tidak ada respon apapun. Arden menghampiri Ara. Ia bisa melihat Ara yang sedang menggigil. Tangannya terulur menyentuh dahi Ara. “Panas banget, kayak kelas gue kalo AC nya mati,” gumamnya.
Arden menghela napas pelan. “Tunggu, gue panggil Mama.”
Tak lama, Alya datang dengan tergesa-gesa. Ia terlalu panik karena Ara jarang sekali sakit. Jadi, wajar saja jika Alya sangat panik ketika Arden memberitahu bahwa adiknya itu sakit.
Alya mengompres putrinya itu dengan wajah khawatir. “Kok, bisa gini, sih? Kamu salah makan? Atau kamu bergadang, ya?” tanya Alya yang dibalas gelengan kepala oleh Ara.
“Ya sudah. Istirahat aja. Mama buatkan bubur, ya? Bubur jagung kesukaan Ara. Mau?”
Ara tersenyum simpul kemudian mengangguk. Ia benci jika sakit begini. Tangannya meraih ponsel di atas nakas, kemudian membuka layar kucinya. Kini ponselnya penuh dengan pesan dan panggilan tidak terjawab dari Sena dan Marcela. Ia terkekeh pelan. Beruntungnya ia punya dua orang yang selalu khawatir jika tidak melihat wajahnya sebentar.
“Manis banget, sih, kalian,” gumam Ara.
Matanya beralih pada sebuah pesan yang dikirimkan oleh Gama. Ia tersenyum.
Gama
Terima kasih untuk ceritanya. Selamat malam.
Ara melihat pesan itu dikirim tadi malam. Ia pikir Gama tahu jika ia sakit dan mengirimkan pesan kekhawatiran untuknya. Khayalannya semakin menjadi-jadi saja.
“Ck. Gama, mah, gitu,” rengek Ara.
Disisi lain, Gama tengah menuliskan materi yang diberikan oleh Caca di depan kelas. Hari ini, guru-guru sedang rapat dadakan, itu sebabnya mereka belajar sendiri di kelas. Dan mereka juga akan pulang lebih awal nantinya.
“Arden! Ara sakit?!” teriak Feri yang baru saja kembali dari kelas sebelah. Andi kini menoleh menatap Arden. “Ara sakit?’ tanyanya lagi.
Yang ditanya hanya bisa menetap kedua temannya dengan tatapan sebal. “Emang kenapa, sih, kalo Ara sakit? Heboh banget, kaya Ara hilang aja dari bumi. Dia sakit juga masih di bumi, gak akan pindah ke pluto.”
“Ya, sepi aja gak ada Ara. Gak bisa lihat dia main marching. Gitu-gitu, Ara adalah penyejuk mata gue yang suka sakit ngelihat materi.”
Gama bisa mendengar percakapan itu. Ia langsung berpikir, apakah Ara sakit karena semalam mengobrol dengannya terlalu lama? Jika iya, berarti ia membuat Ara sakit lagi. Harusnya ia tidak bertanya banyak hal semalam.
Setelah selesai menuliskan materi di papan tulis, Gama langsung mengambil ponselnya yang ada di dalam tas. Ia hendak mengirimkan pesan pada Ara, namun ia tidak tahu harus mengetikkan apa. Setelah hampir 10 menit berpikir, akhirnya ia tidak jadi mengirimkan pesan. Entah kenapa otaknya itu jadi sulit berpikir hanya untuk hal-hal kecil seperti ini. Gama menghela napas pelan kemudian memasukkan buku-bukunya yang ada di meja ke dalam tas.
“Gue mau jengukin dia nanti pulang sekolah,” kata Feri yang bisa di dengar oleh Gama. Tentu saja kedengaran karena meja mereka bersebalahan.
“Gama, lo ikut, gak?” tanya Feri yang tiba-tiba duduk mendekatinya.
“Iya.”
Itulah jawaban yang keluar dari bibir Gama. Ia benar-benar merasa bersalah jika Ara sakit karenanya. Harusnya ia lebih berhati-hati. Sudah untung ia punya teman yang mau mendengarnya bercerita seperti Ara.
Kelas berakhir lebih cepat seperti yang telah diumumkan karena diadakannya rapat dadakan oleh kepala sekolah. Gama, Feri, Andi, dan juga Arden berjalan bersama ke parkiran. Keempatnya hendak ikut Arden pulang untuk menjenguk Ara. Namun, tiba-tiba saja Caca menghampiri Gama dengan wajah paniknya.
“Gama!” panggilnya dengan napas ngos-ngosan.
Yang dipanggil langsung menoleh. “Bisa bantu gue enggak? Bu Rani tadi minta gue bantu rapihin buku di perpus. Gue suruh ajak beberapa anak kelas. Tapi yang lain udah pulang. Tinggal lo doang yang masih di sini. Gue enggak tahu lagi mau minta bantuan siapa.”
Arden, Feri, dan Andi langsung menatap Caca dengan tatapan sebal. “Lo kira kita bertiga dedemit, huh? Lo gak nganggap kita ada gitu?” protes Feri.
“Lo bertiga pasti enggak akan mau bantu gue. Orang bantuin naruh spidol di meja aja enggak mau apalagi beresin buku.”
Feri terkekeh. “Kok, lo, tahu banget, sih, Ca? Jadi gemes, deh,” kata Feri.
Caca memutar bola mata malas, kemudian kembali menatap Gama dengan wajah memelasnya. Gama hanya bisa mengangguk mengiyakan. Lagipula, Bu Rani memang berpesan padanya untuk membantu Caca, karena Wahyu—wakil ketua kelas metreka masih sakit dan belum bisa bersekolah. Gama berjalan mengekori Caca menuju perpustakaan.
“Terus, dia enggak jadi jenguk Ara?” tanya Andi.
Arden menepuk bahu Andi. “Rumah Gama sebelah rumah gue. Kalo mau jenguk tinggal ngesot.”
“Iya, juga, ya.”
“ Emang, iya.”
-bersambung-