Chapter 05

832 Kata
"Inget ya, kalo sampe Aya kenapa-napa lagi karena kalian berantem. Sesuai perjanjian yang udah kita bikin sekaligus udah kalian tanda tangani. Uang sekolah dikasih cuma dua puluh ribu satu orang, itu sekalian untuk ongkos pergi pulang kalian. Pergi pulang sekolah naik angkot, bus, taksi, terserah kalian yang penting uang dua puluh ribu cukup untuk uang sekolah. Main handphone jadi di batesin, sebelum tidur handphone kasih ke Papi atau Mami. Gak ada yang boleh kemana-mana, di rumah aja, termasuk Nia." Fazra dan Nia mengangguk patuh. "Kalo gak mau dikasih hukuman kayak gitu, jangan berantem lagi, jangan sampe Aya kenapa-napa lagi, paham?" Fazra dan Nia kembali mengangguk. "Ya udah, lanjutin makanya sana. Perjanjian ini berlaku kalo sampe Papi denger Aya nangis karena kalian." Hanya bisa mengangguk, itulah yang Fazra dan Nia dapat lakukan. Kedua anak itu keluar dari ruang kerja Ayah mereka. Setelah keluar Nia menarik kerah baju Fazra dan mencubit kuat perut Fazra. Fazra sudah ingin berteriak namun ia tidak ingin Ayah nya mendengar. "Ini semua gara-gara Lo!" Kata Nia dengan pelan sebelum ia pergi ke lantai bawah. "Anjing Lo." Fazra mengusap-usap perutnya yang terasa panas sambil memperhatikan punggung Nia. "Ngomong apa tadi bang?" Mata Fazra terbelalak lebar. "Emm... Hehehe Papi, Abang mau ke bawah dulu." Fazra langsung berlari seraya memukul mulutnya. "Aku punya mobil balu." Aya memperhatikan Memei yang sedang pamer mobil baru kepadanya. "Mobil Papi Memei." Kata Aya seperti mengerti bahwa mobil berwarna hitam yang baru dibeli adalah mobil Ayah memei, bukan punya Memei. "Mobil aku!" Seru Memei. "Aya punya mobil." Kata Aya tidak mau kalah. "Mana? Gak ada." Memei mengintip dari balik pagar rumah Nevan menatap ke arah garasi mobil yang berada cukup jauh dari jangkauan nya. "Gak ada mobil balu kamu..." Aya diam sambil memperhatikan Memei yang masih saja pamer seraya menjulurkan lidahnya. Tin, tin! "Anak Papi kenapa di luar?" Nevan keluar dari mobil diikuti dengan Nia dan Fazra yang baru saja pulang sekolah. Fazra langsung masuk sedangkan Nia tidak. "Memei punya mobil balu." Tunjuk Aya ke arah mobil yang terparkir di depan rumah. "Oh, itu mobil Papa nya Memei." "Mobil aku!" Ucap Memei masih saja tidak mau kalah. "Eh, kalo mobil Memei tuh Memei bisa bawa mobil. Lagian itu mobilnya kebesaran untuk Memei yang badannya kayak semut." Sahut Nia. Memei tidak menjawab. Jika sudah Nia yang berbicara kepadanya Memei memilih untuk diam. "Aya nih baru punya mobil." Nia menunjuk Aya yang berada di gendongan Nevan. Nevan dan Nia balik badan saat mendengar suara truk. "Mau diturunkan dimana, pak?" Tanya seorang laki-laki. "Di sini aja." Nia menatap Memei yang sedang memperhatikan sebuah kotak besar keluar dari bak truk yang tertutup. "Tuh, itu baru mobil cocok untuk Memei. Tapi sayangnya itu punya Aya, HAHAHA!" Nia tertawa puas. Memei menatap kesal Nia. "Silahkan tanda tangan, pak." Nevan mengangguk menurunkan Aya dari gendongannya. "Mas, kardusnya bisa tolong dibuka?" Tanya Nevan. "Oh iya, bisa pak." Katanya sambil membuka kardus berukuran besar tersebut. "Tadaaa, mobil untuk Aya." Ucap Nevan. Mulut mungil Aya terbuka lebar. "Ayo naik-naik." Dengan masih memakai seragam sekolah dan tas punggungnya Nia membuka pintu mobil-mobilan elektrik milik Aya. Aya masuk dengan senyum yang tersungging. "Pegangan ya, biar Papi jalanin. Ntar Aya belajar sendiri jalanin mobilnya, sekarang Papi yang bawa." Kata Nevan sambil memegang sebuah remot kontrol mobil-mobilan Aya. Aya mengangguk tidak sabar ingin segera mencoba mobil-mobilan nya. Aya tidak meminta dibelikan mobil seperti itu sehingga Aya terlihat begitu terkejut dan antusias. "Iri nih pasti anak tetangga." Kata Nia pada Memei yang sedang memperhatikan Aya. "PAPAAAH MEMEI MAU MOBIL!" Pekik Memei sambil berlari ke dalam rumahnya. Nia tertawa keras melihat anak tetangga nya yang sangat suka pamer dan sombong itu berlari masuk ke dalam rumah. Seperti itupun Aya masih mau dan suka bermain bersama Memei. "Eh-eh, Aya mau ngapain?" Tanya Reya saat melihat Aya berjinjit di depan meja riasnya meraih sesuatu. "Aya mau hail dlyel." "Untuk apa?" Reya yang tengah berdiri di ambang pintu kamarnya berjalan masuk. Aya memegang handuk yang menutupi rambutnya. "Mau ngeringin rambut, ya?" "Iya." Aya mengangguk. "Sini sama Mami." "Gak mau." "Kok gak mau?" "Aya mau cama Abang." "Oh, mau sama Abang." Reya mengambil hairdryer nya dan memberikannya kepada Aya. Jika sudah menyangkut Zio Reya tidak bisa melarang apalagi memaksa Aya karena mereka semua tahu bagaimana cintanya Aya terhadap Abang nya itu. Setelah mendapatkan hairdryer milik ibunya Aya langsung pergi ke kamar Zio. "Abang." Aya memukul pintu kamar Zio yang tertutup dan tak lama langsung terbuka. "Mana hairdryer nya." Aya menyerahkan hairdryer yang sudah ia ambil dengan kedua tangannya. Zio menggenggam tangan mungil Aya membawa adiknya masuk. Zio mendudukkan Aya di dekat wastafel karena di dekat kaca kamar mandinya yang lebar terdapat sambungan listrik dan juga beberapa keperluan Zio. "Tadi mandi sendiri atau dimandiin sama Mami?" Tanya Zio sambil membuka lilitan handuk Aya dan mengusap lembut rambut Aya dengan handuk. "Cendili." Jawab Aya sembari menyentuh cermin. "Ah masa? Ntar Aya bohong." Aya tertawa. "Tuh kan Aya bohong." Zio tersenyum mulai mengeringkan rambut adiknya. "Gak boleh bohong ya, gak baik." Aya mengangguk menyentuh wajah tampan Abangnya dari pantulan cermin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN