Ku tak bisa menebak
Ku tak bisa membaca
Tentang kamu
Tentang kamu
Semua kisah itu bermula saat aku dan Jos masih duduk di bangku SD. Saat itu aku kelas 4 dan dia kelas 6. Namanya Jos Kristian. Pria paling dingin yang pernah ada.
Tatapan matanya begitu dalam dan cuek, bahkan aku tak berani bicara dengannya. Dengan badan yang tegap kosong, dia tidak begitu ideal bahkan sampai sekarang. Walaupun jarang bicara, tetap saja dia orang yang solid dan sosialis.
Awalnya aku tidak dekat sama sekali dengannya tidak sebelum dia mengajariku naik sepeda.
Jos bukan orang yang bisa ditebak sama sekali. Entah oeh siapa pun itu. Aku pun tak percaya bahwa orang yang bicara denganku adalah Jos.
Hari itu cuacanya sangat panas, Papa yang sangat tempramen terus membentakku sembari mendorong sepeda yang kunaiki.
"Kamu ini gimana sih! Orang lain udah pada tau naik sepeda pas kelas 1 SD masa kamu ngak bisa juga!" ujarnya dengan tubuh yang dipenuhi keringat.
Isak tangisku menjadi-jadi meskipun aku tau Papa tidak akan peduli.
"Permisi, Om." sapa Jos yang datang entah dari mana dengan sepapan telur ditangan kanannya.
"Kenapa?" Papa menolehkan padangannya pada Jos yang berdiri didepan sepeda yang bahkan jauh lebih besar dari ukuran badannya.
"Saya Jos, Om. Anaknya Pak Iwan. Tadi disuruh sama Bapak buat nganterin pesanan ke alamat ini."
"Oh, kamu anaknya si Iwan? Tadi duitnya udah saya transfer yah sekalian sama bon saya yang kemarin-kemarin."
"Iya, Om. Tadi Bapak udah bilang. Ini silahkan pesanannya, Om." Sepasang mata sipit itu juga tak lupa menatap kearahku yang tengah menangis sesenggukan.
Papa menerima telur itu lalu meninggalkanku dihalaman rumah.
"Dua jam lagi Papa kesini dan kamu masih belum tau naik sepeda, awas kamu yah!" Papa pergi dan tak mau tau. Selain itu aku juga tak tau apa yang harus kulakukan dan memang pada dasarnya aku tak tau bagaimana harus mengatur keseimbangan badan.
"Jangan nangis!" ucap Jos setelah bayangan Papa hilang di pintu itu. "Ayo ke lapangan! Aku yang ajarin."
Dalam posisi aku yang tak begitu sering dan bahkan terbilang tidak pernah sama sekali berbicara dengan Jos sebelumnya, hal itu cukup membuatku tak percaya.
"Emangnya kamu bisa ngajarin? Badan kita kan sama-sama kecil."
"Bisa sih, tapi aku pernahnya ngajarin adek aku yang TK. Kalo kamu yah, kita liat nanti aja!"
Entah mengapa aku sangat mudah percaya dengannya. Setidaknya ini adalah pilihan terakhir untuk menghindari Papa dua jam kedepan.
Kami berdua mendorong sepeda masing-masing sampai ke lapangan. Kelihatannya Jos kelelahan, karena sepedanya terbilang lumayan besar dibandingkan dengan badannya.
"Jadi gini, kamu harus bisa kayuh pedalnya terus tanpa turunin kaki sampe tiang yang itu." Dia menunjuk tiang yang kira-kira jauhnya 100 meter dari posisi kami berdiri.
"Tanpa turunin kaki?"
"Tanpa turunin kaki!" tegasnya.
"Nanti kalo aku jatuh, gimana?"
"Palingan juga kepala bocor. Yah kalo beruntung sih lututnya cuma berdarah aja." dengan santainya dia mengucap kalimat demikian dihadapanku yang benar-benar tidak terbiasa terluka.
Aku menatap Jos dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan. Antara ingin berlari dan meninggalkannya di sana tapi karena dia terdengar seperti psikopat namun aku juga takut pulang ke rumah.
"Aku naik, tapi kamu pegangin yah dari belakang!" mau tidak mau aku harus mau. Aku mulai menaiki sepeda itu dengan Jos yang selalu menjaga keseimbanganku di belakang.
"Naikin kakinya satu dulu! Jangan langsung dua-duanya. Ntar kalo pedal yang kanan udah dikayuh, baru kaki yang kiri dinaikin!"
Jos dengan sabar mengulangi kalimat yang sama bahkan hingga puluhan. Puluhan kali pula aku hampir jatuh sebelum akhirnya aku turun dari sepeda.
"Aaahhh..., Aku ngak bisa!"
Jos lalu berdiri tegap bertolak pinggang.
"Ya emang awal-awal pasti ngak bisa makanya kamu harus belajar terus-terusan! Intinya yah jangan takut."
"Sepedanya ketinggian." keluhku dengan alasan yang cukup masuk akal.
"Bukan sepedanya yang ketinggian, kamu yang kependekan!" Dia menatapku kesal. "Kamu naik lagi! Kita coba sampe bisa!"
Sore itu aku jatuh berkali-kali, namun Jos hanya berlebihan. Memang benar lututku berdarah namun kepala yang bocor hanya nasib sial saja.
Perlahan aku bisa. Akhirnya setelah 3 bulan belajar naik sepeda, aku bisa. Paling tidak untuk beberapa kayuhan kedepan. Sampai kami berdua tidak sadar ini sudah sore. Kami menghabiskan waktu sekitar 5 jam.
"Yuhuuu... Aku bisa!" Aku meloncat kegirangan dan menggenggam kedua tangan Jos. Dia tak tau kesenangan yang kurasakan namun tetap meloncat bersamaku.
"Sekarang kita pulang yah!"
Aku memandang Jos dalam gamang. Rasanya masih mau bersepeda beberapa putaran lagi meskipun aku belum lihai dalam urusan menghentikan sepeda dengan rem.
"Oh, iya. Ternyata udah jam enam sore." ucapku setelah menatap jam tanganku.
Senang bukan karuan menemani perjalanku pulang dengan Jos. Namun kami berdua masih mendorong sepeda karena dia tidak mengizinkanku naik sepeda sepanjang jalan yang kami lalui. Dia takut terjadi hal yang tidak-tidak karena dia bertanggung jawab penuh atas hal ini.
"Kamu adeknya Elena, kan?" tanya Jos sekedar basa-basi.
"Tau darimana?"
"Ya tau lah. Kelas Elena kan sebelahan sama kelasku."
"Iya juga sih." gumamku.
"Nama kamu siapa?" Aku menatap Jos tersipu. Memangnya namaku sepenting itu?"
"Elisabeth." jawabku singkat meskipun sebenarnya aku ingin bilang banyak hal atau paling tidak bertanya balik.
"Oh, aku Jos. Jos Kristian. Biasanya dipanggil Tian, kadang juga dipanggil Jos. Ya kata Papa sih ngak masalah, asalkan jangan dipanggil Tuhan."
Aku tertegun beberapa detik untuk memahami jokes yang Jos lontarkan.
"Memangnya nama Yesus juga Jos Kristian?"
"Hah?" sama bingungnya denganku. Jos menggaruk kepalanya sebelum akhirnya tertawa terbahak-bahak. "Kamu lola juga yah!"
"Kan aku tadi udah bilang, nama aku Elisabeth bukan Lola."
Akhirnya dia lebih memilih menjelaskan apa yang dia maksud daripada kecepatan otakku yang hanya 2G makin membuat onar.
"Maksudnya dipanggil Tuhan itu, itu artinya bukan nama. Maksudnya tuh kalo dipanggil Tuhan artinya meninggal."
"Ohhh.., gitu. Kirain tadi nama kamu Tuhan." demi apapun aku sangat malu namun bertingkah seakan itu biasa saja. "Terus Lola itu siapa?"
"Lola itu artinya loading lama."
Detik itu juga dunia seakan berputar dalam mode slow motion. Benar saja ini memalukan. Sangat.
Namun meskipun begitu, setidaknya aku tau Jos itu bukan tipe orang yang tidak mau tau. Buktinya dia masih mau mengajariku naik sepeda.
Langkah kaki kami berpisah di simpang menuju rumah masing-masing. Aku harus belok ke kanan sementara Jos harus berjalan lurus.
Itu kali pertama aku bisa bercengkrama dengan Jos si orang cuek.