"Lo kenapa pucet gitu?"
Gina yang baru saja duduk di samping Sheila memandang lekat wajah yang terlihat jelas memaksa untuk tersenyum. Sheila menggeleng pelan. "Gue gak apa-apa kok. Lagi kambuh aja maag gue. Ini juga udah minum obat, bentar lagi pasti mendingan."
"Lo gak makan apa gimana?" Gina mengeluarkan tumblr berisi teh manis hangat dari totebag-nya kemudian menyerahkan pada Sheila. "Minum gih."
"Thanks."
Gina mengangguk pelan. Perempuan itu akan mengalihkan pandangannya setelah Dina, seorang perwakilan kelas mereka tiba-tiba saja berdiri di depan Kelas tampak ingin memberi pengumuman. Gina mengingat sesuatu. "Sil, jangan bilang lo nungguin Yuda lagi?"
"Hm?" Sheila memutar tutup tumblr kemudian mengembalikan pada Gina setelah itu menatap ke depan memperhatikan Dina. "Kayaknya Bu Sri gak masuk lag—"
"Sil." Gina berdecak keras membuat dua orang di depannya menoleh ke belakang, tapi perempuan itu mengabaikan mereka. "Lo emang seharus itu ya nungguin Yuda pulang? Sampai berjam-jam, sampai lo gak makan?"
"Bukan git—"
"Gina, Sheila bisa minta perhatiannya sebentar?" kata Dina menginterupsi pembicaraan mereka. Sheila mengangguk sambil tersenyum canggung sementara Gina menopangkan dagu tanpa merespon apa-apa.
Lima menit setelah Dina menyelesaikan apa yang perlu disampaikan dan mereka akhirnya membentuk kelompok diskusi. Sheila satu kelompok bersama dengan Gina dan Faisal yang akrab dipanggil Ical
"Jadi... mau bagi tugas apa gimana?" tanya Ical memecah keheningan.
"Terserah," jawab Gina ketus.
Ical menatap Gina sejenak kemudian mengalihkan pandangannya pada Sheila. "Lo gimana Sil?"
"Bareng aja ya? Lagian Bu Sri suka tanya random. Daripada ntar lo ditanya bagian gue terus lo gak paham. Percuma kan?"
Ical mengangguk-anggukan kepalanya. "Oke. Kita omongin kapannya... kapan-kapan aja gimana?" Ical melirik Gina sejanak. "Kayaknya lo berdua lebih perlu ngobrol."
Sheila tersenyum canggung. Gina memang tidak pandai menyembunyikan ekspresi wajahnya— atau lebih tepatnya perempuan itu sama sekali tidak berusaha. Terlebih lagi jika merasa kesal membuat siapa saja merasa canggung berada di sekitarnya.
"Gue balik, ntar kabarin gue ya Sil... Gin."
***
Kantin Universitas Gharda bagian barat jauh lebih tenang dibanding bagian timur yang dikuasai anak Fakultas Teknik. Sementara Sheila dan Gina yang berasal dari Fakultas Ekonomi Bisnis memilih untuk berjalan memutar sedikit jauh dan makan di Kantin barat. Sebagai mahasiswi semester empat, mereka sudah hapal betul jam-jam ramai Kantin timur.
Sheila memesan bubur untuk menu sarapannya yang kedua karena tadi pagi-pagi sekali ia sudah pergi ke depan membeli nasi uduk. Kali ini ia berusaha memenuhi asupan perutnya, siapa tahu nanti siang ia melewatkan makan lagi.
Sheila menatap Gina yang menuang sambal ke mangkuk buburnya. "Na... bukan Yuda kok yang nyuruh gue—"
"Paling enggak lo bisa mikir, kan?" sela Gina kemudian menyuapkan satu sendok bubur dengan kacang kedelai, ayam suwir di atasnya. Tangannya bergerak mencomot kerupuk lalu duduk bersandar menatap Sheila yang menunduk mengaduk buburnya. "Yuda tau kalau lo nunggu selama itu?"
"Enggak," jawab Sheila terlihat mulai tidak nyaman dan ingin menghindari pembicaraan perihal Yuda. "Toh gue gak apa-apa."
"Gak apa-apa gimana?"
"Na, udahlah."
"Udah gimana?" Gina melipat tangannya di atas d**a. "Hubungan lo sama Yuda itu toxic tau nggak?"
"Na, please. Lo bisa nggak ngertiin gue sek—"
"Oh gue sangat ngerti!" Gina tiba-tiba saja menaikan nada bicaranya hingga beberapa orang di sekitarnya mulai menatap mereka penasaran.
Gina menghela napas kasar perempuan itu meraih totebagnya kemudian segera berdiri dan disambut dengan dengusan dari Gina. "Inget Sil," kata Gina menahan Sheila. "Hubungan lo sama Yuda aja gak jelas arahnya ke mana."
Sheila segera beranjak pergi sebelum semuanya semakin rumit dan ia tidak ingin bertengkar dengan Gina.
Sheila berjalan tanpa tahu arah tujuan. Ia hanya berjalan lurus hingga tahu-tahu sampai di Kantin timur. Suara riuh ramai, tertawa lepas, cekikikan di mana-mana membuat insting perempuan itu memerintahkan untuk segera menjauh. Ia masuk ke dalam
Gedung Perkuliahan Bersama, secara otomatis Sheila langsung menjatuhkan tujuannya pada Perpustakaan.
Sheila masuk ke dalam lift, menekan tombol angka tiga kemudian menggeser badannya ketika beberapa orang mulai ikut memasuki lift. Sheila berdiri lift paling ujung bersandar di sana lalu diam-diam menghela napas panjang.
"Hubungan lo sama Yuda aja gak jelas arahnya ke mana."
Sheila memejamkan mata. Hubungannya dengan Yuda sudah berjalan semenjak Sheila masuk ke sekolah menengah atas yang sama dengan Yuda. Terhitung sudah lima tahun Sheila bertahan dengan hubungan tanpa status. Semua teman-teman Sheila yang tahu cerita mereka memiliki pendapat yang sama.
Putus.
Kalau memang masih ada kata putus dalam hubungan mereka.
"Lo... ceweknya Yuda bukan?"
Sheila membuka matanya, menatap seorang laki-laki jangkung yang berdiri di samping sambil menunduk untuk menatap Sheila.
"Iya kan?" kata laki-laki itu lagi.
Sheila menyipitkan mata, perempuan itu seketika segera menegapkan badan setelah mengingat siapa yang berdiri di sampingnya sekarang. Ketua Primrose. "Kak Lando kan?"
"Oh lo tau gue?"
Sheila tersenyum tipis. Siapa juga yang tidak tahu laki-laki yang selalu menjadi cinta pertama mahasiswa baru. "Tau dong, Kak. Kan sering liat."
Lando mengangguk-anggukan kepalanya. "Hm... lo mau ke Kelas Yuda juga?"
Sheila menggeleng bersamaan dengan itu pintu lift di Lantai tiga terbuka. "Enggak Kak, gue mau ke Perpustakaan. Gue duluan ya Kak?"
"Oke. Hati-hati."
Sheila tersenyum tipis pada Lando kemudian berjalan keluar lift menuju ke Perpustakaan yang berada tepat beberapa meter di depan lift. Perempuan itu masuk ke dalam Perpustakaan menuju rak bagian ekonomi dan bisnis.
Jari Sheila menulusuri satu per satu buku yang tersusun rapi. Ia berniat menyibukan diri mencari referensi untuk tugas kelompoknya daripada terjebak dengan pikirannya sendiri.
"Sheila?" panggil seseorang setengah berbisik.
Sheila menoleh ke belakang, sedikit terkejut mendapati Ical duduk di salah satu meja dengan laptop menyala juga tiga buku yang ditumpuk menjadi satu di sampingnya. Sheila tersenyum kemudian bergabung dengan Ical setelah menarik kursi dengan hati-hati.
"Lagi ngerjain tugas Cal? Atau..."
"Referensi kelompok kita," kata Ical sambil menunjuk tiga buku.
Sheila tiba-tiba merasa tidak enak hati. "Yah... lo sendiri kan yang bilang kalau ngerjainnya barengan aja?"
"Mumpung ada waktu, Sil. Takutnya gue gak bisa waktu lo pada bisa."
Sheila mengangguk-anggukan kepalanya mengerti sebab Ical memang memiliki memiliki beberapa pekerjaan sampingan di luar jadwal kuliah. "Lo masih ngeband?"
"Masih."
"Perform di mana?"
"Paling ya Kafe-Kafe Sil, kenapa mau nonton gue?"
Sheila tersenyum. Kali terakhir ia menonton Ical berada di atas panggung dengan drum-nya adalah ketika malam inagurasi kampus. Di mana Ical membentuk grup band dadakan untuk mewakili Fakultas. Ajaibnya Band tersebut masih bertahan hingga sekarang.
"Emang kapan mau manggung lagi?"
"Nanti malam gue main di Hopper."
"Hopper ya—"
"Sheila." Suara bas yang sangat familiar di telinga Sheila tiba-tiba memanggilnya tanpa repot mengecilkan suaranya.
Sheila menoleh ke belakang menatap Yuda yang berdiri tidak jauh darinya. Laki-laki itu berjalan mendekat meraih totebag Sheila yang ada di atas meja kemudian menarik lengan perempuan itu untuk berdiri dengan paksa hingga menimbulkan suara decit nyaring akibat goresan antara kursi dan keramik. "Ikut gue."
"I-iya bentar dulu, gue mas—"
Yuda menghentakan cekalannya pada lengan Sheila menatap perempuan itu tajam. "Masih apa? Masih ngobrol sama cowok lain?"
Mendengar ucapan Yuda yang cenderung mengarang, Ical bangkit dari tempat duduknya. "Sorry, maksud lo gimana ya?"
Sheila menahan lengan Yuda, mengusapnya perlahan menenangkan laki-laki itu lalu mengajaknya untuk segera beranjak dari sana. Saat akan melangkah keluar ruang Perpustakaan, Sheila menyempatkan diri untuk menoleh ke belakang menatap Ical sambil berkata tanpa suara, 'sorry.'