1. A Night At The Club

2147 Kata
Nighty Boom Room, New York 11.05 PM __________ Dentuman musik EDM menggema di lantai 18 sebuah hotel mewah di New York. Sebuah kelab malam Nighty Boom Room merupakan tempat para eksekutif, model, desainer, selebriti dunia dan tak lupa para miliarder kaya raya. Seolah tempat ini hanya di khususkan bagi mereka — kaum kalangan kelas atas. Tempat mewah, desain lush dari gabungan kayu gelap dan kursi yang disepuh dengan sofa retro putih menjadi tempat duduk paling menyenangkan untuk menghabiskan malam sambil memandangi berbagai bentuk tubuh dalam balutan gaun malam yang terlanjur seksi. Keluar dari dalam lift, berjalan dengan gaya memukau, menyusuri koridor hingga berhenti di depan pintu masuk. Memandang indah deretan manusia yang tengah asik bersantai di dalam kelab malam paling terkenal di New York. "Wow ... welcome to the party damn boy!" gumam salah satu dari mereka. Kelab malam merupakan tempat melepas lelah bagi empat orang pria muda kaya berjuluk Adonis. Penat pekerjaan dan masalah hidup membuat keempatnya memilih night club sebagai pelarian untuk mendapatkan hiburan.Seperti yang mereka lakukan malam ini. "Hei, Darren ... c'mon, kamu butuh sesuatu untuk menghilangkan depresimu." Seorang pria berparas Eropa, menarik cepat satu sisi pundak temannya kemudian menepuk sebanyak dua kali sekadar untuk memberi semangat pada pria pemilik mata biru bernama Darren McKenzie untuk sedikit memberikan ekspresi di raut wajahnya yang terlampau suram. "Get away from me!" geram Darren. Pria bermata biru itu mengempas pelan tangan yang baru saja merangkulnya dari samping. Lantas pria itu memberi tatapan sinisnya kepada si pria Eropa yang hanya berniat menghiburnya. "Darren, demi Tuhan! Kau terlihat seperti zombi. Bukan begitu, Joon?" Aaron masih berucap. Kali ini dia melirik ke belakang pada pria berparas Asia yang sedang berdiri dengan raut wajah tegas dan kaku. "Apanya?" tanya Joon. Benar-benar tak ada ekspresi di wajah itu. "Ck!" Aaron berdecak kesal. Dia memutar pandang menatap pria di samping Seo Joon, tapi pria itu tidak memberi ekspresi apa pun pada Aaron. Lantas pria Eropa itu mendengkus. Sementara Kim Seo Joon tampak sibuk, kali ini mulai mengedarkan pandangan menatap ragu-ragu sekelilingnya. Tingkah pria Asia itu seperti baru pertama kali memasuki kelab malam, padahal hampir setiap akhir pekan mereka menghabiskan waktu di tempat ini. Kecuali beberapa minggu terakhir, oleh karena mereka tengah berduka, sebab salah satu teman mereka mengalami patah hati hebat hingga hampir depresi. Aaron memberi isyarat dengan matanya kepada dua orang pria yang sejak tadi mengekorinya dari belakang sambil matanya memberi isyarat menunjuk ke arah Darren. Satu kode kecil, berharap dua temannya bisa menegur pria yang berlagak jadi manusia paling dingin di dunia. "Oh, iya. Dia benar, Bung!" Salah satu dari mereka menyahut, akan tetapi dia bukan Seo Joon. "Lihat, Jonathan saja mulai menyerah dengan sifatmu." Aaron lanjut menasihati Darren. Hal itu sontak membuat Darren memutar tubuhnya dan berbalik. Pria bermata blue ocean itu menatap Jonathan dengan tatapan sinis. "Apa itu benar, Jo?" tanya Darren. Tidak ada nada mengancam di sana, tapi sorot mata Darren cukup menggambarkan perasaan tersinggungnya. "Kau tahu Aaron punya lidah provokatif, kan?" Jonathan mengutarakan isi hatinya. Sangat paham bagaimana sifat pria Eropa yang hampir menjadikannya kambing hitam. Senyum iblis di wajah Aaron ketika dia mendapati Darren tengah kesal menanggapi ucapan Jonathan. Pria itu masih sempatnya melakukan trik lama, padahal dia tahu bagaimana kondisi mental dari pria bermata biru di sampingnya. "Okay ... here we are ...." Aaron melempar bokongnya pada salah satu sofa kemudian dia memutar tubuh. Sementara tiga pria di belakang, menyusul Aaron dan ikut bergabung dengannya. Mereka duduk di sofa berbentuk melingkar. Spot paling menarik selain lantai dansa. Aaron menaikkan kedua lutut di atas sofa. Dia berbalik. Melambaikan tangan, menarik perhatian seorang pelayan bar yang terlihat tengah menganggur di depan lounge bar. Aaron memberi kode dengan jari telunjuknya, memanggil gadis yang tengah bersandar di salah satu bar stole. Gadis yang menerima isyarat itu pun segera menghampiri mereka. Terlihat langkah kaki gadis tersebut begitu ragu dan kaku. Sepertinya gadis itu tidak betah dengan hak tinggi yang menempel pada dua kakinya. Ia hampir saja tersandung, syukurlah tangannya sempat meraih sandaran kursi. Gadis itu menegakkan tubuhnya. Berdiri sambil memandang Aaron Travis yang telah memanggilnya. "Bawakan kami margarita," ucap Aaron. "Aku bloody marry," tambah Jonathan. "Seo Joon apa kau seperti biasa?" tanya Aaron menatap pria jangkung yang masih sibuk mengedarkan pandang ke sekeliling bar. "Kim Seo Joon!" panggil Aaron sedikit menaikkan nada. "Hem ... cola saja, tambahkan es batu," sahut pria itu. Lesung pipinya muncul saat sepertinya manik cokelat gelapnya menangkap sesuatu di bawah sana. Di lantai dansa. "Cih! mocktail lagi? Kapan kau jadi lelaki sungguhan, hah?" Aaron berkata sambil menatap dengan tatapan mengejek pada pria yang sedang duduk di depannya. Senyum Kim Seo Joon pudar saat mendengar ucapan Aaron. Perlahan, pandangannya berputar menangkap manik hazel yang baru saja mengejeknya. "Secara harafiah, kejantanan seorang lelaki tidak dinilai dari seberapa kuat dia mampu meminum alkohol, atau seberapa kuat dia bisa bertahan untuk tidak mabuk setelah mengkonsumsi alkohol dalam jumlah banyak. Namun, sifat gentleman seorang lelaki dilihat dari sikap dan caranya berpikir." Penjelasan Kim Seo Joon sangat mendasar. Bahkan dengan nafas yang stabil dan raut wajah santai. Oke, dia mulai mengaitkan omong kosong Aaron dengan cara berpikirnya yang kritis. "Astaga ...." Jonathan bergumam. Pria Indonesia itu memutar bola mata sambil menggeleng pelan. Dalam hati dia bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini. Seorang pria berpikiran logis seperti Kim Seo Joon dan seorang lagi memiliki pikiran provokatif seperti Aaron Travis. Oke ... sepertinya akan mulai perbincangan panjang setelah ini. Jonathan hanya berharap bloody marry-nya cepat sampai. "Oh ya?!" Aaron bertanya dengan wajah sinis. "Itukah sampai sekarang kau masih betah menyendiri? Pernah coba berkencan? Semestinya dengan kriteria seperti itu, mindset yang bagus dan kau termasuk klasifikasi pria menawan, apa kau pernah menggunakan kenjantananmu pada seorang wanita?" "Tu -" Seo Joon menunjuk ragu pria di depannya. Kening pria itu mengerut disusul perubahan raut wajah kesal. "Apakah kau perlu tahu?!" Seo Joon lalu memalingkan wajah. Tidak bisa dipungkiri Aaron benar-benar membuatnya tersinggung. Dan Aaron sangat berhasil membuktikan talenta mulut provokatif-nya. "Cih ...." Aaron menggeleng pelan. Membawa punggungnya ke belakang kemudian menaruh kedua tangan di sandaran kursi. Selanjutnya pria Eropa itu memangku kakinya. "Dilihat dari penampilanmu, tidak mungkin jika kau pernah mengencani seorang gadis." Seo Joon kembali memutar pandang menatap pria di depannya. Senyum sinis di wajah pria Asia itu kemudian disusul decihan kesal. "Setidaknya aku tidak sembarangan mengencani gadis. Tak seperti seseorang yang terlalu gemar meniduri wanita di ranjang, tapi tak satu pun yang sanggup dibawanya ke altar pernikahan," ucap Seo Joon sarkastik. "Sshht!!" Jonathan menyikut kasar lengan Seo Joon sambil menatap tajam pria itu. Seo Joon tidak bisa memahami isyarat itu. Bahkan ketika Jonathan melotot sambil berusaha menunjuk pandangannya ke arah pria bermata biru yang kini tengah menunduk sambil mengepalkan dua tangannya, Kim Seo Joon masih terlalu lambat untuk bisa mengontrol ucapannya. "Maaf Darren aku tidak bermaks-" "Sshht, diamlah ...." Kali ini Jonathan mencoba menyumbat bibir pria Korea itu. Astaga ... dasar Seo Joon, manusia paling tidak peka. Bisa-bisanya dia memperjelas situasinya di saat pria McKenzie itu tengah benar-benar tenggelam dalam keterpurukkan. Darren mengangkat wajah. Manik sebiru laut itu melempar tatapan. Menatap dua pria Asia di sampingnya. Tatapan kosong tak berarti namun tetap terlihat mengerikan. Tajam, seperti singa yang siap melahap lawan. "Bisakah kalian diam?" Suara berat itu sontak membuat teman-temannya terdiam dan mulai saling melempar tatapan seolah saling menyalahkan satu dengan yang lain. Darren lalu mendongak. Manik biru itu kini bertabrakan dengan sepasang iris cokelat yang sedari tadi memandangi mereka. Dia gadis yang sejak tadi berdiri menunggu pria-pria ini menyelesaikan perdebatan mereka. "Ada lagi pesanan Anda, Tuan?" tanya gadis itu. Berusaha sedapat mungkin untuk terlihat sabar. Dia perlu itu. Walaupun semenit yang lalu gadis itu tiada henti mengumpat dalam hati. Persetan pria-pria ini. Aaron tiba-tiba memutar tubuh. "Astaga ...." Pria itu seolah menyadari sesuatu. Iya, dia baru sadar jika dia tengah membuat seorang pelayan bar menunggu. Perdebatan antara Seo Joon dengannya membuat Aaron lupa jika dia hendak memesan minuman. "Irish Bomb," ucap suara bass berat di samping Aaron, dia adalah Darren. "Margarita, bloody marry, cola dengan es batu, dan Irish bomb." Gadis itu mengonfirmasi pesanan walau tak ada dari keempat pria itu yang menyahut. Gadis itu memilih untuk pergi dan segera ke bar untuk mulai menyiapkan pesanan. Sementara di tempat duduk berbentuk bundar, suasana mulai terasa membosankan. Aaron mengedarkan pandang menatap sekeliling lalu dia menemukan sesuatu yang sekiranya akan menghibur mereka malam ini. Seringaian muncul di wajahnya saat pria Travis itu mengangkat ibu jari dan jari tengahnya, memanggil sekelompok gadis bertubuh molek dengan pakaian seksi yang tengah asik bersantai di depan meja bar. Para gadis itu tentu tahu siapa pria yang tengah memberi kode itu. Mereka juga bukan gadis-gadis sembarangan. Mereka para model dan mereka jelas tahu siapa keempat pria yang tengah duduk dengan aura maskulin dan jantan yang terlampau terlalu gemilang di antara kemerlap lampu di dalam sini. Ada tiga gadis di sana. Mereka saling melempar tatapan kemudian akhirnya memutuskan untuk mulai mengambil langkah. Berjalan dengan penuh percaya diri sambil menonjolkan lekuk tubuh yang indah itu. Ujung atas bibir Aaron terangkat makin memamerkan seringaian. Matanya melahap rakus bagian tubuh yang tidak tertutup kain sutra itu. Aaron merentangkan tangan saat ketiga gadis itu kini tengah berada di antara mereka dan dua di antaranya langsung memarkirkan b****g mereka di kedua sisi paha milik Aaron Travis. "Hai," sapa salah seorang dari gadis-gadis itu. Dia yang tidak mendapat tempat di tubuh Aaron lalu memilih untuk duduk di samping Darren yang sejak tadi hanya menatap ke bawah. Darren McKenzie seolah tak peduli dengan makhluk seksi yang sedang duduk sambil memamerkan paha mulus berwarna cokelat di sampingnya. Pikirannya masih hanyut. Tenggelam pada sesuatu yang baru saja menimpa dirinya. "Hei, listen. Bagaimana kalau kita taruhan malam ini?" tanya Aaron. Tak ada satu pun dari mereka yang ingin menyahut ucapan Aaron. Hal itu mengundang decak kesal darinya. Sementara dua gadis yang tengah menggeliat di atas pahanya mulai memperlihatkan ketertarikan mereka pada pria adonis itu. Tangan lihai para gadis itu mulai mengelus pelan belakang kepala Aaron sementara yang lainnya mengelus d**a bidangnya. "Bagaimana dengan ferrari?" Aaron berusaha menarik perhatian namun, itu masih tak cukup untuk membuat teman-temannya bergeming. "Ayolah ...." Aaron melayangkan kedua tangan ke udara sambil memutar bola mata. Otaknya tiba-tiba memberi ide yang kemudian disambut Aaron dengan antusias. Dia menarik tubuh dari sandaran kursi, membuat dua gadis di atasnya terpaksa harus berdiri, tapi tetap menjaga kedekatan dengan pria itu. Mereka duduk di samping Aaron sementara Aaron menaruh dua siku tangannya bersandar di atas paha. "Ferarri F60 ditambah sebuah kondo di Manhat-" "Oke, setuju." Yang pertama menyahut adalah Seo Joon. Jonathan sampai harus rela melebarkan matanya. Tidak disangka, Kim Seo Joon seorang yang berpikiran paling kritis di antara mereka semua akhirnya termakan ucapan Aaron. Jonathan memutar pandang ke depan, mendapati Aaron kini tengah menikmati senyum iblisnya. "Joon, really?" Jonathan mencoba mempertanyakan keputusan Seo Joon yang seolah tak berpikir panjang. Seo Joon berdehem. Memangnya siapa yang mau menolak Ferarri f60? Mobil yang hanya diproduksi sebanyak sepuluh unit -limited edition- dan semua kolektor otomotif tengah memburunya. Aaron Travis adalah salah satu dari sepuluh orang yang berhasil memarkirkan mobil pabrikan Italia di Amerika Serikat itu, masuk ke garasi pribadinya. "Kenapa? Hadiahnya lumayan," jawab Seo Joon dengan wajah datar. Kim Seo Joon seolah melupakan perdebatannya dengan pria Eropa itu semenit yang lalu. Di pikirannya hanya ada mobil sport berwarna biru metalik milik Aaron Travis. Ditambah sebuah kondominium yang dia sendiri tahu persis di mana tempatnya. Aaron Travis terkekeh sinis setelah mendengar jawaban Seo Joon. "Bagaimana denganmu, Kusuma?" Aaron menyebut nama belakang Jonathan sambil memandang dengan tatapan menantang pada pria Indonesia itu. "Kau tidak mau kondo? Ferrari lebih keren dari jaguar tua milikmu. Lanjut Aaron, mencibir. "Aku tambah dengan Rolex watch keluaran terbaru. How?" Jonathan menarik napas panjang. Oke, Aaron kembali menyerang personalnya. Beruntung kali ini dia tidak sampai menyebut kelas dan kasta. Jonathan hampir terbiasa dengan sindiran halus itu. "Terserah padamu," jawab singkat dari Jonathan. "Ba-" Ucapan Aaron terhenti saat melihat bagaimana Darren masih terus memandang lantai di bawahnya. "Ah ... pria ini sedang berbicara dengan alam bawah sadarnya," cibirnya. Aaron menatap iba temannya itu sambil berdecak kesal. "Kalau begitu katakan taruhannya," ucap Kim Seo Joon. Dia mulai tidak sabaran. "Begi-" "Minuman Anda, tuan-tuan." Lagi-lagi ucapan Aaron harus terhenti saat gadis pelayan bar kembali menghampiri mereka. Jalannya sangat hati-hati. Sepertinya dia tidak betah memakai sepatu hak tinggi. Dan memang dia terlihat sangat tidak nyaman dengan hak setinggi 17 sentimeter itu. Perlahan-lahan gadis itu menaruh satu per satu minuman dari nampan, selanjutnya dipindahkan di atas meja. Gadis itu pikir dia sudah sangat hati-hati bahkan terlalu hati-hati. Ini pertama kalinya dia membawa nampan berisi minuman dan ada empat gelas yang dipikirnya sangat mudah memindahkan benda itu. Dia terus berpindah membawa gelas demi gelas ke pemiliknya. Sampai pada gelas ketiga berisi bloody marry, gadis itu masih bisa mengontrol getaran tangannya, akan tetapi saat memegang gelas terakhir berisi Irish bomb, tangannya terlalu berkeringat dan lebih sial lagi saat kaki kirinya tanpa sengaja mengait kaki kanannya saat dia hendak melangkah dan akhirnya .... "Astaga!" "Hei ...." "What the f**k!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN