PART. 3 DILAMAR WANITA TAK DIKENAL

1032 Kata
Setelah salat subuh bersama kedua ibu di ruang tengah. Gafi kembali ke dalam kamar. Dilepas pakaian yang dikenakan saat salat tadi, menyisakan celana pendek saja, kemudian ia ke luar kamar lagi. Gafi ke kamar mandi. Menyiapkan air untuk memandikan Aulia. Bu Fatma sudah memasak air untuk mandi menantunya. Gafi ke dapur dengan membawa ember. Dituang air panas di dandang ke dalam ember. Lalu dibawa ember ke dalam kamar mandi. Air panas dicampur dengan air dingin di dalam sebuah bak panjang dari plastik. Setelah itu, Gafi ke dalam kamar tidur. Bu Dini sudah melepas apa yang melekat di tubuh putrinya. Mata Aulia terbuka, namun tatapannya hampa. Gafi membopong tubuh kurus istrinya. Bu Dini mengikuti langkah Gafi menuju kamar mandi. Gafi memasukkan tubuh istrinya ke dalam bak mandi panjang, dan besar yang berisi campuran air panas, dan air dingin tadi. Kepala, dan sebagian punggung Aulia, ditahan dengan lengannya. Bu Dini yang menggosok dengan sabun, dan menyiram tubuh Aulia. Dari rambut, sampai mata kakinya. Meski perutnya masih terasa sakit, tapi Bu Dini tidak ingin mengeluh. Ia tak ingin menambah beban hidup Gafi dengan keluh kesahnya. Setelah selesai memandikan Aulia. Bu Dini menyeka tetes air dari rambut, dan tubuh putrinya. Lalu Gafi membopong Aulia kembali ke dalam kamar. Dibantu Bu Dini untuk mengenakan pakaian Aulia. Bu Fatma masuk dengan membawa bubur untuk makan Aulia. Punggung Aulia disandarkan ke d**a Gafi. Bu Dini yang menyuapi, sementara Bu Fatma menyiapkan sarapan mereka. Rutinitas sama yang mereka lakukan setelah salat subuh. Begitu setiap harinya. Setelah Aulia selesai sarapan, ia kembali dibaringkan. "Mas mandi dulu ya, Sayang." Gafi mengecup kening Aulia. Lalu beranjak mengambil handuk di balik pintu, sebelum ke luar kamar, dan menuju kamar mandi. *** Hasil pemeriksaan Bu Dini sangat mengejutkan bagi mereka. Bu Dini menderita usus buntu, dan harus segera dioperasi. "Fi, uang darimana?" "Kita tidak perlu bayar, Bu." "Biaya rumah sakit tidak bayar, Fi. Tapi Ibu takut ada biaya lainnya. Apa lagi Ibu tidak jualan." "Ibu tidak usah memikirkan hal itu, Bu. Biar itu jadi urusan saya. Sekarang Ibu tenang, jangan terbebani oleh pikiran apapun. Yang penting ibu sehat." "Ya Allah, Fi. Maafkan Ibu, sangat menyusahkan kamu." "Ibu, jangan bicara begitu. Seorang anak pasti akan memberikan yang terbaik bagi orangtuanya." Bu Dini terisak pelan. Tak ada lagi yang bisa ia katakan, selain bersyukur memiliki menantu sebaik Gafi. "Ibu akan telepon Ardi, mungkin dia bisa membantu, Fi." "Tidak usah, Bu. Kehidupan mereka di sana juga belum mapan, mereka juga masih berjuang. Ibu jangan pikirkan masalah biaya, biar itu jadi tanggungan saya." "Fi ...." Air mata jatuh di pipi Bu Dini. "Bu, jangan menambah pikiran Ibu. Fokus pada kesembuhan Ibu saja." Kepala Bu Dini mengangguk. Banyak yang ingin diungkapkan, namun tak mampu untuk diucapkan. *** Malam ini, Gafi kembali membawa mobil milik Pak Haji Agus. Karena ada tarikan dari aplikasi online berlogo hijau. Gafi menjemput seorang wanita dari sebuah restoran tak jauh dari kediamannya. Gafi yakin, wanita itu orang yang sama dengan yang memberinya uang seratus ribu waktu itu. Titik jemput, dan antarnya juga sama. Yang membuat Gafi terkejut, wanita itu duduk di sampingnya. "Jalan ...." ujar suaranya yang terdengar lirih. Gafi menatap lurus ke depan. Tak berani menoleh barang sebentar. Pakaian si wanita terlalu terbuka menurutnya. "Stop!" Gafi tersentak, si wanita memegang lengannya. Gafi menepikan mobil. Tapi, tatapannya tetap lurus ke depan, ia tak ingin menolehkan kepalanya. "Sudah punya istri?" Tanya wanita itu mengejutkan Gafi. Karena terkejut dengan pertanyaan si wanita, Gafi menolehkan kepala. Hanya sesaat, Gafi kembali menatap ke depan. "Sudah," jawab Gafi singkat, sambil menganggukkan kepala. "Sudah punya anak?" Wanita itu kembali bertanya hal yang mengejutkan "Pernah," jawab Gafi jujur. Jawaban yang terlontar begitu saja dari mulutnya. "Maksudnya pernah?" Wanita itu menoleh untuk menatap Gafi. "Anak saya meninggal saat dilahirkan." Gafi kembali menjawab dengan sangat jujur. "Jadi sampai sekarang belum punya anak lagi?" "Belum." Kepala Gafi menggeleng. "Kenapa?" "Istri saya sakit, tidak bisa mengandung lagi," jawab Gafi. Gafi tidak mengerti kenapa ia bisa menjawab sejujur itu pada orang yang baru dikenal. "Ini mobilmu?" "Bukan, saya hanya supir." "Mau uang banyak?" "Hah!?" Gafi kembali menoleh, karena terkejut. Pertanyaan wanita itu sangat mengejutkan baginya. Gafi menoleh untuk membalas tatapan si wanita. Gafi tidak bisa memastikan berapa usia wanita yang duduk di sampingnya. "Saya butuh seorang pria, untuk memberi saya keturunan." Ucapan si wanita kembali mengejutkan Gafi. "Maaf, saya tidak mengerti apa maksudnya." Gafi mengerutkan kening. Ia benar-benar tidak paham maksud si wanita. Si wanita melempar pandang ke depan. "Usia kamu berapa?" "Empat puluh tahun." "Empat puluh?" Wanita itu kembali menoleh untuk menatap Gafi. "Iya." "Hmmm ... terlalu tua bagi saya, tapi tak masalah. Apa kamu bersedia menanamkan benihmu di rahim saya. Saya akan bayar kamu dengan harga tinggi." "Apa!?" Gafi terkejut luar biasa. "Maaf, saya memang butuh uang, tapi saya tidak akan menggadaikan diri demi uang, dalam sebuah perzinahan." Wanita itu tertawa. "Saya tidak sedang mengajak kamu berzinah, Om Tua! Jangan menilai saya dari dandanan saya. Saya memang wanita modern, tapi saya masih tahu batasannya." "Maaf, apapun itu, saya tidak bisa melakukannya. Sebaiknya, saya antar Nyonya ke tujuan." "Menikahlah dengan saya, maka saya akan memberikan kehidupan yang lebih baik untukmu, dan keluargamu." "Maaf, jawabnya tetap tidak." Gafi menyalakan mesin mobil, lalu menjalankan mobil menuju titik antar. Wanita di sebelahnya hanya diam saja. Gafi jadi penasaran jadinya. Setelah hal tidak masuk akal yang tadi diucapkan, wanita di sebelahnya bisa sesantai itu. Bahkan wanita itu tidak bicara lagi sampai di tujuan. Diserahkan uang seratus ribu pada Gafi. "Tidak usah kembali. Selamat bertemu lagi, Om Tua Gafi." Wanita itu menutup pintu mobil. Dia masuk melewati pintu pagar yang terbuka. Ini kedua kali Gafi mengantarkan sang wanita ke rumah mewah ini. Gafi jadi bingung. Kalau ini rumah si wanita, pasti orang kaya yang memiliki mobil sendiri, tapi kenapa sering menggunakan taksi online. 'Untuk apa dipikirkan, Fi. Itu bukan urusanmu. Mungkin wanita itu sedang setengah mabuk, sehingga bisa menawarkan hal tidak masuk akal padamu.' Gafi menggelengkan kepala. Tak ingin ucapan wanita itu jadi pikirannya. Meski rasa penasaran ia rasa, karena ada seorang wanita, yang mau membayar, asal seorang pria bisa menanamkan benih di rahimnya. 'Huh! Dunia semakin edan. Eh, bukan dunia yang edan, tapi manusia yang jadi penduduk dunia ini. Entahlah, apa yang dipikirkan wanita itu, sehingga bisa terlontar tawaran sepertu tadi. Mungkin dia stress!' BERSAMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN