2- Masa Pemulihan

1758 Kata
Pasca siuman dari tidur panjangnya, Aurora tetap beristirahat untuk memulihkan tubuhnya. Terlebih ia baru menjalani operasi besar yang tentu membuat kondisinya tak baik seperti biasanya. Sebenarnya ada hal yang lebih berat, yang Aurora pikirkan pasca dirinya bisa melihat dunia ini lagi setelah mengalami kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya. Seolah dirinya kembali pada masa lalu, ketika Aurora menjalani operasi besar pertamanya bertahun-tahun yang lalu. “ Mom. Mommy harus bertahan! Mommy jangan tinggalin aku!” Sabhira terus terisak ketika mengantar ibunya ke rumah sakit. Tangannya terus menggenggam tangan sang ibu seakan takut jika ia melepaskannya maka ibunya tak punya kekuatan lagi. Ia benar-benar panik ketika sampai di rumah pasca pulang dari sekolah, melihat ibunya dengan kondisi perut yang berdarah sementara sang ayah pergi begitu saja tanpa merasa bersalah. Ia sangat takut kehilangan ibunya. Saat itu Aurora sudah setengah sadar, berusaha untuk tetap sadar karena tidak ingin putri kecilnya khawatir. Sabhira masih berumur lima tahun saat itu tapi dia tumbuh lebih dewasa daripada anak-anak lain. Mungkin karena banyak hal buruk yang dia alami sehingga membuatnya seolah memaksa untuk menjadi dewasa lebih cepat, agar bisa terus menjaga ibunya. Walau pada akhirnya, Aurora hampir menyerah dan tak sadarkan diri. Ia juga dirundung ketakutan yang besar. Bagaimana jika ia tidak bisa bangun kembali? Bagaimana jika ia harus meninggalkan Sabhira? Bagaimana jika ia tidak punya kesempatan untuk hidup lagi? Semua pertanyaan itu membuat Aurora ketakutan setengah mati. Tuhan masih menyayangi Aurora, masih memberinya kesempatan untuk hidup. Meski setelah operasi itu, Aurora harus kehilangan salah satu organ penting bagi wanita sepertinya. Ya, dia harus rela kehilangan rahimnya akibat penusukan yang dilakukan dengan sadis oleh mantan suaminya. Setidaknya ia bersyukur, setidaknya ia hanya kehilangan rahim bukan kehilangan nyawanya. Toh pernikahannya pun memang sudah berakhir, jadi Aurora merasa tak memiliki rahim pun tak masalah. Ia hanya akan hidup berfokus pada Sabhira, tanpa ada niat untuk menikah lagi. Begitu yang ia pikirkan sejak dulu. Jadi baginya ada atau tidaknya rahim, bukanlah masalah baginya. Masa lalu itu kembali membuat hati Aurora merasa pedih. Ketika dirinya pada akhirnya selamat untuk kedua kalinya dari maut, lagi-lagi ia bersyukur karena itu artinya ia masih memiliki kesempatan untuk hidup bersama putrinya. Ia masih ingin melalui banyak waktu bersama putrinya dan membuatnya bahagia. “ Mom. Makannya udah?” tanya Sabhira untuk ke sekian kalinya. Anak perempuan yang masih mengenakan seragam putih merahnya itu menatap sang ibu dengan lembut dan penuh perhatian. Padahal ia ingin terus menjaga ibunya tapi sang ibu justru melarang, mengatakan padanya jika ia harus sekolah. Karena sekolah adalah hal yang sangat penting untuk masa depannya. Ia tentu tidak bisa membantah ibunya. Satu-satunya hal yang tidak bisa ia lakukan karena ingin terus menjadi anak penurut, lalu ibunya akan bahagia. Bukankah setiap orang tua menginginkan anak yang penurut? Seakan tersadar dari lamunannya, Aurora menatap nampan makan di depannya yang baru ia makan sedikit. “ Iya ini mommy makan lagi. Belum habis.” Sabhira mencebikkan bibirnya. “ Jangan kebanyakan melamun, mom. Apa kita harus CT Scan lagi? Takut ada masalah di kepala mommy.” Aurora menggelengkan kepalanya, menatap sang putri dengan kagum. Meski masih berumur sebelas tahun, Sabhira tumbuh menjadi gadis kecil yang sangat pintar. Mungkin karena ibunya juga bekerja di bidang medis, jadi semua hal yang berkaitan dengan medis dengan mudah dapat Sabhira cerna. Bahkan gadis kecilnya ini sudah bertekad akan menjadi dokter juga di masa depan. Tentu Aurora sangat mendukung keinginan putri kecilnya. Ia bersyukur anak perempuannya sudah memiliki mimpi. “ Mommy baik-baik aja kok.” “ Kata dokter Nathan, minggu depan mommy udah bisa pulang. Nenek pasti seneng deh. Dia udah ngga sabar mau ketemu mommy,” ucap Sabhira dengan wajah riang. Setiap bercerita tentang nenek alias ibu dari Aurora itu, ia selalu bahagia. Karena mereka berdua memang dekat. Lain halnya dengan Aurora sendiri yang justru tidak dekat dengan ibunya—ibu tiri sebenarnya karena ibu kandungnya sudah lama meninggal. Tepatnya saat ia masih remaja. Ia sungguh menyayangi ibu kandungnya, jadi ketika pada akhirnya sang ayah memilih untuk menikah lagi, ia seolah tak terima dan tidak suka posisi ibunya tergantikan. Meski ibu tirinya dikatakan sebagai wanita yang baik dan penyayang. Entah kenapa hingga kini ia masih sulit membuka hatinya. Walau ayahnya tetap selalu menomorsatukan dirinya dan Mona—kakaknya dibanding istri barunya itu. Tetap saja ada hal yang mengganjal di hati Aurora. “ Oh iya mom. Besok kayaknya aku nggak mampir ke rumah sakit soalnya mau latihan upacara. Aku jadi pengibar bendera loh,” ucap Sabhira dengan bangga. Diam-diam ia pun paham jika ibunya ini tak begitu menyukai neneknya. Entah kenapa, ia tidak mau memaksa untuk mencari tahu. Terkadang memang ada hal-hal yang tidak perlu ia mengerti. “ Benarkah? Bagus dong.” Sabhira mengangguk. “ Aku harus berlatih yang rajin biar ngga sampai salah nanti.” “ Kamu selalu melakukan yang terbaik, sayang.” ....................... Sudah tiga hari pasca kepergian Cahya, hidup Langit seperti terombang ambing. Arah hidupnya seolah semakin tak teratur dan tidak ada lagi semangat hidup. Entah apa yang terjadi ke depannya nanti, ia seolah tak peduli. Semua usahanya selama beberapa bulan terakhir ini menjadi sia-sia, karena seseorang yang tengah ia perjuangkan kebahagiaannya justru meninggalkannya begitu cepat. Entah kenapa rasanya takdir seolah mempermainkan Langit. Hubungannya dengan istrinya memang sejak awal tidak bisa dikatakan lancar. Banyak sekali halangan termasuk dari kedua orang tua Cahya yang tidak terlalu menyukainya. Mereka lebih ingin Cahya bersama mantan kekasihnya yang sudah menjalin hubungan lama dengan istrinya itu, dan sepertinya memang sudah dekat dengan keluarga Cahya juga. Hanya karena pria itu tak kunjung melamar Cahya, hingga akhirnya Cahya mengakhiri hubungan mereka. Barulah setahun kemudian Cahya bertemu dengannya dan tanpa butuh hubungan yang lama, mereka memutuskan untuk menikah. Walau banyak yang kurang setuju, pada akhirnya pernikahan mereka tetap dilaksanakan. Tidak hanya itu, empat tahun lebih setelah pernikahan mereka belum kunjung diberi keturunan. Padahal mereka berdua dinyatakan sehat. Mungkin hanya masalah waktu. Sampai akhirnya tujuh bulan yang lalu, Langit mengetahui jika istrinya tengah hamil. Membuatnya senang setengah mati. Perlahan kedua orang tua Cahya pun mulai membaik padanya, tapi ternyata cobaan pernikahannya terus berlanjut. Perusahaannya hampir saja gulung tikar, jadi Langit terus berusaha untuk mempertahankannya. Ia terus bekerja keras seolah tak kenal waktu, sampai harus mengabaikan istrinya yang sedang hamil. Tentu ia merasa bersalah tapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Ia ingin sekali mengeluh pada istrinya, tentang bagaimana sulitnya keadaan yang sedang ia alami tapi tidak bisa karena kandungan istrinya yang lemah. Nyatanya menyimpan semua beban itu sendirian tidaklah mudah, terlebih Cahya pun tidak sepenuhnya bisa mengerti akan kesibukannya. Ya, memang wajar. Wanita mana yang suka diabaikan oleh suaminya ketika sedang hamil? Mungkin di mata Cahya, Langit adalah suami yang buruk. Mungkin juga dia menyesal telah menikah dengannya. Lalu kini, Cahya justru meninggalkan Langit. Di saat pria itu hampir selesai menyelesaikan masalahnya, tapi justru ia harus kehilangan istri serta anaknya. Entah cobaan apalagi yang akan Tuhan berikan, yang jelas ini sudah sangat menjatuhkan dirinya ke jurang yang paling dalam. Seolah ia tidak bisa bangkit lagi. Rasanya sangat menyesakkan. “ Udah, bro. Lo udah mabok tuh,” ucap Arslan—salah satu sahabat Langit yang bekerja sebagai bartender di bar miliknya sendiri. Dia memang sudah menyukai pekerjaan ini jadi tak masalah meski sebagai owner, dia juga menjadi bartender di sini. Terlebih ketika sahabatnya semakin sering mampir ke sini beberapa bulan terakhir. Dia yang paling tahu betapa sulitnya keadaan yang Langit alami karena perusahaannya yang hampir diambang kehancuran. Sayangnya ketika Langit berhasil mengatasi krisisnya, dia justru harus mengalami kehilangan yang membuat mental serta hatinya hancur. Arslan sangat tahu betapa cintanya Langit pada Cahya. Langit memegang gelas yang sudah kosong di tangannya, menatap Arslan yang terlihat tampan seperti biasa. Terkadang ia iri dengan kehidupan bebas Arslan. Meski di umurnya yang sudah melewati pertengahan ke tiga puluh, dia masih belum menikah tapi dia sedang menikmati hidupnya dengan menjadi bartender. Seolah tak memiliki beban hidup apapun. “ Satu gelas lagi,” pintanya. Arslan menggeleng-gelengkan kepalanya tapi tidak juga menolak. Ia mengisi kembali gelas itu dengan alkohol. “ Lo pulang naik taksi ya, jangan mengemudi sendiri. Jangan bodoh buat menyusul bini dan anak lo. Mereka udah tenang di sana.” Langit berdecak. “ Gue ngga segila itu. Mati?” Ia terkekeh kecil. “ Bahkan dengan nyawa gue sendiri pun nggak akan cukup buat menebus semua rasa bersalah gue ke Cahya.” “ Ya, serba salah sih. Lo mau jujur juga ngga bisa, tapi Cahya jelas overthinking sama lo. Mau gimana lagi.” “ Tuh lo tahu.” “ Ngomong-ngomong soal kecelakaan mobil istri lo, udah diselidiki?” Langit mengangguk pelan. Namun ia tidak terlalu peduli akan hal itu. “ Gimana hasilnya? Kata polisi apa? Ada kelalaian atau gimana?” Tiba-tiba Langit terdiam, mengingat kembali akan apa yang terjadi di kantor polisi tadi siang. Ketika ia harus ke sana untuk menerima hasil penyelidikan tentang kecelakaan yang dialami Cahya. Ternyata mobil Cahya kehilangan kendali saat mencoba menyalip kendaraan lain dan justru malah masuk ke jalur lain, hingga kecelakaan itu tidak terelakkan. Terlebih di jalur lain tersebut ada mobil yang melaju dengan sangat cepat dan ugal-ugalan, sehingga benturan keras tidak dapat dihindari. Kabarnya pemilik mobil yang terlibat kecelakaan itu juga tidak dalam kondisi yang baik. Setidaknya dia masih hidup, tidak seperti istri dan calon anaknya yang meninggal. Pikir Langit. Sekilas ia merutuki kenapa mobil itu melaju sangat kencang. Andai mobil itu melaju secara normal, mungkin saja kecelakaan itu tidak terjadi. Mungkin saja istri dan calon anaknya masih selamat. Andai saja waktu dapat diputar. “ Ngga tahu. Kasusnya juga udah ditutup, dikatakan murni kecelakaan.” Arslan mengangguk mengerti. “ Udah takdir, udah terjadi. Mau disesali kayak apa juga ngga bakal membalikkan waktu. Jadi lebih baik lo berusaha menerima semuanya dengan ikhlas. Hidup masih harus terus berjalan, bro.” Ia menepuk-nepuk pundak sahabatnya berusaha untuk menguatkan. “ Sial! Lo ngga tahu aja gimana rasanya kehilangan.” “ Iya sih. Makanya gue ngga mau nikah.” Arslan tersenyum lebar, menunjukkan deretan giginya yang rapih. “ Terserah lo.” “ Udah deh mending lo pulang, gue mau closing nih,” ucap Arslan yang merasa sahabatnya ini tidak akan pulang. Padahal seharusnya barnya sudah tutup sejak setengah jam yang lalu. Langit langsung menenggak sisa alkoholnya. “ Bawel lo!” Ia pun bergegas pergi dari sana. Ia menatap langit yang gelap seolah sebentar lagi akan turun hujan. Udara dingin pun terasa cukup menusuk, membuatnya menarik resleting jaket jeans yang dikenakannya. Ia tidak mendengarkan ucapan Arslan untuk pulang naik taksi, karena ia tetap mengendarai mobilnya sendiri. Seharusnya Langit memang mendengarkan ucapan sahabatnya, bukan malah membangkang hingga benar saja... kecelakaan itu harus Langit rasakan sendiri. Mobilnya menabrak pohon di pinggir jalan dengan cukup keras. Sekilas ia seolah melihat senyum Cahya padanya, sebelum semuanya menjadi gelap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN