BAB 1

1350 Kata
Desir ombak mengalun menemani keheningan malam, hamparan pasir putih di bibir pantai menumpu tubuh seorang pria. Dialah Yan Che, seorang yang sedang tersesat ke dunia luar setelah karam di lautan luas. Tubuhnya sudah tidak sadarkan diri, akan tetapi sentuhan ombak pada pipi membangkitkan kembali raganya. Ketika katup mata sudah terbuka, ia terperanjat dalam kejutan. Pandangan mengedar melihat keadaan sekitar, sesaat mengulang ingatan pada kejadian sebelum ia terkapar di pinggir laut itu. Rupa-rupanya hal utama yang terbesit dalam ingatan adalah secercah cahaya yang membuat pasang matanya sulit terbuka, bahkan membuatnya tidak sadarkan diri. Ia merasa dewi keberuntungan sedang berpihak kepadanya, karena menerka tubuh terbawa arus ombak hingga mendarat di tepi pantai. Perasaan lega menyapu sukma, akan tetapi enyah seketika di kala mengingat sang kekasih tiada di sekitar. Ia pun berbegas pergi, meskipun tubuh merasa lelah akibat kekurangan stamina. Langkah kaki memburu, menyusuri setiap tempat yang menurutnya memungkinkan. Bersamaan dengan kecepatan langkah kaki, rasa cemas pun melesat cepat menembus batas kesabaran. Setelah beberapa jam berlalu, ia tak kunjung menemukan wanita itu. Namun, tidak membuatnya putus asa, ia pun melanjutkan pencarian. Ditengah lelahnya mencari seseorang yang tidak jua mendapatkan hasil, pasang mata menangkap bayangan keberadaan sebuah goa. Ia menghampiri untuk melihat keadaan sekitar, dan tersenyum riang ketika melihat tiada penghuni didalamnya. Ia memutuskan jika goa itu akan menjadi tempat peristirahatannya saat nanti, untuk kali ini ia kembali melangkah pergi. Melanjutkan pencarian tanpa henti sebelum menemukan kekasih hati. Langkah kian menjauh, setelah mengelilingi sekitar pantai ia memburu daratan sebagai tujuan. Namun apa yang terjadi? Sesaat pasang mata melihat keadaan kota yang begitu asing dalam pandangan, ia mengira jika diri berada di surga. Keindahan sebuah kota telah membuat langkah kaki sesaat terhenti, ia mengedarkan pandangan pada setiap benda-benda aneh yang terdapat di sana. Merasa penasaran, lantas ia bergegas menyebrangi jalanan. Namun, tanpa ilmu pengetahuan budaya sekitar, ia hampir saja terlindas sebuah kendaraan yang melintas. Keberuntungan menyertainya, benda itu berhenti melaju sebelum menyentuh tubuhnya. Tin ... tin .... Sebuah suara telah memekakan telinga, membuat tubuh Yan Che bergerak karena terkejut. Kemudian ia kembali mengedarkan pandangan, mencari tau dari mana asal suara itu berada. Namun, sesaat terhenti ketika suara pekikan seorang pria mencabik kegiatan. "Hei kau, jika ingin mati jangan melibatkanku!" ujar pria itu saat separuh tubuhnya muncul di balik jendela kendaraan berwana hitam itu. "Kau yang akan mencelakaiku, mengapa kau mengatakan aku akan—" sahutan Yan Che terjeda oleh sebuah penglihatan batin. Ia tercengang melihat gambaran dalam bayangan akan adanya sebuah kecelakaan pada pria yang sedang berceloteh di dalam kendaraan itu. "Menyingkirlah!" Pekikan nada suara membuayarkan renungan Yan Che. Lantas ia tertegun kaku, ketika hati berniat tidak ingin sama sekali membantunya. Dan hanya berpanjat harapan agar apa yang terlihat dalam bayangannya tidak akan terjadi. Sukar mencerna kehidupan dalam dunia yang nampak asing itu, Yan Che tidak ingin terjerat dengan mahkluk yang berada didalamnya. Kemudian ia beranjak menggapai tujuan awalnya, yakni sebuah bangunan yang memiliki tinggi hampir menyentuh langit. Seketika ia terpaku, melihat bangunan yang nampak mengesankan itu. Kemudian ia mencari tahu, apakah gerangan isi yang berada di dalam ruang sebesar itu? Sudah diluar batas pikiran, ia hanya menerka jika tempat itu adalah persinggahan para dewa. Rasa akan penasaran kian menyentuh angan, ia bergegas pergi meninggalkan tempat itu. Setelah berjalan beberapa langkah, nampak di hadapan suasana lebih ramai dibandingkan dengan tempat sebelumnya. Kejutan kembali menghujam asa, ketika ia memandang para insan di sana mengenakan busana berbeda darinya. Yakin sudah sang hati, bahwa diri telah berada di alam lain. Namun, entah neraka atau pun surga, ia mencoba untuk segera berkomunikasi dengan penghuni dunia ini. Hendaklah kaki kembali melangkah, membawa diri pada tempat ramai oleh pengunjung. Sesaat kembali termenung, setelah mengetahui tempat itu adalah sebuah pusat perbelanjaan. Ia menyeringai geli, mengira jika di alam akhirat pun memiliki sebuah pasar. Lamunan buyar ketika sebuah alas kaki mendarat pada punggngnya, dan ia memutar tubuh segera melihat dari mana benda itu berasal. Emosi hadir menerjang asa, melihat seorang bocah cilik sedang tertawa. Sambil menggeram ia kemudian meraih benda yang telah menyakiti punggunya dari atas lantai yang menjadi pijakan kakinya jua. "Apa maksud dari ini?" Ia bertanya dengan nada jengahnya, seraya mengacungkan benda yang berada dalam genggaman tangan kanannya. "Orang gila." Bocah itu mencibir keji, membuat Yan Che kehilangan kendali diri. Ia lekas mencengkram kerah busana yang dikenakan anak itu, kemudian melentangkan tangannya yang senggang untuk membuat acang-ancang pukulan. Namun, belum sempat ia menghantam tubuh yang lebih kecil darinya itu, suara teriakan telah mengalihkan konsentrasi hingga melepas tubuh itu dari cengkraman. "Tolong ... pembunuh ...." Seorang wanita paruh baya berteriak kepanikan, sesaat melihat seorang pria dewasa sedang menganiaya bocah dibawah umur. Tak lain bocah itu adalah anak kandungnya sendiri. "Apa yang kau katakan, Nyonya?" Yan Che kian geram, mendapat ucapan yang telah mengumbar kalimat tanpa bukti itu. Begitu lah diri yang terlatih sebagai panglima kerajaan, setiap tindakan seharusnya memiliki pertanggung jawaban. Itu semua harus disertai bukti terlebih dahulu, sebelum kemudian memberi tuduhan palsu. "Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu." Wanita yang tadi meneriakan tuduhan terhadapnya, kini kembali mengumbar amarah pada kalimat bernada ketus. "Tanyakanlah pada anak itu, mengapa aku berlaku seperti demikian?" ujar Yan Che memberi penjelasan dengan menunjuk anak lelaki yang berdiri di samping ibunya, akan tetapi tatapan murka dari wanita itu yang ia terima sebagai balasan. "Pembunuh!" Sekali lagi sang wanita berteriak. Namun kali ini rupanya telah menarik perhatian kaum wanita. Ia belum merasa puas karena emosi telah menjadi pemicu, sehingga mencari cara agar dapat membalaskan dendam. "Kapan kau melihatku membunuh!" Yan Che geram tiada terkira, ia pun mengucap baris kalimat dengan nada tak kalah memekik dari lawan bicara. Belum sempat ia meluapkan emosi, sekerumun perempuan telah mengepung diri. Tiada ketakutan akan hantaman Yan Che rasakan, yang ia pikirkan hanyalah tak sudi jika harus berurusan dengan para perempuan. Sehingga ia mencoba mengalah saja, dan melangkahkan kakinya meski harus terhenti kembali ketika para wanita itu telah mengeroyoknya. Yan Che tidak berkutik, ia terdiam menerima hantaman dari tangan-tangan nakal lima orang perempuan itu. Selain ia sudah berjanji tidak akan melawan wanita dengan kekuatan, ia pun enggan memperpanjang persoalan jika saja pihak berwajib menangkapnya karena melakukan tindak kekerasan terhadap wanita. Ditengah hantaman yang masih berlanjut itu, Yan Che menggeleng menutupi perasaan ngeri seraya bergumam jika tempat yang ia kunjungi kini bukanlah surga, melainkan tempat yang dikunjungi adalah neraka. "Apakah dosaku terlalu banyak? Sehingga aku terseret ke neraka seperti ini." Yan Che berucap pada dirinya sendiri, sehingga nada lemah menyertai tiap baris kata. Begitu jua membuat para wanita yang masih berteriak sambil mengeroyok dirinya itu tidak mendengar celotehannya. Frustasi beriring emosi, Yan Che memikirkan cara agar cepat keluar dari lingkaran setan di sekitarnya. Lantas, hendaklah bibir tersenyum, meskipun hujaman pukulan masih ia terima. Sebab, ia hanya dalam beberapa menit saja ia telah mendapatkan rencana. "Kalian ... sulitkah jika tidak bermain hakim sendiri?" Ditengah perlawanan hanya dengan hadangan tangan, Yan Che masih mencoba meyakinkan para wanita itu. "Pada jaman ini tidak ada yang namanya keadilan, kau terima saja akibatnya karena telah berani berniat membunuh anakku," kata wanita yang sama seperti sebelumnya. Yakni, orang tua bocah lelaki itu. Sebelum para wanita itu makin menggila, ia memutuskan untuk melarikan diri saja. Untuk kedua kali dalam hidupnya, setelah melarikan diri dari pemberontakan kini ia kembali lari menghindari kerumunan itu. Setelah berhasil pergi menjauh, Yan Che mencibir terhadap dirinya sendiri. "Itukah kekuatan asli para wanita?" ujarnya untuk diri sendiri, sebab tiada orang lain yang berada di sampingnya. Keadaan sudah tidak memungkinkan untuknya melanjutkan pencarian, lantas ia bergegas membawa diri pada tempat dimana goa yang sempat ditemukan itu berada. Ia memutuskan tidak lagi mengelilingi neraka ini, jika masih menggunakan jiwa dan raganya. Ya! Dia menguasai ilmu sihir, kali ini ilmu itu menjadi keberuntungan. Ia merasa untuk mencari sang kekasih agar leluasa adalah dengan cara mengelilingi jagat raya hanya dengan ruhnya saja. Begitulah ilmu yang dimilikinya, ia dapat memisahkan ruh dengan jasadnya. Karena malam ini tubuh sudah terlalu lemah akibat kekurangan asupan makanan, ia gagal melakukan sesuatu yang sudah dipikirkannya saat lalu. Maka, ia bergegas mencari alas tidurnya, mencari dedaunan agar hawa dingin tak begitu terasa olehnya. Sudah tidak ingin ia mencari makanan, sebab ia sudah kekenyangan oleh pukulan. Hingga pada akhirnya, ia menerjang alam bawah sadar setelah melawan perutnya yang selalu berbunyi minta makanan. • • • Tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN