2. Kutukan 5 Bulan

1338 Kata
Gin mengedik santai. “Kirain buat have fun doang.” “Kok, lo gitu sih ngomongnya?” “Karena lo nggak pernah keliatan serius, Sha,” tandas Gin kejam. Memang mulut Gin ini pedas-pedas mantap kalau bicara. Jujur menusuk tanpa segan-segan. Khususnya pada Tita. “Gue serius, kok.” “Coba lo ngaca.” Gin meletakkan kedua telapak tangannya di pipi Tita dan menekannya kuat hingga mulut gadis itu mengerucut lucu. “Apa lo nangis abis putus sama si Bekatul 31?” “GIN!” Tita terkejut mendengar Gin menyebut Edward, kekasihnya yang ke 31 dan baru saja resmi berstatus mantan beberapa jam yang lalu. “Dia punya nama loh! Bagus lagi namanya! Masa lo panggil Bekatul 31!” “Udah putus juga kan lo sama dia. Nggak penting lagi kali mau gue panggil apa juga,” balas Gin sesuka hatinya. “Serah, deh!” “Balik ke pertanyaan gue. Lo nangis nggak?” “Gue sedih.” “Sha, di mana-mana cewek abis putus cinta tuh nangis. Bukan kayak lo gini. Itu artinya lo juga nggak cinta beneran sama si Bekatul 31.” “Masa, sih?” tanya Tita bingung. Perlahan wajah Gin berubah serius. “Sekarang gue tanya, sejak kapan lo mulai bosen sama dia?” “Masa, sih?” “Sha, kalo lo nggak bosen, terus lo nggak mulai jadi ogah-ogahan, bekatul-bekatul lo itu nggak bakal pada mundur teratur kayak yang selama ini kejadian.” “Masa, sih?” Untuk ketiga kalinya Tita mengulangi kata-kata yang sama. “Jangan masa-masa mulu! Coba lo mikir! Akui sama diri lo sendiri.” Perkataan Gin membuat Tita jadi teringat perdebatan dengan Edward tadi sebelum akhirnya mereka putus. >>> "Ta, chat sama siapa?" tanya Edward dongkol ketika melihat gadis itu sibuk makan sambil berbalas pesan di ponselnya. Sudah menunggu lama, sekarang diabaikan. Siapa yang tidak kesal? "Anak-anak Lumi," jawab Tita singkat. Fokusnya terbagi antara membaca, membalas pesan, dan mengunyah nasi goreng super pedas favoritnya. Tidak ada lagi ruang tersisa untuk menanggapi Edward. "Soal apa?" Nada suara Edward terdengar sangat tidak suka. "Kerjaan dong pastinya!" sahut Tita enteng. Siapa suruh Edward memaksanya mampir untuk makan dulu padahal Tita sudah sangat ingin pulang. Sudah tidak ada niatan dalam diri Tita untuk berkeliaran di tengah malam dengan betis cekot-cekot, sehabis berdiri maraton dari subuh sampai tengah malam. Tita ingin sesegera mungkin kembali ke apartemen untuk merebahkan diri, melonjorkan kaki, dan mungkin kalau sedang beruntung ia bisa mendapatkan pijatan dari Gin. "Ini udah mau midnight loh," sindir Edward. Belum cukupkah ia menunggu sampai jam sebelas malam sebelum akhirnya bisa menyeret Tita keluar dari Luminous dan memaksanya mampir di warung nasi goreng langganan mereka. "Kerjaan aku nggak terbatas waktu, Ed. Bahkan kalo pengantin minta malam pertamanya di shoot juga, aku harus sanggupin loh nemenin 24 jam," ujar Tita seenak udelnya. Jawaban Tita yang nyeleneh membuat Edward semakin meradang. Ia merampas ponsel Tita dan menatap tajam gadis itu. "Ta, kamu ngerasa nggak sih waktu kita sekarang kurang banget?" Tita mengerjap heran. "Masa, sih?" "Kamu nggak ngerasa kalo sekarang kita jadi jarang ketemu? Jarang video call, jarang chat juga." Kening Tita semakin berkerut. "Masa, sih?" "Aku ngerasanya gitu, Ta." "Masa, sih?" "Ta, aku serius." Edward semakin jengkel mendengar jawaban Tita yang monoton. "Atau jangan-jangan kamu emang menghindar dari aku?" "Ih, masa?” Kali ini Tita sedikit mengganti kata-kata yang sebenarnya masih begitu-begitu juga. “Ngapain juga aku menghindar?" "Mana aku tau. Makanya aku tanya!” sahut Edward sewot. Kekasihnya ini benar-benar menyebalkan beberapa waktu terakhir. Mata Tita sontak melebar melihat tingkah impulsif Edward, namun ia tidak berkomentar apa-apa. Beberapa saat kemudian Edward sadar. Percuma marah-marah pada Tita, tidak mempan untuk gadis ini. Akhirnya ia memilih cara yang berbeda, yaitu berbaik-baik pada Tita. Diambilnya tangan Tita lalu menggenggamnya lembut. “Kalo aku ada salah, tolong kasih tau aku. Biar aku perbaiki." "Kamu nggak salah apa-apa, kok.” "Terus kenapa kamu beda?" "Masa, sih?" Kembali Tita mengeluarkan jurus andalannya. Edward mengembuskan napas kuat-kuat kemudian berbicara dengan nada yang tidak bersahabat. "This is the typical of your defense answer." Sikap Edward malam ini mulai membuat Tita jengkel. Kesabaran Tita mulai menipis. "Ed, coba deh bilang terus terang. Kamu mau apa?" "Harusnya aku yang tanya kamu," balas Edward ketus. "Aku sih nggak ada kepengin apa-apa. Aku ngerasa lagi fine-fine aja." "Kamu ngerasanya gitu, aku nggak." "Jadi …?" "Ta, rasanya kita perlu pikir ulang tentang hubungan kita.” Setelah berminggu-minggu mencoba bertahan dengan kejanggalan sikap Tita, Edward tidak tahan lagi. Perkataan Edward membuat Tita merasakan deja vu. "Perjelas, Ed." "Kita perlu ambil waktu buat pikirin lagi tentang kita." "Ed, to the point aja. Putus maksud kamu?" Situasi semacam ini sudah sangat akrab dengan Tita sejak usianya 14 tahun, jadi ia sudah sangat paham. "Aku bukan bilang putus,” ralat Edward cepat. “We just need a break, Ta." Tita tersenyum sangat lebar dan berbicara tenang. "Based on my experience, break means broken, Ed." "Terserah kamu mau anggap gimana deh, Ta." Edward menggeleng pasrah. Bukan reaksi seperti ini yang diharapkannya dari Tita. Ia pikir gadis itu akan meminta kesempatan dan berjanji memperbaiki hubungan, tapi kenyataannya tanggapan Tita sangat datar. Bahkan terkesan memang ingin putus juga. Sama sekali tidak ada niat memperjuangkan kebersamaan mereka. Ditantang demikian oleh Edward, tanpa ragu Tita langsung mengambil keputusan. Dibukanya aplikasi kalender di ponsel, kemudian calculator, lalu setelahnya tersenyum sangat manis. "Makasih buat kebersamaan kita selama 4 bulan 2 minggu 3 hari 14 jam dan 37 menit ini, Ed." Edward bagai tertampar mendengarnya namun ia tidak berkutik. Barulah ketika Tita bangkit dari kursi, ia menemukan kembali suaranya. Cepat-cepat Edward menyambar tangan Tita. "Kamu mau ke mana?" "Pulanglah. Aku ngantuk." "Kamu nggak mau aku antar?" tanyanya sambil ikut berdiri menyusul Tita. "Nggak usah, Ed. Thanks." "Setidaknya biar aku tunjukin tanggung jawab antar kamu pulang buat terakhir kalinya." "Ed, aku nggak pernah bikin cerita sama mantan. Berakhir ya berakhir. Nggak ada to be continue atau extra part." “Iya, sih. Gue bosen,” gumam Tita akhirnya. “Nah!” Gin berseru puas, seperti seseorang yang berhasil memenangkan sebuah pertandingan penting saja lagaknya. “Gue itu cuma semangat pas pedekate, terus pacaran satu dua bulan pertamalah. Setelah itu hambar,” aku Tita pada Gin. “Disitu masalahnya. Waktu lo hambar, lo mulai aneh. Lo ogah-ogahan dan ngejauh. Wajarlah mereka juga akhirnya nyerah.” “Terus gue harus gimana dong, Gin?” tanya Tita putus asa. “Mana gue tau.” Mode serius Gin berakhir dan ia mulai kembali pada sikapnya yang biasa. “Coba lo tanya diri lo sendiri. Kan yang bosen pacaran lo, bukan gue.” “Gin, ih! Bantuin gue mikir. Gue pengin nasib percintaan gue rada bagus dikit.” Lelah bersikap serius, kini mode sinting Gin mulai bangkit. “Ke dukun sana lo! Minta aji-ajian biar kutukan lima bulan kandas lo berakhir.” “GIN! Gue nggak percaya kayak begitu-begituan.” “Ya gue juga nggak percaya sih, Sha.” “Terus ngapain lo kasih saran menyesatkan kayak gitu?!” seru Tita kesal. “Capek gue. Dikasih saran yang bermutu juga percuma.” “Gin, serius nih! Gue mesti gimana dong?” rengek Tita. “Gini, deh! Kalau pacaran sama satu cowok selalu berakhir di bulan kelima, yang artinya cuma tahan empat bulan, mungkin lo harus coba kebalikannya. Empat cowok dalam satu bulan sekaligus. Siapa tau bisa bikin lo lewatin bulan kelima dengan selamat.” Dan sekarang Gin bukan lagi ada di mode sinting, melainkan sudah masuk ke mode sesat. “Ah, gila lo!” "Kan! Gue kasih saran lo katain gila." "Ya saran lo nggak kira-kira, Gin!" Tita meradang. "Gue udah pernah bilang sama lo, stop liatin cowok! Jangan jelalatan aja itu mata! Lo nggak mau denger. Sekarang lo cobain aja pacarin semua cowok yang ada deket lo." "Emang nggak dosa?" tanya Tita polos. "Lo pikir bikin 31 cowok patah hati nggak dosa?" Gin membalikkan pertanyaan Tita. "Terus kalo ketauan gimana?" Sepertinya Tita mulai termakan petuah sesat Gin tadi. "Ketauan sama siapa?" "Ya sama cowok-cowok yang nanti gue pacarin barengan itu." "Ya jangan sampe ketauan," sahut Gin enteng. Tita menatap sinis kemudian mencibir. "Makasih, Gin. Solusi lo sama sekali nggak kasih jalan keluar buat gue." "Lo beneran mau coba?" tanya Gin geli. Ia tidak menyangka Tita akan menanggapi serius candaannya tadi. "Tau, ah!" Tita membanting tubuhnya ke tempat tidur dan menarik selimut Gin tinggi-tinggi untuk menutupi wajahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN