Part 16 --Lamaran Mendadak

2254 Kata
Pukul dua belas siang Arini dan Henri sudah sampai di rumah kedua orang tua wanita tinggi semampai itu. Pak Seno dan Bu Sari sangat bahagia melihat sang putri semata wayang pulang. Akan tetapi, mereka terkejut saat Arini membawa serta Henri dan mengenalkan sebagai calon suaminya. Belum mengenal dengan pasti siapa sosok laki-laki yang dibawa putrinya. Selama ini Arini tidak pernah menceritakan perihal laki-laki mana pun termasuk Henri. Ada rasa khawatir mengingat kedua orang tua Arini melihat jika Henri sepertinya bukan dari kalangan biasa. Seperti saat dengan Hadi dulu. Pak Seno tidak ingin kejadian yang lalu bersama dengan keluarga Indrayana kembali terulang. Meskipun awalnya tujuan menjodohkan putri mereka dengan Hadi salah, tetapi tidak sopan jika mereka pergi begitu saja. Keberadaan mereka bahkan tidak diketahui hingga beberapa waktu. Memaafkan mereka tidak semudah itu. Arini tampak gusar, takut kedua orang tuanya menolak lamaran Henri. Bisa-bisa gagal semua rencananya menghancurkan Hadi Indrayana. Wanita tinggi semampai itu tidak ingin hal itu terjadi. Sebisa mungkin meyakinkan sang ayah. "Pak, ini Mas Henri, kami sudah kenal beberapa waktu dan ingin serius meresmikan hubungan kami. Sudah bukan muda-mudi yang usia belasan tahun jika harus pacaran. Lebih baik kami menikah." Arini mencoba menjelaskan pada sang ayah dengan penuh rasa kawatir. Arini menatap Pak Seno dengan pandangan memohon. Ia tahu, jika sosok yang menjadi cinta pertamanya itu tidak akan dengan mudah memberikan restunya. Ya, trauma saat bersama dengan keluarga Indrayana dulu. Bahkan mungkin mereka akan lebih terkejut lagi jika mengetahui jika Arini memiliki seorang anak. "Bukan itu masalahnya. Bagi kami, ini terlalu cepat." Pak Seno yang keras kepala itu tetap ada saja alasan untuk menolak lamaran Henri. Pak Seno mencoba mengatakan isi hatinya sejak awal. Belum mengenal sama sekali sosok yang dibawa oleh putrinya itu. Lama tidak pulang ke rumah, Arini justru membuat kejutan. Kejutan dengan membawa calon suami. Seharusnya kedua orang tua Arini bahagia, tetapi mereka belum mengenal sosok perlente itu. Henri pun tidak tahu harus bagaimana. Ada rasa sungkan ketika harus berbicara pada sosok kedua orang tua Arini. Mereka tampak tegas sebagai orang tua dan tidak ingin anaknya kembali gagal dalam berumah tangga. Bu Sari tidak bisa membela sang putri. Beliau tidak ingin salah langkah lagi seperti dulu. Akibatnya, harus menanggung malu saat batalnya pertunangan putrinya. Sebagian persiapan sudah dilakukan, bahkan sanak saudara banyak yang sudah tahu jika Arini hendak menikah kala itu. Sayangnya jodoh berkata lain. Mereka batal menikah dan meninggalkan rasa sakit yang luar biasa di hati Arini. Wanita tinggi semampai itu bahkan hampir saja bunuh diri. Terlebih ketika tahu jika dirinya hamil karena perbuatan b***t Hadi. "Nak Henri, putri kami pernah gagal bertunangan. Tunangannya kabur bersama keluarganya entah kemana. Kami sakit hati dan tidak tahu harus bagaimana waktu itu. Malu dan rasanya ingin pindah rumah. Beruntung, Arini tabah, meskipun harus jauh dari kami karena bekerja di Semarang." Pak Seno kembali mengingat kejadian beberapa waktu tahun lalu. Pak Seno tidak ingin menutupi apa pun yang berhubungan dengan Arini. Beliau tidak ingin laki-laki perlente di depannya itu merasa dibohongi atau dicurangi. Sebaiknya menceritakan dari awal tentang masa lalu sang putri. Henri hanya menghela napas saja dan tidak tahu harus menjawab apa. Arini mencengkeram rok yang digunakannya. Ia menahan amarah saat mendengar nama mantan tunangannya disebutkan oleh sang ayah. Sejujurnya kali ini tidak ingin mendengar nama itu disebutkan karena samhat merusak suasana. Harusnya bahagia hari ini. Henri menghela napas sejenak. Ia memikirkan kalimat yang tepat untuk berbicara pada calon mertuanya itu. Laki-laki perlente itu baru pertama kalinya harus berhadapan dengan calon mertuanya. Dalam artian berkunjung dan langsung ingin menjadi menantu keluarga Pak Seno. "Pak, saya memang tidak berjanji mencukupi semua yang Arini butuhkan. Tapi, saya akan berusaha membahagiakannya hingga maut memisahkan," kata Henri meyakinkan Pak Seno. Pak Seno menatap sang calon menantu dengan intens. Memastikan kejujuran di setiap perkataannya. Tidak tampak kebohongan di mata Henri. Akan tetapi, sebagai seorang bapak, tetap saja merasa khawatir. Rasa khawatir itu beralasan. Beliau tidak ingin Arini merasa sakit hati lagi. Usia Arini yang sudah tiga puluh tiga tahun dan belum menikah saja menjadikan gunjingan tetangga. Pak Seno takut jika kali ini gagal lagi. Henri pertama kali melamar wanita mendadak bungkam. Mulutnya seolah terkunci rapat. Rayuan untuk wanita-wanita yang biasanya keluar dengan sangat lancar mendadak buntu. Otaknya tidak lagi bisa berpikir. Ya, di depan sana ada kedua orang tua wanita yang mencuri hatinya. Arini memang mencuri hatinya sejak pandangan pertama. Tidak menyangka kini bisa membuatnya menuju ke jenjang yang lebih serius. Ikatan pernikahan, bagi Henri adalah hal yang sangat dihindari. Terlalu rumit dan membosankan. Pikiran itu terpatahkan saat bertemu dan berkenalan dengan sosok Arini. "Baiklah jika begitu. Saya memberikan restu. Kapan kedua orang tua Nak Henri akan datang melamar putri kami?" Pak Seno akhirnya setuju dengan keseriusan Henri pada putri semata wayangnya. "Seharusnya ...." Henri tak melanjutkan kata-katanya. Deru mobil membuat seluruh mata melihat ke arah luar. Kedua orang tua Henri datang. Papa dan Mama-nya datang dengan menggunakan mobil taksi dari bandara. Henri sangat bahagia menyambut kedatangan mereka berdua. Terlebih sang mama yang memang selama ini menginginkan sang putra untuk segera mengakhiri masa lajangnya. "Mana wanita yang membuatmu berubah pikiran untuk menikah?" tanya Bu Tini kepada sang putra yang sering kali membuat sakit kepala. Bu Tini dan Pak Agung sering dibuat sakit kepala oleh Henri. Anak semata wayang mereka menolak untuk menikah. Usianya sudah matang dan mapan dengan semua bisnis yang digelutinya. Bisnis warisan keluarga turun menurun yang dikelola dengan benar hingga saat ini. "Ma ... kenalan dulu sama kedua orang tua Arini." Henri melepaskan pelukkan sang mama. Ia merasa malu karena masih diperlakukan seperti anak kecil. Hilang sudah wibawanya sebagai play boy kelas kakap. Arini berdiri hendak menyalami kedua orang tua Henri. Dengan takzim mencium punggung tangan kedua orang tua sang calon suami. Bu Tini tertegun melihat calon menantunya. Betapa sopannya Arini jika dibandingkan dengan wanita-wanita yang pernah datang ke rumahnya dulu. Mereka yang pernah mengaku berpacaran dengan sang putra. "Cantik sekali kamu, Nak. Terima kasih, ya, sudah bisa membuat anakku mau menikah." Bu Tini tidak bisa menutupi rasa bahagianya hingga air matanya keluar dengan lancangnya. Arini tertegun melihat ketulusan hati calon mertuanya. Hati kecilnya mendadak bimbang jika harus memanfaatkan Henri untuk alat balas dendam pada Hadi. Sebuah masa lalu yang menyakitkan hati. Tak hanya itu, calon suami Arini seolah memang tidak tahu apa yang sebenarnya diinginkan oleh Arini. Bukan air mata kesedihan, melainkan air mata kebahagiaan. Tidak menyangka putra semata wayang mereka akan menikah. Saat ini kedua keluarga sedang duduk di meja makan. Makan siang bersama yang sedikit terlambat. Pun dengan menu yang ala kadarnya. Tidak ada persiapan sama sekali karena semua serba mendadak. "Mari makan siang dulu. Maaf kami tidak ada persiapan sama sekali, Arini mendadak datang dan membawa Nak Henri ke rumah ini." Bu Sari mengajak semua tamunya untuk makan siang di rumah mereka dengan menu sederhana. "Baiklah, saya memang sudah lapar sekali," kata Pak Agung dengan sangat antusias. Kedua orang tua Henri memang kaya raya, tetapi sangat menikmati menu masakan pedesaan yang disediakan oleh Bu Sari. Pak Agung bahkan menambah nasi dan lauk pauk. Mereka makan dengan menggunakan ikan asin, sambal korek, dan beberapa jenis sayuran yang hanya direbus. "Ini sangat nikmat. Udah puluhan tahun tidak makan makanan seperti ini." Pak Agung menyeka keringatnya saat menikmati pedasnya sambal korek buatan calon besannya. "Wah ... justru kami yang minta maaf karena hanya menyuguhkan menu seperti ini." Pak Seno tampak sangat tidak enak hati pada Pak Agung." Putri kami memberitahukannya sangat mendadak, jika hari ini akan dilamar," imbuh beliau sambil meletakkan piring yang sudah kosong. Arini melirik ke arah Henri yang tampak menikmati ikan asin goreng dan sambal. Tidak menyangka jika pengusaha kelas wahid di negara ini sangat menyukai suguhan masakan ibunya. Henri bahkan berulangkali mengambil sambal korek dari cobeknya. Bu Sari memang sengaja membuat banyak sambal tadi pagi untuk makan siang. "Sayang, nanti sakit perut," bisik Arini sambil menyenggol lengan calon suaminya. Apa yang dilakukan oleh Henri membuat Arini khawatir. Sambal korek buatan Bu Sari terkenal sangat pedas. Jika tidak tahan maka perut akan mulas. Tak jarang Arini pun mengalami sakit perut jika terlalu banyak makan sambal buatan ibunya. "Ini tuh enak banget. Kamu nanti harus rajin buat masakan kaya gini," jawab Henri sambil kembali memakan sambal, nasi, dan ikan asin. Kebetulan sayur yang direbus oleh Bu Sari sudah habis. Arini tersipu malu saat sang calon suami mengatakan hal itu. Selesai makan, mereka kembali ke ruang tamu. Membahas rencana pernikahan mereka. Tidak menyangka jika keluarga Henri menginginkan bulan depan kedua putra dan putri mereka menikah. Bu Tini sangat antusias dengan rencana pernikahan ini. "Aku pengen ngerasain yang namanya punya mantu. Sepi di rumah. Suami kerja, anak juga tinggalnya misah. Lebih milih tinggal di apartement yang katanya dekat dengan kantor." Bu Tini berkeluh kesah karena memang pada kenyataannya kesepian saat di rumah. "Kami selaku keluarga calon mempelai perempuan ikut saja."Pak Seno menjawab dengan penuh rasa bahagia. Pak Seno mendadak berubah pikiran ketika melihat keseriusan kedua orang tua Henri. Entah menguap kemana rasa khawatir tadi saat bertemu dengan Henri untuk pertama kalinya. Mereka berbeda dengan keluarga Indrayana dulu, hanya sahabat baiknya saja yang berminat saat acara perjodohan. Sementara Hadi tidak begitu tertarik dengan perjodohan itu. Tidak menyangka sang putri telah menemukan jodohnya. Usia Arini tiga puluh dua tahun menjelang tiga puluh tiga tahun, usia yang matang untuk nenikah. Pun dengan Henri yang tahun ini memasuki usia tiga puluh enam tahun. Boleh dikatakan bujang lapuk. Pun dengan gelar play boy yang melekat erat pada dirinya. Kali ini gelar itu harus hilang. "Baiklah. Bulan depan resmi menikah. Ingat, biar kami yang membiayainya." Pak Agung sangat antusias tanpa menghilangkan rasa hormat pada kedua calon besannya. Mereka semua pamit. Henri yang masih tampak enggan meninggalkan sosok calon istrinya itu tampak berat meninggalkan rumah milik orang tua Arini. Laki-laki kaya raya itu mencuri kesempatan untuk mencium bibir ranum milik calon istri. Arini sangat terkejut dan memegang bibirnya. Ciuman kilat dari Henri membuat dadanya berdebar tidak menentu. Beruntung kedua orang tua mereka tidak melihat karena sibuk diluar. Sibuk membicarakan rencana pernikahan putra dan putri mereka. Kedua calon keluarga itu tampak sangat antusias dan bahagia. "Kamu ... ihh ... suka sembarangan kaya gitu. Kalo Bapak dan Ibuku liat gimana?" Arini mendelik sebal saat melihat tingkah sang calon suami. "Ya ... biarkan saja. Mereka pasti paham. Malah kalo boleh aku nambah kaya yang semalam." Henri mengerling genit pada Arini. Arini biasa merona mengingat aktivitas mereka tadi malam. Sakit, tetapi membuatnya merasa nyaman ketika berada di dekat Henri. Arini pasrah dengan apa yang akan dilakukan oleh Henri malam itu. Salah satu cara agar bisa mengikat sang calon suami. Otaknya harus bekerja ekstra keras, terlebih menjelaskan perihal Ganesha. Kedua orang tuanya bahkan tidak tahu jika anak yang selalu dibanggakan pernah hamil di luar nikah. Bukan inginnya, tapi Sang Pemilik Kehidupan menitipkannya pada sosok Arini. Ganesha tidak bersalah. Kedua orang tuanya yang bersalah. Adanya anak itu adalah hasil hubungan terlarang sebelum halal antara Arini dan Hadi. Meskipun, mantan tunangan wanita tinggi semampai itu melakukannya dalam keadaan mabuk. Pun dengan Arini yang salah, tidak menolak saat Hadi melakukannya. Semuanya atas nama cinta. "Rin ... kok malah nglamun?" tanya Bu Sari yang baru saja masuk ke dalam rumah. Arini tersadar dari lamunannya. Kembali ke alam nyata dan menatap sang ibu. Ibunya hanya menyunggingkan senyum penuh kasih sayang. Arini merindukan sosok yang telah melahirkannya. "Enggak, Bu. Hanya saja agak grogi harus menikah bulan depan. Belum ada persiapan apa-apa," kata Arini mencoba menutupi kebohongannya. Bu Sari menghela napas panjang. Tidak ingin mengulangi lagi kesalahannya seperti kala itu. Arini-lah yang menjadi korban keambisiusannya. Hanya karena harta, maka mereka tega menjodohkan sosok anak semata wayangnya pada orang yang tidak tepat. "Kamu masih ragu?" tanya Bu Sari dengan hati-hati, takut sang putri tersinggung. "Enggak ragu, Bu. Hanya terlalu cepat." Arini mencoba untuk meyakinkan sang ibu. Arini ingin mengulur sedikit waktunya. Setidaknya bisa mengambil cuti untuk datang ke Semarang. Menemui sang putra kesayangannya. Tidak ada sosok ibu di dunia ini yang tidak merindukan darah dagingnya. Ganesha anak yang baik dan selalu patuh, walaupun kadang-kadang membuat ulah. Hal yang wajar bagi anak seusianya. Ia butuh perhatian, cinta, dan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Sayangnya, anak laki-laki Arini itu tidak mendapatkannya secara utuh. Arini mulai berpikir bagaimana cara menjelaskan pada sosok Henri di kemudian hari. Tidak mungkin akan menutupi semua hal ini terus menerus. Sementara itu, Henri yang merasa sangat bahagia sepanjang hari hanya tersenyum. Ia mengingat wajah cantik sang calon istri. Kebahagiaannya membuat ia pulang ke rumah orang tuanya. Hanya dua hari saja, tetapi bisa membuat Bu Tini bahagia luar biasa. Kedua orang tua Henri meyakini jika sosok Arini bisa membawa kebahagiaan bagi keluarganya. Tidak masalah dengan masa lalu yang dialami olehnya sewaktu sebelum menikah. Justru Bu Tini diam-diam menyelidiki sosok Arini. Mengetahui seluk beluk kehidupan sang calon menantunya. Tentu hal ini dilakukannya tanpa sepengetahuan anak dan suaminya. Bu Tini tidak ingin nantinya terjadi masalah saat mereka telah berumah tangga. Oleh karena itu, beliau nanti akan menjelaskan perlahan pada Henri dan suaminya. Bu Tini melakukan semua itu, karena tidak ingin sang putra salah pilih. Cinta bukan segalanya saat menikah. Pondasi utama mempertahankan pernikahan adalah kejujuran. Keterbukaan antara pasangan masing-masing. "Nak, kalo wanita yang kamu cinta pernah memiliki anak di masa lalunya, apakah kamu akan tetap menerimanya?" Bu Tini mencoba bertanya pada Henri yang sedang asyik merebahkan tubuh di sofa ruang keluarganya. Mendadak Bu Tini memberikan pertanyaan yang membuat Henri terkejut. Banyak tanya dalam benaknya, sudah sejauh apakah sang mama mengetahui perihal Arini? Henri bahkan sengaja menutup mata tentang kehidupan Arini. Ia tidak ingin kecewa dengan wanita yang telah mencuri hatinya. "A-aku ...." Henri tak melanjutkan kalimatnya. Ia ragu dan bimbang saat hendak menjawabnya. Separuh bahkan sepenuhnya, hatinya telah tercuri oleh sosok Arini Setyaningtyas. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN