Rakha melepas jas semi formalnya dan menyampirkan di pagar pembatas saat dia sudah berada di balkon. Aneh, padahal angin pantai bertiup tanpa henti, dia malah kepanasan.
Rakha melihat ke arah laut yang gelap, hanya lampu mercusuar yang seperti kunang-kunang memberi warna. Langit indah yang dipenuhi bintang juga nampak tenang dengan semilir angin yang berhembus. Sesekali suara ombak memecah kesunyian malam dengan hempasan kencangnya di batu karang.
Rakha mengeluarkan sebungkus rokok yang tadi di dapatnya dari Dimas dan mulai menyalakan sebatang. Menghisap dalam hingga kepulan asap membumbung dan hilang kembali tersapu angin. Seperti pikirannya sekarang yang berkabut serupa gumpalan asap tapi enggan menghilang malah semakin menebal .
"Di sini lo ternyata!"
Rakha berbalik melihat asal suara dan tersenyum ramah tapi kemudian kembali ke posisi semula, menghadap laut.
Zara mengambil kotak rokok yang tergeletak di meja bundar dan ikut menyesap bersama Rakha.
Rakha mengerutkan alis, wanita selembut dan seanggun Zara dengan lihai menyesap dan menciptakan kepulan asap keluar dari mulut dan hidungnya. Rasanya tidak sesuai dengan citranya.
"Sejak kapan lo nyebat?" tanya Rakha.
"Sejak SMP mungkin, lo?"
"Kalau lagi suntuk aja," balas Rakha kemudian menyesap kembali ujung rokoknya.
"Gimana rencana kuliah lo?" Zara mulai membuka topik mencoba mencairkan ketegangan di wajah Rakha.
"Aman, gue udah daftar di salah satu PTN di Banjarmasin!"
"Kedokteran?"
Rakha mengangguk sambil tersenyum teringat email yang menyatakan kelulusannya di Fakultas Kedokteran dan disambut suka cita oleh seluruh keluarga, termasuk Ica yang menepuk pundaknya bangga. Ah, Ica lagi! Semua alur hidup Rakha memang selalu ada gadis ceriwis itu.
"Gue rencana mau ke ITB!"
Rakha manggut-manggut saja.
"Trus kita gimana?" Pertanyaan yang berhasil membuat kening Rakha berkerut. Apa Rakha pernah menjanjikan sesuatu pada Zara? Seingatnya tidak.
"Kita bisa LDR-an kan?"
Ahaa, sepertinya gadis cantik ini salah paham dengan sikap Rakha selama ini. Yah, salah dia juga sih merayu dan suka memuji Zara hingga membuat dia melayang. Nyatanya semua tidak di lakukan Rakha dari hati.
"Kita pacaran kan?" pertanyaan bodoh yang keluar dari bibir Zara. Membuat Rakha menyunggingkan smirk meremehkan.
"Bukannya rencana lo sudah gagal?"
Zara bingung dengan maksud Rakha.
"Lo sengaja kan dekatin gue biar bisa manas-manasin Daniel?" Rakha tidak bermaksud kasar tapi itulah kenyataannya.
"Dari awal gue udah curiga. Orang sekelas lo yang biasa di kejar-kejar cowok, tiba-tiba datang sendiri mendekat ke gue. Nggak mungkin klo lo nggak punya tujuan kan Ra?"
Rakha menghela nafas dalam, kemudian melanjutkan kalimatnya.
"Kita bisa jadi teman selamanya Ra, lo asik kok di ajak jalan."
Zara tersenyum kecut, tidak menyangka Rakha akan menyadari semua tujuan awalnya.
"Yah, awalnya emang gue cuma mau manas-manasin Daniel aja, tapi lama-lama gue beneran suka sama lo Rakha! Sikap lo selama ini, perlakuan lo, manis banget bikin gue luluh. Apa kita nggak bisa jadi lebih dari teman?"
Zara menatap Rakha penuh harap. Belum pernah dia mengiba kepada cowok sebelumnya seperti saat ini.
"Sorry Ra, gue nggak bisa hubungan long distance! Di sana pasti banyak cowok yang lebih manis dari gue, lo cantik, baik, mudah buat lo dapet cowok model gue gini."
Rakha sudah memilih kosakata yang paling halus agar tidak menyinggung harga diri Zara.
"Tapi gue maunya lo!" kata Zara ngotot, dia menarik kerah kaos hitam Rakha mendadak, membuat cowok tinggi itu terhuyung dan terpaksa menyangga tubuh dengan sebelah tangan di dinding di atas kepala Zara.
Zara berjinjit mencoba meraih bibir menggoda yang sejak tadi menyesap rokok. Rakha memiringkan kepala menghindari wajah Zara yang mendekat. Dari belakang mereka seperti sedang berciuman.
"Ups, sorry!" pekik Ica yang tiba-tiba muncul dan kemudian kembali menutup pintu. Wajahnya memerah, dia jadi keki melihat adegan hot Rakha-Zara. Dan perasaan yang...entah.
Ica berlari ke arah kerumunan untuk mencari Karin dan akan mengajaknya pulang.
Rakha melepas paksa cengkraman Zara di bajunya dan berbalik ingin mengejar Ica. Tapi kalimat Zara menghentikan langkahnya, "gue kira lo pinter, ternyata lo bego!"
Rakha mengepal tangan namun tidak ingin berbalik melihat wajah Zara. "Lo suka sama Ica kan? Tapi lo nggak mau ngaku! Lo tau Rakha, orang yang paling bego di dunia adalah orang yang nggak ngerti sama perasaannya sendiri."
Zara tersenyum sinis menatap tajam pundak Rakha yang nampak menegang.
"Bukan urusan lo!" jawab Rakha setelah beberapa waktu hanya diam, berjalan meninggalkan Zara sendiri.
"Tai lo Rakha!" teriak Zara frustasi.
****
Rakha merebahkan tubuh lelahnya di atas ranjang single dalam kamarnya. Dia mengepalkan tangan dan mengetuk-ngetuk dahi dengan kepalan itu. Jam di dinding kamar sudah menunjuk angka satu, matanya terasa berat tapi otaknya terus bekerja.
Memutar reka adegan di resort tadi. Sekelebat bayangan Ica tertawa dan berada dalam pelukan Daniel saat berdansa membuat darahnya mendidih. Apalagi terang-terangan cowok ganteng itu menyebut nama 'Marisa' dalam pidatonya. Apa mereka sekarang sudah resmi jadian? Bukankah itu yang diharapkan Ica selama ini.
Di tambah wajah pias Ica saat memergokinya dengan Zara. Bisa jadi Ica akan berprasangka jelek melihat gerak tubuhnya dengan Zara tadi. Ahh, Rakha mengacak rambutnya frustasi. Dia tidak ingin Ica salah paham, tapi memangnya kenapa? Ica sudah jadian sama Daniel, dia nggak akan peduli. Memang Rakha siapa?
Apa benar yang dikatakan Zara, kalau dia suka Ica? Rakha memang suka Ica, suka mengusiknya, suka melihatnya merengek, suka melihat Ica merajuk, suka melihat tawanya, semua tentang Ica Rakha suka. Tapi semua suka itu karena mereka sudah terbiasa bersama sejak kecil. Ica seperti adik buat Rakha. Jadi itu hal yang wajar bukan? Tapi apa rasa suka pada seorang adik akan membuatnya ketar ketir begini.
Rakha sungguh tidak tahan, dia bangkit dan meraih kunci mobil milik ayah. Kembali mengemudi di jalanan gelap yang sepi. Dua jam perjalanan mengantarnya kembali di tepi Pantai Ujung Pandaran.
Menyusuri pantai dengan berjalan kaki, bertanya ke penjaga vila-vila yang ada di sekitar pantai. Matahari mulai mengintip, sedikit demi sedikit cahaya orange itu malu-malu muncul dari balik awan, sungguh sangat indah. Tapi Rakha tidak punya waktu untuk itu, dia harus menemui Ica untuk memastikan perasaannya.
Rakha berhenti sejenak mengatur nafas dan menetralkan detaknya yang bertalu-talu. Dia kembali meraih ponsel dan menelpon kontak Ica tapi lagi-lagi hanya di jawab operator. Hingga netranya menangkap entitas yang di carinya. Gadis semampai dengan rambut panjang tegerai yang diterpa angin. Dia membentang tangan menghadap matahari dan memejam mata. Menikmati suguhan indah dari Sang Kuasa.
"Icaa!"
Gadis itu menoleh, dan tersenyum manis ke arah Rakha. Dengan langkah besar Rakha mendekat hingga dia tepat berada di depan gadis itu.
Rakha menyapu seluruh wajah sahabat kecilnya dengan pandangan takjub. Matanya yang bulat dihiasi bulu mata lentik dan alis hitam yang tebal. Hidung mancung dan bibir kecil yang merah alami. Sangat cantik.
Seperti terhipnotis Rakha mendekatkan wajahnya dan menyapu bibir Ica lembut dengan bibirnya. Ica sangat terkejut hingga matanya membola, dia mendorong d**a Rakha kuat hingga pagutan bibir mereka terlepas.
Usai terengah, Rakha kembali mendekat, gairahnya terlanjur bangkit. Sekali lagi dia mengecup bibir manis Ica. Kecupan cepat berkali-kali hingga berubah menjadi lumatan yang panjang. Rakha mengisap dan bermain dalam mulut Ica seperti candu. Dan anehnya Ica diam saja, tidak menolak meski juga tidak membalas.
Hingga mereka sama-sama tersadar dan menjauhkan diri. Meraup udara sebanyaknya untuk mengisi rongga d**a. Tiba-tiba rasa bersalah menghinggapi Rakha, dia takut Ica akan menjauh.
"Ca, gue..."
'Plakkk'
Pipi Rakha panas, tapi dia berusaha menahannya memandang wajah Ica yang mulai menghilang, hingga sekali lagi dia merasakan pukulan itu.
'Plakkk'
"Rakhaa!!!"
"Bangun! Shalat subuh dulu! Cepat siap-siap kita mau piknik!" kali ini dengan teriakan panjang khas Bunda.
Wait! Bunda?
Rakha membuka matanya dan terpekik kaget saat sosok ibunya sudah berdiri di depannya dengan mukena putih yang menjuntai. 'Asli, dia kira mba kunti hihihiii'
Ahh ternyata hanya mimpi. Dia menggosok wajahnya kasar. Dengan malas Rakha bangkit saat sang ibu keluar kamar. Tapi... ada sesuatu yang basah tak sengaja dia duduki. Rakha mengintip ke dalam selimut dan benar saja, pertigaannya yang jadi sumber air itu. Bukan ngompol, tapi... you know lah...