Part 2

1201 Kata
Saat Bianca bangun, dia hanya seorang diri di ruangan itu. Dia mencari keberadaan Alex ke seluruh penjuru ruangan namun, dia tidak menemukan keberadaan pria itu. Bianca melangkah tertatih merasakan sakit pada bagian bawah tubuhnya. Alex benar-benar meninggalkannya sendiri di sana. Bianca mengusap air matanya yang kembai jatuh mengingat perlakuan Alex padanya. Dia tidak menyangka Alex begitu tega padanya. Setelah memastikan kalau dia memang ditinggal sendiri di sana, Bianca memutuskan untuk pulang. Dia sudah mencoba untuk menghubungi Alex namun, panggilannya di tolak. Sementara Alex sendiri sedang berada di kamarnya. Dia memandang foto Bianca yang dia ambil kemarin malam. Alex masih menimbang akan menyerahkan foto itu ke pada orang tua Bianca atau tidak. Sebenarnya rencana itu muncul begitu saja. Dia ingin sedikit jauh dari Bianca, selama ini Bianca selalu mengikutinya kemana pun. Sejak sekolah dasar, Bianca selalu mengikutinya ke sekolah yang sama. Alex awalnya tidak masalah, namun semakin lama dia semakin risih apalagi mengetahui kalau Bianca memiliki perasaan cinta padanya. Dulu saat mereka masih sekolah, banyak perempuan yang menolaknya karena alasan ada Bianca di dekatnya. Bianca selalu mengekorinya kemana pun. Sekarang Alex memiliki satu kesempatan untuk membuat Bianca menjauh darinya. Satu kesempatan agar hidupnya tidak lagi di ganggu oleh Bianca. Lalu tanpa memikirkannya lagi Alex menekan tomol kirim. Dia mengirimkan foto Bianca yang telanjang di balik selimut kepada Doni, ayah kandung Bianca. Alex sengaja menggunakan nomor baru yang sekali pakai untuk mengirim foto itu. Setelah foto berhasil di kirim, Alex mematikan nomor itu dan membuang sim-card nya ke tempat sampah. "Maaf, ini demi kebaikan kita semua," bisik Alex entah kepada siapa. Ada rasa sesal setelah Alex mengirimkan foto itu namun sudah terlanjur terkirim. Dia sudah tidak bisa mundur lagi. Alex mengeraskan hatinya, ini adalah resiko yang Bianca tanggung karena sudah berani masuk ke dalam hidupnya. *** "Dari mana saja kamu?" Pertanyaan itu di lontarkan oleh Doni. Dia duduk di sofa ruang keluarga dengan raut wajah yang datar. Bianca menelan ludahnya kasar. Bianca hafal sikap papanya, jika sudah begini pastilah pria itu sedang marah. "A-aku dari rumah teman, Pa," jawab Bianca gugup. Dia tahu kalau dia tidak pandai berbohong namun, Bianca tetap saja nekat berbohong dengan harapan Doni mempercayainya.   "Jujur sama Papa. Kamu dari mana?" Doni bertanya sekali lagi. Pria itu mengeraskan rahangnya ketika mengingat kiriman foto dari nomor asing. Doni merasakan perasaannya hancur ketika melihat orang yang ada di foto tersebut. Dia merasa gagal menjaga anak perempuannya,  satu-satunya yang dia dan istrinya miliki.  "Pa-" "Apa ini, Bii?" Doni menyerahkan ponselnya ke hadapan Bianca. Suaranya sarat akan kekecewaan. Wajah Bianca pias melihat foto itu, matanya berkaca-kaca. Kini rasa sakitnya bertambah lagi setelah perbuatan Alex.  "Papa-" "Jadi benar, wanita itu kamu?" Pertanyaan itu terdengar seperti pernyataan. Tadinya Doni berharap putrinya menyangkal. Mengatakan kalau wanita itu bukan dirinya, lalu memberikan bukti-bukti yang menguatkan kalau dia memang menginap di rumah temannya. Tapi, saat melihat raut wajah putrinya, hati Doni benar-benar hancur.  "Papa, Bianca minta maaf." Bianca berlutut di hadapan kedua orang tuanya. Doni melepaskan tinjunya pada meja kaca di depannya. Bianca tidak sanggup menahan tangisnya, dia terisak pilu di hadapan kedua orang tuanya.  "Katakan, siapa pria itu?" Bianca mengangkat wajahnya yang di penuhi air mata. Mata Janeta menangkap bekas merah di pergelangan tangan putrinya.  "Apa kamu di perlakukan dengan baik?" Janeta menghampiri putrinya, dia memeriksa tangan Bianca.  "Mama." Bianca memeluk Janeta lalu menangis kencang tanpa bisa dia tahan. bahunya bergetar pelukannya semakin erat. Doni mengepalkan tangannya kuat amarahnya memuncak.  "Siapa pria itu, Bianca?!"  "A-alex, Pa," jawab Bianca masih dengan memeluk erat Mamanya. Doni langsung berdiri, dia menarik keduanya untuk berdiri.  "Kita kerumah Lukas sekarang," katanya dingin.  Selama perjalan tidak ada percakapan di dalam mobil. Hanya terdengar suara isak Bianca yang semakin melemah. Tidak butuh waktu lama untuk tiba di rumah keluarga Lukas. Hanya tiga puluh menit di tempuh dengan mengendarai mobil.  Doni keluar dari dalam mobil tanpa menunggu Bianca dan Janeta. "Doni?" Lukas yang sudah rapi hendak ke kantor mengerutkan keningnya melihat kedatangan sahabatnya itu.  "Di mana Alex?" tanya Doni datar. Dia tidak perlu repot-repot menutupi amarahnya di hadapan sahabatnya itu. Yuna meminta asisten rumah tangganya untuk memanggil Alex turun dari kamarnya.  Alex turun dengan penampilan yang rapi sama seperti Lukas, Papanya. Keduanya sudah bersiap hendnak pergi ke kantor.  Bianca menunduk di hadapan kedua orang tuanya dan juga orang tua Alex. Sementara Alex duduk dengan santai di samping Bianca dengan jarak satu meter. Dia memperlihatkan keengganannya duduk bersampingan dengan Bianca.  "Bicara, Bianca!" kataDoni geram. "Apa ini tentang semalam?" tanya Alex dengan santai. Bianca melihat pria itu, dia berharap Alex membuka suaranya dan mengakui perbuatannya. Tapi, ternyata pria itu justru melakukan hal yang sebaliknya. Dia mengeluarkan foto Bianca yang sudah di cetak pada semua orang yang ada di sana. Yuna terkesiap melihat foto itu, lalu tatapannya beralih pada Bianca.  "Katakan pada semua orang siapa pria yang tidur dengan kamu," perintah Doni.  "Alex," jawab Bianca cepat. "Aku tidak tidur denganmu. Jangan karena kamu begitu memujaku, lantas menuduhku yang tidak-tidak," sangkal Alex. Bianca menoleh langsung pada pria itu. Bianca sangat kecewa dengan perkataan Alex. "Alex, bicara yang jujur," kata Yuna lembut pada putranya itu. "Ma, aku tidak kemanapun tadi malam, aku berada di kamar setelah pulang dari kantor. Mama bisa tanya para pekerja kalau Mama tidak percaya." Bianca tersenyum getir mendengar penyangkalan Alex. Janeta diam-diam menangis kembali melihat putrinya, sejak awal dia sudah mewanti-wanti supaya Bianca melupakan perasaan pada Alex.  "Baiklah, kami sudah mendapat jawaban." Doni melihat tajam ke arah Alex yang tidak berani melihatnya.  "Ayo pulang!" Doni berdiri mengajak istrinya, dia mengucapkan kata maaf pada orang tua Alex lalu membawa serta Bianca keluar dari rummah itu. Sepanjang perjalanan kembali ke rumah tidak ada yang membuka pembicaraan. Doni, Papa Bianca terlalu marah dengan kelakkuan putri yang di banggakannya. Sementara Janeta, hanya diam. Dia tidak mengatakan sepatah kata pun sejak Alex menaruh foto-foto Bianca yang setengah telanjang di hadapan mereka. Bianca membuang pandangannya ke jalanan, air matanya yang dia tahan kini mulai menetes lagi dari sudut matanya. Balasan dari cintanya yang tulus adalah penghinaan dan juga hilangnya kepercayaan orang tuanya terhadapanya. Bianca tersenyum pedih, kini dia menyesal telah mencintai laki-laki itu selama dua puluh lima tahun dia hidup. "Siapa laki-laki itu Bianca?" tanya Doni lagi sesaat setelah mereka tiba di rumah. Bianca melihat Papanya dengan tatapan berkaca-kaca menahan kesedihannya. "Akku sudah menjawabnya berkali-kali, Pa. Apa Papa tidak percaya padaku?" Doni melayangkan tinjunya ke dinding rumah itu. Tidak perduli bahkan saat tangannya sudah mengeluarkan darah. "Papa." Bianca semakin sakit hati melihat reaksi Papanya. Papanya pergi dari hadapannya tanpa mengatakan sepatah kata pun. Bianca menoleh pada ibunya. "Mama percaya sama Bi, kan?" Janeta tidak mengatakan apapun, dia hanya memeluk putrinya berusaha menenangkan anak satu-satunya itu.  "Aku tidak pernah berbohong, Ma. Aku jujur kalau Alex yang membawaku kegedung itu dengan paksa. Aku sudah menolak berkali-kali akan tetapi Alex memaksaku, Ma. Sakit, Ma, rasanya sangat sakit." Bianca terisak.  "Ma, sakit ... " kata itu kembali keluar  dari mulut Bianca. Bianca menangis hingga di lelah dan tertidur.  Janeta melihat suaminya yang bersembunyi di balik dinding dengan bahu bergetar. "Pa ... " Janeta memanggil suaminya dengan suara lirih. Doni keluar dari persembunyiannya lalu menggendong tubuh putrinya, membawanya ke kamar tidur, dan meletakkannya dengan hati-hati. Doni tidak mengatakan apapun, wajah datarnya mampu menyembunyikan perasaannya dengan apik. Bersambung... Koreksi typo please... ini belum aku edit Terima kasih Salam sayang...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN