3. Throwback

1777 Kata
Bekerja di ahensi selama empat tahun ini aku jadi punya kesempatan belajar tentang pola pikir orang. Apa yang mereka sukai, apa yang sedang tren di masyarakat, gimana caranya supaya aku bisa mengambil perhatian dengan detail-detail sederhana. Ini pas banget buat aku, selain bersemangat menciptakan sesuatu, aku juga selalu penasaran bagaimana caranya mempengaruhi pikiran orang hanya melalui gambar maupun kata-kata. Bekerja di digital agency, aku juga jadi mengerti gimana krusialnya media sosial. Nge-tweet dan update status nggak boleh cuma asal. Harus diukur juga berapa jumlah karakter maksimal, bahasa kayak apa yang paling baik digunakan, dan lain-lain. Yang nggak kalah penting, kerja disini membuka mata tentang dunia pemasaran. Menurutku orang-orang tuh bukannya nggak suka iklan. Hanya saja orang-orang nggak suka iklan yang jelek. Coba deh kalau iklan itu unik, lucu dan memorable banget pasti masyarakat dengan mudah mengingat iklan itu. Setiap kali mendengar jargon atau jinglenya, masyarakat langsung bisa menebak oh ini iklan produk A, B, C dan seterusnya. Aku celingukan dari kaca meeting room untuk melihat apa meeting timnya Prisil sudah kelar atau belum. Aku ingin mencari tahu seberapa mabuk aku malam itu, sampai-sampai aku salah masuk unit apartemen orang. Lima menit kemudian Prisil keluar ruangan dengan muka paling busuk. Aku yakin designnya pasti di buang ke tong sampah lagi oleh ketua Timnya. "Sil..., ngopi yuk. Gue traktir deh." Prisil memutar tubuhnya menghadap padaku. Matanya sembab khas orang nggak tidur tiga hari tiga malam. "Gue nggak tidur dua hari dan elo nawarin gue kopi? Sesat banget sih lo," ucapnya ketus. Dia berjalan melaluiku menuju pantry. "Lo gaya banget mau traktir gue ngopi, emang gaji lo masih sisa? Tanggal dua masih dua belas hari lagi, mending lo simpen buat biaya hidup deh," komentar Prisil setelah tahu aku masih mengikutinya. "Ya deh iya. Ngopi-ngopi cantiknya awal bulan aja deh. Tapi gue mau nanya hal penting sama elo." "Soal apa? Lo terlambat ngumpulin deadline lagi? Hati-hati aja gajian lo mundur dua hari." "Dih, bukan kok." "Trus apa? Rencana lo kalau keterima kerja sebagai pengisi kolom di majalah mau ngelempar surat resign lo di mukanya pak Anwar?" "Astaga..., jangan kenceng-kenceng ngomongin soal itu, bego! Pak Anwar itu sinyalnya kuat banget kalau ada karyawannya yang punya niat mau resign." "Ya terus apa dong?" "Lo inget nggak, seberapa mabuk gue pas clubbing bareng lo waktu itu?" Prisil sedang berpikir. Lima menit sepuluh menit, keningnya makin berkerut. Dia menjawab  lima belas menit kemudian. "Lo ngabisin lima gelas besar bir dan satu mocktail. Trus gue ingat lo bilang gini 'bir ini rasanya kok kayak madu ya? Bisa manis banget gini kalau diminum pas lagi stres'. Begituuu." Aku langsung mendelik dan menepuk jidat. Kalau alkohol sebanyak itu masuk ke perutku wajar saja aku nggak ingat-ingat apa-apa malam itu. Gara-gara Jidan sih. (---) Hari yang lesu, presentasiku gagal maning. Klien menolak ide yang aku bawa ke hadapannya. Dia bilang ideku terlalu umum. Dia butuh sesuatu yang baru dan fresh from oven untuk iklan produk jaketnya. Padahal pemilihan tema, topik dan warna untuk iklannya klien sendiri yang menentukan. Pihak agency hanya memperhalus design kasar yang diberikan oleh klien. Namun mau bagaimana lagi, kalau kata pak Anwar klien itu raja, sedangkan agency adalah prajuritnya. Kalau klien minta revisi prajurit harus nurut, daripada kehilangan pekerjaan dan harus jadi pengangguran di ibu kota. Di jalan menuju kantor pak Anwar sudah menyemprotku habis-habisan. Dari mulai di telepon sampai chat yang horornya mengalahkan film The Nun. AnwarValak: Kalau lo msh merasa pny otak dipakek dg bnr.klo otak lo udh nggak bisa dipkek lg pecahin aja ganti sama batok kelapa Astagadragon, jadi pengen tahu azab yang akan diterima oleh team leader model pak Anwar ini. Semoga saja batu nisannya nggak terbang sendiri nanti. Me: Iya pak iya. Sy akan menggunakan otak sy dg baik dan benar drpd hrs ganti dg batok kelapa. Pak Anwar tak membalas lagi chat-ku. Baguslah. Aku segera menonaktifkan handphone. Karena hari ini hari Jumat sore, waktunya aku rehat dari dunia perahensian dan persosmedan. Sudah dua minggu aku nggak pulang gara-gara revisian klien yang menggila. Ini kalau aku sudah menikah dan masih bekerja di agency digital, yakin suamiku pasti protes dan mogok mengajakku bercinta. Di rumah aku disambut oleh wanita yang mengasuhku sejak wanita yang bahkan enggan aku sebut namanya pergi meninggalkanku 14 tahun silam. Entah ada di mana wanita yang katanya sudah melahirkanku itu sekarang. Yang jelas aku begitu membencinya hingga enggan bertemu dengan wanita itu meski secara nggak sengaja sekalipun. Dia tega meninggalkan pria yang paling aku cinta dan aku percayai demi selingkuhannya. Aku malu dilahirkan dari rahim seorang peselingkuh seperti itu. Itulah sebabnya kenapa aku mengambil keputusan telak memutuskan Jidan malam itu. Meski sempat terlintas rasa penyesalan telah memutuskan pria yang memiliki segalanya seperti Jidan, tapi aku berusaha untuk survive menjalani kehidupan tanpa laki-laki tukang selingkuh seperti itu. Aku memaafkan apa pun kesalahannya, asal bukan kesalahan selingkuh. No excuse kalau buat kesalahan yang satu itu. "Papa mana, te?" tanyaku pada tante Ros. Wanita berusia 45 tahun itu menunjuk ke arah ruang tengah. Ternyata Papaku sedang menonton acara berita di televisi. "Malam, Pa," sapaku, lalu mencium kedua pipi Papaku. Dia tersenyum dan memintaku duduk di sampingnya. "Tumben bisa pulang? Nggak lembur, Kak?" "Capek atuh, kalau lembur terus, Pa." "Bisa ngerasain capek juga badan kamu? Biasanya sampai tidur di kantor gitu, ya kan?" Aku tergelak. Papa tersenyum. "Itu kan kalau lagi ada project, Pa." "Jidan nggak ikut?" Aku mendengkus saat Papa menyebut nama k*****t itu. Lidahku kelu rasanya kalau harus menjelaskan ke mana perginya tukang selingkuh itu. "Lagi sibuk, Pa. Oya, Papa sudah makan?" "Udah. Jam berapa ini kamu tanya Papa sudah makan atau belum?" Aku melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Gara-gara macet yang menggila di akhir pekan begini membuat aku sampai rumah semalam ini. "Echa mana, Pa?" "Lagi keluar sama Aksa. Katanya mau ketemu sama wedding planner." "Oooh...," jawabku sendu. "Jidan kapan akan datang melamar kamu? Kalian pacaran sudah tiga tahun, masa nggak ada perkembangan untuk masa depan hubungan kalian?" "Aku sama Jidan sama-sama sibuk, Pa. Dia sering keluar kota juga akhir-akhir ini," kilahku. "Kak..., usia kamu sudah mau 31 loh tahun ini. Adek kamu yang usianya menjelang 26 tahun saja akan menikah tahun depan. Papa sih nggak masalah kamu mau menikah usia berapa aja, tapi kasihan kamunya. Umur Papa nggak ada yang tau, Papa takut nggak bisa melihatmu menikah, kak." Aku mengangguk paham lalu merebahkan kepalaku di pundak Papa. Tempat ternyaman di muka bumi ini. Beliau pria terhebat dan paling aku percayai yang nggak akan melukai dan mengkhianatiku sampai mati. "Pekerjaan kamu gimana?" "Lancar aja, Pa." "Masih di agency iklan?" "Masih lah, Pa. Belum pindah ke agency TKW, kok." Papa terkekeh mendengar jawaban asalku. "Masih sering ketemu klien rewel?" "So pasti, Pa. Nggak bernapas kayaknya aku kalau dalam sebulan nggak berhadapan dengan klien rewel dan labil." "Dari sekian banyak klien yang sering kamu temui masa sih nggak ada satu pun yang terpincut di hati kamu, Kak?" "Nggak ada, Pa," jawabku lesu. Itu karena mata dan hatiku telah dibutakan oleh cinta Jidan. "Kamu nggak serius nyari kali." "Udah, ah, Pa. Jangan ngomongin cowok lagi. Aku pusing." "Ya udah sana tidur kalau pusing. Oya, bilang sama Jidan, kalau ada waktu suruh main ke rumah ini. Papa pengin ajak dia ngobrol serius." Matiii dah. Aku mengangguk malas lalu melangkah gontai menuju kamarku. Kenapa nasibku sesial ini, Tuhan? Nggak sampai satu bulan ini masalah seolah bertubi-tubi menderaku. Punya pacar ketahuan selingkuh di depan mata. Terbangun satu ranjang dengan brondong tengil dalam keadaan setengah naked tanpa mengingat sedikit pun habis ngapain dengan bocah tengil itu. Dilangkahin adik perempuan yang akan menikah tahun depan di usiaku yang mau memasuki usia 31 tahun, padahal adikku itu baru pacaran satu tahun dengan calon suaminya yang usianya tentu lebih muda dariku juga. Presentasi gagal dan siap menghadapi singa lapar di hari Senin nanti. Sekarang Papa ingin bertemu dengan mantan pacarku yang selingkuh itu untuk membicarakan hal serius mengenai hubungan tiga tahunku. Saat hampir terlelap, pintu kamarku dibuka perlahan kemudian siluet Echa muncul dari balik pintu kamarku yang selalu gelap. "Kakak udah tidur?" bisik Echa setelah duduk di pinggiran ranjang. "Hampir. Kenapa?" Aku membalik badan menghadap pada Echa. "Echa mau ngomong sesuatu. Tapi Kakak janji dulu nggak boleh marah." Echa menyodorkan jari kelingkingnya. Kebiasaan kami sejak kecil saat melakukan perjanjian pada sesuatu hal. "Apa dulu nih? Kamu pakai tabungan pribadimu buat bantuin Aska beli barang-barang hantaran super mewah?" tanyaku sinis. Gaya hidup adik perempuanku ini memang lebih glamor daripada aku. Bahkan terkadang berbanding terbalik dengan kemampuan dompetnya. Echa menggeleng lalu meraih jemariku dan mengaitkan kelingking kami. "Kakak sudah janji nggak bakal marah kalau Echa ngomong jujur," katanya. "Ya udah sih ngomong aja." "Tadi di tempat wedding planner..., Echa..., emmmhhh..., ketemuan sama...," ucap Echa terbata-bata. "Ketemuan sama siapa, Cha?" "Sama..., Mama." Aku langsung berdiri di samping ranjangku. Napasku panjang pendek, menatap penuh amarah pada Echa. "Berani-beraninya kamu melakukan pertemuan dengan wanita itu tanpa sepengetahuan kakak?" Bentakku sambil mencekal pangkal lengan Echa. "Dia ngotot minta ketemuan. Dia terus menghubungi Echa minta ketemuan. Echa pikir kejadiannya kan sudah lama, jadi sudah saatnya kita menutup lembaran kelam itu menggantinya dengan lembaran baru. Apalagi kan Echa mau nikah, seneng aja kalau semua orang ikut larut dalam kebahagiaan yang Echa rasakan nanti, termasuk Mama." "Keluar!?" Bentakku mengusir Echa. "Kak, udah waktunya kakak maafin mama. Dia janji nggak akan ganggu kita. Dia cuma pengen ketemu kita aja. Echa dan Kakak." "Kakak nggak pernah sudi ketemu sama orang yang masih enak makan dan tidur setelah membuat Kakak, Echa dan Papa nggak enak makan dan tidur selama bertahun-tahun." "Tapi itu kan udah lama banget, Kak. Mama udah berubah." "Berubah? Wanita picik kayak dia sampai mati nggak akan berubah, Cha. Perempuan mana yang tega meninggalkan anak-anak dan suaminya hanya demi laki-laki yang lebih kaya raya dibanding suaminya." "Echa mohon, Kak. Buka sedikit aja pintu hati kakak untuk Mama." "Eriska!!! Jangan temui wanita itu lagi! Dan satu lagi, jangan pernah sebut dia mama di depan kakak! Sekarang kamu keluar dari kamarku?!" Setelah Echa pergi dari kamar aku menelungkupkan wajah di atas bantal dan menangis sejadinya. Hatiku terlalu sakit bahkan hanya untuk sekadar mengingat wajahnya. Hujan malam ini membawaku pada kenangan masa remajaku yang buruk tanpa belaian dan pelukan hangat seorang Ibu. Aku merindukannya setiap malam. Aku selalu berdoa agar dia kembali ke rumah untuk memelukku. Namun Tuhan punya rencana lain, wanita itu nggak pernah kembali lagi ke rumah ini setelah bertahun-tahun lamanya. Aku yang dulunya manja, sukanya merengek, harus tumbuh menjadi perempuan kuat, tegar, penuh semangat dan harapan demi Papa dan Echa. Kalau diantara kami bertiga nggak ada yang kuat, keluarga ini nggak akan punya masa depan. Lantas mau balas dendam menggunakan apa kalau aku menjadi perempuan lemah? Begitu pikiran remaja labil kala itu, tapi mampu memecutku untuk selalu semangat menghadapi kerasnya kehidupan ini. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN