"Nyonya"

1128 Kata
Bab 2 Apa ini? Apa yang sedang menimpaku ini? Bertemu dengan Mas Risky di rumah yang sedang membutuhkan tenaga untuk mengasuh bayi? Benarkan yang kuasuh ini adalah anak Mas Risky? Lantas kemana ibunya hingga membutuhkan pengasuh untuk bayinya? Ah aku lupa. Bagi orang kaya, pengasuh tidak hanya untuk ibu yang bekerja. Bisa saja mereka butuh pengasuh untuk membantu merawat bayi mereka karena enggan berlelah-lelah merawat bayinya, sekalipun itu anak kandungnya sendiri. Aku mendesah lirih untuk menghalau debar yang tak bisa kuatur ritmenya agar seimbang. Keringat dingin sudah membasahi telapak tanganku. Pun dengan keningku yang ujungnya kubalut dengan hijab panjang. Aku berharap ini memang jalan takdir baik untukku setelah kepergian almarhum Mas Yudha. Sekalipun rasanya menyesakkan bertemu dengannya dikesempatan seperti ini. Bagaimana aku nanti harus menguasai diriku ketika melihat sepasang suami istri yang suaminya selalu kusebut dalam doaku? Allahu Rabbi. Berulang kali kuembuskan napas agar jantungku berdetak normal. "Silahkan duduk," ujar seorang wanita paruh baya yang tiba-tiba saja datang dan duduk di kursi depanku. Kesadaranku pulih setelah mendengar suara perempuan itu. Seketika aku menatap wajah keriput tetapi masih tampak ayu di depanku itu. Tetapi tak lagi kudapati lelaki yang baru saja membuat keringat dingin ini tiba-tiba mengucur membasahi selurih tubuh. "Terima kasih, Nyonya," ujarku seraya kembali duduk. Nyonya, kata yang tak pernah sekalipun terbersit dalam pikiranku akan menjadi pesuruh seperti ini. Aku harus menyebut atasan dengan sebutan Nyonya dan Tuan. Terlebih tuan yang harus kusebut adalah dia yang pernah hadir dalam hidupku setahun yang lalu dan beberapa tahun sebelumnya, yang bahkan namanya masih tersimpan rapi di lubuk hati. Bukan maksudku mengkhianati Mas Yudha dengan menyimpan semua tentangnya. Aku hanya menyimpan rasa yang tak seharusnya hadir dalam sebuah ikatan suci. Entahlah, apa itu bisa disebut dengan cinta. "Saya Maria, nenek dari bayi yang akan kamu asuh. Sebelumnya, perkenalkan diri kamu?" "Saya Sania, Nyonya," ucapku terbata. "Sudah pengalaman mengasuh bayi?" tanyanya langsung tanpa basa-basi. Kepalaku reflek mendongak. Aku mengikuti arah sumber suara di depanku. Bibirku kelu untuk bisa menjawab dengan gamblang pertanyaan yang seharusnya dengan mudah bisa kujawab. Kepalaku lantas mengangguk cepat. Mataku menatap wajah ayu itu dengan sedikit rasa takut dan tangan berkeringat dingin. "Jangan tegang. Santai saja. Saya bukan orang jahat. Hanya saja saya tidak suka berbasa basi," ujarnya dengan sedikit menurunkan nada suaranya. Segaris senyum terbit setelah ia menyampaikan bagaimana sifat dirinya. Jemari yang lentik nan bercat mengkilat menunjukkan bahwa perempuan ini adalah nyonya di rumah ini. Gaya pakaian dan bahasa tubuhnya sangat elegan. Berbeda denganku yang berpakaian apa adanya. Asal bersih dan rapi. "Iya, Nyonya. Maaf. Ini pertama kali saya bekerja setelah menjadi ibu rumah tangga di desa," ujarku lirih. Aku memainkan tali tas jinjing yang kuletakkan di atas pangkuanku. Kugenggam tali itu dan kuremas untuk melampiaskan rasa yang baru kali ini kudapatkan. "Pagi, Tante," sapa seorang wanita cantik dengan rambut disanggul modern khas pegawai bank. Ada sebuah logo yang terletak di d**a sebelah kirinya dan name tag di d**a sebelah kanannya. Aroma melati menguar sejak kedatangan wanita cantik itu. "Pagi juga," jawab perempuan di depanku itu. Mataku tak lepas dari wanita yang sedang mencium pipi perempuan paruh baya yang sedang menanyaiku ini. Kecupan bergantian di pipi kanan dan kirinya membuatku tak henti mengamati tingkah keduanya. Baru datang bukannya salaman dan mencium punggung tangan wanita paruh baya itu tetapi langsung cipika-cipiki. Ah mungkin ini kebiasaan orang kota saat baru berjumpa. "Aku bawain baju baru buat Kiaa. Aku sengaja mampir sebentar sebelum berangkat kerja, kangen sama bayi mungil, lucu nan menggemaskan itu," ujarnya sambil terkekeh. "Repot-repot aja. Langsung bawa masuk ke kamar. Kiaa lagi sama Papanya," jawab perempuan paruh baya itu. Mungkin Kiaa adalah bayi mungil yang tadi di bawa oleh Mas Risky. Aku hanya menebak karena ibu di depanku ini belum memperkenalkan bayi yang akan kuasuh. Tanpa menyapaku, perempuan yang k****a di name tag-nya bertuliskan Adinda itu langsung masuk ke dalam. Ia membawa satu paper bag besar di tangan kanannya sedangkan di tangan kirinya menenteng sebuah tas jinjing. Dari bahannya, sepertinya tas dan pakaian yang dipakai itu bukan barang murah. Karena aku tak pernah menemukan bahan yang sama di toko biasa aku membeli tas dan pakaian. Jelas saja, aku lupa bahwa mereka ini adalah orang kaya. Sedangkan aku hanya perempuan rumahan yang tinggal di desa dengan pekerjaan suami sebagai buruh pabrik. Bagiku pekerjaan Mas Yudha dulu sudah baik dan lumayan menyejahterakan kehidupan kami. Gaji yang diperoleh sudah lebih dari cukup untuk hidup di desa. Entah jika digunakan untuk hidup di kota dengan berbagai tren pakaian dan makanan kekinian. Mungkin tak akan cukup. Tunggu, papanya? Berarti bayi mungil dalam dekapan Mas Risky tadi adalah anaknya. Lantas siapa perempuan tadi? Mengapa menyebut perempuan di depanku ini dengan Tante? Kemana ibu bayi itu? Sayangnya aku hanya bisa menyimpan banyak tanya dalam hati saja. "Mari ikut saya ke dalam. Saya mau lihat bagaimana kamu memandikan cucu saya," ajaknya setelah Adinda berlalu dari hadapan kami. Mendengar permintaannya membuat aliran darahku kembali bergerak dengan cepatnya. Bagaimana tidak, di dalam sana sedang ada Mas Risky yang bisa saja membuat konsentrasiku untuk merawat bayi itu terpecahkan. Belum lagi badan yang gemetar tak menentu begini. Jelas ini mempengaruhi keluwesan tanganku dalam merawat bayi mungil itu. "Bismillah, ayo Sania, kamu bisa," ujarku menyemangati diri sendiri dalam hati. Langkah kakiku mengikuti pergerakan kaki milik perempuan paruh baya dengan dress selutut itu untuk masuk ke dalam rumahnya. Dilihat dari ruang tengahnya, rumah Bu Maria tampak besar. Tak banyak perabotan bececeran, semuanya tertata rapi dan bersih. Ada sebuah lemari berisi gelas dan benda-benda dari keramik yang tertata rapi di atas raknya. Di sebelah lemari itu terdapat sofa panjang menghadap televisi yang menempel di dinding. Mataku menyapu sekeliling sambil sesekali menatap punggung wanita tua itu agar tak kehilangan jejaknya. Ada sebuah foto yang menempel di ujung ruang tengah itu. Tampak wajah Mas Risky terpampang di dalam pigura itu beserta seorang perempuan berkebaya putih gading dengan rambut disanggul modern. Mataku sekilas menelisik wajah perempuan yang terbingkai di dalam pigura itu. Itu bukan wajah Adinda. Langkah kaki Bu Maria berhenti tepat di depan sebuah kamar. Aku pun mengekor di belakangnya menunggu ia membuka sendiri kamar yang hendak dituju. Badan Bu Maria terperanjat kaget saat pintu itu terbuka sedikit. Dari celah itu tampak sebuah adegan yang tak seharusnya dilihat orang lain. Tangan Adinda tepat berada di atas pundak Mas Risky dengan tatapan mata yang sarat dengan sebuah rasa. Pandangan itu bersambut. Tangan Mas Risky sudah berada di pinggang Adinda yang ramping. Suara derit pintu terbuka membuat Mas Risky dan Adinda reflek melepas gerakan tangannya. Ada rasa canggung saat kedua pasang mata itu melihat wajah dua wanita yang tengah berada di balik pintu ini. Aku pun terperanjat kaget melihat sepasang manusia di dalam kamar itu. Entah apa yang terjadi jika kami berdua tak membuka pintu itu. Tak usah ditanya bagaimana, dari pandangan mata keduanya saja sudah bisa dilihat bahwa ada rasa yang menggebu menuntut balas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN